Aawww!
Terdengar teriakan dari arah depan, suaranya terdengar tidak asing buatku, seperti suara si Melli."Bentar ya, Nak?" ucapku pada Musda, aku bermaksud untuk melihat apa yang terjadi sampai ulat bulu itu berteriak.Aku berjalan keluar dari kamar gadisku dan menuju ke arah suara teriakan tadi. Seketika aku ingin tertawa begitu melihat Melli masih berbaring terlentang di lantai."Kenapa kamu, Mel?" tanyaku menahan tawa karena melihatnya yang tampak kesakitan."Tolongin kenapa, Mbak! Ini semua gara-gara anakmu itu yang sembarangan meletakkan mainannya, membuatku kepleset!" rutuknya sambil meringis. Uhh, pasti rasanya sakit sekali, uups!"Hei … kenapa malah menyalahkan anakku?! Kamu di suruh jagain Musda tapi malah di tinggal sendirian, kemana tadi kamu?!" ujarku tak terima."Aku capek, Mbak, makanya aku tinggal tidur dia," jawabnya enteng seperti tanpa dosa."Capek katamu! Bahkan dari pagi Musda tidak kau mandikan dan juga tidak kau beri makan," ucapku sedikit berteriak. Emosiku mulai terpancing berbicara dengan ulat bulu itu."Hei … dia itu anakmu, bukan anakku! Kenapa harus aku yang mengurusnya sedangkan kamu ibunya malah senang-senang sendiri!" jawabnya tak mau kalah denganku ."Bukankah kamu menikahi pria beristri dan sudah memiliki anak? Itu juga resiko kamulah, kamu sayang sama bapaknya, jadi kamu juga seharusnya sayang juga sama anaknya," ujarku mulai emosi.Ku tinggalkan dia yang terlihat masih ingin menjawab perkataanku. Hatiku mulai terasa panas meladeni wanita edan itu."Bunda, sudah habis," ujar Musda begitu melihatku memasuki kamar dengan memperlihatkan piringnya yang sudah bersih."Masya Allah, pintarnya anak bunda! Mau nambah lagi?" tanyaku, hatiku seketika mencelos melihat Musda makan sampai bersih seperti itu, mungkin dia terlalu lapar sampai makan dengan cepat. Apakah aku akan tetap meneruskan semua ini? Hatiku menjadi bimbang!"Bunda mandi dulu ya, Nak? Musda di kamar aja, ini main hp bunda," ujarku sambil memberikan gawaiku. Musda terlihat senang sambil menganggukkan kepalanya.Ku tinggalkan anakku itu tetap di dalam kamarnya, lalu aku berlalu menuju ke kamarku sendiri. Sengaja ku biarkan segala kekacauan yang ada di rumah ini. Biar saja mas Arka nanti melihatnya. Dia tahunya selama ini pulang rumah sudah dalam keadaan rapi dan bersih, makanan sudah siap tersaji di meja.Sekarang jangan harap semua itu akan ku lakukan lagi! Sifat kasar masih bisa aku bertahan, tapi kalau sudah mengkhianati, itu beda lagi ceritanya. Akan ku buat kamu menyesal sudah menduakanku, Mas!Lagi pula Melli pun seolah menutup matanya melihat keadaan rumah yang sudah seperti kapal pecah. Mainan yang berserakan di hampir seluruh ruangan. Dapur dengan cucian piring yang menumpuk. Ah, pusing kepalaku memikirkannya!Tak mau terlalu lama memikirkan, aku bergegas untuk segera mandi. Badan terasa segar saat air mengguyur tubuhku. Selesai mandi segera ku ambil wudhu lalu menunaikan sholat magrib. Sebentar lagi pasti mas Arka pulang, kita tunggu apa yang akan terjadi!