Keanehan Pak Alfa masih berlangsung bahkan sampai saat waktunya pulang tiba. Jika biasanya dia menunggu Wina menyelesaikan pekerjaannya, saat ini dia sudah keluar terlebih dahulu. Dia tadi nampak buru-buru sekali keluar dari kantor begitu jam menunjukkan pukul 16.00. Aku bisa saja berpikir bahwa Pak Alfa ada keperluan di luar yang sangat mendesak, sehingga dia pulang lebih dulu dari pada biasanya. Tetapi, itu kalau aku tidak mendapati mobilnya masih bertenger di tempat parkir. Bahkan dia masih berdiri santai di samping mobil sambil mengutak-atik ponsel pintarnya.
“Kok Bapak masih di sini? Kirain sudah pulang.” tanyaku pada Pak Alfa sambil berjalan mendekatinya.
Dia yang tadinya fokus pada ponsel pintarnya pun berpaling menghadapku. Melihatku mendekat, Pak Alfa langsung mengembangkan senyumnya yang selalu membuat banyak orang salah paham.
“Kamu mau pulang juga kan? Saya udah nunggu kamu dari tadi.”
Pak Alfa kemudoan membukakan pintu kursi penumpang samping kemudi. Sepertinya dia mempersilakanku untuk masuk ke mobilnya, tetapi aku yang tidak mau kepedean masih diam saja di tempatku.
“Bapak nunggu saya ada apa? Kenapa gak langsung di ruang HR sebelum pulang tadi?” tanyaku.
“Kalau di sana, kita gak bisa ngomongin hal rahasia, dong. Ada yang perlu saya bilang ke kamu, penting.” jawabnya.
Kata ‘penting’ dari Pak Alfa entah kenapa membuatku berkeringat dingin. Karena, ini pertama kalinya Pak Alfa mengajakku untuk berbicara berdua saja di luar kantor. Apa lagi tadi dia mengatakan kalau dia ingin mendiskusikan hal rahasia. Serahasia apa kah sampai harus dibicarakan di luar kantor?
"Kamu masuk lah dulu. nanti kita bicarakan sambil jalan." katanya sedikit memerintah.
"Umm... sebenarnya saya sedang nunggu Raga buat pulang bareng, Pak."
"Kamu ada janji sama Raga buat ke mana gitu kah?"
Pak Alfa kembali menutup pintu tadi.
"Bukan. Maksud saya, biar saya bilang dulu ke Raga. Kan kasihan kalau dia cariin saya." jelasku.
"Oke. Dia masih lama?"
"Paling bentar lagi sih, Pak. Pas saya keluar dia baru selesai ketemu sama orang penunjang. Jadi, sambil dia siap-siap saya disuruh duluan ke parkiran." Jelasku.
"Gak bisa lewat chat aja bilangnya?"
"Baterai hapenya Raga habis tadi, Pak."
Seperti yang ku katakan tadi, tidak lama kemudian Raga datang lengkap dengan tas selempang kecilnya. Sambil memainkan kunci motornya, dia berjalan ke arah kami berdua.
"Saya kira Pak Alfa sudah pulang lebih dulu." katanya.
"Saya ada perlu sama Cecil. Bisa kan, hari ini dia pulang sama saya?" tanya Pak Alfa seolah meminta izin dari Raga.
Mata Raga menyipit keheranan. Rasa-rasanya aku bisa paham apa yang dia pikirkan. Karena biasanya cara berpikir kami lumayan sama. Dia pasti heran, ada angin apa Pak Alfa mengajakku pulang bersama.
Ditariknya lenganku oleh Raga agar sedikit mendekat padanya. Lalu, dengan sedikit berbisik, Raga berpesan, "Eling! Jangan halu!"
Mendengar sindiran kerasnya yang menyebalkan, aku pun membalasnya dengan mencubit pinggang sahabat laki-lakiku itu.
"Aww!!" pekik Raga.
"Gak usah lo ingetin juga gue paham, Nying!" umpatku kesal.
Kini aku kembali menghadap ke arah Pak Alfa yang sepertinya sedikit kehilangan kesabarannya karena menunggu aku dan Raga bercanda. Dahinya yang mulus tanpa jerawat sedikit berkerut dengan mata yang menyipit ke arahku.
