Diana baru akan merebahkan tubuhnya di pembaringan berukuran besar yang ada dalam kamarnya, ketika ponselnya di atas nakas berbunyi. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.
“Mungkin Mas Rey yang telpon,” pikir Diana buru-buru mengambil ponselnya.Namun, ternyata itu panggilan dari Denny, sang mantan yang siang tadi ditemuinya di mall.“Hallo ... ada apa telpon malam-malam, Den?" tanya Diana pelan.[Iseng aja! Hm ... aku tebak pasti suamimu belum pulang, 'kan?]“Kok, kamu tahu?” tanya Diana seperti orang bodoh.[Ya, tahulah. Kalau ada suamimu, mana berani kamu mengangkat teleponku, iya, 'kan?]“Kamu mau apa, Den? Mau terus mengejekku?” tanya Diana ketus ketika terdengar Denny tertawa geli.[Maaf, Diana. Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin bertemu kamu lagi besok siang, bisa 'kan?]“Buat apa, Den? Aku tuh udah istri orang dan beranak empat, untuk apa kamu masih mau menemuiku?”[Karena aku tahu kamu gak bahagia, Diana.]“Siapa bilang? Aku bahagia, kok.”[Jangan bohong! Aku sangat mengenal dirimu, Diana. Dua tahun lamanya kita dulu pacaran, sebelum kamu pergi dengan laki-laki itu.]“Denny! Itu sudah masa lalu. Eh, udah dulu, ya? Sepertinya suamiku udah pulang.” Diana ingin memutus pembicaraan mereka begitu didengarnya suara langkah kaki menuju kamarnya.[Ok, pokoknya besok jam dua siang, kamu aku tunggu di kafe depan pintu masuk mall tadi.]Malah Denny yang langsung menutup pembicaraan mereka sebelum Diana sempat menjawabnya. Bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka dari luar.Diana buru-buru menyelipkan ponselnya ke bawah bantal di samping ia duduk.“Kok belum tidur?” tanya Reynaldi yang melihat sang istri masih duduk di ranjang mereka.“Nungguin kamu, Mas. Kok mancing ikan sampe malam begini. Cantik gak ikannya?” sindir Diana dengan hati cemburu. Jangan-jangan suaminya bukan memancing ikan, tapi memancing wanita cantik.“Ngawur kamu! Udah, tidur aja duluan. Aku mau mandi dulu.” Reynaldy dengan acuh langsung menuju kamar mandi di ruangan itu.Diana menatap punggung suaminya dengan mulut seksinya maju dua centi.“Mas ....” Diana meraba dada kekar sang suami yang baru merebahkan diri di sampingnya setelah selesai mandi. Air hangat yang mengguyurnya tadi membuat Reynaldi langsung mengantuk.“Hem ... aku lelah, mau tidur dulu, besok pagi aja mainnya.” Reyhan membalikkan tubuhnya, memunggungi sang istri.“Huh, siapa juga yang mau ngajak main,” gerutu Diana yang kemudian ikut membalikkan tubuhnya, memunggungi sang suami. Rey tersenyum samar mendengar gerutuan sang istri dengan mata yang terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkuran halusnya.Diana tidak bisa terlelap, malah bayangan wajah Denny yang semakin tampan dan keren hadir di pelupuk matanya, membuatnya terus mengingat laki-laki yang ditinggalkannya begitu saja dulu, karena terpikat oleh Reynaldi yang lebih dewasa dan mapan.“Apa besok aku temui aja si Denny di mall, ya? Aku harus bilang padanya langsung, agar jangan menghubungi aku lagi. Ntar kalau Mas Rey tahu, bisa berabe jadinya,” pikir Diana resah.Tangan suaminya yang tiba-tiba memeluknya dari belakang, membuat Diana sadar dari memikirkan laki-laki lain. Ia membalikkan tubuh menghadap sang suami. Ujung jemarinya mengusap halus garis wajah tampan yang berhiaskan cambang tipis yang tercukur rapi. Wajah Reynaldi tampak tenang dengan dengkuran yang halus. Tangannya masih memeluk tubuh Diana dengan erat. Diana tersenyum getir. Hanya dalam kondisi tidak sadar, Rey akan melakukan hal romantis itu terhadap tubuh langsing miliknya.“Mungkin kau pikir aku hanya sebuah guling, Mas,” bisik Diana sembari menyembunyikan wajahnya di dada sang suami, memeluk lelaki tercintanya. Tidak lama kemudian ia pun tertidur pulas.***"Siang nanti aku mau ke Berau, mungkin sekitar seminggu. Ada teman yang ngajak nambang di sana,” ujar Reynaldy saat sarapan pagi bersama istri dan kedua anaknya yang akan berangkat sekolah. Keduanya masih di taman kanak-kanak.
