Sahira masih terpaku di kursinya, mencoba mencerna apa yang baru saja didengarnya.Pulau Hidden Gem.Besok.Dua minggu sudah berlalu.Tangannya sedikit gemetar saat meletakkan cangkir kopi ke meja. Kepalanya terasa pening, napasnya sedikit tidak beraturan.“Oh, Tuhan ...” gumamnya pelan.Suasana kantor tetap berjalan seperti biasa, tak ada yang menyadari kepanikannya. Namun, tiba-tiba, langkah sepatu terdengar mendekat.Sahira reflek mengangkat wajahnya, dan langsung berdiri.Pak Michael!Pria itu berjalan dengan santai ke arahnya, tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Tatapannya tajam, seolah bisa melihat langsung ke dalam pikirannya yang sedang kacau.Michael berhenti di depan Sahira, pria itu mencondongkan tubuhnya sedikit.“Sebentar lagi, Sayang ...,” bisiknya pelan, suaranya dalam dan menggoda.Sahira terkesiap, tubuhnya menegang.Michael tersenyum miring, lalu dengan santai mengangkat tangan dan—Ngek!Dia meremas pelan pant*t Sahira, membuat Sahira terlonjak kaget. Matanya me
Langit cerah membentang luas, membiaskan warna biru yang hampir menyatu dengan lautan. Kapal pesiar mulai bergerak meninggalkan dermaga, membawa para tamu VIP menuju Pulau Hidden Gem.Sahira berdiri di dek atas kapal, tangannya berpegangan pada pagar besi, memandang ombak yang berkilauan diterpa cahaya matahari. Angin laut berhembus lembut, menggoyangkan rambutnya yang terurai.“Ini ... indah sekali.”Dia tak pernah menyangka bisa menaiki kapal mewah seperti ini. Kapal pesiar ini lebih dari sekadar alat transportasi, ini seperti dunia kecil yang mengapung di atas air. Kolam renang biru jernih, restoran dengan dekorasi elegan, dan bahkan pusat perbelanjaan kecil di dalamnya membuatnya serasa berada di hotel bintang lima.“Setidaknya, di sini aku bisa menikmati sedikit kebebasan.”Tanpa Michael ataupun Karin yang mengawasi setiap gerak-geriknya, Sahira merasa bisa bernapas lega.Dia memejamkan mata sejenak, membiarkan angin laut membelai wajahnya. Mungkin, ini bukan ide yang buruk. Seti
Sahira menepis kasar tangan Lucas.“Jangan sentuh aku!” suaranya terdengar tajam.Lucas terdiam, matanya membelalak sejenak karena tidak menyangka reaksi itu. Namun, dia tidak mengatakan apa pun saat Sahira berbalik dan melangkah cepat menuju kamarnya.Setibanya di dalam, dia menutup pintu dengan kencang.BRAK!Napasnya masih sedikit memburu, dia sangat frustrasi. Sahira sangat marah, tapi tak bisa dia luapkan.Apa hak Lucas melarangnya berbicara dengan Sergio? Dia bukan anak kecil, dan Lucas bukan siapa-siapa baginya.Sahira menjatuhkan tubuh ke ranjang, menyandarkan punggung pada bantal, mencoba mengatur emosinya. Namun, tak lama kemudian ...TING!Sebuah pesan masuk.Dari Michael.[Aku sudah sampai lebih cepat. Tak sabar menantimu.]HUH!Sahira mendengus.'Cepat sekali,' batinnya.Perjalanan lautnya kali ini akan memakan waktu sehari semalam, yang berarti besok pagi dia akan tiba di pulau.Tiba-tiba, perasaan tidak nyaman menjalar di dadanya.Dia tidak tahu pasti kenapa, ada sesuat
