Aku sudah kembali beraktivitas seperti biasa meskipun kadang-kadang kepalaku masih terasa sakit. Setelah aku konsultasikan keluhanku itu pada dokter dijelaskan bahwa hal itu bukan masalah berat. Trauma yang pernah dialami kepalaku pasca benturan itu tidak mungkin bisa hilang dalam waktu sekejap sehingga kadang masih terasa sakit. Tetapi dokter berpesan agar aku tetap tidak memakai bantal saat tidur.Hari ini aku mengecek beberapa proyek yang sudah tiga pekan ini kupercayakan pada Pelaksana Lapangan. Setelah itu aku menuju kantor yayasan sekaligus menunggu kedatangan Sakta. Untuk proyek yang ada di Temanggung rencananya akan aku cek bersama Sakta sekaligus ia rencanakan desain interiornya.Aku masih mereview beberapa laporan proyek yang sedang kami kerjakan saat tiba-tiba pintu ruanganku dibuka dari luar. Aku sudah akan marah karena sikap orang yang membuka pintu tanpa mengetuk terlebih dahulu menurutku adalah perbuatan yang tidak sopan. "Kebiasaan," sungu
Kantor sudah cukup ramai meskipun masih sangat pagi untuk ukuran jam kerja. Jika ada tahapan seperti saat ini, kami memang harus siap bekerja dua puluh empat jam. Sehingga datang ke kantor sangat pagi dan pulang hampir subuh bukan hal asing bagi kami. Sudah seminggu ini dilakukan sortir SS sehingga kantor sangat ramai oleh banyaknya tenaga borong sortir. Seperti biasa, setelah meletakkan tas di ruangan, aku menuju kantin untuk sarapan. Baru beberapa kali menyuap sarapanku, Sakta menelepon."Assalamualaikum, Na.""Wa'alaikumussalam.""Bisa ikut aku mengantar motor Sami? Biar baliknya kesini aku ada teman di jalan.""Hari ini aku nggak bisa. Kerjaan padat banget.""Berangkat malam aja, pulang besok. Besok nggak kerja 'kan?"Besok memang hari libur, tapi nanti malam aku sudah terlanjur janji makan malam bersama Haidar. Menggantikan makan malam yang dulu tertunda karena Gus Sami jatuh saat di rumah sakit."Sor
Hari ini adalah puncak tahapan yang akan menjadi hari yang sangat sibuk bagi kami. Hari ini bahkan aku mempersiapkan baju ganti untuk nanti malam dan membawa serta bantal. Usai briefing pagi, kami menuju daerah yang akan kami monitoring. Sebelumnya kami memastikan kecukupan logistik pada tempat yang akan kami tuju. Aku mendapat jatah monitoring bersama Mbak Salsa, Divisi Hukum, Iqbal, Kasubbag Divisiku, dan Damar sebagai sopir kami. Tempat yang kami monitoring berada di daerah atas sehingga kami berangkat lebih awal dibandingkan tim lainnya. Kami meninggalkan kantor dengan agak tergesa karena ada logistik untuk rekapitulasi yang kurang. Dan pada saat mencapai setengah perjalanan aku baru menyadari jika ponselku tertinggal di kantor. Mbak Salsa kemudian mengabarkan di grup kantor, jika ada yang berkepentingan denganku bisa menghubungi melalui dirinya.Tempat monitoring kami cukup jauh. Berada di atas bukit. Beberapa kali aku dan Mbak Salsa saling berpegan
"Aku nggak mau kamu sakit, Ri." Skak Mat untuk diriku. Dan aku hanya bisa mendesah kasar.Aku menghabiskan nasi udukku sambil menggeram marah sehingga menghabiskan makananku seperti orang kesetanan."Makannya pelan-pelan, Cha. Nanti kamu bisa terse ....""Uhuk. Uhuk." Ketiga lelaki itu seketika menyodorkan minumannya masing-masing. Aku hanya memandangi mereka sekilas, lalu mengambil minumanku dan menyesapnya beberapa kali."Aku tersedak bukan gara-gara makan cepat tapi gara-gara kamu bicara padaku," protesku pada Gus Sami."Ck. Kalian setiap kali bertemu pasti seperti kucing dan tikus," tukas Sakta."Tom dan Jerry," sela Haidar. Ia tersenyum bangga setelah merasa menemukan istilah yang tepat untuk kalimat Sakta."Biasanya yang seperti itu selalu berakhir dengan berjodoh.""Sakta!" Aku melotot tidak terima pada Sakta.Kulihat perubahan ekspresi pada wajah Haidar. Senyum yang tadi tersemat langsung menghilang. Ia seperti mulai mempelajari
