"Assalamualaikum, Kak. Bagaimana dengan keadaan bapak sekarang? Sudah mendingan atau bagaimana?" Kuberondong Kak Ayu dengan pertanyaan yang bertubi-tubi.
"Tadi Agnes telpon Kakak, tapi kenapa gak Kakak angkat, sih? Aku khawatir banget disini loh, Kak." Tanpa terasa air mata ku jatuh berderai membasahi pipi ini dan semakin terisak mengingat betapa kangennya aku dengan cinta pertamaku.
Ya ... bapak adalah cinta pertama aku yang tidak akan pernah bisa ku ingkari. Beliau begitu menyayangi kami anak-anaknya. Seluruh perhatiannya tercurahkan kepada aku dan kak Ayu. "Maaf ya, ponsel Kakak ketinggalan. Kakak tadi masih dirumah sakit.""Bagaimana kondisi bapak sekarang, Kak. Apa sudah membaik?""Belum. Sekarang bapak masih dirawat dan beliau sangat lemas. Kamu gak pulang jenguk bapak, Dek? Kasian beliau sering pangil-panggil namamu. Mungkin bapak kangen sama kamu, Nes." Perkataan Kak Ayu membuat dada ini semakin sesak."Agnes, belum bisa pulang, Kak. Ipar aku mau mengadakan pesta penikahan," ujarku dengan suara tercekat.Rasanya diri ini seperti anak yang betul-betul tidak tau diri. Disaat bapak masih sehat beliau selalu saja memberikan perhatian dan kasih sayang terhadap kami. Sedikit pun beliau tidak mau melihat anak-anaknya menderita.Tetapi disaat beliau butuh dukungan aku malah tidak pulang untuk sekedar menghiburnya.Aku masih teringat dulu masa-masa sekolah, disaat aku diganggu sama Arif. Bapak langsung saja mendatangi rumah anak itu. Arif memang terkenal sangat bandel. Dia sangat sering membocorkan ban sepeda siapa saja yang dia sukai. Kemudian aku melaporkan masalah ini kepada bapak dan bapak bagaikan pahlawan dalam kehidupanku. Beliau menjumpai orang tua Arif dan menasehati Arif supaya tidak mengganggu aku lagi.Semenjak saat itu dia tidak berani lagi mengganggu. Jangankan mengganggu melihat aku saja dia tidak berani. Setiap kami berpapasan dia akan mencari jalan alternatif sehingga tidak berjumpa dengan anak gadis kesayangan pak Ardi. Jangan main-main dengan bapak. Walaupun hanya pegawai rendahan tapi tidak pernah patah semangat apalagi sampai ada orang yang menginjak harga diri dia atau anaknya.Tetapi sekarang dikala bapak sedang tidak berdaya dan membutuhkan dukungan morel dan spirituil dari kami, malah aku tidak datang. Anak macam apa aku ini."Nes ... Nes..." terdengar suara kak Ayu berteriak dari seberang sana."I ... I ... Ya kak," jawabku gelagepan. Dari tadi aku sibuk dengan pikiran sendiri tanpa menyadari jika aku sedang berbicara dengan kak Ayu."Kamu kenapa, sih? Kakak ajak bicara dari tadi kenapa diam saja? Capek Kakak berkoar-koar sendiri. Kamu ngapain aja? Kalau gak ada yang mau dibicarakan bagus kamu tutup aja lah telponnya." Terdengar suara kak Ayu marah-marah."Ma ... Maaf, Kak. Tadi Agnes melamun. Agnes kepikiran terus bagaimana kondisi bapak saat ini. Aku takut kehilangan bapak, Kak." Dan lagi-lagi aku menangis untuk yang kesekian kalinya."Udahlah. Kamu doain saja semoga bapak segera sembuh dan kita bisa berkumpul lagi Ramadhan dan idul Fitri tahun ini." Terdengar suara serak seakan kak Ayu sedang menahan tangisannya. Aku tidak bisa membayangkan wajah kakakku di ujung sana, yang jelas sekarang rasa khawatir dalam benak ini semakin menjadi-jadi.Setelah aku tutup telponnya segera aku bersiap siap untuk menjenguk