"Jadi, gimana? Bisa kan?" tanya Pak Alfa.
Semoga saja ini hanya perasaanku. Aku merasa ada hawa dingin di setiap kata dari pertanyaannya tadi.
"Udah pasti bisa lah, Pak. Raga mah santuy orangnya. Mari!" jawabku segera sebelum parkiran berubah menjadi kutub selatan.
Kami berdua pun meninggalkan Raga dan masuk ke dalam mobil. Ku lihat dari jendela, setelah kami masuk Raga juga pergi menuju motornya yang diparkir tidak begitu jauh dari tempat kami tadi. Pak Alfa pun menyalakan mesin mobilnya untuk keluar parkiran.
Ini bukan kali pertama aku ikut dalam mobil Pak Alfa. Terkadang saat acara makan-makan karyawan kantor, mobil ini juga dibawa. Karena itu aku cukup tahu kebiasaan Pak Alfa saat mengendarai mobil.
Salah satu kebiasaan itu adalah mendengarkan musik sambil berkendara. Dia biasanya menyetel lagu-lagu bergenre city pop, kalau tidak jazz di setiap perjalanan. Lagu-lagu itu selalu dia nyalakan sebelum memajukan mobilnya. Namun anehnya, dia tidak melakukan itu kali ini.
Beberapa kali aku melirik pada wajahnya yang sebanding dengan aktor Korea Selatan favoritku, Lee Dong Wook. Kerutan di dahinya memang sudah memudar berganti dengan wajah datar tanpa ekspresi yang justru membuatku ragu untuk memulai pembicaraan. Kupikir, bukankah memang itu tujuannya memintaku untuk ikut di mobilnya?
"Kamu kalau lirik-lirik saya begitu nanti matanya pegel, loh. Di rumah sakit kita belum ada dokter spesialis mata. Mau gak mau ke rumah sakit atau klinik lain. Jadi, bakal susah dapat diskon besar."
Rupanya Pak Alfa menyadari kelakuanku sedari tadi.
"Soalnya saya nungguin Pal Alfa. Katanya mau ngomong sesuatu." alasanku.
"Kamu gak sabaran banget. Gak perlu tegang begitu lah." katanya.
Aku mendengus pelan.
"Gimana ceritanya mau sabar, orang hari ini Anda aneh sekali."
Tentu saja kalimat tadi tidak langsung kuucapkan. Kami tidak dekat, jadi kalimat tadi pasti akan terdengar tidak sopan.
"Bentar lagi kita sampai." ujarnya.
Ku lihat ke arah sekelilingku. Aku baru sadar kalau sedari tadi mobil ini tidak berjalan ke arah rumahku. Kami justru berada di sebuah cafe kecil bernuansa retro 70-an.
Setelah memarkirkan mobil di depan cafe, kami langsung masuk dan disambut oleh seorang pria muda yang mengenakan celana cutbray dengan kemeja ketat bermotif kotak-kotak. Kalau saja dia menumbuhkan jambul atau berambut afro, pasti aku akan mengira bahwa aku sedang time travel ke zaman dahulu.
"Lho Boss, tumben bawa cewe?" tanya pria itu antusias.
Dari cara bicaranya, sepertinya mereka berdua cukup akrab. Bahkan saat ini mereka saling merangkul.
"Emangnya cuma Hilman yang bisa bawa cewe? Kenalin nih, salah satu andalan gue di kantor." kata Pak Alfa sambil menepuk pundakku.
Pipiku bersemu setelah dipuji seperti itu. Pantas saja dia jadi Kabag HR. Mulutnya sangat luwes dalam memuji. Dia pasti sudah bertemu berbagai macam karyawan, sehingga tahu bagaimana caranya supaya karyawan itu menurut padanya. Salah satunya ya, dengan memuji itu.
"Hai, nama saya Cecil." ujarku sambil mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Pria bercelana cutbray itu pun membalas jabatan tanganku, kemudian berkata,
"Gue Dewo, temennya Alfa. Santai aja sama gue. Gak pinter bahasa robot kayak Alfa soalnya."
"Mm... " gumamku ragu.
Pak Alfa kemudian menyela, "Nih anak tuh emang agak kaku sama orang yang baru dikenal."
