Share

Part 3 : Mantan Pacar yang Menggoda

Denny melambaikan tangannya begitu melihat Diana yang berjalan masuk ke dalam kafe. Wanita itu terlihat sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diwarnai pirang, kacamata berlensa coklat menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih. Siapa yang menyangka di pinggang ramping itu pernah melahirkan empat orang anak.

“Sorry, Den. Nidurin anak-anak dulu, repot kalau harus membawa mereka.” Diana menghenyakkan body aduhainya di kursi kafe paling pojok yang dipilih Denny.

“Gak apa-apa, aku juga baru tiba kok,” jawab Denny sambil tersenyum tipis. Padahal ia sudah satu jam menunggu di kafe itu.

“Kamu mau makan apa, Diana?” Denny menyodorkan buku menu makanan ke hadapan Diana.

“Aku pesan minuman aja deh, barusan habis makan di rumah.”

“Jus alpukat?” 

“Kamu masih aja ingat sama minuman kesukaanku?” senyum Diana memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi, membuat Denny diam-diam menelan salivanya.

“Iya, dong. Aku mengingat semua kesukaanmu, semua yang ada padamu.” Denny mengunci tatapan mata Diana.

Diana memalingkan wajahnya ke tempat lain dengan rasa bersalah. Ia tidak menyangka Denny masih mengingat semua tentang dirinya, padahal sudah tujuh tahun berlalu.

“Kamu sekarang kerja di mana, Den?” Diana mengalihkan pembicaraan.

“Di perusahaan leasing mobil,” jawab Denny singkat.

“Terus di sini kamu sendirian?”

“Iya, tapi sebentar lagi akan ada teman hidupku.”

“Oh, kamu akan menikah? Selamat ya, kalau begitu.” Diana mengulurkan tangannya untuk memberi ucapan selamat. Disambut dengan senyuman pria di hadapannya. Tanpa disangka Diana, mantan pacarnya itu malah mencium tangannya dengan lembut. Bibir kenyal laki-laki itu terasa hangat menyentuh ujung jemarinya.

“Ih, kamu apaan sih, Den? Ntar kalau ada yang kenal denganku, melihatnya gimana?” Diana menarik dengan cepat tangannya yang masih dalam genggaman tangan kekar pria masa lalunya itu. 

“Maaf, Diana. Aku tidak bisa mengontrol emosiku.” 

“Hm … jadi apa maksudmu mengajakku datang ke sini, Den? Aku gak bisa lama-lama. Sebentar lagi anak-anakku segera bangun tidur dan mereka pasti akan nyariin aku.” Diana melihat jam tangan yang melingkar di tangan mulusnya.

“Gak ada maksud apa-apa, Diana. Aku masih kangen saja sama kamu. Kemarin sore kita cuma sebentar bertemunya. Aku belum puas mengobrol denganmu.” 

“Tapi setelah ini kita tidak baik untuk bertemu lagi seperti ini, Den. Aku adalah istri seseorang dan ibu dari empat orang anak,” ucap Diana tegas.

“Aku melihatmu tidak bahagia, Diana,” ujar Denny dengan berani. Ditatapnya dengan tajam mata yang berpendar begitu mendengar ucapannya barusan.

“Ngawur kamu, Den. Itu tidak benar. Aku bahagia. Buktinya anak-anakku sudah empat orang sekarang.” Diana membantah sambil berdiri dari duduknya.

“Itu bukan jaminan, Diana,” jawab Denny bersikukuh. 

“Aku pulang dulu, terima kasih atas minumannya. Tolong jangan menghubungiku lagi, Den.” Diana bersiap ingin berlalu ketika didengarnya laki-laki dihadapannya bicara,” jika kamu butuh seseorang, jangan lupa menghubungi aku, Diana. Aku selalu ada untukmu.”

Diana terpana sesaat menatap pria berdagu belah yang ada di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang, melihat kegigihan mantan pacarnya yang sejak dulu masih saja menjadi budak cinta untuk dirinya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Diana melenggang pergi dari hadapan Denny yang masih menatapnya tak berkedip.

***

 [Diana, aku belum bisa pulang ke Samarinda, ya? Masih ada yang harus diurus di Berau.]

 “Duh, belum kelar juga, Mas? Ini sudah lebih dari seminggu, lho?” rengek Diana begitu menerima panggilan dari suaminya.

 [Kamu harus terbiasa, Diana. Kalau proyek di Berau ini deal, kita akan sering berpisah seperti ini.]

 “Astagaa, aku ikut ke Berau kalau begitu. Gak mau aku jauh-jauh kayak gini,” balas Diana keras kepala.

 [Ah, kamu kayak anak kecil aja, oh ya, anak-anak gimana? Sehat ‘kan?]

 “Anak-anak semua sehat, aku yang gak sehat,” keluh Diana.

 [Kamu sakit apa? Udah ke dokter belum?]

 “Sakit rindu, memangnya ada dokter jual obatnya.” Diana mendengar Reynaldi terbahak di seberang sana.

 [Sabar, kamu cari kegiatan apa lah, biar gak pikirin rindu terus. Udah ya, ini mau ketemuan sama pemilik lahan nih.]

 Diana belum menjawab apa-apa ketika suaminya sudah langsung memutuskan panggilannya.

 “Mas Rey kebiasaan, orang belum selesai ngomong udah main putusin aja,” gumam Diana dengan wajah merengut.

“Hari libur begini enaknya kemana, ya? Masa akhir pekan mau rebahan di rumah aja,” pikir Diana sembari membuka layar ponselnya.

 Aplikasi hijaunya sudah terlihat banyak chat yang belum dibuka.

 “Denny ngapain lagi sih, masih aja miscall dan ngirim chat-chat. Udah dibilangin juga, jangan berharap lebih jauh lagi.” Diana mengomel dalam hati begitu melihat banyak pesan dari sang mantan pacar.

 Diana mengabaikan saja tanpa membaca atau membalas pesan dari Denny. Ia kemudian malah tertarik dengan pesan Riska--teman akrabnya ketika masih kuliah dulu. Ia segera menghubungi ponsel temannya itu.

 [Hallo, Diana, datang ya, ke acara reuni kampus kita ntar malam.]

 “Jam berapa acaranya? Duh, kok malam Minggu sih? Bukannya besok siang aja hari Minggu,” balas Diana.

 [Gak apa-apalah, Diana, ‘kan membawa pasangan. Ya, ajak lho, suami gantengmu.]

 “Nah, itu dia. Mas Rey masih di Berau, belum pulang,” keluh Diana.

 [Hm … apa kamu mau aku samperin ntar malam?]

 “Atau aku gak usah ikut aja, ya, Ris? Males banget ntar cuma jadi nyamuk kamu dan suamimu.” Padahal Diana sebenarnya sangat ingin ikut di acara reuni yang sudah diadakan selama dua tahun terakhir ini. Untung Rey mau menemaninya setiap acara itu dilaksanakan. Hanya kali ini saja sang suami tidak bisa menemani.

 [Yah, ikut dong? Gak seru kalau primadona kampus kita dulu tidak hadir, hahaha.]

 “Bisa aja kamu ngerayu, Ris. Ya udah, ntar aku usahain datang deh, gak usah dijemput! Aku bawa mobil sendiri aja,” putus Diana sembari membayangkan serunya bertemu dengan teman-teman lamanya. Ia tidak bisa melewatkan begitu saja. Suara riang Riska di seberang sana juga membuat Diana jadi ikut tersenyum lebar.

***

 Diana menghubungi berkali-kali nomor ponsel suaminya, tapi hanya nyanyian suara Judika yang terus terdengar. Akhirnya dengan kesal ia mengirim pesan, meminta izin kepada sang suami, bahwa ia akan pergi ke acara reuni kampusnya.

 “Bodolah, kalau nanti Mas Rey marah. Salah sendiri itu Hp gak diangkat,” gerutu Diana sembari mengambil kunci mobil di meja riasnya.

 Sekitar setengah jam di perjalanan, Diana tiba di lokasi acara yang diadakan di Hotel Aston Samarinda. Ia langsung menuju ruangan yang sudah dipesan panitia.

 Suara musik langsung terdengar ketika ia masuk ke ruangan itu. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu yang sudah tertutup kembali. Mata indahnya memindai seluruh ruangan yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatannya.

 “Akhirnya kamu datang, Diana, setelah tidak membaca pesan-pesanku samasekali,” sambut seseorang yang tiba-tiba sudah berada di sisinya.

 Diana cukup kaget melihat Denny yang sudah berdiri di sampingnya. Ia benar-benar tidak menyadarinya. Sosok beralis tebal dengan sorot mata tajam bak elang mengincar mangsa. Bibir tipis merah dan seksi. Rahang kokoh serta tegas. Juga satu lagi yang mungkin membuat semua wanita ingin melemparkan diri ke pelukan badan tinggi tegap dan gagah, wajahnya yang tampan mempesona. Mata keduanya bersobok, saling mengunci.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status