bapak. Aku gak mau tau. Siap pesta Sinta, mau diberi izin atau gak sama mas Rama aku tetap pulang kampung. Kubuka lemari dan mengambil beberapa potong baju melipat dan memasukkan ke dalam koper.Cukuplah beberapa potong saja karena aku di kampung hanya seminggu saja.Mas Rama jangankan khawatir dengan kondisi bapak mertua, bertanya saja dia gak mau. Terlalu sibuk mengurus pesta adik semata wayang. Begitu sayangnya dia terhadap adiknya sehingga kondisi istri dan anak kami, Niken tidak diperdulikan. Aku sudah biasa diperlakukan seperti ini. Diri ini sudah kebal. Sambil terus melipat baju baru aku sadari ternyata aku belum meminta izin sama ibu Kepala Sekolah.'Seharusnya aku meminta izin dulu kepada Kepala Sekolah," batinku.Kuambil ponsel di atas ranjang dan menekan tombol dengan nama bu Mirna sang Kepala Sekolah.Bunyi dering ketiga akhirnya telpon diangkat sama beliau. "Hallo, Assalamualaikum," sapa bu Mirna di seberang sana. "Wa alaikum salam, Bu.""Iya. Ada apa bu Agnes? Apa ada yang bisa saya bantu?""Begini, Bu. Saya mau ijin gak masuk kelas seminggu karena mau menjenguk orang tua di kampung.""Lama banget kalau cutinya sampe seminggu , Bu Agnes," protes bu Mirna."Saya tau, Bu. Tapi bagaimana, ya? Bapak saya sakit keras dan sudah dua hari ini masuk rumah sakit. Tidak ada anaknya yang menjaga beliau di rumah sakit. Kami cuma dua bersaudara, Bu. Jadi saya mohon ibu memaklumi kondisi kami." Aku berusaha menjelaskan sama Bu Kepala Sekolah. Dan semoga saja beliau bisa memberikan ijinnya. Gak dapat seminggu beberapa hari saja pun boleh juga."Waduh ... bagaimana, ya?""Saya mohon, Bu. Sekali ini saja, berikan saya ijin pulang menjenguk orang tua saya. Jangan sampai beliau sudah tidak ada, baru saya pulang," ujarku tergugu."Maafkan saya, Bu. Bukan maksud memaksa. Tetapi orang tua saya sangat membutuhkan kehadiran anak-anaknya. Beliau terus saja memanggil-manggil nama saya, Bu," ujarku terisak."Oh ... Ya udah, Bu Agnes. Saya kasih surat jalan nanti ya. Kapan ibu akan berangkatnya?""Gak sekarang, Bu. Nanti setelah pesta adik ipar saya baru bisa kesana. Jadi saya gak nunggu beres-beres rumah. Soalnya 'kan masih ada orang lain yang bisa bantu ibu dan Sinta.""Oh ya udah. Nanti saya buatkan surat ijin dan surat jalannya ya, Bu? Semoga bapaknya segera diberi kesembuhan. Aamiin.""Aamiin. Terima kasih doanya, Bu." jawabku dan langsung mengakhiri telpon.Kepala Sekolah sudah aku hubungi untuk meminta izin tidak masuk kelas selama seminggu. Sekarang aku mau melanjutkan menyiapkan segala perlengkapan pulang kampung."Dek, mau kemana?" Aku sampai kaget ketika Mas Rama masuk kamar tanpa mengetuk pintu dulu. "Mau menjenguk bapak nanti siap pesta Sinta.""Tapi, Bapak sudah sehat apa masih dirawat sih, Dek? Mas kok jadi khawatir sama kesehatan beliau.""Belum tau juga, Mas. 'Kan Adek masih disini. Belum sempat menjenguknya.""Nanti Mas aja yang antar Adek, ya? Gak usah naik bus." Entah ada apa gerangan tiba-tiba saja Mas Rama begitu baik dan perhatian kepada keluarga aku. Bukan aku tidak bersyukur dengan perubahan suamiku. Tapi biasanya dia akan menjadi baik jika mau meminta sesuatu. Ah ... Gak baik juga berprasangka terus kepada suami. 