Home / Rumah Tangga / HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS / BAB 2. Belum Mendapatkan Kabar Dari Kampung

Share

BAB 2. Belum Mendapatkan Kabar Dari Kampung

Author: Trinagi
last update Last Updated: 2023-04-04 13:56:46

"Bapak sakit keras. Kasian Bapak gak ada yang menemani." ujarku mengiba mengharap mertua dan suamiku tersentuh dan mengijinkan aku untuk menjenguk bapak di rumah sakit. Rasanya air mata ini tidak sanggup lagi untuk aku tahan. Mereka hampir keluar dari sarangnya.

"Kan, ada kakakmu, buat apa dia tinggal sama orang tuamu, jika orang tua sakit dia gak mau mengurusnya. Masak harus menunggu kamu yang jauh?" timpal ibu mertua, lagi-lagi beliau ikut campur dalam rumah tanggaku.

"Kalau ada saya di sana, kami bisa gantian menjaga bapak, Bu." Aku berusaha menjelaskan pada mertuaku.

"Ibumu juga ada 'kan? Jadi kenapa harus kamu yang jauh malah disuruh pulang? Mereka mau leha-leha saja dan kamu yang menjaga bapak di rumah sakit? Begitu mau mereka? Kok gak adil begitu sih orang tuamu, Nes?" Mertuaku seakan memanas-manasi. Aku tidak bisa dikompori karena diri ini tau bagaimana ibu dan kak Ayu. 

"Mereka gak begitu, Bu. Saya cukup tau bagaimana keluarga saya. Bagaimana ibu dan kak Ayu. Saya hanya ingin pulang untuk mengurus bapak sakit. Saya mau melihat kondisi beliau dengan mata kepala sendiri. Itu saja."

"Halah, emang bapak kamu itu anak kecil? Lagian ada perawat. Kamu aja yang terlalu banyak alasan. Pokoknya siap pesta aja kamu pulang. Ibu pun mau ikut, sekalian mau refreshing," tukas wanita yang telah melahirkan mas Rama ke dunia ini tanpa merasa berdosa. Mau refresing katanya sementara bapak aku sedang sakit disana.  Bukannya ikut prihatin dan mendoakan kesembuhan malah beliau dengan santai mengatakan mau refreshing ke kampungku. Di mana hati nurani beliau?

"Mas ...." Aku mengalihkan pandangan ke arah mas Rama yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Semoga saja mas Rama mengijinkan untuk menjenguk bapak. Karena yang berhak melarang aku 'kan hanya suami yaitu mas Rama.

"Udahlah, Dek. Kamu jangan keras kepala. Kalau dibilang jangan ya jangan."

Jawaban mas Rama sangat menyakitkan hatiku. Sungguh, mereka sangat tega terhadap orang tuaku.

'Bapak, maafkan anakmu," batinku pilu.

Aku hanya bisa tercenung terpaku di tempat aku berdiri saat ini. Mas Rama seakan tidak memperdulikan bagaimana sedihnya sang istri. Dia tidak pernah mau tahu bagaimana kondisi keluargaku. Hanya keluarganya saja yang selalu di nomor satukan.

Aku dan Niken hanya sebagai angin lalu saja di mata lelaki yang berusia tiga puluh tahun itu.

Mas Rama tetap saja melanjutkan obrolan dengan adik dan ibunya. Sesekali aku melihat mas Rama tersenyum begitu bahagianya layaknya keluarga bahagia dan harmonis.

Dan dari raut wajahnya mereka begitu serius bercerita tentang persiapan pesta Sinta dan mereka tidak pernah mengajak aku untuk ikut nimbrung.

Aku ini orang lain di mata keluarga suamiku. Hanya seorang istri yang tidak mempunyai ikatan darah, jadi bukan siapa-siapa di mata mereka.

Pernah suatu hari aku menasihati Sinta karena berpacaran dan pulang larut malam. Malah aku yang dimarahin sama ibu mertua dan mas Rama. 

"Jangan kau urusin Sinta. Dia itu sudah tau mana yang baik dan buruk terhadap hidupnya sendiri," ujar ibu mertua saat aku keberatan karena Sinta masih berduaan dan bergelap-gelapan di joglo halaman belakang rumah ibu, sementara jam sudah menunjukkan di angka 02.00. 

"Bukan gitu, Bu. Kalau Sinta masih berduaan sama lelaki tengah malam begini, apa ibu gak malu dilihat tetangga?" sergah aku keberatan.

"Kenapa harus malu? Paling orang itu iri sama Sinta karena calon suaminya kaya raya. Tajir melintir ... hmmm ... atau jangan-jangan kamu iri sama Sinta ya?" 

