Sahira terbelalak melihat siapa yang berdiri di depan pintu.“Ka-kamu?”“Pak Michael, mau apa dia malam-malam begini?” ucapnya dalam hati.Sahira memang merindukan pria itu, tapi tak menginginkannya kalau datang ke sana.Michael berdiri di ambang pintu dengan jasnya yang sedikit berantakan, dasinya melonggar, dan wajahnya tampak lelah.“Ada apa, kenapa Bapak datang kemari?Tanpa aba-aba, Michael melangkah masuk, tangannya langsung menarik pinggang Sahira dan menutup pintu di belakang mereka.Klik!Sahira tersentak. Michael baru saja mengunci pintu apartemen.“Pak Michael, apa yang kau—”Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, Michael sudah memeluknya erat. Tangan pria itu melingkar di pinggangnya, tubuhnya menekan lembut ke dada bidang Michael yang terasa hangat.“Aku merindukanmu,” bisik Michael di telinga Sahira.Deg!Sahira membeku.Jantungnya berdetak tak karuan, napasnya tercekat, dan otaknya seolah berhenti berpikir.Rindukah dia?Michael merindukannya?Ini gawat! Pria itu pa
Sahira duduk di meja kerjanya, tersenyum kecil sambil menatap secangkir kopi yang baru saja ia buat untuk Michael. Entah kenapa, meski masih kesal dengan kejadian pagi tadi, memikirkan ekspresi Michael saat menerima kopi buatannya membuatnya merasa lebih baik.Dia menghela napas pelan, lalu kembali fokus pada pekerjaannya. Namun, baru beberapa detik, pintu ruangannya terbuka dengan kasar.Brak!Karin masuk tanpa mengetuk, senyum sinis menghiasi wajahnya.“Jadi, ini yang kamu lakukan di kantor? Membuat kopi untuk Michael seperti sekretaris murahan?” ejeknya.Sahira menatapnya tanpa ekspresi. “Kalau memang aku sekretaris, setidaknya aku lebih berguna daripada seseorang yang hanya bisa mengatur hidup orang lain.”Wajah Karin menegang sejenak, tapi dengan cepat dia kembali tersenyum sinis. “Kamu percaya diri sekali, ya? Aku penasaran, apakah Michael benar-benar menyukai kopimu?”Sahira tidak menanggapi. Dia tahu, Karin tidak akan puas sebelum merasa menang.Tak berselang lama, pintu kemb
Sahira duduk di meja kerjanya dengan hati yang masih gelisah. Tangannya menggenggam pulpen, tapi pikirannya melayang ke percakapan Michael dan Lucas yang tak sengaja dia dengar.Michael ingin dia ikut ke Pulau Hidden Gem? Sedangkan waktu dia untuk mempersiapkan diri sudah habis.Dan di sana, dia harus menyerahkan keperawanannya pada pria itu.Sahira menggigit bibirnya, mencoba mengusir rasa cemas yang menggelayuti pikirannya. Dia tidak bisa membiarkan ini terjadi. Tidak boleh.Tapi bagaimana cara menolaknya tanpa membuat Michael curiga?Tak berselang lama, sebuah ketukan di pintu mengagetkannya.Tok! Tok!Jantungnya langsung berdegup lebih cepat.Apa itu Michael?Pintu terbuka, tak lama kemudian sosok yang muncul adalah Lucas. Pria itu menyeringai lebar sambil melangkah masuk tanpa menunggu izin.“Sahira,” sapanya santai.Sahira mencoba menyembunyikan rasa gugupnya. “Ada yang bisa saya bantu, Pak Lucas?”Lucas menutup pintu di belakangnya, lalu menyandarkan tubuhnya ke meja kerja di d
Malam Hari.Di dalam ruang kerja, Michael duduk dengan ekspresi serius, menatap layar besar yang menampilkan rekaman CCTV rumahnya.Di sampingnya, David berdiri dengan tangan bersedekap, ikut memperhatikan setiap sudut rumah yang terekam di layar.“Ada yang mencurigakan,” gumam Michael, matanya menyipit.David mengangguk. “Aku juga melihatnya, Bos. Seseorang baru saja menyelinap ke pekarangan belakang. Gerakannya sangat hati-hati, sepertinya sudah berpengalaman.”Michael mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, lalu menggerakkan mouse untuk memperbesar tampilan. Sosok berpakaian serba hitam itu tampak berjongkok di dekat salah satu jendela, seperti sedang mencari celah untuk masuk.“Siapkan orang-orang kita,” perintah Michael tegas. “Kita cegah dia sebelum bertindak lebih jauh.”David segera menghubungi tim keamanan. Dalam hitungan detik, beberapa orang sudah bersiap di titik-titik strategis.Michael tidak menunggu lebih lama. Dengan langkah tenang, ia keluar dari ruangannya dan berjalan m
