Beranda / Romansa / Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama / Bab 3. Pulang ke Rumah Orang Tua

Share

Bab 3. Pulang ke Rumah Orang Tua

Penulis: Dian Matahati
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-31 17:33:27

“Apa?”

Mas Denis langsung menoleh ke arahku. Aku hanya melihatnya dari ekor mata, karena wajahku masih tertunduk tanpa berani menatapnya. Aku yakin, saat ini wajahku begitu sembab akibat semalaman air mata tidak kunjung mau berhenti menetes.

“Maksud kamu apa, Dik?” tanya Mas Denis masih dengan nada rendah. “Mas ada salah apa? Kamu marah karena semalam Mas menolakmu?”

Aku hanya tersenyum kecil. Ternyata Mas Denis benar-benar tidak ingat dengan kejadian semalam. Aku pun enggan menjelaskan karena rasanya seperti mengakui dengan nyata tentang tidak berharganya diriku di hadapan suami sendiri.

“Aku akan urus gugatan cerainya setelah dari sini, kalau Mas memang gak mau menjatuhkan talak padaku,” pungkasku tanpa menjawab pertanyaan Mas Denis.

Aku juga berniat bangun dari duduk untuk pergi, tetapi lenganku ditahan Mas Denis.

“Tunggu? Apa yang terjadi dengan semalam?” tanyanya kemudian.

Aku masih diam dan tidak bergeming.

“Noda merah ini?” katanya penuh keraguan.

Ternyata Mas Denis sudah menemukan sisa kegiatan panas semalam. Mungkin dia baru mulai mengingat ada kejadian apa pada malam tadi.

“Kamu gak ridha, semalam Mas sentuh?”

Aku menahan tawa sinis di depan Mas Denis. Dadaku bergemuruh dan rasanya ingin sekali meluapkan amarah di depannya. Mengungkapkan rasa sakit hati yang begitu besar atas penghinaan yang secara tidak langsung kurasakan atas kesalahannya semalam.

“Mas minta maaf kalau-”

“Perempuan mana yang akan ridha saat tubuhnya disentuh oleh seorang suami yang menyebut nama wanita lain dalam pelepasannya, Mas!”

“Maksudnya?” lirih Mas Denis lagi seakan tidak percaya dengan apa yang kukatakan.

Hidungku sudah kembang kempis menahan tangisan. Inginku lekas pergi dan menghindar. Akan tetapi pegangan tangan Mas Denis justru semakin erat dan tidak membiarkanku pergi. Dia justru makin mendekat dan membawaku dalam pelukannya.

Tangisku pecah di dadanya. Aku tidak bisa lagi menahan diri untuk tidak menangis di depannya. Mas Denis menggumamkan kata maaf yang di telingaku terdengar begitu tulus. Namun, sayangnya kata maaf itu saja tidak cukup untuk menghapus rasa sakit yang menjalar di setiap sudut hati.

“Kenapa Mas nikahin aku kalau Mas belum bisa melupakan Mbak Indah?”

“Sampai mati aku gak akan bisa lupain Indah, Dik.”

Aku berusaha melepaskan diri dari dekapan Mas Denis. Kejujuran Mas Denis yang mengatakan tidak akan bisa melupakan mendiang istrinya begitu menyakiti hatiku.

Aku tahu, sakit hatinya Mas Denis setelah kehilangan istrinya untuk selamanya pastilah tidak main-main. Namun, aku juga tidak sanggup jika harus dinikahi tanpa cinta.

“Kalau begitu, tolong lepasin aku, Mas. Aku gak bisa bertahan dalam rumah tangga yang seperti ini. Aku juga ingin dimiliki dengan rasa penuh cinta.”

Mas Denis melepaskan dekapannya. Tuntutan atas cintanya untukku seperti mustahil untuk dikabulkan. Mungkin itu alasannya sehingga dia tidak lagi menahanku.

