Aku dan Mas Denis memang sudah menikah kurang lebih tiga bulan lamanya. Namun, selama itu juga, aku dan Mas Denis tidak pernah melakukan kontak fisik secara intim. Sekalipun kami tidur di atas ranjang yang sama setiap malam, tetapi Mas Denis tidak pernah bertindak lebih untuk menyentuhku.
Ciuman dan pelukan dari Mas Denis pun terasa ringan seperti seorang kakak pada adiknya. Tidak ada hasrat menggebu seperti yang biasanya menjadi bumbu dalam hubungan pasutri pada umumnya. "Ya sudah. Kalau gitu habis makan malam nanti kita siap-siap. Besok kita liburan." "Serius, Mas?" seruku refleks saking senangnya. "Iya." Aku secara spontan memeluk Mas Denis dari samping begitu erat tanpa balasan darinya. Rasa senang yang menguasaiku sampai membuatku lupa diri. Baru setelah Mas Denis berdehem, aku melepaskan pelukan dengan wajah malu. “Maaf,” cicitku. “Gak masalah. Sekarang siapin makan malam aja, aku mau mandi dulu.” “Iya, Mas.” Aku pun ke dapur dengan perasaan senang yang masih tersisa. Makan malam juga berjalan dengan sangat baik karena hatiku yang gembira. Bahkan aku tidak merasa lelah sama sekali meskipun setelahnya harus berkemas untuk keperluan besok sendirian. Sedangkan Mas Denis istirahat lebih dulu. Keesokan harinya, sesuai janji Mas Denis, kami sungguhan berangkat ke lokasi yang sudah direservasi oleh ibu mertuaku. Aku mengagumi konsep hotel yang unik dengan dikelilingi danau buatan yang cantik. Desain interior middle east dan arsitektur Jawa yang khas juga menambah daya tarik tersendiri. "Mama pinter banget, sih, nyari tempat keren kayak gini," pekikku apa adanya. Mas Denis hanya tersenyum tipis melihat aku kegirangan seperti anak kecil. Dia menemaniku berkeliling dan mendengar segala ocehan yang keluar dari bibirku. Aku senang, karena Mas Denis selalu memperlakukanku dengan baik. Kali ini dia juga tidak banyak protes dengan tingkahku yang sering random. Entah karena dia tidak peduli, atau memang karena Mas Denis suka melihatku gembira. Yang pasti, aku menikmati saat-saat bisa menjadi seperti diriku sendiri seperti ini. Apakah hari ini akan menjadi awal yang baik untuk kelanjutan rumah tanggaku dengan Mas Denis? Malam harinya, kami melakukan makan malam romantis di tepi danau. Redupnya cahaya lampu yang dipantulkan dari air danau menambah kesan dramatis yang membuatku tidak bisa berhenti tersenyum. 'Hari ini akan menjadi hari yang sempurna jika ditutup dengan kegiatan asyik di atas ranjang,' batinku mulai mesum. Aku menggeleng cepat untuk mengusir bisikan yang nantinya hanya akan membuatku kecewa seperti biasa. Mas Denis sampai menegurku karena mungkin merasa aneh dengan aku yang tiba-tiba menggeleng cepat. "Kamu kenapa, Dik?" "Eh, nggak apa-apa kok, Mas. Cuma agak ngantuk aja," elakku. "Oh, ya sudah ayo balik ke kamar. Sudah terlalu malam dan makanan kita pun sudah habis sejak tadi, kan?" Aku mengangguk dan bangkit dari bangku karena Mas Denis pun sudah melakukan hal itu lebih dulu. Kami berjalan bersisian hingga menuju kamar. Entah mendapat keberanian dari mana, aku menggandeng Mas Denis dengan posesif. Menggelayut di lengan kirinya dan untungnya tidak ditampik olehnya. Merasa mendapat lampu hijau dari suamiku, aku pun makin berani meminta hakku sebagai seorang istri untuk diberikan nafkah batin. "Maaf, Dila. Mas belum siap." Mas Denis menolakku. Dia juga menyebut namaku tanpa embel-embel 'Dik' seperti biasanya. Entah mengapa, hatiku mencelos mendengarnya. Apalagi saat rangkulan tangan dariku dilepas paksa olehnya. Kemudian dia memintaku tidur lebih dulu, sedangkan dirinya sendiri terlihat berjalan menuju mini bar yang tersedia di dalam kamar kami. Kamar hotel kami memang cukup luas. Sampai-sampai, di bagian salah satu sudut ruangan, ada fasilitas mini bar yang disediakan. Aku yang merasa malu serta rendah diri hanya bisa mengangguk tanpa