"Mas, aku mohon padamu dengan sangat untuk tidak bertemu dengan Mas Fandy," pinta Mila dengan terisak. Semenjak pulang dari kafe beberapa saat yang lalu, keadaan Milla sangat kacau. Dia terus merengek dan merengek. Untungnya anak-anak juga faham, termasuk Azka. Dia sama sekali tidak menanyakan Mamanya."Sudahlah, Milla. Mas janji tidak akan bertemu dengan Fandy dilain waktu. Sekarang kamu istirahat, ya."Setelah aku berjanji tidak akan menemui Fandy, Milla tersenyum lebar dan langsung memejamkan matanya. Tidak lama, dia sudah mendengkur halus.Aku langsung beranjak dan turun ke bawah. Kebetulan jam baru saja menunjukkan pukul tujuh malam. Baru saja aku hendak membuka pintu luar, Radit muncul dari arah kamarnya.Dia langsung berlari mengejarku."Ada apa? Papa mau pergi ke rumah besar.""Apa Papa mendengarkan saranku waktu itu?" pertanyaan Radit membuatku diam. Karena awalnya aku berpikir kalau perkataanya waktu itu hanyalah kata-kata biasa."Apa Mama Diana, Fahri, dan Faiz masih ada di
"Ma, Pa, aku akan pergi ke kampung untuk bertemu Diana dan anak-anak. Aku rindu mereka dan akan meminta maaf karena telah menyakitinya," ucapku antusias.Kedua orangtuaku tidak merespon. Mereka hanya saling tatap."Kenapa, Ma, Pa?" tanyaku heran."Mereka menatapku sendu, "Semuanya sudah terlambat!""Terlambat? Apanya?" tanyaku lagi. Tapi mereka kembali diam. Tidak bersuara sama sekali."Ma, Pa, tidak ada kata terlambat jika kita mau berubah. Aku juga yakin kalau Diana akan memaafkanku dan menganggap semua ini tidak pernah terjadi di antara kita," jelasku.Meskipun aku sendiri ragu, tapi sifat Diana membuatku kembali yakin kalau dia pasti bisa memaafkanku. Dia bukan wanita picik. Tidak seperti Milla. Tapi sejahat apapun Milla, dia tetap istriku dan sebisa mungkin aku akan mencoba untuk berusaha adik di dalam segala hal.Bismillah. Semoga saja bisa."Aku akan ke atas dulu untuk bersiap dan akan segera menghubungi Milla," lanjutku antusias.Bergegas aku menuju kamar dengan gembira. Memas
Dengan langkah gontai, aku kembali menuju mobil. Duduk dan merenungi apa yang sudah aku lakukan kepada Diana dan anak-anak. Bagaimana caraku mendapatkan izin Diana untuk menikahi Milla hanya kerena cinta buta yang aku sendiri tidak tahu apakah rasa itu masih tinggal, atau pun sudah menghilang.Namun, dengan bodohnya aku percaya kalau dia setuju. Bahkan aku melupakan tanggung jawab pada mereka dan selalu ada di rumah Milla dengan alasan anak-anaknya membutuhkanku. Tapi aku lupa, kalau Fahri dah Faiz lebih membutuhkan. Apalagi sebelum Milla kembali, kita sering bermain bersama.Aku sungguh merasa geram kepada diriku sendiri. Kenapa aku begitu bodoh? Padahal banyak orang yang jelas-jelas sudah mengingatkanku.Tanganku mengepal kuat dan memukul stir mobil berkali-kali. Sakit, tapi tidak berdarah. Sama seperti mereka yang sudah kusakiti. Meskipun tidak terlihat, tapi kuyakin kalau mereka sangat terluka.Kini aku sudah tidak yakin kalau Diana akan menerimaku kembali.Aku kembali melajukan m
Dokter Alena menatap dokter Burhani dengan wajah terkejutnya. Walaupun semua itu hanya pura-pura. Karena ia sudah merencanakan ini semua tanpa sepengetahuan Fahri atau pun Diana.Kini, dia tidak bisa lagi membiarkan dokter Burhani menyakiti anak-anak sahabatnya lagi.Diana dan dokter Alena adalah teman di SMA dulu. Sebenarnya ia juga sangat menyayangkan dengan keputusan Diana lima tahun beberapa bulan lalu ketika hendak memutuskan menerima perjodohan dengan dokter Burhani.Menurut pemahamannya, laki-laki berbeda dengan perempuan. Jika sudah menikah, maka ia akan melupakan cinta pertamanya dan menguburnya dalam. Hingga tidak ada reaksi spesial ketika melihatnya lagi.Berbeda dengan laki-laki. Mereka menganggap cinta pertama adalah hal yang istimewa, langka, dan harus dipertimbangkan. Padahal lelaki tersebut sudah berkeluarga. Tapi dia berusaha sebisa mungkin untuk kembali bersama wanita yang dicintainya itu.Kini rasa hormat dokter Alena pada Burhani telah sirna dan yang tertinggal ha
Teriakan dari bocah yang berusia belum genap enam tahu itu membuat dokter Burhani menoleh ke arahnya.Matanya membulat sempurna ketika melihat kedua anak yang sangat dia rindukan sudah ada di depan kedua matanya. Tapi sayang, karena dari kedua mata anak itu hanya ada sorot kebencian.Ya, benci. Karena laki-laki yang sering mereka banggakan ternyata tidak sehebat itu dan malah sering membuat kedua anak itu kecewa dengan menyakiti orang yang sangat mereka sayangi.Kedua anak itu berlari ke arah Diana dan asisten Kevin. Mereka memeluk Mamanya erat."Kecewa?" dokter Burhani merasa gengsi untuk mengakui kesalahannya. Lagi-lagi dia justru menyalahkan orang lain atas kesalahannya sendiri. Seperti inilah sifat seorang dokter Burhani dalam mata dan pikiran anak-anak.Mereka sangat kecewa."Apa begini caramu mendidik anak-anak?" dokter Burhani menatap tajam ke arah mereka. Bahkan anak-anak dan asisten Kevin pun dia masukan ke dalam daftar orang yang dibencinya."Stop, Pa! Ini tempat umum. Apa P
"Kembalilah bersama Papa. Kali ini Papa janji akan berusaha menebus semua kesalahan yang pernah Papa lakukan," pinta dokter Burhani sambil mencoba mendekat ke arah Fahri yang semakin menjauh."Cara apa yang kau pakai untuk mendidik anak-anak?" Dokter Burhani menatap tajam kepada Diana.Tapi Diana hanya diam. Dia merangkul kedua putranya dan membantu Fahri untuk duduk di di antara dia dan asisten Kevin."Selama ini aku selalu berpikir kalau kau sudah mendidik anak-anak menjadi yang terhebat dan berbudi pekerti. Ternyata aku salah. Bahkan sifat anak-anak jauh lebih buruk dari anak-anak yang berada di jalanan," lanjutnya dengan mata yang melotot tajam.Diana perlahan bangkit dari tidurnya dan plakkk.Dia menampar pipi kanan seorang dokter Burhani. Laki-laki yang telah bersamanya selama hampir enam tahun. Laki-laki yang dulu sangat lemah lembut dan menyayangi keluarganya.Diana bahkan tidak pernah menyangka kalau hari ini, hari dimana dia menampar laki-laki yang dahulu sangat dibanggakan
Dengan emosi, aku datang ke restoran mewah yang dimaksud Milla ketika menunjukkan foto Diana dan seorang lelaki muda.Kupikir mereka sedang berkencan, karena tanpa anak-anak di sana. Padahal Diana bukan ibu seperti itu. Dia selalu bersama dengan anak-anak, baik siang maupun malam.Tapi ini ... Mereka hanya datang berdua. Sungguh aku tidak menyangka kalau Diana ternyata sangat ingin melupakan aku dan mencari ayah sambung bagi anak-anak.Ternyata semuanya diluar kendaliku. Diana berada di restoran mewah itu bersama Fahri dan Faiz. Mereka bahkan mengatakan kalau mereka membenciku. Bisa dibayangkan betapa hancur dan terlukanya hati juga perasaanku ini. Mana ada seorang ayah yang sanggup untuk mendengar kata-kata yang begitu menyakitkan dari buah hatinya sendiri. Sudah beberapa kali aku mencoba untuk membujuk mereka.Namun, hasilnya tetap sama.Mereka tetap memaksa untuk ikut Diana, padahal dia hanya seorang gadis kampung dan miskin. Mana sanggup jika bersaing denganku.Sampai di rumah, a
Diana menduduki kursi kebesarannya dan mulai menyusun rencana. Dia sangat tahu siapa dalang dibalik kejadian memalukan di restoran tempo hari."Apa yang akan kita lakukan pada wanita keji ini?" tanya assisten Kevin dengan napas yang tidak beraturan. Dia benar-benar sudah tidak sabar ingin segera menghabisi Milla."Tidak! Aku tidak ingin orang-orang yang menyakiti anak-anakku berakhir dengan mudah. Dia pikir dia siapa bisa melakukan hal itu seenaknya?!"Assisten Kevin tertegun dengan perkataan Diana. Dia seperti menemukan sifat baru pada pemilik F2 Group ini."Jadi, rencana apa?""Tidak ada rencana. Aku akan memberikan perintah, jika waktunya sudah tepat! Siapapun yang sudah menyakiti kedua anakku yang hebat, aku ingin mereka merasakan hidup segan mati tak mau!" Mata Diana menatap tajam ke arah luar. Tentu saja asisten Kevin pun terkaget mendengarnya. Tidak menyangka seorang Diana yang begitu baik dan mudah memaafkan, bisa mempunyai sisi seperti ini."Jangan heran. Aku tidak sebaik ya