'Mas Rama merupakan imam dalam rumah tanggaku. Kenapa diri ini harus mencurigai tanpa alasan yang jelas. Suami begitu baik dan perhatian masih saja aku curigai," batinku."Hmmm ... Dek, ngomong-ngomong uang di ATM Adek tinggal berapa?""Maksud Mas bagaimana?""Uang gaji Adek 'kan masih ada sisa di ATM. Kemaren gak jadi ditarik semua 'kan? Mas takut nanti saat menjenguk bapak malah gak cukup untuk ongkos dan biaya makan kita selama disana. Uang sama Mas masih ada, sih. Tapi ya itulah ... masih dipegang ibu.""Oh ... kalau masalah itu, gampang. Uang di Atm Adek masih cukup kok untuk keperluan kita sehari-hari selama di sana. Malah keperluan untuk sebulanpun masih cukup, kok.""Hmmm ... kalau gitu, Mas pinjam dulu, ya?"Tiga tahun sudah berlalu sejak mas Rama meminta hak asuh Niken jatuh ke tangannya. Sekarang lelaki yang pernah menjadi suamiku itu tidak mempersoalkan lagi Niken tinggal sama dia atau ikut denganku. Baginya yang penting buah hati kami berdua bahagia dan tidak kurang kasih sayang sedikit pun dari kedua orang tuanya."Ma, besok Niken mau nginap di rumah papa!" ujar Gadis berusia tiga belas tahun itu seraya duduk disebelah aku yang sedang menonton drama korea."Dijemput kan?" tanyaku memastikan. Bukan aku tidak mempercayai kepada Niken, tetapi untuk memastikan keamanannya saja."Iya, Ma. Dijemput besok siang dari sekolah. Kayak biasalah, Ma. Papa menelpon Mama jika kami sudah berangkat," jelas Niken panjang lebar."Kalau di jemput, ya udah gak apa-apa," ujarku."Mama gak ngajar hari ini? Kok santai banget nonton drakor?" tanya gadis kecilku yang sudah menginjak remaja tersebut."Mama gak enak badan tadi, Nak." Ketika berbincang-bincang dan menyantap makanan yang di beli oleh Niken sepul
"Biar saja Niken bersama saya, Mas," ujarku disaat mas Rama meminta izin untuk membawa Niken tinggal bersamanya."Kenapa kamu keberatan Niken bersama aku, Nes? Niken kan anak aku juga. Apa kamu takut dia akan kelaparan jika tinggal bersama aku? Enggak, Nes. Apapun akan kulakukan untuk membahagiakan darah dagingku. Aku bukan lagi Rama yang dulu," tegas Mas Rama."Saya tau Mas juga sayang sama Niken. Bapak mana sih yang gak sayang sama darah dagingnya sendiri? Tapi Mas, kalau Niken bersama saya, saya pastikan Mas akan lebih leluasa mencari rejeki tanpa kepikiran Niken bakal tinggal sama siapa di rumah," ucapku mencoba meyakinkan mantan lelaki yang pernah sangat aku cintai waktu itu."Kamu tenang saja. Niken akan aku bawa kemana saja aku pergi, Nes." Nampaknya mas Rama sangat menginginkan Niken untuk tetap tinggal bersamanya. Dan aku bukan seorang ibu yang bisa hidup terpisah dengan anak yang masih butuh perlindungan kedua orang tuanya. Jangan tinggal terpisah, tidak berjumpa sehari saj
"Papa!" Niken berteriak kencang dan berlari ke arahku saat dia sudah keluar dari pintu gerbang sekolah. Hari ini aku menjemputnya dan akan menginap semalam dirumah sesuai janji kami kemarin sore."Niken!" Aku renggangkan kedua tangan seraya berjongkok, kemudian memeluk putri cantikku. Aku mengangkatnya tinggi dan membawa kepelukan. Niken tertawa serta menjerit kesenangan. Hanya inilah yang bisa aku lakukan untuk membuatnya bahagia. "Papa mau mengajak Niken menjumpai nenek, mau?" tanyaku sambil tetap menggendong bocah berusia sepuluh tahun itu."Mau ... mau," jawabnya antusias. Dia tidak tahu jika neneknya sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa."Tadi udah bilang sama papa Raka dan mama kan bahwa Niken akan dijemput Papa?" tanyaku sekali lagi untuk memastikan."Udah, Pa!" seru Niken dengan mimik lucunya.Merasa tidak enak hati, akhirnya aku menelpon Agnes dan Raka untuk memastikan bahwa Niken sudah meminta izin kepada kedua orang tuanya menginap di rumahku."Gak apa-apa, Mas. Kas
