Akhir pekan itu Denny pulang ke rumah orang tuanya di Balikpapan. Jaraknya hanya sekitar dua jam saja dari kota Samarinda. Dua atau tiga kali sebulan, Denny selalu mengunjungi ibu dan kedua adik perempuannya di kota kelahirannya itu. Denny tiba sekitar pukul tujuh malam di rumah orang tuanya. Sang ibu langsung mengajak putra kesayangannya itu makan malam berdua. Kedua adik perempuan Denny kebetulan sedang tidak berada di rumah pada saat itu.
“Ma, ada yang ingin aku bicarakan sama Mama,” ucap Denny ketika mereka usai makan malam. Ia ingin segera meminta restu dari ibunya untuk menikahi Diana.“Wah, kebetulan nih, Den. Mama juga ada yang mau dibicarakan sama kamu,” jawab Yanny—sang ibu dengan wajah berseri-seri.“Mengenai apa, Ma?” Denny balik bertanya begitu melihat ibunya yang lebih antusias ingin bicara sesuatu dengannya. “Kamu ingat gak sama Susana putrinya Tante Ning, tetangga kita dulu waktu tinggal di dekat SeWah ... saingan berat nih buat Diana, dokter lhoo, hehehe
Diana menatap lagi ponselnya untuk ke sekian kalinya. Sudah tiga hari berlalu, tidak ada kabar berita dari Denny sama sekali. Padahal Denny berjanji akan segera mengabarinya hari Senin kemarin sepulang dari Balikpapan. Namun, sampai hari Selasa ini tidak ada juga kabar samasekali dari pria yang beberapa hari lalu begitu ngotot ingin menikahinya.“Apa Denny marah gara-gara penolakanku beberapa hari yang lalu?” pikir Diana galau. Pikirannya kembali melayang pada kejadian di siang hari Jumat itu.Sebenarnya Diana sedikit menyesal dengan kejadian itu, serasa dirinya begitu murahan, tapi ia tetap harus mengakui bahwa aura memikat laki-laki itu begitu kuat. Ia tidak mampu menolaknya. Apalagi sudah tiga bulan ia tidak merasakan sentuhan yang memabukkan dari seorang laki-laki.Diana menghela napas sekali lagi. Ia menyandarkan tubuh pada sandaran kursi sambil menengadahkan kepala. Matanya terpejam. Kembali lagi, bayangan ti
Diana kembali ke ruangannya di kantor. Seulas senyum hadir di bibirnya kala mengusap perutnya yang sedikit menyembul. Makan siang bersama pertamakalinya hanya berdua Ivan, pria yang melahap makanannya dengan nikmatnya itu, membuat Diana tanpa sadar ikut menghabiskan menu makan siangnya tak bersisa. Gulai kepala ikan yang dimakannya tadi benar-benar enak, ditambah dengan sikap Ivan yang mengajaknya mengobrol ini itu. Sangat berbeda dengan sikap pria itu kala mereka berada di kantor. Diana tidak mengira teman suaminya itu begitu menarik di luar kantor. Ia pun merasa nyaman ketika bersama Ivan yang dewasa dan menyenangkan.Suara dering ponselnya dari dalam tas, menyadarkan Diana dari memikirkan sosok Ivan. Terlihat nama yang memanggilnya itu ‘Teman Lama’. Ia belum menggantinya dengan nama Denny, sejak menyimpan nomor itu ketika pertama kali bertemu lagi empat bulan yang lalu.“Hallo ….” Diana menjawab pelan.
Rumah orang tua Diana baru saja sepi dari para kerabat yang datang menghadiri acara arisan keluarga yang mereka adakan usai waktu Magrib tadi. “Ibu, Ayah. Ada yang ingin aku bicarakan,” pinta Diana begitu hanya mereka bertiga yang tersisa di ruang tengah rumah orang tuanya. “Mengenai apa, Diana? Ada masalah di kantormu kah?” tanya sang ibu sambil menatap putri sulungnya. “Bukan masalah di kantor, Bu. Hm … ini mengenai Denny. Ibu masih ingat ‘kan sama dia? Teman dekatku waktu kuliah dulu yang beberapa kali datang ke rumah ini.” “Oh, iya, Ibu ingat kok, apalagi pas kamu nikah sama Rey dulu, dia ‘kan yang datang mabuk-mabukan ke pesta kalian?” Ratih tertawa kecil mengingat pemuda yang datang ke pesta pernikahan anak sulungnya itu. “Iya, Bu, dulu aku memang meninggalkannya dan lebih memilih Mas Rey. Hm … empat bulan lalu aku ketemu Denny lagi pas acara reunian di kampus. Setelah Mas Rey meninggal, Denny jadi seri
