Share

BAB 2. Belum Mendapatkan Kabar Dari Kampung

"Bapak sakit keras. Kasian Bapak gak ada yang menemani." ujarku mengiba mengharap mertua dan suamiku tersentuh dan mengijinkan aku untuk menjenguk bapak di rumah sakit. Rasanya air mata ini tidak sanggup lagi untuk aku tahan. Mereka hampir keluar dari sarangnya.

"Kan, ada kakakmu, buat apa dia tinggal sama orang tuamu, jika orang tua sakit dia gak mau mengurusnya. Masak harus menunggu kamu yang jauh?" timpal ibu mertua, lagi-lagi beliau ikut campur dalam rumah tanggaku.

"Kalau ada saya di sana, kami bisa gantian menjaga bapak, Bu." Aku berusaha menjelaskan pada mertuaku.

"Ibumu juga ada 'kan? Jadi kenapa harus kamu yang jauh malah disuruh pulang? Mereka mau leha-leha saja dan kamu yang menjaga bapak di rumah sakit? Begitu mau mereka? Kok gak adil begitu sih orang tuamu, Nes?" Mertuaku seakan memanas-manasi. Aku tidak bisa dikompori karena diri ini tau bagaimana ibu dan kak Ayu. 

"Mereka gak begitu, Bu. Saya cukup tau bagaimana keluarga saya. Bagaimana ibu dan kak Ayu. Saya hanya ingin pulang untuk mengurus bapak sakit. Saya mau melihat kondisi beliau dengan mata kepala sendiri. Itu saja."

"Halah, emang bapak kamu itu anak kecil? Lagian ada perawat. Kamu aja yang terlalu banyak alasan. Pokoknya siap pesta aja kamu pulang. Ibu pun mau ikut, sekalian mau refreshing," tukas wanita yang telah melahirkan mas Rama ke dunia ini tanpa merasa berdosa. Mau refresing katanya sementara bapak aku sedang sakit disana.  Bukannya ikut prihatin dan mendoakan kesembuhan malah beliau dengan santai mengatakan mau refreshing ke kampungku. Di mana hati nurani beliau?

"Mas ...." Aku mengalihkan pandangan ke arah mas Rama yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Semoga saja mas Rama mengijinkan untuk menjenguk bapak. Karena yang berhak melarang aku 'kan hanya suami yaitu mas Rama.

"Udahlah, Dek. Kamu jangan keras kepala. Kalau dibilang jangan ya jangan."

Jawaban mas Rama sangat menyakitkan hatiku. Sungguh, mereka sangat tega terhadap orang tuaku.

'Bapak, maafkan anakmu," batinku pilu.

Aku hanya bisa tercenung terpaku di tempat aku berdiri saat ini. Mas Rama seakan tidak memperdulikan bagaimana sedihnya sang istri. Dia tidak pernah mau tahu bagaimana kondisi keluargaku. Hanya keluarganya saja yang selalu di nomor satukan.

Aku dan Niken hanya sebagai angin lalu saja di mata lelaki yang berusia tiga puluh tahun itu.

Mas Rama tetap saja melanjutkan obrolan dengan adik dan ibunya. Sesekali aku melihat mas Rama tersenyum begitu bahagianya layaknya keluarga bahagia dan harmonis.

Dan dari raut wajahnya mereka begitu serius bercerita tentang persiapan pesta Sinta dan mereka tidak pernah mengajak aku untuk ikut nimbrung.

Aku ini orang lain di mata keluarga suamiku. Hanya seorang istri yang tidak mempunyai ikatan darah, jadi bukan siapa-siapa di mata mereka.

Pernah suatu hari aku menasihati Sinta karena berpacaran dan pulang larut malam. Malah aku yang dimarahin sama ibu mertua dan mas Rama. 

"Jangan kau urusin Sinta. Dia itu sudah tau mana yang baik dan buruk terhadap hidupnya sendiri," ujar ibu mertua saat aku keberatan karena Sinta masih berduaan dan bergelap-gelapan di joglo halaman belakang rumah ibu, sementara jam sudah menunjukkan di angka 02.00. 

"Bukan gitu, Bu. Kalau Sinta masih berduaan sama lelaki tengah malam begini, apa ibu gak malu dilihat tetangga?" sergah aku keberatan.

"Kenapa harus malu? Paling orang itu iri sama Sinta karena calon suaminya kaya raya. Tajir melintir ... hmmm ... atau jangan-jangan kamu iri sama Sinta ya?" 