“Lama banget seminggu, Mas. Pasti aku susah nahan rindu ntar.” Diana menatap suaminya dengan netra yang tiba-tiba mengembun.“Ah, kamu kayak ABG aja, masa udah tujuh tahun berlalu masih juga rindu-rinduan.” Reynaldi tertawa geli melihat istrinya yang sejak awal mereka menikah sangat terobsesi padanya. Bahkan hampir tiap hari istri cantiknya itu meminta jatah batin padanya, gak ada bosan-bosannya. Kadang Rey heran dengan kecanduan istrinya yang tidak berubah sejak mereka menikah.“Jadi Mas gak pernah merasa rindu sama aku ya, saat berjauhan?” Diana bertanya dengan sedih. Meski suaminya sering pergi ke luar kota, tapi hanya dua-tiga hari saja. Ia pasti akan sangat merindukan suaminya itu nanti, walaupun selama berada di rumah pun Rey juga tidak terlalu memperhatikannya. Laki-laki itu hanya sibuk dengan rokok dan ponselnya di teras rumah mereka sampai tengah malam.“Duh, males deh, pagi-pagi bahas hal yang gak penting kayak gini. Diana-Diana, udah anak empat juga, kok masih membahas cinta dan rindu. Udah, sana, anterin Tian sama Kevin! Ntar telat lagi sekolahnya.” Reynaldi tanpa peduli dengan perasaan istrinya, membawa gelas kopinya ke teras. Ia pasti akan merokok lagi di sana.Airmata Diana hampir saja luruh, jika Tian, putri sulungnya tidak menyentuh tangannya.“Maa, kakak udah selesai sarapannya.” Sang putri cantiknya menatap dengan wajah polos.“Oh iya, Sayang. Pinter anak mama. Hm … Kevin, ayo cepatan habisin makanannya.” Diana berusaha menghilangkan rasa sedihnya atas sikap sang suami. Ia kemudian sibuk mempersiapkan keperluan sekolah kedua anaknya. Pekerjaan rutin yang ia lakukan setiap hari. Mengantar dan menjemput kedua anaknya itu sekolah. Tidak ada sopir pribadi di rumah mereka. Suaminya bilang, anak-anak itu lebih aman kalau diantar oleh salah satu orang tuanya. Diana pun dengan senang hati melakukannya, karena ia tidak punya kegiatan lain selain mengawasi keempat anak-anak mereka. Apalagi ada dua orang babysitter yang membantu mengurus dua anaknya yang lebih kecil. Untuk urusan mengurus rumah juga ada Mbak Tuti--Asisten Rumah Tangganya. Hidup yang sudah sempurna sebenarnya. Namun, hanya satu yang kurang, yaitu waktu dan perhatian dari suaminya.Denny melambaikan tangannya begitu melihat Diana yang berjalan masuk ke dalam kafe. Wanita itu terlihat sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diwarnai pirang, kacamata berlensa coklat menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih. Siapa yang menyangka di pinggang ramping itu pernah melahirkan empat orang anak.“Sorry, Den. Nidurin anak-anak dulu, repot kalau harus membawa mereka.” Diana menghenyakkan body aduhainya di kursi kafe paling pojok yang dipilih Denny.“Gak apa-apa, aku juga baru tiba kok,” jawab Denny sambil tersenyum tipis. Padahal ia sudah satu jam menunggu di kafe itu.“Kamu mau makan apa, Diana?” Denny menyodorkan buku menu makanan ke hadapan Diana.“Aku pesan minuman aja deh, barusan habis makan di rumah.”“Jus alpukat?”“Kamu masih aja ingat sama minuman kesukaanku?” senyum Diana memamerkan gigi
“Denny? Kamu juga datang?” Diana berusaha untuk tenang dari pesona sang mantan yang dulu sangat jauh berbeda. Kini sosok Denny benar-benar berbeda. Tidak pecicilan dan berantakan seperti saat mereka masih pacaran masa kuliah dulu.“Aku juga alumni kampus kita ‘kan?” tegur Denny dengan senyum smirk-nya.“Hm … iya, sih. Soalnya reuni tahun-tahun lalu kamu gak pernah datang.”“Belum tertarik, baru kali ini kepengen datang.”“Pasangannya mana, nih? Kok laki-laki setampan kamu datang sendiri,” goda Diana berusaha menghilangkan kekakuan antara mereka.“Udah ada kamu ‘kan yang jadi pasanganku malam ini, buktinya kamu juga datang sendiri.” Denny tertawa lebar hampir seperti mengejek.Diana bingung mau menjawab apa, untung saja matanya melihat Riska datang menghampiri.&l
“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Santi--babysitter anaknya serta si bungsu yang menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.Sesaat kemudian Diana bangkit dari tidurnya dan mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor terakhir yang menghubunginya tadi.[Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?]“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.[Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.]“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?&rdqu
Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu
Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adala
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti