Denny melambaikan tangannya begitu melihat Diana yang berjalan masuk ke dalam kafe. Wanita itu terlihat sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diwarnai pirang, kacamata berlensa coklat menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih. Siapa yang menyangka di pinggang ramping itu pernah melahirkan empat orang anak.
“Sorry, Den. Nidurin anak-anak dulu, repot kalau harus membawa mereka.” Diana menghenyakkan body aduhainya di kursi kafe paling pojok yang dipilih Denny.“Gak apa-apa, aku juga baru tiba kok,” jawab Denny sambil tersenyum tipis. Padahal ia sudah satu jam menunggu di kafe itu.“Kamu mau makan apa, Diana?” Denny menyodorkan buku menu makanan ke hadapan Diana.“Aku pesan minuman aja deh, barusan habis makan di rumah.”“Jus alpukat?” “Kamu masih aja ingat sama minuman kesukaanku?” senyum Diana memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi, membuat Denny diam-diam menelan salivanya.“Iya, dong. Aku mengingat semua kesukaanmu, semua yang ada padamu.” Denny mengunci tatapan mata Diana.Diana memalingkan wajahnya ke tempat lain dengan rasa bersalah. Ia tidak menyangka Denny masih mengingat semua tentang dirinya, padahal sudah tujuh tahun berlalu.“Kamu sekarang kerja di mana, Den?” Diana mengalihkan pembicaraan.“Di perusahaan leasing mobil,” jawab Denny singkat.“Terus di sini kamu sendirian?”“Iya, tapi sebentar lagi akan ada teman hidupku.”“Oh, kamu akan menikah? Selamat ya, kalau begitu.” Diana mengulurkan tangannya untuk memberi ucapan selamat. Disambut dengan senyuman pria di hadapannya. Tanpa disangka Diana, mantan pacarnya itu malah mencium tangannya dengan lembut. Bibir kenyal laki-laki itu terasa hangat menyentuh ujung jemarinya.“Ih, kamu apaan sih, Den? Ntar kalau ada yang kenal denganku, melihatnya gimana?” Diana menarik dengan cepat tangannya yang masih dalam genggaman tangan kekar pria masa lalunya itu. “Maaf, Diana. Aku tidak bisa mengontrol emosiku.” “Hm … jadi apa maksudmu mengajakku datang ke sini, Den? Aku gak bisa lama-lama. Sebentar lagi anak-anakku segera bangun tidur dan mereka pasti akan nyariin aku.” Diana melihat jam tangan yang melingkar di tangan mulusnya.“Gak ada maksud apa-apa, Diana. Aku masih kangen saja sama kamu. Kemarin sore kita cuma sebentar bertemunya. Aku belum puas mengobrol denganmu.” “Tapi setelah ini kita tidak baik untuk bertemu lagi seperti ini, Den. Aku adalah istri seseorang dan ibu dari empat orang anak,” ucap Diana tegas.“Aku melihatmu tidak bahagia, Diana,” ujar Denny dengan berani. Ditatapnya dengan tajam mata yang berpendar begitu mendengar ucapannya barusan.“Ngawur kamu, Den. Itu tidak benar. Aku bahagia. Buktinya anak-anakku sudah empat orang sekarang.” Diana membantah sambil berdiri dari duduknya.“Itu bukan jaminan, Diana,” jawab Denny bersikukuh. “Aku pulang dulu, terima kasih atas minumannya. Tolong jangan menghubungiku lagi, Den.” Diana bersiap ingin berlalu ketika didengarnya laki-laki dihadapannya bicara,” jika kamu butuh seseorang, jangan lupa menghubungi aku, Diana. Aku selalu ada untukmu.”Diana terpana sesaat menatap pria berdagu belah yang ada di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang, melihat kegigihan mantan pacarnya yang sejak dulu masih saja menjadi budak cinta untuk dirinya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Diana melenggang pergi dari hadapan Denny yang masih menatapnya tak berkedip.*** [Diana, aku belum bisa pulang ke Samarinda, ya? Masih ada yang harus diurus di Berau.] “Duh, belum kelar juga, Mas? Ini sudah lebih dari seminggu, lho?” rengek Diana begitu menerima panggilan dari suaminya. [Kamu harus terbiasa, Diana. Kalau proyek di Berau ini deal, kita akan sering berpisah seperti ini.] “Astagaa, aku ikut ke Berau kalau begitu. Gak mau aku jauh-jauh kayak gini,” balas Diana keras kepala. [Ah, kamu kayak anak kecil aja, oh ya, anak-anak gimana? Sehat ‘kan?] “Anak-anak semua sehat, aku yang gak sehat,” keluh Diana. [Kamu sakit apa? Udah ke dokter belum?] “Sakit rindu, memangnya ada dokter jual obatnya.” Diana mendengar Reynaldi terbahak di seberang sana. [Sabar, kamu cari kegiatan apa lah, biar gak pikirin rindu terus. Udah ya, ini mau ketemuan sama pemilik lahan nih.] Diana belum menjawab apa-apa ketika suaminya sudah langsung memutuskan panggilannya. “Mas Rey kebiasaan, orang belum selesai ngomong udah main putusin aja,” gumam Diana dengan wajah merengut.“Hari libur begini enaknya kemana, ya? Masa akhir pekan mau rebahan di rumah aja,” pikir Diana sembari membuka layar ponselnya.Aplikasi hijaunya sudah terlihat banyak chat yang belum dibuka.
