"Rama sudah kembali ke rumah ibunya dari tadi subuh. Kata dia tadi sudah memberitahukan sama kamu.""Oh ya. Agnes lupa. Hmmm ... Niken mana Kak?" Padahal mas Rama tidak pernah minta izin pulang. Pandainya dia berbohong."Dan Niken gak Kakak ajak ke rumah sakit. Kasian dia masih kecil, di sini sarangnya penyakit-penyakit menular. Jadi dia Kakak titip saja sama Bik Rum." Jelas Kak Ayu panjang lebar."Oh ya udah kalau begitu. Agnes ke kantin dulu ya, Kak. Mau minum teh hangat. Kakak mau pesan apa?" Aku pamit pada kak Ayu dan bergegas menuju ke kantin untuk menenangkan diri. "Gak. Kakak masih kenyang." ucap kak Ayu tersenyum sambil mengelus perutnya.Sebenarnya aku tidak selera makan atau minum. Ke kantin hanya untuk menghindari dari Kak Ayu atau Ibu. Aku tidak ingin mereka mengetahui jika aku sangat sakit hati dan terluka atas perlakuan Mas Rama.Aku hanya bisa terdiam dalam kesakitan. Tega suamiku, sudah datang kemari bukannya mau menjenguk bapak di rumah sakit. Jadi tugas dia hanya me
"Nes, Ba ... ba ... Bapak." Teriak kak Ayu histeris. Suara Kak Ayu terhenti dan tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia langsung ambruk dalam pelukanku. Hal yang aku takutkan akhirnya terjadi juga.Aku sudah tau apa yang akan dikatakan Kak Ayu dan aku berharap semua ini hanya mimpi. Tidak sanggup untuk mendengarkan. Kututup kedua telinga ini. Tubuh ini lemas seakan tidak bertulang. Seketika saja luruh ke lantai. Duniaku seakan berhenti berputar.Aku tidak sadarkan diri lagi. Tidak tahu juga entah berapa lama diri ini tidak sadarkan diri. Yang aku ketahui mata ini terbuka, tubuhku sudah berada di atas ranjang di kamar.Diluar sana, suara kesibukan para pelayat begitu mengganggu pendengaranku. Aku gak mau mereka datang untuk melayat. Aku yakin jika bapak masih hidup. Kenapa pula para tetangga berbondong-bondong datang kerumah untuk berbelasungkawa? Ingin rasanya mengusir mereka pergi menjauh dari hadapanku."Bik, kenapa di rumah kita begitu ramai? Mereka bukan datang untuk melayat 'kan, Bik
" Hmm ... panas banget ya di rumahmu, Nes? Apa gak ada AC? Ibu gak tahan ini, keringatan terus." ujar mertua dengan tanpa merasa bersalah, padahal semua orang sedang melihat dengan tatapan benci terhadapnya."Gak ada AC, Bu. Hmmm ... bagaimana jika saya tambah kipas angin lagi, Bu?" Tanyaku."Heran aku, AC saja orang tua kamu gak mampu beli." Ujarnya ketus dengan mata mendelik."Bu, gak baik ngomong begitu." Ujar Sinta sambil mengelus pelan pundak ibunya. Tumben hari ini Sinta tidak ikut julid seperti ibunya, padahal biasanya dia yang paling nyinyir. Hari ini pasang muka polos dan baik hati karena di depan suaminya. Jaga image. Ada ya manusia seperti itu. Di depan baik tapi di belakang menusuk."Gak apa-apa, Sin. Biar Kakak pinjam aja kipas anginnya." Ujarku seraya berjalan keluar untuk menemui Bik Rum."Kipas angin aja harus pinjam." Bisik ibu mertua tetapi aku masih bisa mendengarnya. Biar sajalah dia mau berkata apa. Aku tidak peduli. "Assalamualaikum." Aku ucapkan salam begitu
"Apa yang dikatakan Rama itu ada benarnya, Nes. Buat apa lagi kamu disini. Bapakmu 'kan sudah gak ada. Jadi sudah selesailah tugasmu," ujar ibu mertua."Bu, alangkah baiknya saya pulang setelah tujuh hari bapak meninggal. Saya juga masih kangen dengan rumah ini. Masih kangen sama ibu dan juga Kak Ayu. Sebagai anak, saya juga ingin menghibur ibu. Saya sangat tau, bagaimana perasaan ibu saat ini. Bagaimana rasanya ditinggal oleh orang terkasih yang sudah menemani hidupnya selama puluhan tahun." Kali ini aku harus berani melawan mereka. Rasanya tidak manusiawi banget harus meninggalkan ibu seorang diri di rumah. Aku tidak tega melihat ibu kesepian tanpa ada Bapak lagi disamping beliau."Kakakmu 'kan tinggal disini. Apa dia gak bisa menemani ibumu? Apa dia gak bisa menghibur ibumu? Kamu 'kan punya suami dan anak yang harus kamu urus. Punya pekerjaan yang tidak bisa kamu tinggalkan begitu saja. Heran deh. Siapa yang gak sayang sama orang tuanya? Tapi jangan korbankan yang sudah menjadi tan
Saat ini aku tidak perduli lagi Mas Rama mau marah atau tidak. Toh bagaimana pun aku berbakti kepada suami dan mertua, tidak akan nampak juga di mata mereka. Dan tidak pernah ada timbal baliknya. Keluarganya saja aku mati-matian mengurus sementara orang tuaku seperti sudah tidak memiliki anak lagi. "Kalau Mas mau mencari wanita lain, silahkan Mas. Adek gak pernah melarang, kok. Kita lihat saja berapa hari perempuan itu akan bertahan dengan kamu." sergahku. Wanita yang mana akan tahan jika diperlakukan seperti ini? Seperti pembantu. Tidak digaji malah aku yang diperas. Kadang aku berfikir sendiri, aku ini bucin apa bodoh?"Kau semakin kurang ajar sama suamimu sekarang ya, Nes," ujar Mas Rama sangat marah."Namanya orang tuaku gak ngajarin ya beginilah, Mas." Jawabku santai. Kulihat wajah mas Rama memerah seperti udang rebus, mungkin menahan amarahnya."Oh ya, Mas ... ATM gaji saya sama Mas 'kan? Boleh saya minta? Saya perlu buat biaya makan saya sama Niken selama tujuh hari kedepan.