“Denny! Aku tidak akan menghalangi apa yang kau inginkan saat ini, tapi setelah ini aku tidak akan pernah mau menemuimu lagi,” ancam Diana begitu ada kesempatan buatnya untuk bicara di tengah-tengah aksi Denny di atas tubuhnya. Denny tertegun mendengar ancaman wanita yang sudah dibuatnya tidak berdaya. Berlahan ia melonggarkan jepitan tangannya di tubuh langsing Diana yang sudah terlihat pasrah tidur di atas jok mobil yang sudah direbahkan oleh laki-laki itu tadi. Tangannya pun kemudian kembali menarik tuas jok untuk menegakkan kembali sandarannya. Diana diam saja melihat Denny yang kemudian mengancingkan kembali baju yang dilepas paksa oleh pria itu tadi. “Maafkan aku, Na. Tadi temanku mengajak minum sebelum ketemu kamu. Aku benar-benar minta maaf ya, gak bisa kontrol emosiku barusan.” Denny mencium tangan Diana lama dengan napas yang masih terlihat memburu. Ia benar-benar sedang berusaha untuk tenang. “Aku mau pulang dulu, Den,” j
Denny menemui ibunya ke kamar. Terlihat sang ibu sedang melipat mukenanya, sepertinya baru saja selesai melaksanakan salat Zuhur. “Denny? Kamu pulang? Tumben?” Yanny bertanya dengan heran, karena biasanya jarang sekali sang putra pulang ke Balikpapan setiap minggu. “Iya, Ma. Aku ngajak Diana ke sini, mau kuperkenalkan sama Mama,” jawab Denny sembari menyalami dan mencium tangan ibunya. “Mama ‘kan sudah bilang tidak mau dia jadi menantu mama, kenapa lagi kamu ajak dia ke sini sih, Den?” Yanny bertanya dengan malas, bahkan kemudian ia menuju ranjangnya, bersiap untuk istirahat siang. “Ma … jangan gitu dong, Ma. Tolong temui Diana sebentar. Kami udah jauh-jauh dari Samarinda ke sini lho, Ma,” bujuk Denny menyusul duduk di samping mamanya. Ia lalu meraih tangan sang ibu dengan tatapan memohon. “Baiklah, mama hanya sekedar menghormati tamu yang datang ke rumah ini, bukan berarti mama setuju dia menjadi calon
Begitu Diana turun dari mobil yang membawanya ke bandara, ia langsung berjalan menuju pintu keluar penumpang bandara. Sekitar lima meter wanita yang sedang kecewa itu bisa melihat Ivan yang berdiri menunggu tidak jauh dari pintu keluar. “Mas Ivan!” teriak Diana sembari melambaikan tangan. Ivan langsung melihatnya, segera pria tingi kekar itu berjalan menemui Diana sambil membawa koper kecilnya. “Ada acara apa ke Balikpapan, Bu?” tanya Ivan dengan tersenyum senang. Ia tidak menyangka akan bertemu Diana di Balikpapan dan akan pulang bersama dengan atasannya itu ke Samarinda. “Ibu-ibu! Kita bukan di lingkungan kantor lho, ya?” protes Diana dengan memanyunkan bibir seksinya. “Ya, deh. Hm … kenapa jauh-jauh menjemput aku ke sini? Belum juga sampe seminggu pisahnya?” goda Ivan lagi, membuat Diana yang sedang cemberut tersenyum lebar. “Mana mobilnya, Mas? Udah pesan ‘kan?” Diana mengalihkan pembica
Diana baru saja akan beranjak tidur sekitar pukul sepuluh malam ketika ponselnya berbunyi. Denny yang menghubunginya. “Hallo ….” Diana bicara seolah-olah seperti orang baru tidur terbangun kembali. “Udah tidur aja, Na.” “Iya, capek banget bolak balik dari Balikpapan tadi,” jawab Diana dengan sengaja menguap. “Maaf ya, tadi kamu jadi kecewa gara-gara mamaku.” “Gak apa-apa, Den. Namanya juga orang tua tentu akan memilih yang terbaik buat pendamping anaknya. “Bagiku kamu yang terbaik, Na.” “Makasih, Den. Kamu masih menilaiku seperti itu, tapi kita harus melihat kenyataan, hm … maaf ya, Den. Sepertinya aku menyerah kali ini.” “Tidak bisa kah kita terus bersama, Na. Kita sudah sangat dewasa untuk menentukan kebahagiaan kita sendiri.” “Itulah yang aku belum bisa, Den. Terlalu banyak yang harus aku pertimbangkan. Orang tuaku, perusahaanku, dan aku harus memberi contoh
Denny masih berdiri termangu menatap mobil yang membawa wanitanya pergi dari hadapannya. Hatinya benar-benar sakit menerima kenyataan pahit ini. Cinta tulusnya untuk Diana, kembali berdarah lagi seperti tujuh tahun yang lalu. Dulu Diana juga pergi meninggalkannya sama seperti saat ini ketika memberitahukan bahwa wanita itu akan menikah dengan laki-laki lain. Denny tahu, Diana selalu tegas dalam hal itu. Ia yakin wanita yang dicintainya itu akan melakukan apa yang diinginkannya, yaitu menjauh dari Denny. Lamunan Denny terhenti oleh suara ponselnya yang berbunyi. Terlihat di layar ponsel, adik bungsunya memanggil. “Kenapa, Karin?” Denny dengan malas mengangkat panggilan itu. “Mama pingsan, Kak!” “Apa?! Pingsan?” Denny tersentak kaget menyambung suara teriakan adiknya di seberang sana. “Iya, sejak Kak Denny berangkat ke Samarinda tadi pagi, mama terus menangis di kamarnya. Barusan aku mau ajak sarapan, ternyata