¤¤¤¤¤¤"Bunda …! Sada …!"Aku yang baru saja selesai sholat kaget karena mendengar teriakan dari mas Arka yang sepertinya baru saja memasuki rumah. "Ada apa sih, Mas teriak-teriak!" terdengar suara Melli menjawab."Kamu itu ngapain aja sih seharian di rumah, Bun?! Rumah berantakan seperti ini kok nggak di beresin!" terdengar lagi suara protes Mas Arka."Aku kan seharian ini sibuk ngurusin anak kamu, Mas! Aku saja baru sempat mandi nih, Mbak Musda tuh seharian pergi barusan pulang."Oh, ternyata ada yang mengadu dengan dengan membuat cerita yang berbeda. Baiklah, aku ladeni kamu Mell.Tok! Tok! Tok!"Sada …,""Ada apa sih, Mas? Kok teriak-teriak?" tanyaku ketika sudah membuka pintu nasih dengan memakai mukena, pura-pura tidak tahu apa yang terjadi."Kamu dari mana saja seharian ini, hah!! Rumah berantakan seperti ini kenapa tidak dibersihkan!" tanya Mas Arka dengan suara keras menggelegar membuat aku kaget setengah mati."Bukankah tadi pagi aku sudah izin padamu, Mas?" tanyaku balik, kali ini aku tidak terima dia membentakku di depan pelakor itu."Iya tapi apakah harus seharian penuh! Ingat, kamu itu masih istriku, kamu tidak boleh seenaknya begini!" bentaknya lagi."Terus kenapa kalau aku ini masih istrimu, Mas?! Toh aku pergi juga bukannya kamu tidak tahu! Kamu saja bisa seenaknya menikah lagi tanpa sepengetahuanku, kenapa aku tidak boleh!" jawabku keras, kali ini aku membalas setiap ucapannya."Aku ini suamimu, pemimpin di dalam rumah ini! Aku tidak perlu izin darimu untuk melakukan apapun, termasuk untuk menikah lagi, karena bagiku kamu itu hanya …,""Hanya ibu rumah tangga! Begitu kan maksudmu?!" potongku cepat membuatnya semakin geram karena aku terus menjawab perkataannya. Terlihat dia mengepalkan tangannya dan wajahnya yang terlihat seperti kepiting rebus.Tidak ada lagi Rada yang akan diam saja ketika di sakiti. Sudah cukup selama ini aku selalu mengalah padanya. Kalau saja dia tidak mendua mungkin mata hatiku masih tertutup cinta butaku padanya"Kamu sudah semakin berani, ya, sekarang!" geramnya sambil mengangkat tangan hendak menamparku."Kenapa berhenti!? Ayo tampar aku! Tampar sepuas mu!" tantangku mendekatkan pipiku pada tangannya yang sudah terangkat."Kamu itu …!" geramnya."Sudahlah, Mas, biarkan saja dulu mungkin Mbak Rada capek, nanti biar ku bantu dia membereskannya. Kamu juga kan baru pulang kerja, pasti capek. Yuk istirahat dulu, aku bikinin teh hangat, ya?" sela pelakor itu membuat Mas Arka seketika diam lalu berlalu meninggalkanku dan mengikuti ajakan pelakor untuk masuk ke dalam kamar.Tanpa terasa air mata ini sudah jatuh tanpa bisa dibendung lagi. Terasa sangat perih hatiku ketika dia memarahiku di depan Melli, membuatku merasa tak berarti sama sekali.Cukup lama aku termenung di depan pintu kamar sampai tiba-tiba Musda sudah berada di depanku pun aku tidak menyadarinya. Cepat-cepat aku mengusapnya, jangan sampai Musda tahu kalau ibunya tengah menangis."Bunda … Musda mau minum susu," rengeknya manja."Iya, Sayang, bentar ya? Musda tunggu di kamar nanti bunda bawa susunya," ujarku, gadisku itu berlalu ke dalam kamarnya lagi. Aku pun gegas menuju dapur untuk membuatkannya susu."Makanya jangan macam-macam sama aku, Mbak, kamu lihatkan suami kita itu lebih percaya padaku ketimbang sama kamu," ucap Melli tiba-tiba sudah berada di belakangku yang sedang membuat susu, hampir saja susunya tumpah karena aku kaget."Dasar ya! Kamu itu bukan cuma seperti ulat bulu saja, tapi ternyata lebih mirip seperti musang berbulu domba," balasku pelan tapi penuh dengan penekanan pada setiap katanya."Apa katamu, Mbak!" ucap Melli tak terima."Pikir saja sendiri," jawabku sambil berlalu meninggalkannya.