Aku pun bangkit dan berjalan sambil mengusap air mataku menuju tas ransel yang berisi pakaianku saja. Keterdiaman Mas Denis seakan sebuah validasi yang membiarkan aku pergi. Bukan hanya dari tempat ini, tetapi juga dari hidupnya setelah ini.

“Aku gak pulang ke rumahmu, Mas. Kamu tunggu saja surat gugatan cerai dari Pengadilan Agama. Assalamualaikum.”

Aku meninggalkan hotel sekaligus resort itu dengan hati yang patah. Harapanku untuk mempunyai keluarga bahagia bersama Mas Denis pupus sudah. Dengan terpaksa, aku harus memberanikan diri untuk kembali ke rumah kedua orang tuaku dengan membawa rasa penyesalan dan juga rasa malu.

Sebenarnya aku masih takut jika kepulanganku ke rumah, dan berita akan niatku untuk menggugat cerai Mas Denis akan melukai hati kedua orang tuaku. Hanya saja, aku tidak mau terjebak dalam pernikahan tanpa cinta yang membuat hubungan kami bagaikan racun yang mematikan jiwaku perlahan.

“Assalamualaikum,” salamku begitu tiba di rumah kedua orang tuaku.

“Waalaikumsalam warahmatullah. Lho nduk, kok sendiri? Nak Denis mana? Gak ikut ke rumah?” tanya ibuku begitu melihat aku datang sendirian.

“Mboten, Bu. Dila pulang sendiri,” jawabku dengan santun.

Ibuku langsung menatap penuh curiga. Beliau memang perempuan yang sangat peka. Dia pasti sudah bisa menebak jika terjadi sesuatu sampai aku pulang ke rumah tanpa ditemani atau bahkan diantar Mas Denis.

“Ada masalah apa, Nduk?” tanya ibuku dengan penuh perhatian.

Beliau juga menuntunku untuk duduk di ruang tamu. Ternyata benar, wanita setelah menikah, ketika datang ke rumah orang tuanya, akan terasa seperti tamu. Sedangkan saat datang ke rumah mertua, akan merasa seperti orang lain. Sekalipun beliau begitu baik.

“Aku …, aku mau gugat cerai Mas Denis, Bu,” kataku takut-takut.

“Astaghfirullahalazim…”

Bukan ibuku yang menyahut, melainkan Bapak yang baru datang dari dalam.

“Kamu ngomong apa sih, Nduk? Kenapa tiba-tiba punya pikiran negatif seperti itu. Nak Denis ada salah apa? Kalau ada masalah itu, dibicarakan dulu. Jangan asal minta cerai apalagi mau melayangkan gugatan cerai. Kalian aja nikah baru berapa bulan, lho.”

Bapakku langsung berkomentar panjang lebar menolak keinginanku tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku tahu, perceraian adalah hal tabu untuk keluarga besar dari kedua orang tuaku. Sebisa mungkin, tidak ada kata perceraian di keluarga kami. Hanya saja, aku tidak yakin bisa bertahan dengan situasi yang terjadi antara aku dan Mas Denis saat ini.

“Sudah, Pak. Jangan dimarahin dulu Dila-nya. Kita dengarkan dulu alasan dan penjelasan Dila,” sahut ibuku menengahi.

Bersamaan dengan itu, adikku Risa juga ikut bergabung dengan kami. Aku pun menceritakan semuanya tanpa ada yang ditutup-tutupi di depan kedua orang tuaku. Sejak kecil, kami memang dididik untuk bermusyawarah keluarga jika terjadi masalah.

“Bersabarlah sedikit, Nduk. Siapa tau Nak Denis hanya butuh waktu saja. Kehilangan karena kematian itu luka batin yang belum ada penawarnya. Kamu maklumi saja jika Nak Denis tidak semudah itu untuk melupakan mendiang istrinya. Yang penting, kan, selama ini Nak Denis sudah menjadi suami yang baik buat kamu. Kamu gak bisa gugat cerai Nak Denis jika alasannya tidak syar’i, Nduk.”