"Iri? Kenapa saya harus iri dengan adik saya sendiri. Ah ... ibu ini ada-ada saja," ujarku. Hanya ingin dinikahi lelaki kaya raya, harga diri pun mau digadaikan. 

Malah aku yang dituduh iri terhadap anaknya. Padahal aku berusaha menjaga nama baik keluarga mertua. Ya sudahlah. Terserah mereka saja. Toh Sinta pun bukan adikku. Walaupun aku menganggap mereka seperti ibu dan adik sendiri tetapi mereka selalu saja menganggap aku ini orang lain yang keberadaan ku di sini hanya mengganggu mereka saja. 

Ini memang bukan pertama kalinya sikap suami terhadap aku dan keluarga begitu. Tetapi kali ini sangatlah menyesakkan dada. Kalau dilarang ke pesta sanak keluarga, diri ini tidak pernah keberatan. Tetapi ini yang dilarang untuk menjenguk orang tua yang sedang tidak berdaya, dirawat di rumah sakit. Sungguh sangat menyedihkan. Keterlaluan sekali mas Rama. Tidak punya perasaan.

Apa mas Rama tidak berpikir Jika adik perempuan dia kelak diperlakukan seperti itu, bagaimana perasaannya?

Entah kenapa. Jika bapak masuk rumah sakit pikiranku selalu saja jauh melanglang buana entah ke mana-mana. 

Aku sangat takut jika tidak akan berjumpa lagi dengan beliau.

Aku takut bapak akan pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Segala pikiran buruk terus saja berkecamuk dalam hati dan pikiranku.

Ingin berpikir yang positif tetapi entah kenapa hati ini tidak bisa. Aku merasakan kehadiran bapak sangat sulit untuk dijangkau. Aku merasakan akan kehilangan bapak.

Ya Allah semoga saja bapak segera sembuh dan bisa berkumpul dengan anak-anaknya seperti dahulu lagi. Apalagi sebulan lagi bulan Ramadhan akan datang menyapa umat muslim di seluruh penjuru dunia.

Aku ingin berkumpul kembali seperti Ramadhan-ramadhan sebelumnya.

Keinginan aku saat ini hanya satu. Ingin melihat bapak sehat kembali seperti sedia kala.

Dengan hati kesal aku tinggalkan ketiga manusia yang tidak mempunyai perasaan itu. Hatiku sedih tidak menentu sementara mereka bertiga mengobrol dan sekali-kali mereka tertawa bahagia seakan tidak ada beban sedikit pun di hatinya.

Sementara aku untuk tertawa saja saat ini tidak sanggup. Siapa yang sanggup tertawa di saat orang yang kita cintai terbaring lemah di rumah sakit?

Tidak sanggup mendengar celotehan mereka akhirnya aku melangkahkan kaki menuju ke kamar.

Sesampai di kamar aku merebahkan tubuh ini di ranjang sambil membenamkan muka ke dalam bantal. 

'Bagaimana kondisi bapak sekarang? Aku harus mengetahui keadaan beliau. Hmmm ... Apa guna handphone jika tidak untuk menelpon orang tua yang jauh di sana? Segera saja diri ini bangun dari pembaringan dan mengambil ponsel yang masih tergeletak di atas nakas. Aku harus menelpon kak Ayu untuk menanyakan kabar ibu dan bapak di rumah.

Berulang kali aku menekan tombol hijau tetapi kak Ayu tidak juga mengangkatnya.

Hatiku semakin gundah gulana. Hati ini terus kepikiran bagaimana kondisi bapak saat ini.

'Ke mana sih kak Ayu? Kenapa tidak mengangkat juga teleponnya?' Batinku pilu.

Aku hempaskan kembali tubuh ini di atas ranjang. Pikiranku semakin kalut. Siapa lagi yang bisa aku hubungi untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi bapak? 

Diri ini kembali mengambil ponsel dan menelpon bik Rum. Beliau merupakan adik kandung bapak.  Tetapi tidak juga diangkatnya. Pikiranku semakin kalut.

Kucoba lagi dengan menelpon kak Ayu. Semoga saja kak Ayu mengangkat teleponku.

Kring ... kring ... kring.

Sampai nada sering ketiga baru terdengar suara sahutan dari ujung sana.

"Assalamualaikum."

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
km harus tegas ambil keputusan jgn sampe menyesal
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Kasihan Mas Rama

    Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Menyesal Tidak Ada Gunanya

    "Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bermain Dengan Niken

    "Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Agnes melahirkan

    Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Bahagia Bersama Putriku

    Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca

  • HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS   Mantan Mertua Masuk Rumah Sakit Jiwa

    Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status