¤¤¤¤¤¤Pagi harinya ketika aku keluar dari kamar, kulihat keadaan rumah sudah bersih. Tidak ada lagi mainan Musda yang berceceran, semua sudah rapi pada tempatnya.Mungkin suara yang kudengar dari subuh tadi adalah suara Melli yang sedang membereskan rumah. Rajin juga dia ternyata.Ku lanjutkan langkahku menuju dapur karena aku ingin mengambil air minum."Eh, Mbak sudah bangun?" sapa Melli yang terlihat tengah sibuk memasak, Seperti tidak ada masalah di antara kami.Tak ku hiraukan sapaan Melli, aku masih gondok karena kejadian semalam."Oiya, Mbak, aku kan sudah beresin rumah dan masak. Mbk yang cuci piring itu ya!" ucapnya sambil menunjuk dengan dagunya cucian piring yang menggunung."Iya," jawabku singkat sambil menghela napas.Setelah semua selesai, Mas Arka dan Melli duduk di meja makan untuk sarapan bersama. Aku berjalan melewati mereka hendak menuju kamar Musda. Tiba-tiba Mas Arka memanggilku, memintaku untuk duduk bersama mereka."Ada apa, Mas?" tanyaku tanpa basa-basi karena aku merasa dia akan mengucapkan sesuatu."Begini, Rada, mulai sekarang jatah bulanan untuk kamu aku potong lagi, karena akhir-akhir ini aku perhatiin kamu selalu keluar rumah. Kita harus berhemat karena sekarang ada satu anggota lagi di rumah ini yaitu Melli," ucap Mas Arka."Dan satu lagi, Mas, untuk pembagian tugas di rumah ini," sambung Melli lagi."Untuk pembagian tugas Bunda sajalah yang bicara," jawab Mas Arka."Tunggu dulu! Kamu pikir uang bulanan yang selama ini kamu kasih cukup, Mas? Itu kan sudah kamu potong, kenapa sekarang di potong lagi!" ucapku tak terima, ini tidak adil namanya."Itukan cuma untuk keperluannya Musda saja, aku rasa cukup. Mulai sekarang untuk keperluan rumah ini biar Melli yang mengaturnya," jawabnya lagi.Baiklah kalau begitu, kita lihat sampai dimana pelakor itu bisa mengatur kebutuhan rumah ini.¤¤¤¤¤¤¤¤Pagi ini aku bangun dengan semangat, karena hari ini aku akan memulai pekerjaan pertamaku. Walaupun semalam ada kejadian tidak mengenakkan, tapi entah kenapa aku sudah tidak memikirkannya lagi. Mungkin karena sekarang aku sudah mempunyai pekerjaan dan aku pun sudah mendapat maaf dari orang tuaku sehingga semuanya jadi terasa ringan dan mudah.Ting!Terdengar bunyi notifikasi dari gawai jadulku. Aku yang sedang memakai baju buru-buru mengambilnya karena aku takut itu pesan dari pak Agus.[Jangan lupa hari ini kamu ambil laptopnya!] pesan dari pak Agus, benarkan dugaanku tadi.[Siap, Pak, nanti saya kabarin kalau sudah berangkat,] balasku.Rencananya aku akan mengajak Musda sekalian mau mengajaknya jalan-jalan. Aku dandani gadis kecilku itu membuatnya semakin terlihat cantik."Mau kemana, Sayang? Kok udah cantik aja pagi-pagi gini anak ayah," sapa Mas Arka ketika melihat Musda sudah rapi siap untuk pergi."Mau jalan-jalan sama Bunda, Yah," jawab Musda dengan gaya manjanya.Sekilas dia m
