Aku baru saja memasukilobbyhotel saat terlihat banyak antrian dimeja resepsionis. Diujung ruang tunggu. kulihat Icha sedang duduk sambil asyik memainkan ponselnya. Aku bisa menebak jika mereka adalah teman-teman kantor Icha yang akan mengadakan acara selama dua hari di hotelku.Aku tersenyum bahagia meskipun untuk acara ini hotelku memberikan potongan besar-besaran, minimal selama dua hari ini aku bisa berada ditempat yang sama dengan Icha, menghirup udara yang sama dan jika beruntung aku bisa berbincang dengannya dari hati kehati menyelesaikan persoalan tujuh tahun silam yang masih tersisa.Aku melanjutkan langkahku menuju ruang kerjaku yang juga dilengkapi fasilitas kamar. Aku ingin beristirahat sebentar sebelum menyapa Icha. Cukup capek seminggu ini beberapa kali bolak balik Kudus - Jogja.
Perawat yang mendorong kursi roda Icha langsung membawa masuk ke ruang periksa poli kandungan setelah membuka kedua daun pintu ruang poli. Sementara aku mengekorinya dari belakang. Pikiranku sudah tidak tenang sejak perawat bilang harus periksa di dokter kandungan. Entahlah, banyak hal yang mampir dalam pikiranku.Karena Icha pasien rawat inap jadi ia mendapatkan prioritas untuk diperiksa lebih dulu tanpa harus duduk di bangku antrian.Perawat ruangan memberikan map rekam medis Icha pada perawat poli, lalu membantu Icha naik kekasur pasien."Ibu haid terakhir kapan?"Pertanyaan dokter yang sekarang menatap layar mesin USG itu menyentak dadaku. Seperti de Javu duabelas tahun lalu saat memeriksakan Icha pada dokter ka
Melihat ekspresi frustasi dari Gus Sami sebenarnya ada rasa tidak tega. Tapi rujuk lagi dengannya sangat jauh dari ekspektasiku. Lima tahun menjalani pernikahan dengannya meninggalkan trauma yang cukup dalam.Jujur, Aku tidak tahan melihatnya bersedih. Hatiku rasanya miris. Aku memang sering marah padanya, tapi selalu saja tidak berlangsung lama. Bahkan jika tujuh tahun silam Gus Sami bersikap semanis saat ini, aku tidak yakin mampu meninggalkannya meskipun tiap hari merasakan sakit karena penghinaan dari orang tuanya.Hari ini ia tidak banyak bicara, namun tetap merawatku dengan baik, tetap memberikan senyum terbaiknya."Cha. Aku tinggal rapat nggak apa-apa 'kan?""Ya, nggak apa-apa."
"Kami sangat senang kalau Gus Sami mau rujuk kembali."Mataku seketika melotot kearah Mas Royan. Beruntung tidak ada barang apapun didekatku yang bisa kulemparkan kemukanya."Bagaimana, Cha. Restu udah turun."Senyuman Gus Sami yang oleh sebagian besar perempuan diluar sana sangat dipuja itu kurasa seperti seringai penuh kemenangan yang menjengkelkan sekaligus membuat kepalaku pusing dan napasku.Aku melorotkan badan dan menarik selimut, "Aku ngantuk, mau tidur. Mengganti tidur siangku yang terlewat.""Eh. Eh. Eh. Jam berapa ini, Cha. Udah mau Maghrib nggak boleh tidur." Gus Sami menarik selimutku kebawah dan menggoyang-goyangkan pundakku.
"Mamah." Aku segera menarik tanganku. Suara Nabhan mengalihkan pandanganku kearah pintu.Abah, Umi, Kang Din, dan seorang santri putri berjalan di belakang Nabhan yang berlari kecil menghambur padaku."Putranya?" tanya dokter Santi. Aku mengangguk."Nggak usah sedih. Sudah punya anak laki yang manis seperti ini kok." Dokter Santi mengusap-usap puncak kepala Nabhan. "Saya tinggal dulu. Ibu cukup istirahat supaya segera pulih ya?""Mari." Dokter Santi mengangguk pada Abah dan Umi sebagai isyarat pamit.Gus Sami membantuku duduk. Nabhan mulai sesenggukan sambil mendekapku."Mamah jangan dipeluk seperti itu, G
"Cukup lama kita nggak ketemu. Sebulan lebih, kayaknya. Gimana kabarmu? Makin kurus aja."Aku hanya tersenyum. "Kabarmu gimana?" tanyaku balik."Ditanya bukannya menjawab malah balik tanya.""Kabarku baik. Tumben ngajak ketemu. Mau ngasih undangan?" godaku."Maunya sih. Tapi harus memastikan dulu hubungan kalian.""Apa maksudnya 'kalian'?""Kamu dan Sami lah. Siapa lagi."Aku terkekeh. "Apa korelasinya undangan pernikahanmu dengan hubunganku dan Gus Sami?""Aku harus memastikan dulu Kamu bersama orang yang tepat. Aku nggak mungkin membiarkanmu hi
Beberapa kali Nabhan tersenyum kearah kami sambil terus mengalunkan Shalawat Asnawiyah. Ia benar-benar membuatku bangga. Pada perhelatanAkhirus Sanahpesantrennya kali ini Ia mendapatkan banyak penghargaan. Predikat santri paling disiplin, juara lomba pidato bahasa Arab, juara lomba debat bahasa Inggris, dan juara lombastory telling. Sekarang duduk dipanggung dengan memegang mikrofon dan melantunkan shalawat Nabi.Banyak orang tua yang iri pada kami. Melalui tatapan mata maupun dengan terang-terangan mengatakan itu."Putranya hebat, ya Mah," ucap seorang ibu yang duduk disebelahku.Sementara seorang bapak yang duduk didepan Gus Sami bilang, "Apa rahasianya bisa punya anak hebat seperti itu.""Rahasianya ... Doa Mamahnya," ucap Gus
Setelah membujuk Nabhan agar sementara waktu menginap di hotel, kemudian aku mengantar Icha pulang kerumahnya.Sepanjang setengah perjalanan kulihat Icha sangat murung. Beberapa kali terdengar ia menghela napas sambil mengarahkan pandangan matanya keluar jendela."Maafkan Nabhan, Cha."Tanpa menoleh Ia menjawab, "Ya, Gus. Aku sudah memaafkannya." Tangisnya kini mulai pecah."Sudah, dong. Jangan nangis! Namanya juga anak-anak, maunya semua keinginannya dituruti."Icha hanya mengangguk. Tangan kanannya membekap mulutnya sementara pundaknya terguncang-guncang.Rasanya ingin kurengkuh pundak itu dalam pelukank