Pagi hari.Udara di sekitar kapal terasa sejuk, membawa rasa lega bagi Sahira setelah malam yang penuh rasa cemas. Dia berdiri di dekat sisi kapal, memandang ke horizon, mencoba menenangkan pikiran yang masih bergejolak. “Maaf, Hira.”Seketika pecah saat sebuah suara mengagetkannya dari belakang.“Aku tak bermaksud kurang ajar.”Sahira terlonjak, hampir kehilangan keseimbangan. Saat dia menoleh, matanya membelalak melihat Sergio yang berdiri tepat di belakangnya. Pria itu tersenyum sedikit canggung, meski tampak menyesal.Sahira menatapnya tajam, ingin pergi menjauh. Namun sebelum dia bisa melangkah, Sergio sudah lebih dulu menangkap pergelangan tangannya. “Aku tahu aku membuatmu tidak nyaman semalam,” katanya dengan suara rendah. “Aku mabuk, dan aku ... aku minta maaf atas kelakuanku.”Sahira menarik tangannya, mencoba melepaskan diri dari cengkramannya. “Lepaskan aku, Sergio,” ucapnya tegas, meski hatinya sedikit bingung dengan permintaan maaf yang tiba-tiba ini.Belum sempat mela
Sahira menelan ludahnya dengan susah payah. Pikirannya berputar, mencoba memahami situasi yang sedang dihadapinya. Michael dan Sergio saling menatap dalam diam, seolah ada banyak hal yang tak terucapkan di antara mereka.Dan kemudian ...Michael tersenyum.Bukan senyum dingin atau sinis seperti yang biasa Sahira lihat, tapi senyum yang lebih tulus dan … hangat?“Sergio.” Michael akhirnya membuka suara.Jantung Sahira semakin berdebar kencang.“Akhirnya kau sampai juga.”Sergio menyeringai kecil, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. “Ya, akhirnya tiba, cukup melelahkan Mike.”Sahira menoleh ke arah Michael, menunggu penjelasan. Tapi justru pria itu berbalik padanya dan berkata dengan tenang.“Hira ...”Michael menepuk bahu Sergio dengan santai, “Perkenalkan ... dia Sergio. Adikku.”Gubrak!Sahira membeku di tempat.APAH?!Matanya membesar, kepalanya terasa pening dalam sekejap. Otaknya seolah memproses informasi itu dengan sangat lambat.Adik?Sergio dan Michael … bersaudar
Setelah selesai belanja, Michael mengajak Sahira ke sebuah restoran mewah di pinggir pantai. Tempat itu dipenuhi kursi-kursi kayu elegan dengan pemandangan laut biru yang membentang luas. Angin sepoi-sepoi membuat suasana semakin nyaman, dan suara deburan ombak menambah kesan damai.Michael memilih meja di area VIP—sebuah gazebo eksklusif yang sedikit terpisah dari tamu lainnya.Sahira mengangkat alis. “Kita duduk di sini?”Michael menatapnya santai. “Tentu saja.”Sahira mendesah. “Kenapa harus tempat mahal begini? Makan di warung pinggir jalan juga enak.”Michael menoleh dengan ekspresi tidak percaya. “Kau serius?”“Tentu saja.” Sahira tersenyum puas. “Makan di warung lebih santai, kan?”Michael hanya menghela napas panjang dan menyerahkan menu pada Sahira. “Baiklah, pesan apa saja yang kau suka.”Sahira membuka menu dan mulai membaca daftar makanan yang penuh dengan hidangan mewah seperti lobster panggang, steak wagyu, hingga kaviar. Matanya sedikit menyipit melihat harganya.“Uh …
Sahira membuka pintu dengan tangan sedikit gemetar, napasnya tertahan. Namun, begitu melihat sosok yang berdiri di depannya, tubuhnya langsung melemas.Pak Michael!Dia menatapnya dengan ekspresi santai, seolah tidak menyadari betapa tegangnya Sahira sejak tadi.“Kenapa lama sekali membukanya, sayang?” ujar Michael dengan nada menggoda.Sahira tidak menjawab. Dia buru-buru menarik Michael masuk, lalu menutup pintu dengan cepat lalu menguncinya.Ceklek!Michael mengangkat alis. “Buru-buru sekali. Sepertinya kau sangat tidak sabar, hm?”Sahira terperanjat. “Bu-bukan! Aku hanya takut ada yang melihat Bapak masuk ke kamarku.”Michael menatapnya, lalu tertawa kecil. “Panggil aku Mike saja. Malam ini kita tidak sedang dalam suasana kerja.”Entah apa yang terjadi pada Michael, padahal panggilang 'Mike' dikhususkan untuk keluarga dan orang terdekatnya saja. Kali ini, Michael ingin Sahira memanggil nama Itu di malam spesial mereka.Sahira hanya menelan ludah.Michael melangkah mendekat, membua