"Ii--ini semua buat saya, Pak?" tanyaku masih tidak percaya.Dua bingkisan itu ternyata berisi laptop dan juga android dengan merk apel di gigit di bagian belakangnya. "Tapi kata Bapak kemarin saya disuruh pake punya Bapak?" aku masih saja protes karena menurutku ini berlebihan, mengingat aku baru saja akan bekerja."Paman, Rada! Panggil Paman jangan Pak-Pak terus! Kamu ini susah banget dibilangin!" tegasnya karena aku terus saja memanggilnya Pak."Iya, Pak, eh, Paman … walaupun aku ini putri dari bapak Wicaksono Adi, tapi aku nggak mau ya diperlakukan istimewa!" ujarku lagi."Paman tidak memperlakukanmu istimewa, Rada, tapi ini semua dari papamu, dia tidak tega ketika melihat hpmu yang ternyata dari sebelum kamu menikah masih kamu pakai walaupun keadaannya sudah memprihatinkan begitu," ujar Paman sambil menunjuk gawai yang tengah dimainkan Musda.Aku hanya menunduk, tanpa terasa air bening itu sudah keluar dan membasahi pipiku. Aku merasa malu, setelah apa yang ku lakukan dulu papa
Pagi ini ketika aku sedang membuatkan susu Musda di dapur, tiba-tiba Melli datang menghampiriku."Mbak, aku minta tolong, ya?" pintanya dengan wajah yang memelas."Mau minta tolong apa?" jawabku ketus."Kok ketus gitu sih, Mbak, jawabnya? Aku minta tolong baik-baik lo ini!" ujarnya tak terima.Aku mengambil nafas panjang lalu menghembuskannya dengan perlahan. Bersiap untuk mendengar iklan pagi ini."Mau minta tolong apa, Melli?" ujarku lagi dengan nada yang ku buat selembut mungkin."Nah, gitu donk, kalau jawab itu yang lembut jadi enak di dengarnya. Aku aja tanyanya dengan lembut kok Mbak ….""Ah, udahlah kelamaan! Mau minta tolong apa kamu?!" potongku cepat, karena aku tidak mau mendengarkan ocehannya."Mbak kan lihat nih, mukaku jadi begini, aku malu Mbak kalau harus keluar rumah," ujarnya dengan menunjukkan wajahnya. Terlihat pada beberapa bagian wajahnya lebam-lebam seperti bekas pukulan."Terus hubungannya sama aku apa?" tanyaku bingung."Emmm … untuk beberapa hari ini, aku mi
"Assalamualaikum, permisi …."Terdengar suara pak RT mengucapkan salam dari depan, aku hanya berdiam diri di dalam kamar karena sudah mendapat arahan dari bu RT melalui chat untuk tidak ikut menemui suaminya. Lagi pula aku harus segera menyelesaikan tugas yang diberikan oleh paman."Wa'alaikumsalam ... iya, sebentar," terdengar suara Melly menjawab salam. Tak lama terdengar pintu dibuka kemudian suara Melly yang mempersilahkan rombongan pak Rt masuk ke dalam rumah.Seperti yang sudah di bilang oleh bu RT kemarin. Aku berpura-pura tidak tahu apa-apa saat pak RT bertamu kerumah. Kebetulan mas Arka sudah berangkat bekerja dan Melly yang membukakan pintu. "Eh, ada Pak RT," sapaku pura-pura terkejut ketika melihatnya sudah duduk di kursi ruang tamu bersama satu warga lainnya. Aku hendak keluar sambil menggendong Musda."Iya, Mbak Rada, gimana kabarnya?" jawab sekaligus tanya Pak Rt padaku."Kok Mbak Rada yang di tanyain kabarnya, sih? Harusnya Bapak itu tanya ke saya, bagaimana kabar say
"Assalamualaikum …,"Salamku ketika tiba di teras rumah pak RT, kulihat sudah banyak warga yang berkumpul. "Waalaikumsalam …," serentak mereka menjawab berbarengan."Eh, Mbak Rada sudah datang, yuk masuk, Mbak!" ajak Bu Yuni ramah.Aku pun melangkah masuk mengikuti Bu Yuni, tapi tanpa sengaja telingaku mendengar mereka berbisik-bisik membicarakanku."Bagaimana dia itu, kenapa membiarkan selingkuhan suaminya tinggal di rumahnya! Bod*h banget jadi perempuan!""Iya, ya!Mereka berbisik sangat pelan tapi entah kenapa telingaku ini pendengarannya sangat tajam sehingga walaupun samar aku masih bisa mendengarnya.Ku hela nafas sejenak untuk menetralkan emosiku, tanpa memperdulikan omongan mereka ku lanjutkan langkahku bersama Musda.Ketika sampai di ruang tamu rumah pak RT, sudah ada para tetua komplek, mereka tampak berbincang-bincang. "Mbak Rada, silahkan duduk," suruh Pak RT sambil menunjuk kursi kosong.Kuedarkan pandanganku mencari-cari keberadaan bu Retno dan bu RT yang katanya akan