Sahira bangun di pagi hari. Dia meregangkan badan, kemudian menoleh ke arah ponselnya yang tergeletak di atas meja. Terdapat 1 pesan masuk. Dia segera membukanya. Deg!Alangkah terkejutnya dia saat membaca chat dari Michael 30 menit yang lalu. Dan sekarang jam 8 pagi.[Hari ini kita ada meeting jam 7:30, jangan sampai terlambat.]“Astaga, aku kesiangan!” pekiknya. Dia langsung berlari menuju kamar mandi, membersihkan diri dengan cepat, lalu memakai asal pakaiannya. Sahira mendengus kesal saat melihat jalanan yang tampak sepi, tak ada taksi atau transportasi umum yang lewat.“Huh! Aku harus bagaimana? Pasti datang lebih lambat hari ini,” gumamnya.Dia mencoba mengubungi Michael untuk meminta maaf, tapi nomor Bos-nya itu tidak aktif.***Di kantor.Michael menatap kursi kosong di ruang meeting. Harusnya dia sudah sampai satu jam yang lalu. Apa yang membuat asisten pribadinya itu sampai terlambat?“Aku akan memberikan hukuman,” ucapnya dalam hati sambil mengepalkan tangan.Michael masi
Bruk!“Ah, maaf, aku tak sengaja.” Sahira langsung mendongak melihat siapa orang yang tak sengaja dia tabrak.“Em, Pak ...” dia langsung menunduk saat melihat Michael di depannya.“Pulang naik apa?” tanya Michael datar.“Na-naik taksi.”“Hari ini aku yang antar.”Mata Sahira membulat, dia lekas menggeleng, “Tidak perlu, Pak.”“Tidak boleh menolak.”“Em, baiklah ...” Sahira akhirnya menurut, dia tak mau kalau Michael marah-marah lagi. Sudah cukup dia kena semprot pagi tadi, sampai mendapatkan hukuman yang masih tanda tanya.Mereka berjalan menuju parkiran di mana mobil mewah milik Michael berada.Sahira meremas roknya. Dia memang pernah menaiki mobil itu saat rumahnya kebakaran tempo lalu. Tapi saat itu ada David diantara mereka, sedangkan sekarang? Ah ...Sahira sangat takut Michael akan mengobok-obok dirinya di dalam mobil.Michael membuka pintu mobil untuk Sahira. Namun, tiba-tiba terdengar suara benturan kecil di belakangnya.Bruk!Dia menoleh dan melihat Karin terhuyung setelah m
Kriet!Pintu terbuka, menampakkan Michael di pintu apartemen.Huh! Sahira bernapas lega, dia pikir orang lain yang datang.“Cepat sekali. Kupikir siapa yang datang.”“Kenapa? Apa kau sedang menunggu orang lain?”Dia gelegapan sendiri, kemudian menggeleng, “Tidak, bukan begitu maksudku.”“Hmm.”Michael langsung memasuki apartemen Sahira tanpa dipersilahkan. Setiap langkahnya, menambah ketegangan dihati Sahira yang belum reda.Memang, saat pintu terbuka tadi, ekspresi Michael tidak menunjukkan keramahan sedikit pun. Wajahnya datar, seperti biasa, tapi kali ini terlihat seperti sedang menahan amarah.Sahira, yang sebelumnya berdiri di dekat meja, mendekat dengan langkah ragu. Jantungnya berdebar lebih cepat daripada sebelumnya, mencoba menenangkan diri, tapi sepertinya rasa gelisah itu semakin besar.Michael melepaskan jasnya dengan cepat dan melemparkannya ke atas kursi. Tanpa kata, dia melangkah lebih jauh ke dalam ruangan, menuju sofa besar yang ada di tengah apartemen Sahira. Tidak
“Aku sedang menstruasi, Pak.”APAH?“Jangan bercanda!” wajah Micahel tampak frustrasi.“Aku sedang tidak bercanda, Pak.” Sahira menggigit bibirnya, merasa takut. Sebelah tangannya meraih selimut lalu menutupi dadanya yang polos.Michael terdiam sejenak, menatap Sahira dengan ekspresi tak terbaca. Ucapannya barusan sukses membuat gairahnya meredup seketika.Dia menarik napas panjang, lalu bangkit dari posisi semula dan duduk di tepi ranjang. “Kenapa tidak bilang dari tadi?” tanyanya datar, menekan emosinya yang baru saja meluap.Sahira meneguk ludah, merasa bersalah karena telah membuat suasana menjadi canggung. “Aku … tak sempat. Bapak terlalu terburu-buru,” jawabnya pelan.Michael menoleh ke arah Sahira yang masih terbaring dengan napas sedikit tersengal. Dia menutup matanya sebentar, mencoba meredam gejolak dalam dirinya.Michael melirik ke arah bawah, di mana si gagah berada. Dia mendengus kesal. Kemudian ....“Kalau begitu, lakukan dengan cara lain.”Mata Sahira seketika membulat,
Sahira dan Michael saling berpandangan. “Permisi, Pak, aku bawa kopi untuk Anda ....” “Oliv!”Sahira masih duduk di sofa, mengenakan blus putih elegan dan rok selutut. Ia menatap tajam ke arah Olivia yang baru saja membuka pintu dan masuk sambil membawa nampan berisi kopi."Tuan, ini kopinya," ucap Olivia lembut, senyum kecil menghias wajahnya yang dipoles rapi. Ia berjalan pelan, langkahnya menggoda seperti model catwalk.Michael mengerutkan alis. "Tapi, saya tidak memintanya.""Kan biasanya Tuan sering meminta saya buatkan kopi," jawab Olivia cepat. Dia meletakkan gelas kopi di meja kaca, lalu mundur dua langkah. Namun sebelum sepenuhnya berbalik menuju pintu, ia menepuk ringan bokongnya sendiri sambil mengedipkan mata ke arah Michael.Gerakan itu singkat, tapi jelas. Sahira melihatnya. Dan matanya langsung menyipit.Keheningan sejenak merayap ke ruangan. Olivia melangkah keluar dengan lenggokan pinggul yang dibuat-buat, meninggalkan aroma parfum mahal dan kejanggalan yang mencolo
“Sergio ...”Sahira memanggil pelan, tapi cukup untuk membuat dua pria di depannya menoleh bersamaan. Michael menatapnya penuh tanya, sementara Sergio menajamkan mata, seolah tak percaya Sahira menyapanya dengan nada selembut itu.Ruangan terasa hening sesaat. Ketegangan menggantung di udara, seperti benang tipis yang bisa putus kapan saja.Sahira menarik napas dalam-dalam. “Aku ingin bicara. Hanya sebentar.”Sergio memandang Michael, seolah meminta izin, dan Michael mengangguk singkat. Dengan langkah pelan, Sergio mendekati Sahira, berdiri berhadapan dengannya. Jarak mereka cukup dekat untuk mendengar detak jantung masing-masing, tapi cukup jauh untuk menyimpan semua luka lama di antaranya.“Ada apa?” tanya Sergio datar. Tidak dingin, tapi juga tidak hangat.Sahira menelan ludah. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Aku ... aku ingin minta maaf,” ucapnya akhirnya. “Untuk malam itu. Waktu aku—waktu aku menembakmu.”Sergio tidak langsung bereaksi. Matanya menatap dalam ke arah Sahira,
Setelah selesai makan siang. Sahira merunduk manja ke dada Michael, tubuhnya melingkar seperti kucing jinak yang mencari kehangatan.Tangannya yang lembut merayap ke lengan kekar Michael, menyusuri kulitnya perlahan, seperti ingin mengukir rasa rindu yang ia tahan sejak pagi.Michael masih menatap layar ponselnya, membaca satu demi satu pesan masuk yang tak pernah berhenti berdatangan. Tapi fokusnya buyar saat suara lembut Sahira membisik halus di telinganya.“Apa ponselmu lebih menarik dari aku?”Pertanyaan itu terdengar manja, tapi ada nada menggoda di dalamnya. Michael menoleh. Sekejap saja, namun cukup untuk melihat tatapan jengkel sekaligus merayu dari Sahira. Tanpa banyak bicara, dia mematikan ponsel, meletakkannya di atas meja kaca dengan suara klik pelan, lalu membalikkan tubuhnya untuk menatap perempuan yang kini bersandar di lengannya.“Tentu saja tidak, sayangku,” ucap Michael pelan, suaranya berat dan penuh senyum. “Kenapa kamu manja begini seperti kucing birahi, hm?”Sahi
