Share

HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS
HANYA SUAMI DI ATAS KERTAS
Author: Trinagi

Bab 1. Meminta Izin Pulang Kampung

"Mas, bapak sakit. Adek minta izin pulang, ya?" pintaku pada mas Rama sambil berjalan menghampiri mas Rama di tempat duduknya. Mas Rama sedang duduk santai di teras rumah ditemani ibu mertua dan Sinta sang adik.

"Ya, gak bisalah. Gak lama lagi Sinta pesta. Siapa yang bantu Ibu jika bukan kalian berdua? Bapakmu, sih. Sakit aja kerjanya. Makanan itu dipantang. Ini gak, lihat makanan semua dimakannya. Apa Bapakmu tidak pernah lihat makanan ya, Nes? Rakus sekali Ibu lihat." Ucapan mertua sungguh sangat menyakitkan. Ingin rasanya aku sumpahin beliau dengan kata-kata kasar tapi ya sudahlah. Aku tidak ingin doa buruk akan kembali kepada keluarga aku kelak.

'Semoga aja dia tidak pernah merasakan seperti yang Bapak aku rasakan,' batinku.

"Masa kamu minta pulang, sih. Aneh-aneh aja kamu, Dek. Tiga hari lagi di rumah akan diadakan pesta. Siapa nanti yang bantu-bantu di rumah? Kamu pikir kita ngadain pesta ini hanya main-main? Banyak orang-orang penting yang datang. Jangan sampai persiapan amburadul. Nanti keluarga kita juga yang malu." Mas Rama memberi pengertian kepadaku.

Bukan aku tidak mau mengerti kondisi di rumah mertua saat ini. Tetapi aku lebih mengutamakan orang sakit daripada orang yang berpesta. Karena pesta itu merayakan suatu hubungan. Nah, bapak aku sakit. Beliau butuh dukungan morel dan spiritual. Beliau menginginkan anak-anaknya berkumpul semua.

"Alah ... itu 'kan alasan Kakak ajanya biar terbebas dari tugas. Memang dasar Kakak aja yang pemalas. Sinta lihat Kakak sering sekali menghindar dari pekerjaan di rumah. Maunya makan saja." timpal Sinta menambah keruh keadaan. Akhirnya semua mata tertuju kepadaku. Tatapan Mas Rama seakan ingin menelan raga ini.

"Jangan suka menuduh orang sembarangan, Sin. Kalau gak tau masalah bagus kamu itu diam saja." jawabku kesal.

"Jangan-jangan benar juga apa yang dibilang Sinta. Kamu malas membantu keluarga Mas 'kan? Kamu lebih berpihak kepada keluarga kamu sendiri."bentak mas Rama dengan mata melotot.

"Bukan begitu maksud Adek, Mas. Kalo bukan karena bapak masuk rumah sakit, gak akan mungkin Adek mau meninggalkan hajatan besar seperti ini," ujarku.

"Aku heran dengan jalan pikiran kamu, Dek. Kamu lebih mementingkan keluargamu sendiri dibandingkan keluarga Mas. Aku kecewa dengan sikap kamu ... Egois." bentak Mas Rama dengan sangat marah.

Dan lebih menakutkan lagi tatapan mata ibu mertua yang seakan mau menelan aku hidup-hidup. Akan tetapi aku usir perasaan itu. Yang penting aku harus pulang untuk menjenguk bapak sakit. Kutebalkan juga muka ini untuk memohon ijin sehingga bisa pulang kampung.

"Bukan egois. Ini masalahnya bapak sakit loh, Mas. Bukannya Adek mau main-main. Adek mohon pengertiannya." Aku terus saja berusaha mendapat ijin untuk menjenguk bapakku yang sedang dirawat di rumah sakit.

"Gak bisa," bentaknya.

"Mas, Adek mohon. Tolonglah. Sekali ini aja ijinkan aku pulang menjenguk bapak." pintaku lagi sambil menahan air mata yang sudah menganak sungai di sudut mata ini.

"Emang Bapakmu sakit apa, sih?" tanya lelaki ganteng yang telah merajai hati ini dalam kurun waktu delapan tahun belakangan ini. 

Sedihnya hati ini. Aku menyayanginya sepenuh hati tapi tidak dengan dia. Jika menyangkut keluargaku, dia sangat dingin dan tidak ada sedikit pun senyum di wajahnya. Keluargaku bagaikan orang lain yang tidak pernah dikenalnya. Dengan wajah datar seakan tidak ada hal yang perlu dirisaukan  mengenai kedua orangtuaku.

"Mas ... Bapak dirawat di rumah sakit. Berarti sakitnya parah. Kalau sakit ringan gak mungkin juga beliau akan bersedia diopname," ujarku lagi.