Aku berjalan beriringan bersama trio emak-emak. Musda ku gendong karena sudah tidur dari tadi pas masih dirumah pak RT. Ketika sudah sampai di halaman rumahku, tiba-tiba kami mendengar suara orang sedang berdebat dari dalam rumah. Sudah pasti itu mas Arka dengan Melly.Kami berempat saling berpandangan sejenak, lalu aku mendahului mereka masuk rumah, karena pundakku terasa pegal menggendong Musda."Assalamualaikum," ku ucap salam begitu akan memasuki rumah."Waalaikumsalam," terdengar jawaban dari dalam. Loh kok suaranya seperti aku mengenalnya, itu bukan suara mas Arka ataupun Melly.Karena penasaran aku pun bergegas masuk, dan benar saja dugaanku, kedua mertuaku sudah duduk di kursi berhadapan dengan Mas Arka dan si pelakor itu."Bapak … Ibu … kapan datang?" tanyaku kemudian menghampiri mereka dan mencium tangannya."Belum lama, Nak. Kamu dari mana malam-malam begini sama Musda sampai dia tertidur?" ujar Ibu mertua ketika melihat Musda tidur dalam gendongan."Sebentar ya, Bu, aku ti
"Ya sudah, tunggu apa lagi! Cepat kemasi pakaianmu dan pergi dari rumah ini!" Melly dengan percaya dirinya mengusirku.Bapak dan Ibu langsung menatapnya tak suka. Mungkin heran bagaimana mungkin anak lelaki mereka bisa tergila-gila dengan wanita seperti itu."Aku tidak akan pergi dari sini, kamu lupa, ya? bukankah kamu yang harusnya sudah pergi dari tadi!" balasku sengit, gedek sekali hatiku melihat sikapnya yang sok berkuasa itu."Iya, dasar pelakor tidak tahu malu, kamu kan yang sudah di usir warga dari sini, kenapa kamu dengan percaya diri mengusir Mbak Rada!? Kamu pikir siapa kamu!" sahut Bu Yuni berucap dengan geram."Sudahlah, Bu, tidak perlu lagi ikut campur masalah kami, Ibu ini hanya orang lain disini, kenapa nggak pulang aja sih?!" balasnya santai."Selama kamu belum pergi dari sini, kami akan terus ikut campur! Kecuali kamu bisa nunjukin bukti itu," Bu RT ikut menimpali."Iya, kok nggak punya malu, sudah jelas-jelas warga sini mengusirnya, kok malah dengan percaya dirinya m
Pagi ini aku bangun terlambat, bahkan waktu subuh hampir habis. Segera aku membersihkan diri kemudian mengambil wudhu, lalu melaksanakan kewajiban subuhku. Setelah selesai aku keluar kamar, berniat untuk membuat sarapan. Tapi, ternyata sarapan sudah terhidang di atas meja. Ku lihat ibu mertua sedang mencuci piring."Pagi, Bu, maaf ya Rada telat bangunnya?" sapaku."Pagi juga, Nak. Iya nggak papa kok, ibu bisa ngerti kenapa kamu bangun terlambat," jawab Ibu sambil menoleh padaku, sedangkan tangannya masih sibuk membilas piring diatas wastafel."Seharusnya Rada yang masak sarapan buat Ibu. Tapi, ini malah Ibu yang memasak buat Rada," ujarku dengan perasaan yang tidak enak."Sekali-sekali nggak papa, Nak. Toh selama ini kamu sudah selalu memasak untuk kami. Jangan merasa sungkan begitu, bukankah ibu ini ibumu?"Ibu mengelap tangannya yang basah, kemudian menghampiriku yang masih berdiri di samping meja makan."Maafkan ibu, ya, Nak. Ibu tidak bisa mendidik Arka dengan baik," ucap Ibu lagi