Sahira menggigit bibir saat Michael memainkan m!liknya di tengah kepanikan yang melanda.Tak berselang lama, terdengar suara Dita berjalan menjauh. Baru lah Sahira bisa bernapas lega.Eh!“Ahh, Pak, mau apa?” pekik Sahira saat Michael membenamkan wajahnya pada anu-nya.“Emmhh ....” Sahira melenguh saat benda basah bermain di sana. Dia mengg!git bibir kuat-kuat, wajahnya mendongak, sebelah tangannya mencengkram kuat rambut Michael.“Ah, pak, hentikan!”“Aduhhh! Ahhh ....”Lidah Michael terus menari-nari di bawah sana, memutar-mutar, mengorek dan menyedot cairan memewnya.Tak ada rasa jijik, karena rasanya manis dan sedikit asin, tapi Michael suka.“Pak, ughh ... aku tak tahan ... ahhh lebih cepat.”“Oughh, Pak Michael. Aku ... aku mau keluar, Pak.” Sahira terus mer4cau, merasakan gelombang h4srat yang semakin melanda. Anu-nya terus berkedut, tanda sesuatu yang sangat nikm4t tengah dia rasakan. Michael terus melakukan aksinya, kedua tangannya juga meremas dua bukit kembar Sahira dengan
Berita tentang bersatunya Horison Steel dan ALX Group mengguncang jagat bisnis internasional. Di berbagai stasiun televisi, situs berita ekonomi, hingga media sosial, nama dua perusahaan raksasa itu terus menjadi perbincangan hangat. Para analis menyebut ini sebagai salah satu penggabungan korporasi paling berpengaruh dalam satu dekade terakhir. Alasan utamanya, bukan hanya karena kekuatan modal dan pengaruh pasar dari dua entitas itu, tetapi juga kabar bahwa dua pemimpin utamanya, Michael Nathaniel dan Alexa J, akan segera menikah.Michael duduk di ruang kantornya yang luas dan mewah. Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dan desiran AC yang terdengar samar. Di hadapannya, layar laptop masih menampilkan berbagai laporan merger dan reaksi pasar yang positif. Saham perusahaannya melonjak tajam, investor dari berbagai belahan dunia mulai mengalihkan dana mereka ke sektor baja dan konstruksi. Ini seharusnya menjadi hari yang membanggakan, namun Michael justru menatap layar dengan raut wa
Pagi hari.Cahaya layar monitor memantul di wajah Michael, menyoroti ketegangan yang menggelayut di dahinya. Tangannya bergerak cepat, mengetik dan membuka beberapa file rahasia keuangan miliknya. Pupil matanya menyempit saat angka-angka tak wajar muncul di hadapannya. Beberapa akun sudah tidak aktif. Aset digitalnya hilang. Transfer tidak sah dilakukan dalam jumlah besar. Dan anehnya, semuanya dilakukan tanpa terdeteksi oleh sistem pengamanannya."Ini tidak masuk akal ...," desisnya lirih namun sarat amarah.Jantungnya berdegup lebih cepat. Semua dokumen yang dia buka menunjukkan hal yang sama, pencurian sistematis. Sesuatu yang dirancang dengan sangat cermat dan dilakukan oleh seseorang yang paham betul struktur keamanan keuangan perusahaannya."Siapa yang berani melakukan ini padaku?"Dengan gerakan kasar, Michael menutup laptopnya dan berdiri. Kursi kerjanya terhempas ke belakang. Dia melangkah keluar dari ruang kerja pribadinya menuju ruang tengah, wajahnya memerah karena emosi.