suara. Berusaha tidak peduli dengan apapun yang akan dilakukan suamiku di mini bar. Naik ke atas ranjang sendirian dan menangis dalam diam. Entah di menit keberapa, akhirnya aku terbuai ke alam mimpi. Aku seperti ada di antara alam nyata dan mimpi saat merasa ada yang menyentuh tubuhku. Rasanya lembut dan membuatku semakin terbuai. Aku ingin membuka mata, tetapi kenyamanan yang kurasakan menjalari seluruh tubuh membuatku tetap terpejam. "Mas?" panggilku lirih memastikan tangan yang menyentuhku adalah seseorang yang memang seharusnya melakukan hal itu sejak dulu. Gumaman singkat dari Mas Denis membuatku tersenyum kecil. Tidak menyangka jika apa yang aku impikan akhirnya terwujud juga di malam ini. Rasa sakit karena baru pertama kali melakukan hubungan badan kuacuhkan dengan rasa senang dan percaya diri merasa dicintai suamiku. Rasanya sempurna sudah menjadi istrinya dengan penyatuan intim kami. Untuk pertama kalinya, aku merasa ciuman Mas Denis begitu menuntut dan bergairah. Semuanya terasa menyenangkan sampai kudengar Mas Denis menggumamkan nama seseorang yang membuatku membeku di saat pelepasannya menyembur rahimku dengan hangat. "Indaah…" Mas Denis merebahkan tubuhnya di sampingku dengan mata terpejam. Dengan cepat, suara dengkuran halus juga kudengar dari bibirnya. Dia langsung pulas setelah menitipkan benihnya di dalam tubuhku. Tanpa tahu ada hati yang hancur karena nama yang disebut saat pelepasannya adalah nama mendiang istrinya. Air mataku keluar seiring rasa sakit yang menjalar. Bukan hanya rasa sakit di organ intimku, tetapi juga jauh di dalam sanubariku. Hatiku seperti ditikam. Harga diriku benar-benar dibuat hancur dengan sentuhan suamiku yang ternyata masih dibayangi wanita masa lalunya. Seharusnya aku sadar sejak mencium aroma minuman keras dari napasnya saat menciumku tadi. Mas Denis tidak dalam keadaan sadar sepenuhnya saat sedang menyentuhku. Dalam bayangannya, pasti wajah dan tubuh mendiang Mbak indah lah yang terlihat. Aku baru sadar, jika sampai kapanpun, aku tidak akan pernah bisa menang dari wanita yang dicintai suamiku itu. Walaupun sudah berbeda alam, tetapi Mas Denis masih sangat mencintainya. Aku pun memilih mundur dan merelakan malam ini menjadi malam pertama sekaligus yang terakhir. Aku merasa tidak sanggup jika harus selalu bersaing dengan wanita masa lalu suamiku itu. Aku tidak mau selalu dibayang-bayangi oleh kenangan mereka berdua. Aku jadi tidak bisa tidur hingga pagi. Dengan tertatih, aku memilih untuk mengemas pakaian milikku di tas. Tekadku sudah bulat untuk menyerah di usia pernikahan kami yang masih seumur jagung. Sambil duduk termenung di tepi ranjang, aku menunggu dengan sabar sampai Mas Denis bangun di keesokan harinya. Mas Denis bangun tanpa suara dan langsung duduk dengan memegangi kepalanya. Sepertinya dia masih hangover setelah mabuk semalam. Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku pun segera mengutarakan niatku untuk berpisah darinya. Seumur hidup terlalu lama untuk dinikahi oleh seseorang yang tidak bisa mencintai diri kita sebagai seorang istri. "Ceraikan aku, Mas!"Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku?
”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok.
“Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa
Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat. “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi. Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa. “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah. Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?" Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa." Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan
[Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat. Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se
“Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu