“Bu, ada apa? Kok Ibu bisa pingsan begini?” Bau minyak kayu putih yang menyengat di hidungnya membuat Diana pelan membuka matanya. Terlihat Santi--babysitter anaknya serta si bungsu yang menangis menjerit dalam troly-nya, mungkin karena sang pengasuh masih sibuk menyadarkan Diana.
Sesaat kemudian Diana bangkit dari tidurnya dan mulai menangis lagi, begitu teringat akan berita kecelakaan suaminya tadi. Setelah cukup tenang, ia meraih ponsel yang tergeletak jatuh di lantai. Diana memencet kembali nomor terakhir yang menghubunginya tadi.[Hallo, Bu? Anda tidak apa-apa?]“Dimana sekarang suami saya, Pak?” tanya Diana langsung tanpa menjawab pertanyaan dari polisi yang masih memegang ponsel suaminya.[Sudah dibawa ke Rumah Sakit AW Syahrani Samarinda, Bu, karena menurut penumpang yang selamat, alamat mereka di kota Samarinda.]“Memangnya ada penumpang yang selamat, Pak?” tanya Diana heran bercampur bingung. Ia pikir kecelakaan itu mungkin parah sekali sampai suaminya meninggal di tempat.[Ada, Bu. Wanita yang bersama suami Ibu tadi masih sadar ketika kami temukan di lokasi kecelakaan, sekarang juga dirawat di rumah sakit yang sama, karena lukanya cukup parah juga.]“Wanita? Mas Rey semobil dengan siapa? Apa mungkin salah satu karyawannya?” pikir Diana dengan hati yang bergemuruh.[Hallo, Bu?]“I-iya, Pak. Saya segera ke rumah sakit sekarang.” Diana langsung memutus pembicaraannya.***Diana menatap tubuh sang suami yang terbujur kaku di ruangan jenazah rumah sakit dengan sedih dan hati yang terluka.“Mas Rey?” Diana memeluk tubuh kaku itu dengan menangis pilu. Meski hatinya diliputi tanda tanya akan wanita terakhir yang bersama suaminya, tapi rasa kehilangannya terhadap lelaki tercintanya lebih mendominasi. Ia benar-benar tidak menyangka suaminya akan pergi secepat ini.“Sudahlah, Diana. Ikhlaskan suamimu sekarang. Semua ini kehendak Yang Maha Kuasa. Tidak ada yang mampu menolaknya,” bujuk Ratih--ibunya Diana yang menyusul datang, begitu Diana mengabari orang tuanya sebelum berangkat ke rumah sakit tadi.“Kita harus segera mengurus jenazah suamimu untuk dibawa ke Surabaya, sesuai dengan permintaan mertuamu ‘kan?” Shabir—sang ayah juga ikut menimpali.Diana mengangguk pelan mendengar ucapan orang tuanya. Ratih pun kemudian memeluk putri sulungnya yang terus menangis sedih sejak mendengar berita tentang kecelakaan yang menimpa sang menantu.Malam hari itu juga jenazah Rey dibawa dengan pesawat terakhir menuju kota Surabaya, tanah kelahiran laki-laki yang tutup usia di umur tiga puluh lima tahun itu. Diana mengantar sang suami bersama ayahnya dan dua anaknya yang paling besar. Ibunya untuk sementara akan mengawasi dua anaknya yang masih kecil-kecil di Samarinda.Jerit tangis keluarga besar mertua Diana langsung terdengar begitu ambulans yang membawa jenazah tiba di rumah besar dan megah milik mertuanya, Hartono Yahya--seorang pengusaha sukses di Surabaya. Lelaki berusia enam puluh lima tahun itu mempunyai beberapa perusahaan yang membuatnya menjadi salah satu orang terkaya di kota Pahlawan itu. Tiga orang putranya mengikuti jejak sang ayah sebagai pengusaha. Bram—anak sulungnya meneruskan perusahaan pembiayaannya, Reynaldi—putra keduanya memilih bisnis batubara di Samarinda begitu lulus kuliah serta Willy—putra ketiganya yang meneruskan perusahaan otomotif yang sudah dirintis sang ayah sejak muda. Diana dan kedua anaknya hanya terpaku diam menyaksikan keharuan dan kesedihan yang berlangsung di hadapan mereka. Apalagi kedua anaknya yang masih belum mengerti apa-apa. Keduanya menatap bingung akan orang-orang dewasa yang terus bertangisan. Berapa saat kemudian jenazah Reynaldi yang sudah dikafani dikeluarkan dari peti jenazah, lalu dibaringkan di kasur yang sudah disiapkan di tengah ruangan yang luas.Keluarga sang mertua dan para kerabat duduk mengelilingi jenazah. Tidak lama kemudian bacaan surat yasin pun terdengar di sela isak tangis dari ibu dan dua orang adik perempuan Reynaldi. Diana dan kedua anaknya pun terlihat duduk di sebelah jenazah.
Esok paginya sekitar pukul sepuluh, jenazah Rey dibawa ke lokasi pemakaman keluarga yang sudah disiapkan sebelumnya. Menjelang waktu zuhur acara pemakaman itu pun selesai dilaksanakan. Pemakaman yang dihadiri oleh banyak orang, termasuk para karyawan dari perusahaan-perusahaan mereka.Tiga hari kemudian, Diana pamit kepada mertuanya untuk kembali ke Samarinda, karena ia mengkhawatirkan kedua anak-anaknya yang ditinggal di Samarinda. Meskipun ada ibunya yang ikut menjaga. Ayahnya pun sudah terlebih dahulu pulang ke Samarinda, sehari setelah jenazah Rey dimakamkan.“Diana, apa rencanamu dengan perusahaan suamimu di Samarinda. Apa kamu bisa meneruskan mengelolanya?” tanya ayah mertuanya pagi itu usai mereka sarapan bersama. Hanya ada kedua mertuanya dan Willy--adik suaminya, satu-satunya yang belum menikah, malah Willy sudah dilangkahi oleh dua orang adik perempuannya.Saudara iparnya yang lain sudah kembali ke rumah mereka masing-masing.
“Hm … aku masih bingung sih, Pa. Mas Rey pergi mendadak seperti ini, tapi ‘kan masih ada Mas Ivan, orang kepercayaan Mas Rey di perusahaannya. Nanti aku bisa sih tanya-tanya dia mengenai perusahaan.” Diana mengusap matanya yang kembali mengembun mengingat lekaki tercintanya, yang pergi tanpa pesan apa-apa, malah meninggalkan banyak tanda tanya, terutama tentang wanita yang menemani sang suami di akhir hidupnya.“Oh iya, si Ivan, papa juga kenal kok sama dia. Nantilah papa juga hubungi Ivan, biar dia dulu yang ngawasi perusahaan. Mungkin minggu depan papa suruh Bram atau Willy datang ke Samarinda untuk mengatur perusahaan di sana. Tentu saja dengan kamu sebagai pengganti suamimu di perusahaan itu. Kamu pasti bisalah, kamu lulusan sarjana Ekonomi ‘kan?” Hartono menatap menantu kesayangannya itu dengan mata menyorot tajam.“Iya, Pa,” jawab Diana singkat. Ia tidak ingin membantah sang mertua. Ia benar-benar belum bisa berpikir jernih saat ini. Ia hanya ingin segera pulang ke Samarinda untuk menemui wanita yang masih dirawat di rumah sakit. Hanya itu yang ada di pikirannya saat ini.*** Diana menatap tajam wajah wanita yang masih terbaring dengan balutan perban di kepala dan gips di kakinya. Diana hanya beristirahat sekitar satu jam di rumahnya begitu tiba di Samarinda. Kini wanita yang masih berduka itu sudah berdiri di hadapan wanita lain yang bersama sang suami saat kecelakaan empat hari yang lalu. “Diana? Itu kamu bukan?” tanya wanita itu pelan. Meski terlihat pucat, wajahnya yang cantik benar-benar menarik perhatian Diana. Meski ia bisa menilai kalau usia wanita itu sebaya dengan usia suaminya. Dari data pasien yang ia baca, nama wanita itu adalah Rinda. “Mbak mengenal saya? Kenapa Mbak bisa bersama suami saya saat kecelakaan kemarin?” tanya Diana sambil menatap tajam wanita yang terlihat sering meringis sakit di kepalanya. “Maafkan aku dan Rey, Diana, karena kami tidak pernah cerita tentang hubungan kami selama ini.” Ucapan pelan Rinda bagaikan petir yang menggelegar di telinga Diana. “Maksud kamu apa? Hubungan apa?!” teriak Diana dengan wajah pucat pasi. “Meskipun hanya menikah siri, aku adalah istri pertama Rey, kami sudah pacaran sejak masih kuliah di Surabaya dulu dan menikah siri dua tahun sebelum Rey menikahi kamu.” “Apa? Kamu jangan ngawur, ya? Mentang-mentang Mas Rey sudah tiada, kamu mau mempengaruhi saya?” teriak Diana lagi dengan suara bergetar, air matapun sudah hampir luruh dari pelupuk matanya. “Saya tidak bohong, Diana. Kita sama-sama mencintai orang yang sama. Hubungan kami tidak pernah direstui oleh orang tua Rey, karena latar belakang saya yang miskin, makanya aku rela Rey menikahi kamu dulu, karena Rey sudah didesak oleh orang tuanya untuk menikahi wanita lain. Kamu adalah wanita sempurna yang memenuhi kriteria istri yang diharapkan oleh orang tuanya.” Rinda memaksakan diri menjelaskan kenyataan yang terjadi kepada Diana yang merupakan istri sah dari suami tercintanya. Airmatanya pun deras mengalir di pipi pucatnya. Kehilangan Rey juga sangat memukul perasaannya. Mendengar semua penjelasan dari wanita yang mengaku istri siri suaminya, Diana tidak bisa berkata apa-apa lagi. Dihempaskannya tubuh lelahnya di sofa yang terdapat di ruangan itu. Tanpa malu lagi isak tangisnya pun terdengar di sela-sela tangan yang menutup seluruh wajahnya. Hatinya benar-benar sakit mendengar kenyataan bahwa ternyata ada wanita lain yang dicintai oleh suaminya dan ia hanya sebagai pelengkap dari kekurangan istri pertamanya Rey. Akhirnya Diana sadar, ternyata ini sebabnya mengapa suaminya terlalu dingin dan acuh terhadapnya selama ini. Pantas saja Rey betah di Berau dua minggu, ternyata suaminya itu ditemani oleh istri pertama yang dicintai oleh sang suami. “Kamu tidak usah khawatir Diana, aku tidak akan menuntut apa-apa atas peninggalan Rey. Kamu dan anak-anak kalian lebih berhak mendapatkan semuanya. Setelah keluar dari rumah sakit ini, aku dan anakku akan kembali ke Malang, kampung halamanku.” Suara Rinda kembali terdengar begitu Diana sudah sedikit tenang. “Kalian juga sudah punya anak?” tanya Diana pelan sembari mengangkat wajahnya menatap Rinda. Ia sudah tidak kaget lagi atas kejutan-kejutan yang diceritakan oleh istri siri suaminya itu. “Iya, putra kami sudah berusia sembilan tahun kini. Dewa berusia dua tahun saat papanya menikahi kamu dulu. “Mengapa kalian sembunyikan semua ini kepada saya begitu lama? Kalian benar-benar tega!” Diana kembali berteriak kesal. “Maafkan aku, Diana. Aku yang melarang Rey menceritakan sama kamu dan orang tuanya, bahwa dulu kami sudah mempunyai seorang putra. Aku gak mau Rey tidak dianggap sebagai anak oleh orang tuanya. Aku tahu mengenai kerasnya orang tua Rey dulu menentang hubungan kami.” Rinda menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. ”Tolong maafkan juga semua kesalahan Rey, Diana. Agar dia bisa tenang di sisi-Nya, lupakan juga tentang aku, karena hari ini adalah hari pertama dan terakhir kita berjumpa. Kamu masih muda, berusahalah melupakan hal-hal yang menyakitkan hatimu tentang Rey.” Diana terdiam mendengar ucapan lembut dari kekasih hati suaminya itu. Pantas saja Rey tidak bisa pergi dari wanita itu, karena dari tutur kata dan ketenangan Rinda sangat menyentuh hati siapapun yang diajaknya bicara. Tidak seperti dirinya yang suka meledak-ledak dan manja.Diana duduk termenung menatap bunga-bunga mawar yang bermekaran di depan jendela kamarnya. Sudah seminggu ia mengurung diri di kamar. Kepergian Rey begitu mengguncang perasaannya. Apalagi setelah mendengar semua rahasia yang disembunyikan dengan rapi oleh sang suami selama pernikahan mereka. Padahal tujuh tahun bukanlah waktu yang sebentar. Diana benar-benar mengutuk kebodohannya selama ini.“Mas Rey … kenapa kau sakiti aku seperti ini, Mas ….” Air mata membasahi pipi mulusnya. Isak tangisnya kembali terdengar kala mengingat laki-laki yang sudah mengambil semua cinta yang ada di hatinya. Diana masih saja merasa tidak percaya akan semua kenyataan ini. Bagaimana pun juga ia mencoba untuk berdamai dengan apa yang sudah terjadi, tetapi hatinya masih saja terasa sakit, menyesak seluruh rongga di dadanya.Suara ketukan di pintu kamarnya tidak membuat Diana menoleh dari tatapannya yang masih terpaku pada kupu
Hari-hari terus berjalan dan dilewati Diana tanpa terasa. Rasa kehilangannya terhadap sang suami juga sedikit demi sedikit bisa berkurang. Apalagi kesibukan barunya sebagai Direktur di perusahaan peninggalan suaminya itu, bisa mengalihkan kesedihan dan kedukaannya atas kepergian Reynaldi. Diana tidak terlalu mencampuri ke dalam operasional perusahaan, ia percaya Ivan mampu menangani semua yang berhubungan dengan pengembangan perusahaan baik di dalam perusahaan maupun di lapangan. Diana hanya mengawasi dari segi keuangan dan menanda-tangani semua surat-surat penting yang dibutuhkan oleh perusahaan.Tiga bulan pun berlalu. Selama itulah Diana melewati malam-malam sepinya sendiri. Meskipun terlambat mengetahui bahwa suaminya ternyata juga milik wanita lain, tetapi Rey selama ini juga selalu ada di sisinya setiap malam. Alasan ke luar kota pun juga tidak pernah lama. Sekarang Diana baru sadar, mungkin ketika sang suami pamt ke luar kota adala
Beberapa saat Diana tidak bisa berkata apa-apa. Sungguh tak disangkanya, Denny akan melamarnya seperti ini. Wanita yang baru menjanda selama tiga bulan itu hanya diam terpaku menatap lelaki yang juga tengah menatapnya tajam. Ia kemudian mengerjapkan mata dan menelan saliva yang tiba-tiba terasa seret di tenggorokan. “Sepertinya kamu butuh minum, Na.” Denny dengan tersenyum menuangkan coca cola soft drinks yang di atas meja ke dalam gelas kosong yang memang sudah disediakannya untuk sang pujaan hati. “Nih, minumlah,” ujar Denny sembari menyodorkan gelas bertangkai lancip itu.Diana menyambut gelas itu, kemudian meneguknya sedikit. “Hm … jadi bagaimana dengan lamaranku tadi? Masa iddahmu ‘kan sudah berakhir, aku ingin menjadi suamimu secepatnya,” lanjut Denny to the point. “Den … kamu sudah pikirkan masak-masak belum? Aku tuh janda dengan anak empat lho? Bagaimana dengan tanggapan orang tuamu nanti? Teman-temanmu?” ceca
Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu. “Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana. “Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri. “Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat Se
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.“Hallo ….” Diana menjawab pelan.
Rumah orang tua Diana baru saja sepi dari para kerabat yang datang menghadiri acara arisan keluarga yang mereka adakan usai waktu Magrib tadi. “Ibu, Ayah. Ada yang ingin aku bicarakan,” pinta Diana begitu hanya mereka bertiga yang tersisa di ruang tengah rumah orang tuanya. “Mengenai apa, Diana? Ada masalah di kantormu kah?” tanya sang ibu sambil menatap putri sulungnya. “Bukan masalah di kantor, Bu. Hm … ini mengenai Denny. Ibu masih ingat ‘kan sama dia? Teman dekatku waktu kuliah dulu yang beberapa kali datang ke rumah ini.” “Oh, iya, Ibu ingat kok, apalagi pas kamu nikah sama Rey dulu, dia ‘kan yang datang mabuk-mabukan ke pesta kalian?” Ratih tertawa kecil mengingat pemuda yang datang ke pesta pernikahan anak sulungnya itu. “Iya, Bu, dulu aku memang meninggalkannya dan lebih memilih Mas Rey. Hm … empat bulan lalu aku ketemu Denny lagi pas acara reunian di kampus. Setelah Mas Rey meninggal, Denny jadi seri
“Denny! Aku tidak akan menghalangi apa yang kau inginkan saat ini, tapi setelah ini aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi,” ancam Diana begitu ada kesempatan buatnya untuk bicara di tengah-tengah aksi Denny di atas tubuhnya. Denny tertegun mendengar ancaman wanita yang sudah dibuatnya tidak berdaya. Berlahan ia melonggarkan jepitan tangannya di tubuh langsing Diana yang sudah terlihat pasrah tidur di atas jok mobil yang sudah direbahkan oleh laki-laki itu tadi. Tangannya pun kemudian kembali menarik tuas jok untuk menegakkan kembali sandarannya. Diana diam saja melihat Denny yang kemudian mengancingkan kembali baju yang dilepas paksa oleh pria itu tadi. “Maafkan aku, Na. Tadi temanku mengajak minum sebelum ketemu kamu. Aku benar-benar minta maaf ya, gak bisa kontrol emosiku barusan.” Denny mencium tangan Diana lama dengan napas yang masih terlihat memburu. Ia benar-benar sedang berusaha untuk tenang. “Aku mau pulang dulu, Den,” j