Happy Reading*****Mutia dan Bagas menoleh ke sumber suara secara bersamaan, demikian juga Fardan. Pria kecil itu berjalan dengan cepat mendekati orang yang bertanya tadi dan menginjak kakinya sekuat tenaga."Aduh," adu seseorang yang bertanya tadi. Dia tak lain adalah Nazar."Kapok," kata Fardan keras. "Lagian ngapain Om tanya kayak gitu sama Mama dan Papa?""Om, kan, nggak tahu kapan mereka nikahnya?" kata Nazar."Ngapain kamu ngurus urusan kami? Urus saja urusanmu dengan Gladys," bentak Bagas.Mutia cuma diam, bingung juga harus berkata apa. Bola matanya berputar, tanda jika dia malas berinteraksi dengan lelaki di depannya."Aku nggak ngurus, tapi kalian berdua berkata nggak sesuai fakta." Nazar menatap Mutia lekat padahal orang yang dituju dari perkataannya adalah Bagas."Wah, kamu sepertinya ketinggalan info," sahut Bagas. Dia sengaja menarik Mutia ke pelukannya walau tatapan mata si perempuan marah."Kapan kalian nikah?" tanya Nazar penuh selidik."Rahasia," jawab Bagas. Mengaj
Happy Reading*****Sebagai seorang anak, sigap Fardan merangkul Mutia walau tingginya masih jauh di atas mamanya. "Kata siapa Mama belum menikah?" tanya Fardan dengan tatapan tajam. Jika sudah menyangkut orang yang sangat dia sayangi, si kecil akan bertindak persis seperti papanya."Lho, bukannya Bu Mutia baru berencana menikah tahun ini?" sahut perempuan yang berbaju batik tadi."Maaf, Bu. Saya permisi duluan," ucap Mutia sambil menggandeng tangan Fardan. "Hei, kok, pergi?" kata si ibu-ibu, raut mukanya terlihat sekali jika dia masih sangat penasaran dengan Mutia dan Fardan. "Wah, jangan-jangan Bu Mutia hamil di luar nikah, ya?" tambah yang lain membuat Fardan menghentikan langkah dan berbalik. Menoleh pada dua ibu-ibu yang kelihatannya sangat suka sekali bergosip. "Nggak usah sembarangan ngomong, Bu. Saya punya Papa yang siap kapan saja melindungi kami berdua," kata si kecil.Mutia mendelik pada putranya. Dia mengisyaratkan agar Fardan diam dengan cara menggelengkan kepala. Nam
Happy Reading*****"Banyak sekali perbedaan antara kami. Lagian, aku ragu jika dia benar-benar mencintaiku sepenuh hatinya."Novita menegakkan tubuh sahabatnya, menatapnya dengan tajam. "Kamu ini kenapa sebenarnya, sih. Kayak kerasukan jin aja. Kamu nggak lihat gimana cara Pak Bagas melindungimu selama ini. Bisa-bisanya masih ngomong kayak gitu.""Aku cuma mengatakan fakta, Nov. Beberapa minggu ini, sebelum semua kebenaraqn terungkap, dia lebih mempercayai Elvina," kata Mutia lesu."Kayaknya, ada aroma-aroma kecemburuan, nih." Novita mengerlingkan mata."Nggak, ya,' sahut Mutia cepat, "Mas Bagas memang lebih menjaga perasaanku, tapi dia nggak pernah bisa menolak apa yang diinginkan Elvina. Andai dia lebih tegas dan lebih teliti, pasti kejadian pemalsuan tes DNA itu nggak akan terjadi. Dia juga nggak begitu percaya padaku saat menuduih aku berhubungan dengan Pak Surya.""Dih, apa-apaan ngomong gitu." Novita menyenggol sahabatnya. "Dia bukannya nggak percaya, tapi pak Bagas nggak mau k
Happy Reading*****"Sayang, Mas mohon jangan seperti ini," ucap Bagas. "Tia, bukannya aku mau ikut campur," sahut Fikri yang kini sudah berdiri di samping sahabatnya. "Waktu itu, Bagas nggak tahu harus berbuat apa. Saat dia menelpon kami dan memberitahu bahwa dirinya sedang dijebak oleh Nazar. Satya sudah berusaha untuk menolong dengan mendatanginya di hotel tersebut. Tapi, semua terjadi di luar kendali. Ketika kami datang, dia sudah masuk kamar hotel denganmu.""Jadi, sebenarnya Pak Fikri tahu kejadian malam itu?" tanya Mutia dengan suara tinggi. "Sebagai sahabatnya, kamu semua tahu. Tapi, kami terlambat menyelamatkan dirinya.""Fik," panggil Bagas disertai gelengan kepala kuat."Dia juga harus tahu bagaimana kondisimu malam itu, Gas," kata Fikri. "Sudahlah, jangan bahas masalah malam itu," ucap Bagas. Dia pun menoleh pada Mutia. "Sayang, maafkan Mas jika selama ini kamu sudah banyak menderita. Sekarang, katakan bagaimana Mas harus menebus semua itu?""Permintaanku cuma satu. Buk
Happy Reading*****Tawa Fikri meledak ketika melihat ekspresi Bagas yang lucu. Ingin sekali mengatakan kata-kata ejekan pada sahabatnya itu. Namun, dia urungkan karena Mutia sudah membuka suara lagi."Kenapa teriak-teriak? Memangnya ini hutan?" sahut Mutia. Rupanya, perempuan itu benar-benar geram melihat Bagas yang selalu semena-mena. "Sayang, jangan gitu, dong. Aku lapar, lho. Dari pagi belum kemasukan makanan sedikitpun," kata Bagas berusaha merayu sang kekasih."Terus, aku suruh nyuapi Bapak, gitu?" Mutia melipat kedua tangannya, angkuh sambil membuang muka. "Tidak begitu, Sayang." Bagas memegang kedua pundak Mutia, berusaha meminta perempuan itu agar mau duduk di sofa dan berbicara dengan tenang."Nggak usah pengang-pegang," bentak Mutia. Fikri kembali mengeluarkan tawanya. Kali ini, cukup lirih hingga dua insan yang sedang bermusuhan itu tidak mendengar tawanya. Sang kepala sekolah bahkan merekam momen keduanya dengan melakukan panggilan video pada para sahabat Bagas.Arham
Happy Reading*****Mutia mengikuti arah pandang si kurir. "Dih, bisanya ngaku-ngaku," ucapnya. Si ibu guru mengambil buket mawar dari tangan muridnya, lalu menyerahkannya kembali pada si kurir. "Tolong katakan sama beliau, Pak. Saya nggak butuh buket," kata Mutia.Si kurir, melongo ketika Mutia berkata demikian. "Ibu saja yang ngembalikan langsung. Saya nggak berani," ucapnya. Menyodorkan kembali buket yang dibawanya ke hadapan Mutia. Setelahnya, si kurir berbalik dan melangkah pergi dengan cepat. "Hei, Pak. Tunggu," teriak Mutia. Namun, si kurir tak lagi mendengarkan semua teriakan si ibu guru.Mutia mengembuskan napas panjang. Berbalik dan saat itu juga suara teriakan para muridnya terdengar."Cie ... cie. Bu Mut dapat buket dari ayangnya," celetuk salah satu dari muridnya yang terkenal nakal."Diam," kata Mutia sedikit keras. Semua muridnya terdiam karena baru kali ini perempuan itu bernada tinggi. Biasanya si ibu guru tidak pernah demikian walau anak didiknya lumayan bandel."