“Mbok, motor Ayra belum ada. Dia belum pulang sekolah?” Attar baru saja keluar dari mobil. Pikirannya terganggu karena tidak melihat adanya motor milik Ayra di garasi. Biasanya selalu berada di sana ketika dirinya pulang dari kantor.“Non Ayra pergi, Tuan,” sahut Mbok Inah setelah selesai menutup pintu gerbang.“Ke mana?” Attar mengernyitkan alis. Tidak biasanya ‘kan Ayra pergi pada jam seperti ini. Sebentar lagi magrib dan senja akan habis.Mbok Inah menggeleng. “Saya kurang tahu, Tuan. Non Ayra nggak pamit.”“Dia pergi tapi nggak pamit lagi?!” tegas Attar membuat Mbok Inah sedikit tersentak.“I- iya, Tuan. Tadi saya disuruh Non Ayra buat beli minuman Vitamin C. Begitu sampai di rumah, Non Ayra nya sudah pergi,” ujar Mbok Inah dengan lebih jelas.Attar gelisah dan merasakan sesuatu yang tidak beres. “Ya sudah, Mbok. Saya mau masuk dulu.”Lelaki yang tengah dikuasai rasa gelisah, khawatir serta cemas itu segera masuk ke rumah. Ruangan pertama yang menjadi tujuan Attar ialah kamar mili
“Sayang, hari pernikahan kita tinggal menghitung hari,” ucap Sania sembari mengunyah makanan yang sudah tersaji di depannya.Sampai detik ini, Attar melarang Sania mendatangi rumahnya karena di rumah yang ia tempati tidak ada orang tua. Mereka hanya bertemu di luar saja. Kalau tidak, Attar yang mendatangi rumah orang tua Sania.“Masih dua minggu lagi, Sania.” Attar menyahut. Sebenarnya ia merasa sedikit kesal setiap kali Sania selalu membahas hari pernikahan itu. Semakin ke sini Attar menjadi malas mendengar pembahasan pernikahan mereka.Lelaki itu menyuapkan makanan ke dalam mulutnya. Suapan yang ke-tiga kalinya. Attar ingin cepat-cepat menyelesaikan pertemuan di antara mereka berdua. Selain tidak terlalu niat bertemu dengan Sania, tubuh Attar juga merasa lelah dan ingin segera beristirahat.Satu penyesalan yang Attar lakukan sampai sekarang adalah, tidak memilih wanita dengan benar-benar secara hati. Yang ia tahu, Sania hanyalah gadis baik dan merupakan istri idaman. Perasaan yang p
Fera memasang telinga baik-baik ketika Ayra mulai berbicara. Ia yakin kalau pembicaraan itu pasti sesuatu yang besar dan serius. Buktinya sampai Ayra berlari ke rumah itu.Fera menebak telah terjadi sesuatu antara Ayra dengan Attar hingga sahabatnya memilih untuk pindah tempat tinggal. Ia masih menunggu kelanjutan cerita Ayra yang terjeda.“Kamu dan Pak Attar kenapa, Ra?” tanya Fera tidak sabar.Ayra terdiam lagi sejenak. “Aku suka sama dia, Fer.”Kedua mata Fera sedikit melebar setelah mendengar pengakuan Ayra. Antara terkejut dan sudah bisa menebak sebelum-sebelumnya. Ia pernah berpikir bagaimana jadinya kalau Attar dan Ayra pada akhirnya ada yang jatuh cinta di antara mereka atau mungkin keduanya saling memiliki rasa?Sebenarnya Fera tidak merasa bahwa itu kesalahan. Mereka tidak ada ikatan darah. Sejak awal mendengar kabar kalau Ayra tinggal bersama lelaki dewasa yang masih single pun Fera sempat memikirkan hal itu.Fera masih terus menatap Ayra yang memandang lurus ke depan. Ia t
“Terus kamu mau melepasnya begitu saja?” tanya Fera dengan tegas.Ayra menoleh dan menatap Fera dengan tatapan sedih. “Aku harus bagaimana? Apa aku harus bersaing dengan wanita dewasa, sedangkan aku yakin kalau Pak Attar melakukan itu padaku karena sebuah kesalahan. Dia hanya menganggap kejadian tersebut sebagai ketidaksengajaan.”“Nggak, Ra. Aku yakin kalau Pak Attar pasti mencintaimu.” Fera mencoba meyakinkan sahabatnya setelah berpikir sejenak alasan Attar melakukan itu kepada Ayra.Ayra menggeleng menolak opini yang Fera jelaskan. Ia menganggap semua hanyalah angin berlalu meskipun hatinya tidak mampu merelakan Attar. “Sudah lah, Fer. Aku akan melupakan semuanya. Aku akan menata hidupku dengan lebih baik lagi dari sekarang. Aku akan fokus pada masa depan dan cita-citaku mulai saat ini. Aku yakin kalau aku bisa hidup sendiri,” cetus Ayra.“Ayra, sebenarnya aku nggak setuju melihatmu pergi dari rumah itu. Aku yakin kamu masih membutuhkan orang dewasa untuk berada di sisimu. Tapi sa