Aku sangat tau sifat bapak yang tidak pernah ingin menyusahkan anak-anaknya. Jika masih bisa ditahan keluhannya pasti bapak sudah minta pulang. Beliau tidak akan mau dirawat di rumah sakit.

Bapakku mengidap penyakit jantung koroner, jadi wajarlah jika sering mengeluh sakit karena tidak bisa pantang makan.  

Terlalu dipantang pun, kasihan juga aku lihat bapak jadi lemas dan tidak bersemangat begitu. Seperti tidak bergairah. 

Mungkin juga beliau kesepian karena anak-anak pada berjauhan semua. Mereka mempunyai kehidupannya masing-masing.

"Dipikirlah secara matang-matang. Apa mungkin kamu akan meninggalkan pesta yang tidak berapa lama lagi akan kita adakan? Apa mungkin kita melepaskan tanggung jawab sebagai anak? Mas ini anak laki-laki ibu dan bertanggung jawab sepenuhnya kepada ibu dan adikku. Jangan kau pikir mentang-mentang adikku yang pesta kamu bisa seenak hati." ujar mas Rama.

"Aku tidak bermaksud begitu, Mas. Mas tahu sendiri 'kan, Bapakku itu udah tua dan sering sakit-sakitan. Wajarlah aku izin pulang. Bedalah Mas suasana hati kita jika menjenguk orang tua sakit dengan menghadiri pesta." jawabku lesu.

"Apa maksud, Kakak?" Tiba-tiba saja Sinta memotong pembicaraanku.

"Maksud Kakak gini. Pesta itu 'kan suasana hati kita penuh dengan kebahagiaan. Sementara menjenguk orang sakit, suasana hati sedih. Kalau Kakak disuruh memilih ya ... bagus memilih menjenguk orang sakit. Karena mereka itu yang butuh dukungan dan semangat dari kita." ucapku takut-takut dan hanya menunduk tanpa berani melihat kearah mereka bertiga.

"Tidak ... tidak boleh kau pulang hari ini. Kamu harus tetap disini membantu Ibu belanja dan lain sebagainya. Nanti sesudah siap pesta, baru boleh pulang. Nanti Mas antar, kita pulang sama-sama."

"Tapi Mas ...."

"Tidak ada tapi-tapian. Sekali aku bilang tidak boleh ya ... tidak. Lagian bapakmu sudah biasa sakit. Pasti akan sembuh juga dia nanti." ujar mas Rama seakan terlalu menyepelekan kondisi bapak yang sedang tidak berdaya di rumah sakit.

"Mas, Adek tidak minta biaya ongkos atau apa pun yang menyangkut uang sama kamu. Aku punya uangku sendiri, Mas. Aku hanya minta untuk di antar. Atau Mas antar saja Adek ke terminal. Biar saja Adek naik bus antar propinsi saja, Mas. Yang penting Adek bisa menjenguk bapak," ujarku.

"Lucu kau, Nes. Di rumah mau ada hajatan, kamu malah mengajak anakku pergi mengantarkan kamu pulang kampung. Siapa yang akan menghandle semua pekerjaan di rumah. Kau jadi istri kenapa pembangkang begitu sih, Nes. Tidak bisa dibanggakan sedikit pun. Kau pikir mentang-mentang kau seorang Pegawai Negeri Sipil dan bergaji jadi bisa seenak hatimu mengatur-ngatur Rama?" Sekarang giliran mertuaku yang ikut bersuara. Beliau selalu saja menyalahkan aku. Anak mana sih, yang tidak akan kepikiran mendengarkan kabar orang tuanya masuk rumah sakit?

Coba sekali saja mereka berada di posisi aku saat ini. Mungkin mereka tidak tahan sedikit pun. Atau seandainya Sinta berada dalam posisi aku saat ini, mungkin saja ibunya tidak terima dan akan menggugat cerai suaminya. Siapa yang tahan punya suami selalu di atur oleh orang tua? Seakan tidak mempunyai wibawa sedikit pun. Udah tua tapi masih di bawah ketiak ibu.

"Bu, bapak saya lagi diopname. Beliau sedang berjuang melawan penyakitnya. Tidak ada niat sedikitpun dalam hati ini untuk lari dari tugas yang sudah keluarga ini berikan kepada saya. Malah saya sangat bahagia dan bangga karena diberi kepercayaan sama keluarga Mas Rama dalam mengurus segala kebutuhan pesta nantinya,"  ujarku.

"Ya udah. Kamu kerjakan saja tugasmu. Siap pesta  nanti kita pulang menjenguk bapak di rumah sakit. Semoga saja beliau sudah sembuh,"  ujar Mas Rama lagi. Dan mereka seperti tidak pernah mau tau bagaimana perasaanku saat ini.

"Mas ... Bapak sakit keras loh!" ujarku tergugu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
sungguh keterlaluan suami sm mertua g ada hati nurani
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status