Share

pertemuan dengan papa dan mama

Siang ini aku berencana untuk menemui kedua orang tuaku. Setelah berkali-kali memantapkan hati dan dengan memberanikan diri, akhirnya kemarin aku menghubungi pak Agus, sahabat papa sekaligus orang kepercayaannya.

Disinilah aku sekarang, duduk sendirian di ruang vip sebuah kafe yang sudah di pesan oleh pak Agus, menunggu dengan cemas kedatangan orang tuaku. Entahlah, tapi aku sedikit ragu apakah mereka mau menemuiku. 

Sebenarnya bisa saja aku langsung datangi rumah, tapi ya itu tadi, aku belum memiliki keberanian untuk menemui mereka tanpa ada orang ketiga.

Setengah jam sudah berlalu dari waktu yang dijanjikan pak Agus, tapi mereka masih juga belum terlihat datang. Dudukku mulai terasa gelisah, aku tidak yakin mereka mau menemuiku setelah kejadiaan enam tahun yang lalu.

"Pergilah! Kalau menurutmu Arka itu pasangan yang cocok untukmu. Tapi, sampai kapanpun papa tidak akan pernah merestui kalian!" ucap papa kala itu dengan marah.

Aku hanya bisa menangis dan berlalu dari hadapan papa tanpa membantah satu katapun. Karena waktu itu mata dan hatiku sudah di butakan oleh cintaku pada mas Arka. 

Waktu itu mamapun tidak bisa berbuat apa-apa, karena keputusan yang dibuat papa tidak bisa diganggu gugat lagi. Mama terus berusaha membujukku untuk meninggalkan mas Arka, tapi aku kekeh tidak mau.

Semenjak kejadian itulah semua fasilitas yang selama ini aku gunakan di cabut oleh papa. Untunglah saat itu aku sudah bekerja sehingga aku tidak begitu kebingungan.

¤¤¤¤¤

"Rada …."

Terdengar suara serak seperti menahan tangis yang beberapa tahun ini selalu ku rindukan. Aku menoleh ke arah pintu ruangan, seketika tenggorokanku serasa tercekat, tiba-tiba mataku mulai berembun. 

Wanita yang ku rindukan itu berdiri di depan pintu dengan Papa dan Pak Agus tampak di belakangnya. Ya, dia adalah Mamaku.

Aku berdiri lalu menghambur ke dalam pelukannya dengan tangis yang tersedu-sedu, aku memeluknya semakin erat, begitu pula Mama dengan tangisnya yang terdengar menyayat hati.

"Sudah-sudah lebih baik kita duduk dulu," ujar Papa tiba-tiba menyela, membuat kami yang sedang berpelukan dalam tangis langsung saling melepaskan.

"Maafin, Rada, pa?! Rada salah sama papa," ucapku tiba-tiba bersimpuh di hadapan Papa dan memeluk kakinya. Membuat mereka sangat kaget dengan apa yang kulakukan. 

"Sudahlah, Rada, ayo kita bicarakan di dalam saja, malu di lihat banyak orang," sela Pak Agus membimbingku untuk kembali berdiri, ku lihat Papa hanya diam dan tak mau menatapku.

Mungkinkah luka yang ku buat terlalu dalam sehingga membuat Papa hingga kini masih membenciku.

"Gimana kabarmu, Nak? Kemana saja kamu selama ini, kenapa tidak pernah pulang?! Segitu bencikah kamu sama kami?!" ujar Mama memberondong dengan banyak pertanyaan setelah kamu duduk di kursi yang berada di ruangan itu.

"A--aku …," suaraku tercekat, tak dapat lagi meneruskan kata-kataku. Hatiku terasa seperti di sayat-sayat dengan pisau, mendengar Mama ternyata selama ini mengharapkanku pulang.

Bodohnya aku yang selama ini hanya mengira-ngira tentang mereka.

"Kenapa kamu tidak langsung pulang ke rumah? Mana suamimu? Kalian sudah punya anak belum?" lanjut Mama lagi dengan banyak pertanyaan.

"Apa tujuan kamu tiba-tiba ingin bertemu dengan kami?" sela Papa tiba-tiba setelah dari tadi hanya diam.

"Aku … mau minta maaf sama Papa dan Mama. Maafin Rada, Pa, Ma, sudah bikin sedih kalian. Rada anak yang tidak tahu terima kasih, Rada anak yang tidak berguna, Rada anak yang …."

"Cukup, Nak, jangan kau teruskan lagi!" potong Papa membuatku tidak meneruskan perkataan.

"Semua yang sudah terjadi, lupakan saja! Papa udah maafin kamu, tapi yang membuat Papa sedih adalah kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah?!" lanjut Papa, terdengar kecewa dari nada bicaranya.

"Bukankah Papa sudah mengusirku waktu itu? Papa bilang tak sudi lagi bertemu denganku. Makanya aku tidak berani pulang selama ini," jawabku sambil terisak.

"Ya Allah, Nak? Hanya gara-gara itu membuatmu tidak berani pulang? Seharusnya kamu berusaha mengambil hati kami dengan terus datang kerumah. Tidak mungkin akan kami usir terus!" ucap Papa akhirnya menangis juga.

Aku mendekati Papa dan kemudian memeluknya, Mamapun ikut memeluk hingga akhirnya kami bertiga saling memeluk dalam tangis. 

"Aku senang melihat kalian kembali seperti ini," terdengar suara Pak Agus dari depan pintu, rupanya dia baru akan masuk dan melihat kami bertiga saling berpelukan.