"Iri? Kenapa saya harus iri dengan adik saya sendiri. Ah ... ibu ini ada-ada saja," ujarku. Hanya ingin dinikahi lelaki kaya raya, harga diri pun mau digadaikan. 

Malah aku yang dituduh iri terhadap anaknya. Padahal aku berusaha menjaga nama baik keluarga mertua. Ya sudahlah. Terserah mereka saja. Toh Sinta pun bukan adikku. Walaupun aku menganggap mereka seperti ibu dan adik sendiri tetapi mereka selalu saja menganggap aku ini orang lain yang keberadaan ku di sini hanya mengganggu mereka saja. 

Ini memang bukan pertama kalinya sikap suami terhadap aku dan keluarga begitu. Tetapi kali ini sangatlah menyesakkan dada. Kalau dilarang ke pesta sanak keluarga, diri ini tidak pernah keberatan. Tetapi ini yang dilarang untuk menjenguk orang tua yang sedang tidak berdaya, dirawat di rumah sakit. Sungguh sangat menyedihkan. Keterlaluan sekali mas Rama. Tidak punya perasaan.

Apa mas Rama tidak berpikir Jika adik perempuan dia kelak diperlakukan seperti itu, bagaimana perasaannya?

Entah kenapa. Jika bapak masuk rumah sakit pikiranku selalu saja jauh melanglang buana entah ke mana-mana. 

Aku sangat takut jika tidak akan berjumpa lagi dengan beliau.

Aku takut bapak akan pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Segala pikiran buruk terus saja berkecamuk dalam hati dan pikiranku.

Ingin berpikir yang positif tetapi entah kenapa hati ini tidak bisa. Aku merasakan kehadiran bapak sangat sulit untuk dijangkau. Aku merasakan akan kehilangan bapak.

Ya Allah semoga saja bapak segera sembuh dan bisa berkumpul dengan anak-anaknya seperti dahulu lagi. Apalagi sebulan lagi bulan Ramadhan akan datang menyapa umat muslim di seluruh penjuru dunia.

Aku ingin berkumpul kembali seperti Ramadhan-ramadhan sebelumnya.

Keinginan aku saat ini hanya satu. Ingin melihat bapak sehat kembali seperti sedia kala.

Dengan hati kesal aku tinggalkan ketiga manusia yang tidak mempunyai perasaan itu. Hatiku sedih tidak menentu sementara mereka bertiga mengobrol dan sekali-kali mereka tertawa bahagia seakan tidak ada beban sedikit pun di hatinya.

Sementara aku untuk tertawa saja saat ini tidak sanggup. Siapa yang sanggup tertawa di saat orang yang kita cintai terbaring lemah di rumah sakit?

Tidak sanggup mendengar celotehan mereka akhirnya aku melangkahkan kaki menuju ke kamar.

Sesampai di kamar aku merebahkan tubuh ini di ranjang sambil membenamkan muka ke dalam bantal. 

'Bagaimana kondisi bapak sekarang? Aku harus mengetahui keadaan beliau. Hmmm ... Apa guna handphone jika tidak untuk menelpon orang tua yang jauh di sana? Segera saja diri ini bangun dari pembaringan dan mengambil ponsel yang masih tergeletak di atas nakas. Aku harus menelpon kak Ayu untuk menanyakan kabar ibu dan bapak di rumah.

Berulang kali aku menekan tombol hijau tetapi kak Ayu tidak juga mengangkatnya.

Hatiku semakin gundah gulana. Hati ini terus kepikiran bagaimana kondisi bapak saat ini.

'Ke mana sih kak Ayu? Kenapa tidak mengangkat juga teleponnya?' Batinku pilu.

Aku hempaskan kembali tubuh ini di atas ranjang. Pikiranku semakin kalut. Siapa lagi yang bisa aku hubungi untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi bapak? 

Diri ini kembali mengambil ponsel dan menelpon bik Rum. Beliau merupakan adik kandung bapak.  Tetapi tidak juga diangkatnya. Pikiranku semakin kalut.

Kucoba lagi dengan menelpon kak Ayu. Semoga saja kak Ayu mengangkat teleponku.

Kring ... kring ... kring.

Sampai nada sering ketiga baru terdengar suara sahutan dari ujung sana.

"Assalamualaikum."

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
km harus tegas ambil keputusan jgn sampe menyesal
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status