"Bapak sakit keras. Kasian Bapak gak ada yang menemani." ujarku mengiba mengharap mertua dan suamiku tersentuh dan mengijinkan aku untuk menjenguk bapak di rumah sakit. Rasanya air mata ini tidak sanggup lagi untuk aku tahan. Mereka hampir keluar dari sarangnya.
"Kan, ada kakakmu, buat apa dia tinggal sama orang tuamu, jika orang tua sakit dia gak mau mengurusnya. Masak harus menunggu kamu yang jauh?" timpal ibu mertua, lagi-lagi beliau ikut campur dalam rumah tanggaku."Kalau ada saya di sana, kami bisa gantian menjaga bapak, Bu." Aku berusaha menjelaskan pada mertuaku."Ibumu juga ada 'kan? Jadi kenapa harus kamu yang jauh malah disuruh pulang? Mereka mau leha-leha saja dan kamu yang menjaga bapak di rumah sakit? Begitu mau mereka? Kok gak adil begitu sih orang tuamu, Nes?" Mertuaku seakan memanas-manasi. Aku tidak bisa dikompori karena diri ini tau bagaimana ibu dan kak Ayu. "Mereka gak begitu, Bu. Saya cukup tau bagaimana keluarga saya. Bagaimana ibu dan kak Ayu. Saya hanya ingin pulang untuk mengurus bapak sakit. Saya mau melihat kondisi beliau dengan mata kepala sendiri. Itu saja.""Halah, emang bapak kamu itu anak kecil? Lagian ada perawat. Kamu aja yang terlalu banyak alasan. Pokoknya siap pesta aja kamu pulang. Ibu pun mau ikut, sekalian mau refreshing," tukas wanita yang telah melahirkan mas Rama ke dunia ini tanpa merasa berdosa. Mau refresing katanya sementara bapak aku sedang sakit disana. Bukannya ikut prihatin dan mendoakan kesembuhan malah beliau dengan santai mengatakan mau refreshing ke kampungku. Di mana hati nurani beliau?"Mas ...." Aku mengalihkan pandangan ke arah mas Rama yang sedang sibuk memainkan ponselnya. Semoga saja mas Rama mengijinkan untuk menjenguk bapak. Karena yang berhak melarang aku 'kan hanya suami yaitu mas Rama."Udahlah, Dek. Kamu jangan keras kepala. Kalau dibilang jangan ya jangan."Jawaban mas Rama sangat menyakitkan hatiku. Sungguh, mereka sangat tega terhadap orang tuaku.'Bapak, maafkan anakmu," batinku pilu.Aku hanya bisa tercenung terpaku di tempat aku berdiri saat ini. Mas Rama seakan tidak memperdulikan bagaimana sedihnya sang istri. Dia tidak pernah mau tahu bagaimana kondisi keluargaku. Hanya keluarganya saja yang selalu di nomor satukan.Aku dan Niken hanya sebagai angin lalu saja di mata lelaki yang berusia tiga puluh tahun itu.Mas Rama tetap saja melanjutkan obrolan dengan adik dan ibunya. Sesekali aku melihat mas Rama tersenyum begitu bahagianya layaknya keluarga bahagia dan harmonis.Dan dari raut wajahnya mereka begitu serius bercerita tentang persiapan pesta Sinta dan mereka tidak pernah mengajak aku untuk ikut nimbrung.Aku ini orang lain di mata keluarga suamiku. Hanya seorang istri yang tidak mempunyai ikatan darah, jadi bukan siapa-siapa di mata mereka.Pernah suatu hari aku menasihati Sinta karena berpacaran dan pulang larut malam. Malah aku yang dimarahin sama ibu mertua dan mas Rama. "Jangan kau urusin Sinta. Dia itu sudah tau mana yang baik dan buruk terhadap hidupnya sendiri," ujar ibu mertua saat aku keberatan karena Sinta masih berduaan dan bergelap-gelapan di joglo halaman belakang rumah ibu, sementara jam sudah menunjukkan di angka 02.00. "Bukan gitu, Bu. Kalau Sinta masih berduaan sama lelaki tengah malam begini, apa ibu gak malu dilihat tetangga?" sergah aku keberatan."Kenapa harus malu? Paling orang itu iri sama Sinta karena calon suaminya kaya raya. Tajir melintir ... hmmm ... atau jangan-jangan kamu iri sama Sinta ya?" "Iri? Kenapa saya harus iri dengan adik saya sendiri. Ah ... ibu ini ada-ada saja," ujarku. Hanya ingin dinikahi lelaki kaya raya, harga diri pun mau digadaikan. Malah aku yang dituduh iri terhadap anaknya. Padahal aku berusaha menjaga nama baik keluarga mertua. Ya