Attar bela-bela keluar dari kantor lebih awal untuk dapat menyusul Ayra di sekolah gadis tersebut. Lebih tepatnya, Attar hanya akan melihat Ayra dari jarak jauh. Memastikan keadaan Ayra baik-baik saja.Karena sudah beberapa kali menghubungi Fera tidak dijawab, Attar yakin kalau Ayra berada di rumah Fera. Tidak mengapa kalau memang itu yang Ayra inginkan. Mungkin hubungan mereka akan cukup sampai di sana meskipun berat merelakan Ayra. Kelak Attar pasti akan mengundang Ayra ke pernikahannya.Sesampainya di area sekolah SMA tempat Ayra belajar, Attar menghentikan mobil tak jauh dari pintu gerbang. Ia berharap Ayra tidak menghafal nomor plat mobilnya. Attar sudah mengenakan topi dan kaca mata hitam supaya tidak diketahui oleh siapapun.Pandangan mata Attar menyapu satu-persatu anak-anak yang baru saja keluar dari pintu gerbang berukuran luas itu. Ia mengalami sedikit kesulitan. Yang Attar hafalkan hanyalah motor milik Ayra.Anehnya, Attar menunggu hingga murid-murid sekolah yang keluar t
Setelah sampai di depan rumah Ayra, Rendra memarkirkan motor di halaman.Ayra mengernyitkan dahi heran. Seharusnya Rendra langsung pulang saja. Bukan berhenti di sana lalu mampir. Hari ini Ayra berada di rumah sendirian. Fera tidak akan datang ke sana.“Kamu nggak pulang?” tanya Ayra. Menatap Rendra dengan tatapan tidak suka.“Aku mau di sini dulu sama kamu. Lagian kamu sendirian, ‘kan?”Ayra tidak berpikir macam-macam kepada Rendra karena malas menerka-nerka. Hanya akan membuang energi dan membuat beban pikiran saja. Ia tidak berkata apapun lagi dan langsung melenggang pergi dari hadapan Rendra yang masih duduk santai di atas motor.Ayra masuk ke rumah dibuntuti oleh Rendra. Anehnya, Ayra naik ke lantai atas hendak ke kamar pun, Rendra ikut bersamanya. Membuat Ayra menoleh ke belakang dan menatap tajam Rendra. “Ngapain ikut naik? Ruang tamu ada di bawah,” ucap Ayra mengedikkan dagu ke arah ruang tamu. Merasa gemas dengan sikap lelaki di belakangnya.Rendra sontak menghentikan langka
“Sialan!” Attar mengumpat ketika mobilnya terjebak di antara kendaraan besar di depannya saat membuntuti Rendra dan Ayra. Ia sudah kehilangan jejak sejak beberapa saat yang lalu dan tidak dapat menemukannya lagi.“Mereka ke mana coba?” Attar sudah mencoba melajukan mobilnya dengan cepat sembari mencari dua anak sekolah itu. Ia cemas kalau Rendra dan Ayra pergi ke tempat yang tidak selayaknya. Namun apa daya, Attar benar-benar tidak tahu lagi harus mencari mereka ke mana usai kehilangan jejak keduanya. Ia memutuskan untuk pulang saja ke rumah. Kalau tidak sibuk, besok Attar akan melakukan hal yang sama.Berhubung masih sore dan Attar terus-menerus dihubungi oleh Sania untuk bertemu, akhirnya ia mau menemui wanita itu meskipun hatinya melawan. Attar tidak tahu akan sampai kapan dirinya menjalani hubungan yang baginya palsu. Semakin hari kian enggan untuk melangkah ke jenjang pernikahan. Padahal mereka pada akhirnya tetap menikah.*** “Apapun yang kamu tahu tentangku, Ra, aku mohon maa
“Reti, kamu jangan gila!” bentak Rendra melepas pelukan Reti. Mereka berdua mulai menjadi pusat perhatian orang-orang yang berlalu di sekitar jalanan itu. Kebetulan Rendra ingin berhenti mampir ke minimarket untuk membeli sesuatu. Sebelum itu, Reti sudah lebih dulu menghadangnya menggunakan motor.“Rendra, aku cuma mau manja-manja sama kamu.”“Ini di pinggir jalan! Kamu nggak tahu malu apa?” Lelaki itu menjauh dari Reti.“Ya udah, ke rumah kamu saja, Ren.” Reti memajukan langkah mendekati Rendra kembali.“Ret, bukannya aku sudah bilang sama kamu kalau kita nggak usah berhubungan lagi? Aku mau kita kayak dulu yang nggak kenal dekat.”“Kamu mau seenaknya buang aku setelah apa yang kamu dapat, Ren?” tanya Reti dengan suara merendah. Pertanda kalau ia tengah marah. Ia menatap Rendra kecewa.“Aku nggak mau tahu. Mulai sekarang dan seterusnya, aku nggak ingin kita ada hubungan apa-apa lagi. Anggap saja kita nggak saling mengenal,” pungkas Rendra menaiki motor miliknya.“Kamu tega, ya, Ren?”