Aku langsung menengok ke arah Pak Alfa karena kaget. Lagi-lagi dia mengatakan hal tentang diriku yang aku yakin belum pernah ku katakan padanya. Jangan-jangan dia cenayang!
"Oh... gitu. Yah, pokoknya sesantainya aja lah. Sori banget ya, kalau kesannya gue SKSD." kata Dewo.
Dia lalu mengantar kami ke salah satu kursi di sudut cafe. Aku tidak menyangka kalau cafe ini cukup besar di dalamnya, padahal dari luar terlihat kecil. Selain itu, tidak hanya bagian luarnya, di dalamnya pun terkesan sangat retro sekali. Banyak poster-poster artis zaman dahulu yang terpajang di sini. Di counter pesanan juga terdapat gramaphone yang sedang menyalakan lagu-lagu hits jadul. Mungkin satu-satunya hal modern di sini adalah AC. Tetapi, itu tidak terlalu mengurangi 'kejadulan' cafe ini.
"Kalian mau pesan apa?" tanya Dewo sembari memberikan buku menu pada kami berdua.
Menu di cafe ini cukup bervariasi. Ada makanan barat sampai jajanan pasar. Minumannya juga cukup unik, dari berbagai macam kopi hingga wedang-wedangan.
"Gue mau Nagasari saus greentea satu porsi, terus Croffle coklat pakai topping ice cream vanilla, Hm... minumnya teh earl grey dingin gak pakai es."
TMI sekali, Guys. Ternyata Pak Kabag doyan banget makanan manis. FIX. Besok akan ku beritahukan ini ke Mbak Bella dan Raga. Mereka wajib tahu supaya lebih mudah mengambil hati pak bos ini. Kalau Wina sih, paling dia sudah tahu.
“Yah... mau gimana lagi. Semangat ya skripsiannya.” Ucapku pada Gio melalui telefon.“Maafin aku ya, Cil. Padahal hari minggu, tapi aku gak bisa luangin waktu buat kamu.” Sahut Gio.“Uhm... gapapa, kok. Lagian gak urgent juga kencan mah hehehe.”“Kalau gitu, aku tutup telefon dulu, ya. Masih revisi banyak, nih.” Pungkasnya.Gio pun langsung menutup telfonnya, tanpa menunggu balasanku.Sudah berkali-kali dia bersikap begini kepada ku. Aku terpaksa pasrah saja, karena dia beralasan bahwa tugas skripsinya sangat menyita waktu. Katanya lagi, skripsinya juga sangat membuatnya stres, sehingga kadang dia tidak ingin diganggu.Ini adalah pertama kalinya aku punya pacar, jadi aku mencari tahu banyak informasi tentang bagaimana menyikapi hal seperti ini. Kebanyakan beranggapan bahwa sebaiknya aku saja yang sabar, jadi itu lah yang sedang aku lakukan. Meskipun sebetulnya aku ingin sekali bertemu dengan Gi
Bab 18 Gosipin Si BossSepuluh tahun yang lalu...Seseorang pernah berkata bahwa kita adalah tokoh utama di hidup kita. Jadi, terserah kita mau dibawa ke mana ceritanya nanti. Aku juga berpikir seperti ini sebelumnya.Setiap malam, aku selalu membayangkan bagaimana hidupku nanti saat cita-citaku tercapai serta bagaimana reaksi orang-orang di sekitarku yang begitu bangga. Karena itu, aku selalu berusaha keras menggapainya.‘Plok! Plok! Plok!’Riuh tepuk tangan penonton memenuhi seluruh aula. Seorang gadis yang berdiri di atas panggung membungkukan diri memberi salam kepada mereka yang mendukungnya serta para juri. Setelah menegakkan badannya, dengan percaya diri gadis itu melambaikan tangannya.Hari ini adalah audisi final regional untuk sebuah kompetisi menyanyi terbesar di Indonesia yang disiarkan di stasiun televisi swasta nasional. Setiap daerah mengirimkan wakil mereka yang dipilih melalui audisi dan nantinya finalis
