Happy Reading*****"Jelaskan!" bentak Anjani. Arham melirik Fardan dan meminta si kecil diam. Tidak boleh menyela apa yang akan dia ceritakan pada Anjani karena tidak ingin ada kesalahpahaman lagi di antara mereka. Selama Arham bercerita tentang Mutia dan Surya, Anjani berusaha mengumpulkan kepingan memori tentang perempuan yang sedang dekat dengan anaknya itu. Sepuluh tahun adalah waktu yang cukup lama bagi Anjani untuk mengingat semua kejadian itu. Suaminya mungkin memang lelaki brengsek yang suka mengkoleksi perempuan, tetapi Anjani yakin jika Surya bukanlah seorang pedofil. Lelaki itu tidak pernah memiliki hubungan dengan wanita yang jauh lebih muda apalagi seumuran Bagas. "Tante nggak percaya jika ommu itu pernah punya hubungan spesial dengan Mutia. Dia nggak suka memelihara sugar baby," kata Anjani."Coba Tante ingat-ingat. Setelah kejadian dengan ibunya Nazar, bukankah Tante sempat menjalani hipnoterapi untuk memulihkan keadaan," kata Arham. Dia juga penasaran, kemungkinan
Happy Reading*****"Aku rasa, itu satu-satu jalan," sahut Arham dengan suara tenang.Bagas meremas rambutnya, pikirannya buntu. Membayangkan tubuh Mutia disentuh oleh Surya, darahnya mendidih. "Sialan," ucapnya keras."Gas, tenang. Kita cuma mengkonfirmasi kebenarannya saja. Sepertinya, ada banyak kejanggalan antara Mutia dan Om Surya.""Aku akan mencoba menanyakan masalah ini dengan Papa. Lalu, apa yang harus aku lakukan jika Papa benar-benar memiliki kedetakan tak biasa dengan Mutia?""Tanya pada hatimu sendiri. Hubungan itu berlangsung di masa lalu, mungkin juga cuma kekhilafan semata. Bukankah informasi yang kita dapatkan Mutia cukup bersih, dua tahun kemudian, hanya dengan Nazar, Mutia menjalin hubungan dekat.""Ya, sudah. Aku tutup telponnya," kata Bagas. Baru saja menyelesaikan panggilan dengan Bagas, ponsel Arham kembali berdering. Kali ini, panggilan dari si kecil. Lelaki itu sampai harus mengelus dada dengan tingkah Bagas dan Fardan."Dasar, like father like son. Dua-duany
Happy Reading*****Fardan mengerutkan kening, tatapannya intens, menguliti Mutia yang terlihat kebingungan dengan pertanyaannya tadi. "Mana mungkin Mama punya hubungan dekat dengan Eyang jika dia nggak tahu siapa orang yang aku panggil Eyang," kata Fardan dalam hati."Sayang. maksudmu apa sih tanya gitu sama Mama?" Mutia menatap balik si kecil penuh selidik. "Mama kenal sama Eyang Kakung, nggak?"Diam sebentar, Mutia mencoba memikirkan sesuatu. "Eyang Kakung yang kamu maksud itu adalah Pak Surya Syuhada Amarta?"Fardan dengan cepat menganggukkan kepalanya. "Jadi apakah Mama memiliki hubungan dekat dengan Eyang?"Mutia cuma bisa menggelengkan kepala karena memang tidak begitu mengenal sosok pemimpin kota yang disebutkan Fardan. Walau mengenal namanya, tetapi ibu guru itu tidak pernah bertemu secara langsung dengannya.Fardan bernapas lega, tetapi dia akan menyelidiki sendiri kebenaran cerita yang disampaikan Arham tadi. "Lupakan saja. Kita makan, Ma. Aku lapar banget. Seharian di se
Happy Reading*****Mutia benar-benar terdiam sepanjang sisa perjalan mereka, membiarkan Bagas berbincang dengan seseorang di ponselnya."Sialan, aku tidak mau tahu. Kamu harus mencari kebenaran itu sedetail mungkin, jangan mengandalkan asumsi-asumsi dari pemikiranmu sendiri," kata Bagas yang membuat Mutia semakin terdiam. Perempuan itu sangat yakin ada masalah penting di kantor sehingga membuat Bagas berbuat kasar dan membentaknya seperti tadi. "Biarlah nanti, jika semua sudah tenang dan kondusif. Aku akan bertanya padanya lagi," kata Mutia dalam hati.Beberapa menit kemudian, mereka sampai di halaman rumah Bagas yang terbilang sederhana untuk ukuran yang memiliki kekayaan dan pengaruh seperti dirinya. Setelah memarkirkan kendaraannya di bagasi, lelaki itu keluar tanpa menghiraukan keberadaan Mutia lagi bahkan Bagas langsung mengunci pintu kamarnya membuat perempuan yang menghibur hatinya itu tidak bisa masuk.Memutuskan kembali ke kamarnya sendiri, Mutia berpikir untuk membuatkan
Happy Reading*****"Kamu yakin dengan pemeriksaanmu itu, Sat?""Apa kamu meragukan apa yang sudah aku lakukan?" tanya Satya menatap tajam lelaki yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama."Bukan begitu, Sat. Aku cuma memastikan saja. Namanya juga orang bekerja, error pasti ada di dalamnya.""Kalau begitu, kamu meragukan gelar ahli yang aku dapatkan." Satya meletakkan bolpoin yang dia pegang cukup keras ke meja. "Pliss. Jangan marah. Aku tidak bermaksud mengejekmu. Tapi, neneknya Mutia juga tidak mungkin berbohong, kan?"Keduanya sama-sama terdiam setelah Bagas mengatakan hal demikian. Saling introspeksi diri, terhadap ucapan emosional masing-masing tadi. "Aku sarankan, cari orang untuk menyelidiki masalah ini dengan serius jika kamu masih penasaran. Tapi, jika kamu bisa menerima keadaan Mutia dengan lapang, nggak masalah. Kalian bisa mulai dari nol.""Aku cuma khawatir. Setelah nanti bersamanya, ada lelaki lain yang hadir dan mengakui semua hal itu. Sama seperti kekhawatiranku ketik
Happy Reading*****Sesampainya di sekolah tempat Mutia mengajar, Bagas langsung ke ruangan Fikri. Membawa makanan yang sudah dia pesan di sebuah restoran favoritnya. "Hadeh, sudah kalau ngomong sama orang bucin. Di bilang aku mau keluar, tetep aja ngeyel datang ke sini," kata Fikri yang sudah bersiap meninggalkan ruangannya, tetapi urung karena kedatangan Bagas."Kamu boleh pergi, tapi panggil Mutia dulu ke sini," pinta Bagas dengan senyum bahagia karena akan segera bertemu dengan kekasih barunya."Panggil sendiri sana. Aku sudah telat, tuan putriku pasti marah-marah," kata Fikri. Berjalan menjauhi sahabatnya."Pinjem telpon kantormu, ya. Kalau kamu yang manggil, dia pasti cepet datang.""Terserah asal jangan berbuat mesum di ruanganku saja," peringat sang kepala sekolah."Dih, kamu kira aku lelaki hidung belang yang tidak tahu tempat saat berhubungan intim."Tawa Fikri menggema mendengar sahutan Bagas. Kurang dari dua menit kemudian, Mutia membuka pintu ruangan sang kepala sekolah