Happy Reading*****Elvina terdiam, memundurkan langkahnya. Takut juga ketika wajah Bagas dan Fardan marah seperti itu."Aku nggak akan mengakui perempuan mana pun sebagai Mama kecuali Mama Tia," teriak si kecil, "pergi!"Elvina diam mematung, sementara Mutia dan Jannah sudah melanjutkan langkah. Keduanya tidak ingin mendengar perdebatan antara keluarga tersebut. Lebih baik segera pulang ke kontrakkan untuk beristirahat.Bagas menatap Elvina nyalang. "Kamu tidak mendengar apa yang diminta Fardan? Anakmu saja tidak menginginkan kehadiranmu di sisinya. Lalu, mana mungkin aku akan mempertahankanmu di sini? Pergi, cari hotel sana," usirnya."Bi, tolong ambilkan barang-barang orang ini yang ada masih ada di rumah," perintah si kecil pada perempuan paruh baya yang sudah menjadi pembantu papanya selama ini."Iya, Mas," sahut Bi Siti, patuh. Perempuan paruh baya itu pergi ke kamar yang akan ditempati Elvina, sedangkan sang model malah mendekati putranya. "Apa kamu tega membiarkan Mama tidur
Happy Reading*****Elvina dengan cepat menggoyangkan kedua tangannya. "Aku nggak melakukan apa pun, Pak," katanya."Bohong," sahut Bi Siti. "Kalau bukan Ibu yang memprovokasi, Mbak Tia nggak bakalan pergi begitu saja."Bagas menatap Elvina, nyalang. "Apa benar begitu?!" bentaknya, "Siapa kamu? Berani mengatur semua urusan rumah ini.""Mas," panggil Mutia. Dia sangat takut melihat kemarahan Bagas. Sama seperti pertama kali ketika lelaki itu mengetahui bahwa dirinya sudah tidak perawan ketika melakukan hubungan intim pertama kali dengan Bagas.Mutia mengusap lengan sang kekasih lembut, kepalanya juga menggeleng. Tanda jika lelaki itu tidak boleh meneruskan kemarahannya. "Aku memang sudah seharusnya pergi, Mas. Nyonya rumah yang sesungguhnya sudah kembali. Nggak mungkin aku tetap berada di rumah ini," kata Mutia, berusaha tidak menyalahkan siapa pun. Toh, hubungannya dengan Bagas, hanyalah sebuah kesepakatan. "Sayang, jangan seperti ini. Dia cuma numpang semalam saja, kok. Kalau mema
Happy Reading***Mutia membulatkan mata demikian juga dengan Jannah. "Jadi, begitu?" tanya Mutia."Kamu siapanya Mas Bagas, sih?" tanya Elvina sinis. Tatapannya begitu mengintimidasi si ibu guru.Mutia mulai tak tahan ditatap seperti itu. Dalam hati, dia mengutuk kebodohannya sendiri yang begitu mudah percaya dengan semua ucapan dan rayuan Bagas. "Siapa kami, tanyakan langsung pada pemilik rumah ini," sahut Jannah. Perempuan sepuh itu mulai jengah dengan sikap Bagas yang gampang berubah-ubah padahal jelas-jelas semalam tidak akan berhubungan dengan perempuan yang pernah melahirkan Fardan. Namun, nyatanya perempuan itu malah tinggal di rumahnya. Elvina mencebik, menatap perempuan sepuh di samping Mutia dengan jijik. "Maaf, saya nggak ngomong dengan Anda. Jadi, sebaiknya Anda diam saja," katanya ketus.Mutia sedikit emosi mendengar hinaan Elvina. "Maaf, jika memang perkataan nenekku menyinggung Anda. Apa yang dikatakan beliau memang benar. Siapa kami, sebaiknya Anda bertanya langsun
Happy Reading*****"Om, kenapa kaget gitu, sih?" kata Arham. Dia menatap lelaki di depannya yang berpakaian serba hitam dengan tatapan penuh selidik. "Apa Om Surya menyuruh Om memata-matai Bagas dan Mutia?"Lelaki yang tak lain adalah ajudan Surya, langsung menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang menyeruh saya, Mas. Saya cuma kebetulan lewat dan melihat Mas Fardan masuk ruangan itu. Jadi, sedikit penasaran," alibinya.Arham menggerakkan bola matanya, dia kurang percaya dengan ucapan ajudannya Surya tersebut. Bukan sifat lelaki itu, kepo. Pasti ada tugas tersembunyi yang diperintahkan atasannya. Sang ajudan bukan orang yang kekurangan pekerjaan sehingga mengurusi masalah kecil ddan remeh seperti ini."Benarkah?""Benar, Mas. Untuk apa saya bohong." Sang ajudan bersiap untuk meninggalkan tempatnya."Kali ini, saya akan percaya dengan perkataan Om." "Saya permisi dulu, Mas," kata sang ajudan. Berjalaan dengan cepat meninggalkan tempat itu.Niat semula untuk pulang, Arham urungkan. Dia
Happy Reading*****Tubuh Mutia menegang, tatapannya lurus menembus jantung lelaki di depannya. Berbagai pikirin aneh dan tak karuan bermain-main di otaknya. Rasanya, si ibu guru belum bisa menerima kehadiran perempuan yang sudah melahirkan Fardan itu. Dia masih sangat membutuhkan Bagas dan segala kekuasaannya untuk mencari keberadaan anak yang telah dilahirkannya."Apa Fardan sudah tahu masalah ini?" tanya Mutia setelah beberapa saat otaknya berputar."Mas rasa, dia sudah tahu karena sejak kemarin perempuan itu mulai mendekati Fardan di sekolahnya," sahut Bagas, "tapi, kamu tidak perlu khawatir, Sayang. Fardan bukanlah anak yang mudah beradaptasi dan menerima kehadiran orang baru. Walau perempuan itu mama kandungnya."Mutia terdiam, tetapi dia tidak mengeluarkan air mata sedikitpun seperti ketika melihat Bagas menggendong perempuan tersebut."Aku nggak masalah, Mas. Seandainya, Fardan lebih memihak dia, wajar. Perempuan itu yang telah melahirkannya dan aku bukan siapa-siapanya," kata
Happy Reading*****Novita yang berada di sebelah sang suami meremas tangan Alfian. Takut jika sahabatnya akan diperlakukan buruk. Sementara Ariana dan Azalia saling menatap, lalu keduanya melirik Ariendra. "Pak, maafkan Mutia," cicit Ariendra. Bagas mendengkus, mengusap darah yang keluar dari bibirnya akibat tamparan Mutia yang cukup keras. Bukannya marah, lelaki itu malah tersenyum."Aku suka caramu cemburu," ucap lelaki itu membuat semua teman-teman si ibu guru terperangah."Tapi, aku nggak suka Mas ada di sini," sahut Mutia dengan mata merah menyala. "Oke, aku akan pergi, tapi kamu harus ingat bahwa dia bukan siapa-siapa. Jadi, tidak perlu kamu cemburui seperti tadi. Nanti malam, Mas akan menemanimu," kata Bagas. Dia kembali mendekatkan wajah Mutia, tetapi kali ini sebatas mencium di kening. Walau hatinya masih kesal dan marah dengan sikap Bagas yang kedapatan menggendong perempuan lain. Namun, entah mengapa Mutia begitu mudah luluh dengan kata-kata yang dikeluarkan oleh keka