Suasana pusat perbelanjaan mewah di tengah kota terasa ramai, tapi juga hangat. Lampu-lampu kuning keemasan memantul dari lantai marmer yang mengilap. Michael dan Sahira berjalan berdampingan, menyusuri lorong-lorong toko dengan jemari saling terkait erat. Mereka tampak seperti pasangan bahagia yang tengah menikmati waktu santai bersama—meskipun kenyataannya, Michael sengaja membawa Sahira ke sini agar ia melupakan sedikit masalah-masalah mereka belakangan ini.Perut yang berkeroncong membuat mereka berhenti di food court.“Cepat saji dulu, ya? Kita sedang buru-buru,” ucap Michael sambil menunjuk salah satu outlet burger terkenal.Sahira mengangguk, “Tapi kamu yang antre. Aku duduk dulu.”Michael tertawa, mengacungkan jari. “Tentu, Tuan Putri.”Ia memesan dua porsi besar burger, kentang goreng, dan minuman soda sambil sesekali melirik ke arah Sahira yang sedang duduk sambil membuka ponsel. Wanita itu terlihat sangat cantik meski hanya mengenakan atasan santai dan celana jeans putih.
“Mommy!”Michael hampir tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sosok wanita paruh baya berwajah anggun dan penuh wibawa itu berdiri di tengah ruang tamunya, mengenakan mantel wol berwarna krem. Wajahnya berseri-seri, seolah kedatangannya adalah hadiah terbesar yang pernah dia siapkan untuk sang putra.“Hai, sayang. Kenapa wajahmu terkejut begitu? Kau tidak suka Mommy pulang?” tanya Evelyn sambil tersenyum, meski ada sorot tajam tersembunyi di balik matanya.Michael yang semula terkejut mencoba memasang wajah ramah. Dia segera berjalan mendekat dan memeluk ibunya erat-erat.“Tidak, bukan begitu. Aku suka Mommy datang. Tapi kenapa Mommy tidak memberi kabar dulu? Aku pasti menjemput Mommy di bandara.”Evelyn terkekeh kecil, mengelus rambut putranya yang sudah lama tak ia sentuh.“Sengaja, ingin memberimu kejutan.”Namun seiring pelukan mereka mereda, pandangan Evelyn langsung beralih ke arah lain—ke arah seorang wanita muda yang berdiri gugup di sudut ruangan. Sahira. Dengan gaun sederh
Tok! Tok! Tok!Hufftt!Michael menghela napas, meskipun tampak tak terlalu terkejut, segera membuka pintu mobil dan berdiri di samping Sahira, memberi jarak di antara mereka dengan pria misterius yang berdiri di samping mobilnya itu.Pria itu tidak segera berbicara, hanya memandang Michael dengan tatapan tajam. Michael mengernyit, tak mengerti siapa orang ini. Dalam diam, pria itu akhirnya membuka mulut, suaranya dalam dan penuh nada peringatan."Michael .... secepatnya kita perlu bicara."Sahira merasakan ketegangan di udara, tubuhnya sedikit menegang. Ada sesuatu yang tidak beres. Michael menatap pria itu dengan lebih seksama, lalu dengan nada rendah menjawab, "Apa yang kamu inginkan?"Pria itu sedikit tersenyum, tapi senyumnya tidak membuat situasi jadi lebih nyaman. "Kita tidak punya banyak waktu," ucapnya, suara itu terasa mengandung ancaman yang samar. "Ada hal-hal yang sedang bergerak di belakang layar. Jangan bilang aku tidak memperingatkanmu."“Katakan siapa kau?”Michael men