"Ya Tuhan, Nes. Kamu itu terlalu bucin atau bodoh sih. Heran Kakak lihat kamu ini, loh. Bisa-bisanya atm kamu dikuasai Rama. Kamu ini terlalu polos, ya? Sakit hati Kakak mendengarnya.""Jadi buat apa bekerja jika hasil jerih payah gak kamu nikmati? Jangan mau dibodohin sama laki-laki. Dia itu gak ada niat untuk membahagiakan kamu. Dalam pikirannya hanya memikirkan dirinya sendiri beserta ibu dan adiknya. Kamu itu hanya dijadikan sapi perah mereka saja." Kak Ayu sangat emosi dan begitu kaget saat mendengar jika Atm gaji aku dipegang sama Mas Rama."Bukan bucin, Kak. Dan aku juga gak sebodoh yang Kakak pikirkan. Jadi ceritanya begini. Beberapa hari yang lalu sebelum berangkat menjenguk bapak di rumah sakit, aku minta tolong Mas Rama buat belanja keperluan kami selama di sini. Saat itu aku sangat bingung gak tau mau ngapain lagi. Aku betul-betul seperti orang linglung, Kak. Yang ada dalam pikiranku saat itu hanyalah, bisa menjumpai bapak. Yang ada dalam pikiranmu saat itu, hanya satu. Ba
"Bukan marah sih, Kak. Aku hanya kaget saja." Entah kenapa Adnan sangat sensitif sekarang dia gampang marah. Tidak seperti dulu lagi."Iya, deh. Kakak minta maaf. Tapi tadi Kakak udah ngucapin salam, loh. Kamu aja gak dengar." ujarku seraya menepuk bahu Adnan."Kakak ini ya? Udah salah, main pukul aja. Dasar karung goni," ejek Adnan. Kami sering melontarkan kata-kata ejekan tetapi antara kami tidak ada yang sakit hati. Karena itu semua hanya gurauan semata."Hey, kaleng kerupuk. Kakakmu yang cantik ini tadi udah ngucapin salam. Kamu aja yang gak dengar karena asyik main gitar aja. Kayak orang lagi putus cinta aja," ujarku ikut mengejek sepupuku yang sudah aku anggap sebagai adik sendiri."Mana ada Kakak ngucapin salam. Aku bukan orang pikun dan aku juga belum budeg," ujar lelaki memakai kaos putih dan celana boxer seraya meletakkan gitarnya. Nampaknya dia sudah tidak minat lagi untuk bermain gitar."Makanya jangan main gitar aja. Jadi gak dengar ada orang masuk." Setelah mengatakan it
"Kakak ada nyimpan uang?" tanyaku pada Kak Ayu saat baru pulang dari bank."Ada. Berapa kamu perlunya? Dan untuk apa?" tanya wanita berwajah lembut yang sangat menyayangi adik kandungnya ini. Diantara kami berdua tidak pernah berselisih pendapat atau saling iri hati seperti kakak beradik pada umumnya. Diantara kami berdua saling menyayangi. "Untuk membayar kontrakan, Kak. Gak perlu banyak, hanya untuk bayar sebulan aja karena uang Agnes di atm sudah ludes semua diambil Mas Rama." Kumantapkan hati ini untuk mengontrak rumah saja, itu lebih bagus untuk menjaga kewarasan hati ini."Bayar untuk setahun aja atau setengah tahun. Daripada pusing mikirin uang kontrakan tiap bulan," saran Kak Ayu memang ada benarnya juga. Tetapi aku juga perlu membeli perabotan seperti tempat tidur dan lemari."Nanti aja, Kak. Sekarang bayar bulanan aja dulu karena mau beli perabotan lagi." "Iyalah. Mana baiknya saja. Pokoknya kamu jangan tinggal lagi bersama keluarga toxic itu.""Iya, Kak."Setelah acara t