“Denny ngapain lagi sih, masih aja miscall dan ngirim chat-chat. Udah dibilangin juga, jangan berharap lebih jauh lagi.” Diana mengomel dalam hati begitu melihat banyak pesan dari sang mantan pacar. Diana mengabaikan saja tanpa membaca atau membalas pesan dari Denny. Ia kemudian malah tertarik dengan pesan Riska--teman akrabnya ketika masih kuliah dulu. Ia segera menghubungi ponsel temannya itu. [Hallo, Diana, datang ya, ke acara reuni kampus kita ntar malam.] “Jam berapa acaranya? Duh, kok malam Minggu sih? Bukannya besok siang aja hari Minggu,” balas Diana. [Gak apa-apalah, Diana, ‘kan membawa pasangan. Ya, ajak lho, suami gantengmu.] “Nah, itu dia. Mas Rey masih di Berau, belum pulang,” keluh Diana. [Hm … apa kamu mau aku samperin ntar malam?] “Atau aku gak usah ikut aja, ya, Ris? Males banget ntar cuma jadi nyamuk kamu dan suamimu.” Padahal Diana sebenarnya sangat ingin ikut di acara reuni yang sudah diadakan selama dua tahun terakhir ini. Untung Rey mau menemaninya setiap acara itu dilaksanakan. Hanya kali ini saja sang suami tidak bisa menemani. [Yah, ikut dong? Gak seru kalau primadona kampus kita dulu tidak hadir, hahaha.] “Bisa aja kamu ngerayu, Ris. Ya udah, ntar aku usahain datang deh, gak usah dijemput! Aku bawa mobil sendiri aja,” putus Diana sembari membayangkan serunya bertemu dengan teman-teman lamanya. Ia tidak bisa melewatkan begitu saja. Suara riang Riska di seberang sana juga membuat Diana jadi ikut tersenyum lebar.*** Diana menghubungi berkali-kali nomor ponsel suaminya, tapi hanya nyanyian suara Judika yang terus terdengar. Akhirnya dengan kesal ia mengirim pesan, meminta izin kepada sang suami, bahwa ia akan pergi ke acara reuni kampusnya. “Bodolah, kalau nanti Mas Rey marah. Salah sendiri itu Hp gak diangkat,” gerutu Diana sembari mengambil kunci mobil di meja riasnya. Sekitar setengah jam di perjalanan, Diana tiba di lokasi acara yang diadakan di Hotel Aston Samarinda. Ia langsung menuju ruangan yang sudah dipesan panitia. Suara musik langsung terdengar ketika ia masuk ke ruangan itu. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu yang sudah tertutup kembali. Mata indahnya memindai seluruh ruangan yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatannya. “Akhirnya kamu datang, Diana, setelah tidak membaca pesan-pesanku samasekali,” sambut seseorang yang tiba-tiba sudah berada di sisinya. Diana cukup kaget melihat Denny yang sudah berdiri di sampingnya. Ia benar-benar tidak menyadarinya. Sosok beralis tebal dengan sorot mata tajam bak elang mengincar mangsa. Bibir tipis merah dan seksi. Rahang kokoh serta tegas. Juga satu lagi yang mungkin membuat semua wanita ingin melemparkan diri ke pelukan badan tinggi tegap dan gagah, wajahnya yang tampan mempesona. Mata keduanya bersobok, saling mengunci.“Denny? Kamu juga datang?” Diana berusaha untuk tenang dari pesona sang mantan yang dulu sangat jauh berbeda. Kini sosok Denny benar-benar berbeda. Tidak pecicilan dan berantakan seperti saat mereka masih pacaran masa kuliah dulu.“Aku juga alumni kampus kita ‘kan?” tegur Denny dengan senyum smirk-nya.“Hm … iya, sih. Soalnya reuni tahun-tahun lalu kamu gak pernah datang.”“Belum tertarik, baru kali ini kepengen datang.”“Pasangannya mana, nih? Kok laki-laki setampan kamu datang sendiri,” goda Diana berusaha menghilangkan kekakuan antara mereka.“Udah ada kamu ‘kan yang jadi pasanganku malam ini, buktinya kamu juga datang sendiri.” Denny tertawa lebar hampir seperti mengejek.Diana bingung mau menjawab apa, untung saja matanya melihat Riska datang menghampiri.&l
“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Santi--babysitter anaknya serta si bungsu yang menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.Sesaat kemudian Diana bangkit dari tidurnya dan mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor terakhir yang menghubunginya tadi.[Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?]“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.[Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.]“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?&rdqu
Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu
Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adala
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.“Hallo ….” Diana menjawab pelan.