sudahlah. Terserah mereka saja. Toh Sinta pun bukan adikku. Walaupun aku menganggap mereka seperti ibu dan adik sendiri tetapi mereka selalu saja menganggap aku ini orang lain yang keberadaan ku di sini hanya mengganggu mereka saja. Ini memang bukan pertama kalinya sikap suami terhadap aku dan keluarga begitu. Tetapi kali ini sangatlah menyesakkan dada. Kalau dilarang ke pesta sanak keluarga, diri ini tidak pernah keberatan. Tetapi ini yang dilarang untuk menjenguk orang tua yang sedang tidak berdaya, dirawat di rumah sakit. Sungguh sangat menyedihkan. Keterlaluan sekali mas Rama. Tidak punya perasaan.Apa mas Rama tidak berpikir Jika adik perempuan dia kelak diperlakukan seperti itu, bagaimana perasaannya?Entah kenapa. Jika bapak masuk rumah sakit pikiranku selalu saja jauh melanglang buana entah ke mana-mana. Aku sangat takut jika tidak akan berjumpa lagi dengan beliau.Aku takut bapak akan pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Segala pikiran buruk terus saja berkecamuk dalam hati dan pikiranku.Ingin berpikir yang positif tetapi entah kenapa hati ini tidak bisa. Aku merasakan kehadiran bapak sangat sulit untuk dijangkau. Aku merasakan akan kehilangan bapak.Ya Allah semoga saja bapak segera sembuh dan bisa berkumpul dengan anak-anaknya seperti dahulu lagi. Apalagi sebulan lagi bulan Ramadhan akan datang menyapa umat muslim di seluruh penjuru dunia.Aku ingin berkumpul kembali seperti Ramadhan-ramadhan sebelumnya.Keinginan aku saat ini hanya satu. Ingin melihat bapak sehat kembali seperti sedia kala.Dengan hati kesal aku tinggalkan ketiga manusia yang tidak mempunyai perasaan itu. Hatiku sedih tidak menentu sementara mereka bertiga mengobrol dan sekali-kali mereka tertawa bahagia seakan tidak ada beban sedikit pun di hatinya.Sementara aku untuk tertawa saja saat ini tidak sanggup. Siapa yang sanggup tertawa di saat orang yang kita cintai terbaring lemah di rumah sakit?Tidak sanggup mendengar celotehan mereka akhirnya aku melangkahkan kaki menuju ke kamar.Sesampai di kamar aku merebahkan tubuh ini di ranjang sambil membenamkan muka ke dalam bantal. 'Bagaimana kondisi bapak sekarang? Aku harus mengetahui keadaan beliau. Hmmm ... Apa guna handphone jika tidak untuk menelpon orang tua yang jauh di sana? Segera saja diri ini bangun dari pembaringan dan mengambil ponsel yang masih tergeletak di atas nakas. Aku harus menelpon kak Ayu untuk menanyakan kabar ibu dan bapak di rumah.Berulang kali aku menekan tombol hijau tetapi kak Ayu tidak juga mengangkatnya.Hatiku semakin gundah gulana. Hati ini terus kepikiran bagaimana kondisi bapak saat ini.'Ke mana sih kak Ayu? Kenapa tidak mengangkat juga teleponnya?' Batinku pilu.Aku hempaskan kembali tubuh ini di atas ranjang. Pikiranku semakin kalut. Siapa lagi yang bisa aku hubungi untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi bapak? Diri ini kembali mengambil ponsel dan menelpon bik Rum. Beliau merupakan adik kandung bapak. Tetapi tidak juga diangkatnya. Pikiranku semakin kalut.Kucoba lagi dengan menelpon kak Ayu. Semoga saja kak Ayu mengangkat teleponku.Kring ... kring ... kring.Sampai nada sering ketiga baru terdengar suara sahutan dari ujung sana."Assalamualaikum.""Assalamualaikum, Kak. Bagaimana dengan keadaan bapak sekarang? Sudah mendingan atau bagaimana?" Kuberondong Kak Ayu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi."Tadi Agnes telpon Kakak, tapi kenapa gak Kakak angkat, sih? Aku khawatir banget disini loh, Kak." Tanpa terasa air mata ku jatuh berderai membasahi pipi ini dan semakin terisak mengingat betapa kangennya aku dengan cinta pertamaku.Ya ... bapak adalah cinta pertama aku yang tidak akan pernah bisa ku ingkari. Beliau begitu menyayangi kami anak-anaknya. Seluruh perhatiannya tercurahkan kepada aku dan kak Ayu. "Maaf ya, ponsel Kakak ketinggalan. Kakak tadi masih dirumah sakit.""Bagaimana kondisi bapak sekarang, Kak. Apa sudah membaik?""Belum. Sekarang bapak masih dirawat dan beliau sangat lemas. Kamu gak pulang jenguk bapak, Dek? Kasian beliau sering pangil-panggil namamu. Mungkin bapak kangen sama kamu, Nes." Perkataan Kak Ayu membuat dada ini semakin sesak."Agnes, belum bisa pulang, Kak. Ipar aku mau mengadakan pesta penikahan,"
"Kenapa emang kalau belum Adek tarik semua uangnya? Mau mas pinjam?""Iya. Buat menutupi kekurangan uang belanja aneka pernak pernik souvenir dan biaya makan calon suami Sinta selama seminggu kedepan, Dek.""Loh, biaya makan calon suami Sinta kenapa harus kita yang tanggung? Bukannya dia punya uang sendiri? Kata ibu, suami Sinta karyawan swasta yang duitnya berlimpah ruah? Kok aku semakin heran dengan cara berfikir keluarga Mas ini.""Coba Adek pikir. Apa mungkin suaminya baru datang udah kita mintai uang belanja? Ibu pun ada perasaan.""Adek tau, ibu memang orangnya sangat sensitif. Tapi jangan membebani aku juga dong, Mas. Aku juga ada keperluan. Mas tau sendiri, kan? Bapak sakit dan Adek harus pulang kampung segera untuk menjenguk bapak.""Uangnya Mas pake sebentar saja kok. Hanya beberapa hari saja. Nanti jika keluar bonus, Mas akan bayar deh.""Mas akan membayar utang sama Adek? Mimpi apa Mas mau membayar utang sama istri Mas ini? Hahaha. Mas ... Mas ... Lucu banget lawak kamu,
"Istri macam apa kamu ini, Nes? Suami sakit aja kau gak tau. Memang kamu ini istri yang gak becus ngurus suami. Heran aku lihat anak ini. Entah apa bisanya?""Manalah saya tau, Bu. Mas Rama saja tidurnya tadi malam entah dimana, entah sama siapa. Dia itu tidak pernah menganggap saya ini sebagai istri. Buat apa saya repot-repot ngurusin dia?" ujarku dan disambut dengan tatapan kesal dari mertua dan mata beliau melotot seakan bola mata akan keluar dari sarangnya.Punya suami marah dikit dengan istri langsung minggat tidur dengan ibunya. Suami masih di bawah ketiak mamaknya sih emang begitu."Kasian kali lah anakku Rama. Nasib buruk dia ber jodohkan wanita seperti kamu, Nes. Sudah gak pandai masak gak perhatian terhadap suami. Cantik juga enggaknya kamu itu. Apa sih yang bikin anakku menjadikan kamu sebagai istrinya?""Mungkin kak Agnes memakai pelet, Bu. Percaya deh sama aku. Kawan sekelas aku begitu juga. Kakak iparnya jelek banget tetapi abangnya yang ganteng itu sangat menyayangi dan
"Keluar kau dari kamar Aku, Dek! Aku gak bisa tidur kalau ada kamu disini. Istri apaan cuma bisa bikin emosi aja. Tidak bisa menjadi istri yang bisa menenangkan hati suami!" Bentak Mas Rama dan seketika saja membuat diri ini syok. Bagaimana tidak. Didepan ibu mertua dan adik ipar aku diperlakukan seperti ini. Sungguh hina rasanya diri ini di depan mereka. Rasanya harga diriku sudah diinjak-injak sama keluarga lelaki yang sudah menikahi aku selama delapan tahun belakangan ini. Banyak yang bertanya apa sih yang aku pertahankan tinggal disini. "Hanya karena memikirkan anak semata wayang kamu bertahan? Naif sekali kau, Nes," ujar Meisya sahabat kecilku. Saat itu kami sedang mengadakan reunian. Dan mereka menjemput aku di rumah mertua. Dan perlakuan mertua dan adik ipar sungguh tidak mengenakkan sedikitpun. Sehingga Meisya dan Putri sampai geleng-geleng kepala melihat ulah dua manusia tersebut. "Kenapa gak ngontrak aja kau, Nes," saran Meisya waktu itu. "Gak ada duit aku bu
"Kenapa kamu ngomong begitu, Nes? Aku heran dengan kelakuan kamu. Apa pantas seorang istri, seorang menantu atau seorang kakak ipar malah mencari rumah sewa disaat ada hajatan besar dalam keluarganya? Mas tanya sekali lagi sama kamu. Apa pantas, Nes?""Bagaimanapun marahnya kamu sama keluargaku janganlah kamu tunjukkan sama tetangga atau sanak saudara. Kamu tau sendiri, 'kan? Di rumah lagi rame. Jangan kau tunjukkan sekali lah kekurangan kita di depan orang. Keburukan kita cukup kita-kita saja yang tau. Jangan sampai isi perut keluarga ini menjadi bahan gosip para tetangga nantinya," nasehat Mas Rama.Aku hanya bisa tertegun dan secara tidak langsung aku juga meng-iyakan apa yang baru saja Mas Rama katakan. Seburuk apapun mereka itu masih berstatus mertua dan iparku. Aku harus menjaga harkat dan martabat mereka semua.Cukup lama kami saling diam dan aku sibuk mencerna setiap kata-kata yang keluar dari mulut Mas Rama dan menurut aku ada benarnya juga. Kalau aku tetap bersikeras keluar
"Kamu jam segini belum masak, Nes? Ngapain aja dari tadi?" Tiba-tiba saja ibu Lastri datang dengan rambut macam rambut singa khasnya orang bangun tidur. Sedangkan untuk mencuci muka dan menggosok gigi saja beliau belum mengerjakannya. Pantas saja Sinta pemalas, ternyata nurun dari ibu Lastri. "Agnes mau berangkat kerja, Bu. Masalah sarapan pagi, saya heran. Apa tidak bisa Ibu atau Sinta sendiri yang memasaknya? Kok dikit-dikit Agnes yang kerjainnya. Kapan Sinta bisa mandiri. Nanti kalau dia tinggal di rumah mertua bagaimana? Kalau tidak belajar dari sekarang kapan lagi? Ibu selaku orang tua kandung ajarinlah Sinta masak dan berberes rumah." Tiba-tiba saja timbul keberanian aku untuk menasehati ibu mertua yang terlalu memanjakan anak gadisnya. Jangankan memasak untuk makan sekeluarga, kurasa memasak untuk makan sendiri aja dia gak pernah. "Lantam kali mulut kau, Nes." "Bukan lantam, Bu. Saya cuma menasehati aja. Kasian nanti di rumah mertua jika Sinta tidak bisa apa-apa." "
"Apa Mas bilang? Modal buat Romi? Apa saya gak salah dengar, Mas?" Tanyaku dengan kaget."Iya, Dek." Jawab mas Rama singkat."Setau saya, suami Sinta seorang pegusaha yang sukses dan juga kaya raya. Tajir melintir. Kekayaan dia tidak bakal habis sampai tujuh turunan. Kenapa malah minta modal sama kita? Aneh-aneh aja manusia sekarang." Kuberondong pertanyaan terhadap lelakiku, dia menatap nyalang seakan diri ini hendak di telan hidup-hidup.Masih teringat dalam ingatanku, dulu mertuaku begitu sombong, beliau sangat membanggakan Romi sebagai calon menantu yang kaya raya. Sampai-sampai harga diri anak juga di gadaikan, hanya untuk mendapatkan lelaki macam Romi. Tapi sekarang kenapa malah minta di modalin? Betul-betul tidak habis pikir dengan jalan pikiran mertua dan suamiku."Memang iya ... Romi seorang pengusaha kaya raya, Nes. Tetapi itu 'kan punya keluarga besar mereka. Mana mungkin Sinta akan merasakan uang dari suaminya sementara semua pembukuan, uang keluar dan uang masuk diatur sa
Sekarang ibu mertua sudah mulai melunak, itu semua dilakukan demi melukuhkan hatiku. Beliau sangat berharap aku bersedia mengajukan kredit uang di Bank. Mengambil kredit mah, gampang. Tapi bayarnya ini cengap-cengap. Dia pikir membayar cicilannya pake apa? Apa bisa bayar memakai daun pisang? Kalau bisa begitu, ya senang sekali aku. Sekarang untuk sementara waktu sikap dan sifat ibu mertua seakan menjadi malaikat tanpa sayap, yang selalu membela dan menyayangi anak menantunya. Begitulah beliau jika ada maunya. Padahal biasanya seperti singa yang sudah siap menerkam mangsanya."Gak apa-apa, Bu. Saya bisa jalan sendiri ke sekolah. Biasanya pun, begitu 'kan? Kemana-mana sendirian saja, gak ada yang mau tau bagaimana keadaan saya di jalan." Sindir aku."Apakah ada masalah atau enggak tidak ada orang yang memedulikannya. Saya sudah biasa mandiri. Semua bisa saya kerjakan sendiri. Mau ada suami gak ada suami bagi saya sama saja, Bu. Gak ada pengaruh apa-apa bagi kehidupan ini." Lanjutku l