Berita tentang bersatunya Horison Steel dan ALX Group mengguncang jagat bisnis internasional. Di berbagai stasiun televisi, situs berita ekonomi, hingga media sosial, nama dua perusahaan raksasa itu terus menjadi perbincangan hangat. Para analis menyebut ini sebagai salah satu penggabungan korporasi paling berpengaruh dalam satu dekade terakhir. Alasan utamanya, bukan hanya karena kekuatan modal dan pengaruh pasar dari dua entitas itu, tetapi juga kabar bahwa dua pemimpin utamanya, Michael Nathaniel dan Alexa J, akan segera menikah.Michael duduk di ruang kantornya yang luas dan mewah. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dan desiran AC yang terdengar samar. Di hadapannya, layar laptop masih menampilkan berbagai laporan merger dan reaksi pasar yang positif. Saham perusahaannya melonjak tajam, investor dari berbagai belahan dunia mulai mengalihkan dana mereka ke sektor baja dan konstruksi. Ini seharusnya menjadi hari yang membanggakan, namun Michael justru menatap layar dengan raut wa
Pagi hari.Cahaya layar monitor memantul di wajah Michael, menyoroti ketegangan yang menggelayut di dahinya. Tangannya bergerak cepat, mengetik dan membuka beberapa file rahasia keuangan miliknya. Pupil matanya menyempit saat angka-angka tak wajar muncul di hadapannya. Beberapa akun sudah tidak aktif. Aset digitalnya hilang. Transfer tidak sah dilakukan dalam jumlah besar. Dan anehnya, semuanya dilakukan tanpa terdeteksi oleh sistem pengamanannya."Ini tidak masuk akal ...," desisnya lirih namun sarat amarah.Jantungnya berdegup lebih cepat. Semua dokumen yang dia buka menunjukkan hal yang sama, pencurian sistematis. Sesuatu yang dirancang dengan sangat cermat dan dilakukan oleh seseorang yang paham betul struktur keamanan keuangan perusahaannya."Siapa yang berani melakukan ini padaku?"Dengan gerakan kasar, Michael menutup laptopnya dan berdiri. Kursi kerjanya terhempas ke belakang. Dia melangkah keluar dari ruang kerja pribadinya menuju ruang tengah, wajahnya memerah karena emosi.
Suasana pusat perbelanjaan mewah di tengah kota terasa ramai, tapi juga hangat. Lampu-lampu kuning keemasan memantul dari lantai marmer yang mengilap. Michael dan Sahira berjalan berdampingan, menyusuri lorong-lorong toko dengan jemari saling terkait erat. Mereka tampak seperti pasangan bahagia yang tengah menikmati waktu santai bersama—meskipun kenyataannya, Michael sengaja membawa Sahira ke sini agar ia melupakan sedikit masalah-masalah mereka belakangan ini.Perut yang berkeroncong membuat mereka berhenti di food court.“Cepat saji dulu, ya? Kita sedang buru-buru,” ucap Michael sambil menunjuk salah satu outlet burger terkenal.Sahira mengangguk, “Tapi kamu yang antre. Aku duduk dulu.”Michael tertawa, mengacungkan jari. “Tentu, Tuan Putri.”Ia memesan dua porsi besar burger, kentang goreng, dan minuman soda sambil sesekali melirik ke arah Sahira yang sedang duduk sambil membuka ponsel. Wanita itu terlihat sangat cantik meski hanya mengenakan atasan santai dan celana jeans putih.
“Mommy!”Michael hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok wanita paruh baya berwajah anggun dan penuh wibawa itu berdiri di tengah ruang tamunya, mengenakan mantel wol berwarna krem. Wajahnya berseri-seri, seolah kedatangannya adalah hadiah terbesar yang pernah dia siapkan untuk sang putra.“Hai, sayang. Kenapa wajahmu terkejut begitu? Kau tidak suka Mommy pulang?” tanya Evelyn sambil tersenyum, meski ada sorot tajam tersembunyi di balik matanya.Michael yang semula terkejut mencoba memasang wajah ramah. Dia segera berjalan mendekat dan memeluk ibunya erat-erat.“Tidak, bukan begitu. Aku suka Mommy datang. Tapi kenapa Mommy tidak memberi kabar dulu? Aku pasti menjemput Mommy di bandara.”Evelyn terkekeh kecil, mengelus rambut putranya yang sudah lama tak ia sentuh.“Sengaja, ingin memberimu kejutan.”Namun seiring pelukan mereka mereda, pandangan Evelyn langsung beralih ke arah lain—ke arah seorang wanita muda yang berdiri gugup di sudut ruangan. Sahira. Dengan gaun sederh
Tok! Tok! Tok!Hufftt!Michael menghela napas, meskipun tampak tak terlalu terkejut, segera membuka pintu mobil dan berdiri di samping Sahira, memberi jarak di antara mereka dengan pria misterius yang berdiri di samping mobilnya itu.Pria itu tidak segera berbicara, hanya memandang Michael dengan tatapan tajam. Michael mengernyit, tak mengerti siapa orang ini. Dalam diam, pria itu akhirnya membuka mulut, suaranya dalam dan penuh nada peringatan."Michael .... secepatnya kita perlu bicara."Sahira merasakan ketegangan di udara, tubuhnya sedikit menegang. Ada sesuatu yang tidak beres. Michael menatap pria itu dengan lebih seksama, lalu dengan nada rendah menjawab, "Apa yang kamu inginkan?"Pria itu sedikit tersenyum, tapi senyumnya tidak membuat situasi jadi lebih nyaman. "Kita tidak punya banyak waktu," ucapnya, suara itu terasa mengandung ancaman yang samar. "Ada hal-hal yang sedang bergerak di belakang layar. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."“Katakan siapa kau?”Michael men
Michael menarik napas panjang sebelum mempersilahkan seseorang itu untuk masuk."Masuk," perintahnya.Kriet!Pintu terbuka.Tampaklah sosok Lucas berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan rapi seperti biasa, namun ada guratan kegelisahan di wajahnya."Maaf mengganggu," ucap Lucas cepat sambil mengangkat setumpuk dokumen di tangannya. "Ini dokumen penting yang harus kau tandatangani hari ini, Bos."Michael hanya mengerling sekilas ke arah dokumen itu. Ia tidak bergeming, tatapannya masih terkunci pada wajah Sahira yang kini tampak kebingungan. Seolah kehadiran Lucas sama sekali tidak penting baginya."Taruh saja di meja," sahut Michael pendek, suaranya dalam dan malas, seakan Lucas hanyalah suara latar yang mengganggu dunianya bersama Sahira.Lucas mengangkat alis, sedikit geli melihat kelakuan bosnya yang biasanya serius dan tak tersentuh, kini seperti pria kasmaran yang tak mau melepaskan pandangan dari wanitanya.Dengan langkah perlahan, Lucas masuk ke ruangan, berusaha tidak meng