Share

Bab 3. Mas Rama Pinjam Uang

"Assalamualaikum, Kak. Bagaimana dengan keadaan bapak sekarang? Sudah mendingan atau bagaimana?" Kuberondong Kak Ayu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.

"Tadi Agnes telpon Kakak, tapi kenapa gak Kakak angkat, sih? Aku khawatir banget disini loh, Kak." Tanpa terasa air mata ku jatuh berderai membasahi pipi ini dan semakin terisak mengingat betapa kangennya aku dengan cinta pertamaku.

Ya ... bapak adalah cinta pertama aku yang tidak akan pernah bisa ku ingkari. Beliau begitu menyayangi kami anak-anaknya. Seluruh perhatiannya tercurahkan kepada aku dan kak Ayu. 

"Maaf ya, ponsel Kakak ketinggalan. Kakak tadi masih dirumah sakit."

"Bagaimana kondisi bapak sekarang, Kak. Apa sudah membaik?"

"Belum. Sekarang bapak masih dirawat dan beliau sangat lemas. Kamu gak pulang jenguk bapak, Dek? Kasian beliau sering pangil-panggil namamu. Mungkin bapak kangen sama kamu, Nes." Perkataan Kak Ayu membuat dada ini semakin sesak.

"Agnes, belum bisa pulang, Kak. Ipar aku mau mengadakan pesta penikahan,"  ujarku dengan suara tercekat.

Rasanya diri ini seperti anak yang betul-betul tidak tau diri. Disaat bapak masih sehat beliau selalu saja memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap kami. Sedikit pun beliau tidak mau melihat anak-anaknya menderita.

Tetapi disaat beliau butuh dukungan aku malah  tidak pulang untuk sekedar menghiburnya.

Aku masih teringat dulu masa-masa sekolah, disaat aku diganggu sama Arif. Bapak langsung saja mendatangi rumah anak itu. Arif memang terkenal sangat bandel. Dia sangat sering membocorkan ban sepeda siapa saja yang dia sukai. Kemudian aku melaporkan masalah ini kepada bapak dan bapak bagaikan pahlawan dalam kehidupanku. Beliau menjumpai orang tua Arif dan menasehati Arif supaya tidak mengganggu aku lagi.

Semenjak saat itu dia tidak berani lagi mengganggu. Jangankan mengganggu melihat aku saja dia tidak berani. Setiap kami berpapasan dia akan mencari jalan alternatif sehingga tidak berjumpa dengan anak gadis kesayangan pak Ardi. 

Jangan main-main dengan bapak. Walaupun hanya pegawai rendahan tapi tidak pernah patah semangat apalagi sampai ada orang yang menginjak harga diri dia atau anaknya.

Tetapi sekarang dikala bapak sedang tidak berdaya dan membutuhkan dukungan morel dan spirituil dari kami, malah aku tidak datang. Anak macam apa aku ini.

"Nes ... Nes..." terdengar suara kak Ayu berteriak dari seberang sana.

"I ... I ... Ya kak," jawabku gelagepan. Dari tadi aku sibuk dengan pikiran sendiri tanpa menyadari jika aku sedang berbicara dengan kak Ayu.

"Kamu kenapa, sih? Kakak ajak bicara dari tadi kenapa diam saja? Capek Kakak berkoar-koar sendiri. Kamu ngapain aja? Kalau gak ada yang  mau dibicarakan bagus kamu tutup aja lah telponnya." Terdengar suara kak Ayu marah-marah.

"Ma ... Maaf, Kak. Tadi Agnes melamun. Agnes kepikiran terus bagaimana kondisi bapak saat ini. Aku takut kehilangan bapak, Kak." Dan lagi-lagi aku menangis untuk yang kesekian kalinya.

"Udahlah. Kamu doain saja semoga bapak segera sembuh dan kita bisa berkumpul lagi Ramadhan dan idul Fitri tahun ini." Terdengar suara serak seakan kak Ayu sedang menahan tangisannya. Aku tidak bisa membayangkan wajah kakakku di ujung sana, yang jelas sekarang rasa khawatir dalam benak ini semakin menjadi-jadi.

Setelah aku tutup telponnya segera aku bersiap siap untuk menjenguk bapak. Aku gak mau tau. Siap pesta Sinta, mau diberi izin atau gak sama mas Rama aku tetap pulang kampung. Kubuka lemari dan mengambil beberapa potong baju melipat dan memasukkan ke dalam koper.

Cukuplah beberapa potong saja karena aku di kampung hanya seminggu saja.

Mas Rama jangankan khawatir dengan kondisi bapak mertua, bertanya saja dia gak mau. Terlalu sibuk mengurus pesta adik semata wayang. Begitu sayangnya dia terhadap adiknya sehingga kondisi istri dan anak kami, Niken tidak diperdulikan. 