“Tapi Mas Denis menikahi Dila tanpa cinta, Pak. Dila sakit hati. Dila tersiksa karena harus mencintai sebelah tangan. Dila juga ingin dicintai sama suami Dila sendiri.”

“Betul, Dila. Bapak paham. Percaya sama Bapak, cinta bisa tumbuh setelah terbiasa. Kamu hanya perlu lebih banyak bersabar sampai cinta itu tumbuh di hati suamimu. Niatkan menikah untuk ibadah, Nak. Maka kamu akan punya kesabaran lebih untuk menjemput berkah dan keridhaan-Nya.”

Aku menangis mendengar nasehat Bapak. Mungkin benar, saat ini aku masih kurang sabar dalam menghadapi Mas Denis. Jika memang Mas Denis mempunyai niat untuk berusaha mencintaiku, mungkin aku bisa berpikir ulang untuk melayangkan gugatan.

Akan tetapi, melihat respon dari Mas Denis sebelum aku pergi tadi, kenapa rasanya dia tidak punya niatan sedikitpun untuk membangun cintanya untukku?

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 60. Ending

    Aku membuka mata, tetapi yang kulihat bukanlah ruangan rumah sakit. Bukan pula wajah Mas Denis atau siapa pun dari keluargaku. Sebaliknya, aku berada di sebuah hamparan hijau yang membentang luas. Rumput-rumputnya berkilauan seperti butiran embun di bawah sinar matahari pagi, dan udara di sekitarku terasa sejuk. Semuanya begitu indah, tapi anehnya... Begitu sunyi. Tidak ada suara burung, tidak ada suara angin yang berbisik. Hanya kesunyian sempurna yang membuatku merasa asing dan bingung.“Aku dimana?” gumamku ya g terasa seperti bergema kembali ke gendang telingaku sendiri. Aku berdiri perlahan, memandangi sekeliling, mencoba memahami di mana aku berada. Perasaan ganjil merayapi hatiku. Rasanya seperti mimpi, tapi sekaligus terasa nyata. Apakah aku sedang bermimpi? Atau... apa ini tempat lain? Aku memegang perutku yang kini terasa kosong, dan jantungku mencelos. Bayiku. Di mana bayiku? 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 59. Kontraksi

    ”Dik, aku ada kejutan buat kamu,” ucap Mas Denis sambil mengecup pipiku dari belakang ketika dia baru selesai mandi sepulang kerja sore ini.Aku sengaja menunggunya mandi dengan duduk di sofa dalam kamar yang biasa digunakan Mas Denis mengecek pekerjaan sebelum tidur. Karena sejak kehamilanku masuk trimester terakhir, aku dilarang melakukan pekerjaan rumah apapun termasuk menyiapkan makan untuk suamiku sendiri.“Kejutan apa itu, Mas?” tanyaku dengan senyum lebar. Perutku semakin membesar seiring dengan usia kandungan yang hampir mencapai sembilan bulan. Setiap harinya, Mas Denis semakin manis dan perhatian, seolah-olah aku ini porselen rapuh yang harus dijaga dengan hati-hati. “Nih,” ujar Mas Denis sambil memberikan sebuah amplop putih panjang kepadaku. Saat aku buka amplop tersebut, ternyata surat keterangan cuti yang diambil Mas Denis selama 100 hari kedepan dimulai dari besok. 