Sekarang boleh kabur tidak, ya? Serius canggungnya gak nahan banget. Coba tadi aku tidak dengar omongan dokter Hilman. Ah, parah!“Hari ini lumayan sepi ya, food court.” ujar Pak Alfa.“Eng.” aku cuma bisa mengiyakan.“Tadi dokter Hilman bawain pilus, nih. Lumayan buat dimakan sama bakso.” dia menunjukkan pilus di tangannya yang dibungkus plastik bening dan dimasukkan ke dalam kresek hitam putih.“Banyak banget, Pak.” responku.Ini aku tidak melebih-lebihkan, guys. Karena, memang banyak banget. Pilusnya dua bungkus pakai plastik ukuran satu kilo.“Ya, nanti kita bagi-bagi di kantor buat ngemil. Lumayan, kan?”Pak Alfa mengambil salah satu bungkus pilus, lalu membukanya.“Kita makan aja dulu sambil nunggu bakso kita dateng.” lanjutnya yang kemudian mengambil beberapa pilus, lalu dimasukannya ke dalam mulut.Untuk mengatasi k
Kejutan untukku kemarin belum berakhir begitu saja. Pagi ini, aku benar-benar disadarkan bahwa aku terlalu mudah ditipu orang.Ini masih ada hubungannya dengan status yang diunggah Wina sabtu lalu. Entah Wina yang bodoh atau bagaimana, seharusnya dia sadar bahwa kalau diunggah di status otomatis semua orang di kontaknya bisa melihatnya. Kalau ingin lebih aman sedikit, sebaiknya statusnya dipasang privasi. Jadi, setidaknya hanya orang-orang tertentu saja yang dia izinkan agar bisa melihat.Karena alasan inilah, Pak Alfa memanggilnya untuk diberikan SP 1.Masalahnya bukan semata soal minuman keras yang Wina minum. Karena, halal dan haram yang seseorang yakini itu berbeda-beda. Tetapi, lebih karena kumpul-kumpul semasa pandemi yang dia lakukan bersama temannya. Ditambah lagi, Wina sama sekali belum pernah divaksin. Jelas, untuk karyawan ruma sakit ini hal yang sangat tabu dilakukan.“Wah… kebablasan banget emang ini anak.” guman Raga yang
Seperti biasanya, setiap informasi yang ku dapatkan mengenai Pak Alfa pasti akan ku bagikan pada Mbak Bella dan Raga. Begitu pun tentang Pak Alfa dan Wina yang kemungkinan besar akan memiliki anak sebelum menikah. Karena, bisa saja kan Wina juga merasa cemburu pada Mbak Bella, seperti Wina yang cemburu padaku."Gak mungkin, Cil. Itu Wina kayaknya ngarang banget, deh." Mbak Bella memberi pendapat.Wajar saja dia beranggapan seperti itu. Pak Alfa tidak pernah memiliki imagejelek sebelumnya. Meskipun dia begitu populer di kalangan karyawan perempuan di rumah sakit ini, tidak sekali pun dia terlihat menyentuh mereka secara langsung. Termasuk pula Wina yang selama ini digosipkan dengannya."Tapi, Wina sendiri yang bilang ke gue, Mbak. Makanya gue jadi kepikiran.""Hhhhhh...." dengusan lelah keluar dari mulut Mbak Bella.Sebelum berkata lagi, dia lebih dulu fokus untuk membelokkan stir mobilnya."Lo tuh gak usah gampang percaya sama
Pembicaraan di antara aku dan Pak Alfa berlangsung seperti biasa. Aku tetap berusaha profesional dengan mendengarkan setiap instruksi yang dia berikan padaku. Meskipun sebetulnya sebagian otakku lari untuk memikirkan hal lain.“Kira-kira gitu aja sih, Cil. Masih ada yang perlu ditanyakan?”Aku menggelengkan kepalaku.“Oke. Kalau gitu diskusinya cukup sampai di sini.” tutupnya.Lalu, aku berdiri untuk bersiap keluar ruangan. Karena, kupikir pembicaraan kami sudah selesai.“Oh iya, Cecil.” panggilnya.Ditutupnya cover tablet di tangannya dan dia taruh di meja. Matanya yang menatapku nampak melengkung memberikan senyum.“Ehem!”“Sepulang kantor, ada yang perlu saya bicarakan. Kamu ada waktu kan?”Entah apa yang ingin dia bicarakan nanti, tapi jujur aku sedang malas meladeninya.“Hm… gimana ya, Pak? Sore nanti orang tua saya mau ke kontrakan. Jad