Suara gedoran di pintu rumahku menggagalkan tidur pagiku. Aku menyeret kakiku malas menuju pintu. Seraut wajah kesal kudapati dibalik pintu yang kubuka."Astaghfirullah, Richa. Masih belum mandi?"Aku kembali menyeret kakiku masuk ke rumah tanpa bersuara."Cepatlah, segera mandi dan ganti baju. Pak Yusuf sudah menunggu kita." Mita mendorongku untuk segera masuk ke kamar mandi."Ada urusan apalagi sama Pak Yusuf?" tanyaku tidak mengerti."Ya Allah. Kamu ini cantik-cantik tapi pikun. Hari ini kita akan membicarakan konsep peragaan busana dan batikmu, Richa." Ia menyebutkan kata Richa dengan super double a. Aku meringis lalu mengambil handuk dan masuk kamar untuk mandi dan ganti pakaian.Setelah mengenakan rok jeans, blouse putih berbahan satin dan pashmina hijau artichoke serta sedikit sapuan make up, kami segera bersiap menuju tempat yang dijanjikan Gus Sami."Kamu yang nyetir, ya. Aku mau melanjutkan tidur." Aku menyerah
"Jahat!" hardikku saat Gus Sami sudah berada di hadapanku, meskipun senyuman masih tetap kusematkan di bibirku dengan menebar tatapan mata pada para tamu yang hadir."Aku tahu, Kamu tidak mungkin akan mempermalukan diri sendiri," ucapnya sambil terus menyunggingkan senyum kemenangan. Rasanya aku ingin meledak karena kemarahan yang coba kutahan.Kurasakan semua mata memandang kearahku. Maka kuikuti saja permainan Gus Sami. Ia mengulurkan tangannya namun kuabaikan. Aku berdiri dan berjalan lebih dulu menuju panggung. Ia melebarkan langkahnya untuk menjajariku. Riuh rendah tepuk tangan menggema megiringi langkah kami."Jangan salahkan aku. Kamu sendiri yang menolak membicarakan ini," bisik Gus Omar yang kini telah melangkah disampingku."Kamu tidak pernah katakan ini!""Kamu lupa aku pernah memintamu untuk bertemu membicarakan posisi Nabhan di hotel ini. Kamu terlalu sibuk dengan pacarmu." Aku menghentikan langkahku dan memandang kearah Gus
Hatiku berdebar seiring dengan langkah kakiku dari tempat parkir menuju rumah makan yang telah ditentukan Haidar. Ini bukan pertama kalinya aku akan bertemu dengan orang tua calon suamiku, tetapi rasanya tetap saja sama. Bahkan kali ini debaran jantungku lebih susah kukendalikan dibanding saat akan bertemu orang tua Gus Sami kala itu. Ada banyak kekhawatiran berputar-putar diotakku. Kekhawatiran terbesarku adalah jika mereka tidak bisa menerima statusku yang janda beranak satu sedangkan anak lelaki satu-satunya yang mereka banggakan adalah seorang pria mapan dengan status sosial yang cukup dipandang oleh masyarakat. Pada umumnya orang tua sulit memberikan restu pada anaknya yang masih perjaka menikah dengan seorang janda, apalagi memiliki seorang anak.Rumah makan di salah satu pusat perbelanjaan itu sudah terlihat. Sejenak kupejamkan mata sambil merapal doa-doa. Dan berkali-kali aku menarik napas dalam untuk mengurangi debar jantungku. Tetapi kemunculan Haidar yang sepertinya memang
Degh!Mataku menangkap sebentuk cincin kawin sederhana melingkar di jari manis Icha. Dengan kasar kuraih tangannya. "Cincin kawin?" hanya itu yang bisa keluar dari mulutku. Aku menatapnya tajam menunggu jawaban. Aku sangat berharap ia menjawab itu hanya cincin biasa."Haidar melamarku."Seketika langitku runtuh. Aku seolah digulung awan hitam menuju dasar bumi. Dihempaskan tanpa ampun. Berkali-kali gerahamku mengerat kuat untuk menekan rasa sakit yang berdenyut di dada kiriku. Kutarik napas dalam, berusaha menetralkan aliran darah yang berdesakan menuju jantung. Hentakan katubnya yang berdentum terdengar jelas di telingaku.Air mataku sudah berkumpul di sudut mataku, sedikit lagi mereka siap membobol pertahananku. Aku laki-laki yang tidak boleh menangis, sesakit apapun!Kini segala rasa bercampur aduk menyesakkan dada. Rasa marah pada kebodohan di masa laluku. Terselip pula rasa marah pada Umi yang karena sikapnya menyebabkan Icha pergi meninggalkanku. Kenan