Happy Reading*****"Sebaiknya, kita pulang saja," kata Fikri. Kedua kaki Mutia rasanya begitu lemah seperti tak bertulang. Perkataan atasannya semakin membuatnya yakin jika keadaan Bagas tidak baik-baik saja."Tapi, Om. Kita belum menyelesaikan proses administrasi kepulangan Mama," sahut si kecil."Ya, sudah. Biar Om yang mengurus. Kamu sama mamamu tunggu di sini saja. Mana surat keterangan yang diberikan untuk mengurus kepulangan mamamu," pinta Fikri.Si kecil menyodorkan surat yang diberikan perawat tadi pada sahabat papanya. Mutia sampai saat ini masih bungkam. Pikirannya, hanya tertuju pada keadaan Bagas padahal raganya masih di rumah sakit. Berbagai macam pikiran buruk menghampiri bahkan hal terburuk yang sedang dipikirkannya saat ini adalah kematian."Bagaimana mungkin kamu meninggalkanku begitu saja, Mas. Kamu belum aku maafkan, tapi kamu sudah berani meninggalkanku seperti ini," gumam Mutia."Mama ngomong apa, sih?" kata Fardan."Mama sangat takut kalau kecelakaan itu sudah
Happy Reading*****Sambungan terputus dan hal itu semakin membuat Mutia panik. Mencoba menghubungi ponsel Arham, tetapi tidak ada jawaban sama sekali."Sayang," teriak Mutia memanggil putranya melalui ponsel. "Apa kamu di mana?""Bentar lagi sampai di ruang inap. Kenapa, Ma?" jawab Fardan, setengah berteriak juga. "Sayang, papamu." Suara Mutia bergetar hebat. Entah apa yang dipikirkan perempuan tersebut, dia sangat panik ketika mendengar suara sirine tadi."Tunggu, Ma," ucap Fardan. Beberapa menit tidak ada jawaban. Rupanya, Mutia sedang mencoba menghubungi Arham kembali, tetapi panggilannya tetap tidak terhubung. Si ibu guru pun beralih menghubungi ponsel Bagas. Namun, semua itu percuma, ponsel milik sang kekasih juga tidak aktif. Mutia makin panik, bingung harus berbuat apalagi untuk mengetahui keadaan Bagas."Ma, ada apa?" tanya si kecil yang baru membuka pintu ruang inap Mutia."Sayang, papamu." Tangis Mutia pecah. Fardan dengan cepat melangkah mendekati mamanya. "Mama tenang
Happy Reading****"Kenapa? Kenyataan memang gitu, kok," sahut Novita santai, "Nggak perlu membohongi diri sendiri, Mut.""Bener, Beb," tambah Alfian."Maafin Papa, dong, Ma. Biar kita bisa ngumpul lagi kayak dulu." Si kecil pun ikut-ikutan memprovokasi mamanya. Mutia terdiam, sementara Bagas terus tersenyum sambil menyuapi sang kekasih.Beberapa menit kemudian setelah semua makanan Mutia habis, pasangan yang sudah lama menjadi sahabat terdekat si ibu guru, pamit. Novita dan Alfian tidak bisa menemani sahabatnya di rumah sakit. "Terima kasih sudah datang menjenguk Mutia," ucap Bagas dengan wajah setulus mungkin."Duh, kayak sama siapa saja, Pak. Kami ini bukan orang lain, kok," kata Alfian."Benar, Pak. Besok pagi, kalau Bapak sibuk biar saya yang menjaga Mutia," tambah Novita."Nggak usah, Tan. Aku bisa jagain Mama sendirian, kok," sela si kecil. "Kalian ini kayak aku yang sakit parah saja. Aku ini nggak sakit sebenarnya, cuma Pak Bagas saja yang sedikit lebay. Harusnya, langsung
Happy Reading*****"Memangnya, kenapa kalau kami di sini?" tanya Novita. "Kamu nggak suka kalau kami menjenguk?""Dia maunya berduaan terus sama Pak Bagas, Beb," tambah Alfian.Bagas tersenyum, sedikit memundurkan langkah, memberi kesempatan pada pasangan tersebut untuk melihat keadaan sang kekasih."Kalian ngobrol saja dulu. Aku mau ke bagian administrasi, mendaftar rawat inap untuknya," ujar Bagas."Pa, aku ikut," kata Fardan. Si kecil menaruh kresek yang dipegangnya di bawah ranjang sang mama. "Tante, Om, aku tinggal dulu, ya.""Oh, iya, Boy," sahut Alfian dan Novita bersamaan."Jadi, siapa yang ngasih tahu kalian kalau aku ada di sini?" tanya Mutia mengulang pertanyaan sebelumnya.Novita dan Alfian saling menatap, lalu keduanya tersenyum penuh makna."Menurutmu siapa yang mengabarkan keadaanmu pada kami?" tanya Novita sambil memainkan alisnya naik turun.Kelopak mata Mutia menyipit, keningnya berkerut dan tatapannya lurus ke depan. "Fardan, mungkin?"Alfian menggelengkan kepalany
Happy Reading*****"Kalau keputusannya rawat inap, saya akan menyiapkan kamar segera. Bapak mau ibunya di kamar kelas berapa?" tanya sang perawat pada Bagas. Lelaki yang masih mengenakan pakaian kerjanya itu menoleh pada sang perawat yang bertanya tadi. "Siapkan kamar paviliun, Sus," pinta Bagas."Pak, nggak usah lebay. Kamar kelas tiga saja sudah cukup," sahut Mutia menanggapi permintaan lelaki di sampingnya."Kenapa, sih. Mas, mau memberikan perawatan terbaik untukmu, Sayang." Tangan Bagas terulur mengelus puncak kepala Mutia."Kalau begitu, Bapak silakan kembali mendaftar di bagian rawat inap," kata si perawat dengan senyum yang tidak bisa ditahan. Bagaimana mungkin sang perawat tidak tertawa melihat tingkah keduanya yang seperti ABG. Di saat si cowok ingin bermesraan, si cewek malah merajuk.Sepeninggal sang perawat, Mutia menatap tajam ke arah Bagas. Kini, tinggal mereka berdua yang ada di bilik tersebut. Fardan sedang keluar untuk membeli minuman dan makanan untuk mereka sem
Happy Reading******"Cepat ambil handuk dan basahi dengan air, Boy. Taruh di atas yang mengalami kebocoran supaya apinya padam dan tidak menyebar," perintah Bagas pada putranya. Sementara itu, dia membopong Mutia ke kamar.Fardan menuruti permintaan Bagas. Segera mencari handuk yang ada di kamar mandi dan membasahi dengan air. Tanpa pikir panjang, anak itu menempelkannya pada selang kompor yang memercikkan api. Setelah selesai, dia mematikan aliran gas yang menghubungkan ke tabung. Beruntung, peristiwa itu tidak menyebabkan tabung meledak. Jadi, Fardan bisa bernapas lega karena mamanya terselamatkan. Melangkahkan kakinya ke kamar untuk melihat keadaan Mutia, Fardan melihat ketakutan di mata sang papa."Boy, coba kamu hubungi Om Satya, minta salah satu anak buahnya untuk memeriksa keadaan mamamu," kata Bagas. "Lho, Papa belum nelpon dokter?""Papa sudah menyuruh Om Arham untuk memanggil dokter ke sini, tapi sepertinya membutuhkan waktu lama. Apa kita bawa mamamu langsung ke rumah s