Aku sudah biasa diperlakukan seperti ini. Diri ini sudah kebal. Sambil terus melipat baju baru aku sadari ternyata aku belum meminta izin sama ibu Kepala Sekolah.

'Seharusnya aku meminta izin dulu kepada Kepala Sekolah," batinku.

Kuambil ponsel di atas ranjang dan menekan tombol dengan nama bu Mirna sang Kepala Sekolah.

Bunyi dering ketiga akhirnya telpon diangkat sama beliau. 

"Hallo, Assalamualaikum," sapa bu Mirna di seberang sana. 

"Wa alaikum salam, Bu."

"Iya. Ada apa bu Agnes? Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Begini, Bu. Saya mau ijin gak masuk kelas seminggu karena mau menjenguk orang tua di kampung."

"Lama banget kalau cutinya sampe seminggu , Bu Agnes," protes bu Mirna.

"Saya tau, Bu. Tapi bagaimana, ya? Bapak saya sakit keras dan sudah dua hari ini masuk rumah sakit. Tidak ada anaknya yang menjaga beliau di rumah sakit. Kami cuma dua bersaudara, Bu. Jadi saya mohon ibu memaklumi kondisi kami." Aku berusaha menjelaskan sama Bu Kepala Sekolah. Dan semoga saja beliau bisa memberikan ijinnya. Gak dapat seminggu beberapa hari saja pun boleh juga.

"Waduh ... bagaimana, ya?"

"Saya mohon, Bu. Sekali ini saja, berikan saya ijin pulang menjenguk orang tua saya. Jangan sampai beliau sudah tidak ada, baru saya pulang," ujarku tergugu.

"Maafkan saya, Bu. Bukan maksud memaksa. Tetapi orang tua saya sangat membutuhkan kehadiran anak-anaknya. Beliau terus saja memanggil-manggil nama saya, Bu," ujarku terisak.

"Oh ... Ya udah, Bu Agnes. Saya kasih surat jalan nanti ya. Kapan ibu akan berangkatnya?"

"Gak sekarang, Bu. Nanti setelah pesta adik ipar saya baru bisa kesana. Jadi saya gak nunggu beres-beres rumah. Soalnya 'kan masih ada orang lain yang bisa bantu ibu dan Sinta."

"Oh ya udah. Nanti saya buatkan surat ijin dan surat jalannya ya, Bu? Semoga bapaknya segera diberi kesembuhan. Aamiin."

"Aamiin. Terima kasih doanya, Bu." jawabku dan langsung mengakhiri telpon.

Kepala Sekolah sudah aku hubungi untuk meminta izin tidak masuk kelas selama seminggu. Sekarang aku mau melanjutkan menyiapkan segala perlengkapan pulang kampung.

"Dek, mau kemana?" Aku sampai kaget ketika Mas Rama masuk kamar tanpa mengetuk pintu dulu. 

"Mau menjenguk bapak nanti siap pesta Sinta."

"Tapi, Bapak sudah sehat apa masih dirawat sih, Dek? Mas kok jadi khawatir sama kesehatan beliau."

"Belum tau juga, Mas. 'Kan Adek masih disini. Belum sempat menjenguknya."

"Nanti Mas aja yang antar Adek, ya? Gak usah naik bus." Entah ada apa gerangan tiba-tiba saja Mas Rama begitu baik dan perhatian kepada keluarga aku. 

Bukan aku tidak bersyukur dengan perubahan suamiku. Tapi biasanya dia akan menjadi baik jika mau meminta sesuatu. 

Ah ... Gak baik juga berprasangka terus kepada suami. 

'Mas Rama merupakan imam dalam rumah tanggaku. Kenapa diri ini harus mencurigai tanpa alasan yang jelas. Suami begitu baik dan perhatian masih saja aku curigai," batinku.

"Hmmm ... Dek, ngomong-ngomong uang di ATM Adek tinggal berapa?"

"Maksud Mas bagaimana?"

"Uang gaji Adek 'kan masih ada sisa di ATM. Kemaren gak jadi ditarik semua 'kan? Mas takut nanti saat menjenguk bapak malah gak cukup untuk ongkos dan biaya makan kita selama disana. Uang sama Mas masih ada, sih. Tapi ya itulah ... masih dipegang ibu."

"Oh ... kalau masalah itu, gampang. Uang di Atm Adek masih cukup kok untuk keperluan kita sehari-hari selama di sana. Malah keperluan untuk sebulanpun masih cukup, kok."

"Hmmm ... kalau gitu, Mas pinjam dulu, ya?"

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ervina Chesika
dasar suami g ada ahklak ada maunya baru baik
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status