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 58. Kau Rumah

    “Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis, Mbak. Abi biar Risa yang nunggu. Katanya setelah kantong infusnya habis, sudah boleh pulang kok,” ujar Risa setelah Abi setuju diberikan obat lewat cairan infus. Aku memang merasa letih dan kurang istirahat selama seminggu ini. Namun, aku juga tidak tega meninggalkan Risa menunggu Abi sendirian di rumah sakit. “Dik, kita pulang aja, ya? Kamu kelihatan udah capek banget. Kasian si kecil di perutmu juga. Butuh istirahat.” “Tapi kasihan Risa, Mas.”“Aku gak apa-apa, Mbak. Serius. Mbak Dila pulang duluan aja sama Mas Denis. Aku juga ada yang perlu dibicarakan berdua sama Abi,” ujar Risa sedikit memaksa. Kemudian Abi berdehem sedikit keras. Seperti memberi kode jika aku memang dimohon untuk pulang supaya mereka punya kesempatan untuk berduaan.“Kita pulang, ya?” ajak Mas Denis lagi. Aku pun menghela napas pa

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 57. Phobia Jarum Suntik

    Aku berdiri mematung, tubuhku gemetar melihat kejadian itu. Mobil berhenti dengan posisi miring, sopirnya langsung keluar dan tampak syok. Mas Denis berlari menghampiri Abi yang terkapar di jalan, sementara aku menahan Risa agar tidak mendekat terlalu cepat.  “Kamu baik-baik saja, kan?” Mas Denis berusaha memeriksa kondisi Abi.  Abi mengerang kesakitan, tapi ia masih sadar. Lutut dan sikunya berdarah, dan ia meringis menahan nyeri di bahunya. Meski begitu, ia masih sempat tersenyum tipis sambil menoleh ke arah Risa.  “Untung... Kamu selamat,” gumam Abi dengan napas terengah.  Risa terisak, wajahnya pucat pasi. "Bodoh! Kenapa kamu harus melakukan itu? Kenapa kamu mengorbankan dirimu sendiri buat keselamatanku?"  Abi tertawa kecil meski kesakitan. "Karena kamu yang terpenting buatku, Risa."  Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku—perasaan campur aduk antara lega, syok, dan

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 56. Rekonsiliasi di Villa

    [Mas, aku ada di Villa Gading Mas, jika kalian masih mau menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku. Besok, temui aku di villa. Ajak Risa dan Abi juga.]Akhirnya aku memutuskan untuk memberikan kesempatan kepada mereka bertiga untuk menjelaskan. Mengirimkan sebuah pesan berikut share lokasi yang aku kirim setelah pesan tersebut. Sudah seminggu aku berada di villa ini. Awalnya kupikir waktu sendirian akan membuatku lebih tenang dan mampu berpikir dengan jernih. Tapi kenyataannya, ketenangan malah memperburuk pikiranku. Aku terus memikirkan apa yang terjadi antara Mas Denis, Risa, dan Abi. Aku ingin percaya pada Mas Denis dan Risa, tapi hatiku masih terasa berat.  Selama di sini, aku tetap memberi kabar pada Mas Denis agar dia tidak terlalu khawatir, meskipun selalu kubilang dengan tegas agar tidak mencariku. Mas Denis menurut. Dia mengirim pesan setiap hari untuk memastikan aku baik-baik saja. Dan se

  • Gugatan Cerai Setelah Malam Pertama    Bab 55. Hati yang Bimbang

    “Maaf, Bu. Jadinya mau diantar kemana, ya, Bu?” tanya sopir taksi yang sudah sangat sabar denganku. Hampir setengah jam aku membiarkannya berjalan tanpa tujuan. Menungguku lebih tenang setelah meluapkan segala emosi yang tengah menguasai. “Tolong diantar ke alamat ini saja, Pak,” jawabku sambil menunjukkan ponselku berupa sebuah villa di daerah dataran tinggi yang baru saja aku reservasi secara online.“Baik, Bu.” Setelah mengetikkan alamat di layar maps kendaraannya, sopir taksi itu mengembalikan ponselku yang tidak lama kemudian terdengar berdering.Sejak tadi memang ada banyak yang mencoba menghubungi. Dari Mas Denis, Risa, hingga mamanya Mas Denis. Aku yakin keluargaku juga keluarga Mas Denis saat ini sedang mengkhawatirkan kepergian diriku. Aku sengaja tidak menjawab satupun dari panggilan mereka karena belum siap untuk berbicara dengan siapapun. Meskipun begitu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status