Hari lahiranku, rasanya akan segera tiba. Saat hendak sarapan, aku merasakan ada cairan keluar dari jalan lahir. Cairan kental berwarna merah muda. Karena rasa sakit belum begitu terasa, aku masih menyempatkan mengantar Niken berangkat ke sekolah, setelahnya singgah ke klinik bersalin untuk menanyakan perihal yang aku rasakan saat ini. "Ini tanda-tanda mau melahirkan, Bu. Cuma masih lama karena masih pembukaan satu," ucap bu Bidan. "Kalau begitu, saya pulang dulu untuk menyiapkan keperluan bayi saya, Bu." pamitku pada wanita muda berusia lima tahun di atas aku. "Boleh, Bu. Hmmm ... Raka gak ikut, Bu?" tanya bu bidan. Beliau sangat mengenal keluarga kami, apalagi anaknya merupakan sahabat Niken di sekolah dan juga merupakan anak didikku juga. "Belum saya beritahu, Bu. Kasihan merepotkan," ucapku seraya beranjak dari tempat tidur kamar pasien. "Jangan gitu, bu Agnes. Suaminya harus diberitahu juga, kan buatnya bersama-sama. Masak lahiran sendirian," ucap bu bidan terdengar sedikit
Setelah salat subuh, aku memasak nasi goreng untuk sarapan. Hari ini, aku buat agak banyak karena ingin memberi sedekah sedikit untuk pekerja karena ibu sudah di temukan.Setelah membagikan sarapan, ku rebahkan tubuh ini di gubuk kecil dekat kolam ikan. Angin bertiup lembut menghadirkan rasa kantuk pada mata ini. Hingga tak sadar, diri ini terlelap. Sebuah dering telpon membuat ku terjaga. Nama Niken tertera disana. Aku segera mengangkat dan mengucapkan salam."Papa, jadi jemput Niken hari ini?" tanya gadis kecilku."Jadi dong! Anak Papa dimana sekarang?" Kubalik bertanya."Udah di dekat rumah Papa, nih," jawabnya."Ya udah. Papa jemput dimana ni? Atau langsung ke rumah aja ya, Nak?" titahku."Jemput di mini market sejahtera ya, Pa! Niken tunggu disitu." "Baik, tunggu Papa ya?" Aku menutup telpon dan bergegas pergi.Niken sedang menunggu di bangku di teras mini market tersebut. Dia nampak seperti kebingungan. Mungkin takut tidak jadi ku jemput."Niken!" "Papa!" Niken berteriak kenca
Aku sangat kaget melihat mantan mertua berjalan sepanjang rel kereta api. Beliau menghitung batu kerikil yang berada di rel tersebut. Aku mengikuti wanita yang telah menjadikan aku menjanda dari belakang, karena ku pandang bu Lastri bagaikan orang yang sedang linglung. "Bu, mau kemana?" tanyaku saat melihat wanita berkerudung coklat susu itu menuju ke arah pemakaman."Mau menemani anak saya. Kasian dia sendirian di dalam situ." Tunjuknya ke area tempat pemakaman. "Apa? Ah enggak-enggak saja ibu? Ibu pulang aja ya? Biar saya telpon mas Rama untuk menjemput Ibu ya?" "Apa hak kamu menyuruh aku pulang?" Karena tidak bisa di ajak bicara baik-baik akhirnya aku menelpon mas Rama, anaknya yang jelas-jelas lebih tahu apa yang terjadi pada bu Lastri."Mas, mantan mertua saya nampaknya sedang depresi. Dia mau masuk ke area pemakaman," ucapku pada mas Raka melalui sambungan telpon."Jadi bagaimana?""Mas, bisa bantu saya? Saya mau menelpon mas Rama untuk menjemput ibunya. Saya yakin dia gak t