Kamipun mengurai pelukan kami, karena ternyata Pak Agus datang dengan pramusaji yang membawa makanan untuk makan siang kami. Kami bertiga saling tersenyum kemudian menghapus air mata masing-masing.

Setelah pramusaji itu selesai menata hidangan di atas meja dan sudah berlalu pergi, kami bertiga pun mulai untuk makan, karena perut yang sudah keroncongan minta diisi.

"Loh, Gus, sini ngapain kamu berdiri disitu kaya satpam aja!" ajak Papa karena temannya itu hanya berdiri di bibir pintu sambil melihat kami yang tengah makan.

"Iya, Pak Agus, ayo sini bareng-bareng kita makan siangnya!" sambungku ikut mengajaknya.

Akhirnya Pak Agus menerima ajakan kami untuk makan bersama-sama.

¤¤¤¤¤¤¤

Selesai makan siang, aku membicarakan masalah pekerjaan pada Papa. Aku meminta pekerjaan yang tidak harus setiap hari berangkat ke kantor. Karena aku tidak mau mas Arka curiga. Papa menyarankanku untuk mulai mempelajari seluk beluk perusahaan, karena nantinya akulah yang akan menggantikannya, tapi untuk sekarang aku belum siap. Fokusku sekarang adalah untuk memberi pelajaran pada mas Arka dan istri barunya itu.

Aku belum menceritakan masalah rumah tanggaku pada Papa. Nanti bila tiba waktunya semuanya tidak akan aku tutup-tutupi lagi.

"Oya, cucu Papa sudah umur berapa sekarang?" tanya Papa setelah pembicaraan kami tentang pekerjaan selesai.

Akhirnya didapat keputusan tentang pekerjaan apa yang cocok untuk dikerjakan di rumah. Tadinya Papa mau memberiku atm cuma-cuma untuk peganganku, tapi aku mau. Aku ingin uang yang aku gunakan murni hasil keringatku sendiri meskipun itu aku kerja di perusahaan Papa.

"Empat tahun, Pa, namanya Musda," jawabku.

"Anakmu perempuan, Rada?" kali ini Pak Agus yang bertanya.

"Iya, Pak."

"Ini ya, fotonya?" tanya Mama tiba-tiba sambil memperlihatkan foto dari dalam gawaiku, karena sedari tadi Mama memang sibuk mengotak-atik gawaiku.

"Masya Allah, cantik sekali persis sepertimu, Nak!" ujar Papa begitu melihat foto Musda, Pak Agus juga tampak menganggukkan kepalanya tanda menyetujui.

"Besok-besok ajak dia untuk menemui kami, ya, Nak," pinta Mama dengan tatapan penuh harap.

Aku menganggukkan kepala, menyesal aku hari ini tidak membawa Musda. Pasti dia senang sekali bisa bertemu nenek dan kakeknya yang selama ini selalu ditanyakan.

¤¤¤¤¤¤

Sorenya ketika aku pulang, ku ketuk berulang kali pintu yang tertutup itu tapi tidak ada yang membukakannya. Lalu aku coba untuk mendorongnya, ternyata pintu tidak di kunci. Ceroboh sekali ulat bulu itu.

Begitu aku masuk, aku tercengang melihat pemandangan di dalam rumah. Bagaimana tidak, mainan Musda berserakan di sembarang tempat, belum lagi bungkus bekas jajanan Musda. 

Ketika melangkahkan kaki menuju ruang tengah, terlihat Musda tertidur di depan televisi dengan dikelilingi oleh mainannya juga. Tidak tampak Melli, entah dimana pelakor itu berada.

Ku angkat tubuh Musda untuk memindahkannya ke dalam kamar. Tapi ketika baru saja ku angkat, tiba-tiba Musda membuka matanya dan langsung memelukku sambil menangis.

"Bunda dari mana aja? Kenapa Musda nggak di ajak?" tanyanya sambil menangis.

"Maafin Bunda , ya? Tadi Bunda ada urusan, Nak." jawabku sambil mengusap rambut panjangnya.

"Musda udah makan?" tanyaku, Musda menggelengkan kepalanya.

"Bunda Melli nggak mau ngambilin makan Musda, dia nyuruh Musda makan jajan yang ada di kulkas, Bun! Musda juga belum mandi dari pagi," ucap Musda mulai mengadu padaku.

Ya Allah, kenapa aku baru menyadari kalau baju yang dipakai Musda itu baju yang dipakainya semalam untuk tidur. Keterlaluan si Melli itu! Anakku tidak diurusnya, rumah pun dia tidak mau membereskan. Maafkan bunda, Nak, gara-gara mau bikin ayahmu menderita kamu sampai harus jadi korbannya.

Segera ku mandikan gadis kecilku itu, lalu menggantikannya dengan baju yang bersih. Setelah selesai mendandani Musda, aku berniat untuk ke dapur, melihat apakah ada makanan yang bisa dimakan.

"Astagfirullah! Apa-apaan ini!" ucapku sedikit berteriak.

Kulihat cucian piring tadi pagi masih belum dicuci, padahal itu bekas makan mereka tadi pagi. Ku abaikan saja semua itu, aku mengambil telur dan kemudian menggorengnya. Ku buka magic com ternyata nasinya tinggal sedikit itu pun sudah hampir kering. Ku pilih nasi yang lembut dan menaruhnya di piring, lumayanlah cukup untuk makan Musda.

Ketika sedang menyuapi Musda makan di dalam kamar, tiba-tiba terdengar teriakan dari luar.

"Aawww!!"

¤¤¤¤¤¤¤

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Amelia Hastuti
lanjut ceritanya makin asyiik thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status