Michael menarik napas panjang sebelum mempersilahkan seseorang itu untuk masuk."Masuk," perintahnya.Kriet!Pintu terbuka.Tampaklah sosok Lucas berdiri di ambang pintu, mengenakan setelan rapi seperti biasa, namun ada guratan kegelisahan di wajahnya."Maaf mengganggu," ucap Lucas cepat sambil mengangkat setumpuk dokumen di tangannya. "Ini dokumen penting yang harus kau tandatangani hari ini, Bos."Michael hanya mengerling sekilas ke arah dokumen itu. Ia tidak bergeming, tatapannya masih terkunci pada wajah Sahira yang kini tampak kebingungan. Seolah kehadiran Lucas sama sekali tidak penting baginya."Taruh saja di meja," sahut Michael pendek, suaranya dalam dan malas, seakan Lucas hanyalah suara latar yang mengganggu dunianya bersama Sahira.Lucas mengangkat alis, sedikit geli melihat kelakuan bosnya yang biasanya serius dan tak tersentuh, kini seperti pria kasmaran yang tak mau melepaskan pandangan dari wanitanya.Dengan langkah perlahan, Lucas masuk ke ruangan, berusaha tidak meng
Begitu pintu berat ruang rapat terbuka, semua kepala otomatis menoleh. Puluhan pasang mata, dari para dewan elit hingga penasihat senior, mengamati dengan seksama sosok Michael Nathaniel dan Sahira—atau yang lebih dikenal sebagai Nona Alexa J.—melangkah masuk ke dalam ruangan.Yang membuat mereka semua terdiam bukan hanya karena keterlambatan keduanya, tapi karena caranya mereka masuk dengan bergandengan tangan.Michael berjalan dengan penuh percaya diri, menuntun Sahira di sisinya tanpa sedikit pun ragu, seolah-olah dia ingin seluruh dunia tahu bahwa wanita ini adalah miliknya. Sahira sendiri, walaupun wajahnya tenang, sempat membeku sesaat karena sadar akan semua tatapan tajam yang kini menancap seperti panah ke arahnya.Dengan refleks, Sahira melepaskan tangan Michael begitu mereka hampir mencapai meja besar di tengah ruangan. Gerakannya cepat namun tetap terlihat elegan. Dia tidak ingin memperkeruh suasana yang sudah cukup memanas dengan kemunculan mereka.Bisik-bisik kecil mulai
Pagi hari.Cahaya matahari menembus tirai jendela, menyapu lembut wajah Sahira yang masih terlelap dalam balutan selimut tipis. Silau yang menusuk matanya membuat Sahira menggeliat kecil, sebelum akhirnya kelopak matanya terangkat perlahan. Dia mengerjap beberapa kali, menyesuaikan pandangannya pada cahaya pagi yang memenuhi kamar.Saat hendak bergerak, Sahira merasakan sesuatu yang berat melingkar di pinggangnya. Dia menunduk dan mendapati tangan kekar Michael masih erat memeluk tubuhnya. Sahira tersenyum kecil, mengingat betapa keras kepala pria itu untuk sekadar tidur berdua dengannya semalam.Pelan-pelan, Sahira mencoba melepas pelukan itu tanpa membangunkan Michael. Tapi baru saja ia menggeser diri, tangan Michael malah menariknya kembali, membuat tubuh mereka bertemu rapat dan Sahira jatuh ke dalam pelukannya lagi.“Mau ke mana?” gumam Michael, suaranya berat dan serak khas orang baru bangun tidur.Sahira mendesah, mencoba tidak terjebak dengan kehangatan yang menguar dari tubuh
Berita itu menyebar seperti api membakar ilalang kering—cepat, tak terhentikan, dan mengguncang semua pihak. Pagi hari, semua media nasional menayangkan satu headline yang sama.[Michael Nathaniel, CEO Muda Terkaya Asia, Kecelakaan Maut di Tol Selatan!]Rekaman dari drone polisi memperlihatkan mobil sport hitam mewah yang ringsek tak berbentuk, terguling di samping pembatas jalan, dengan serpihan logam dan kaca berserakan di mana-mana. Wajah Michael tak tampak jelas di dalam video, hanya sosok tubuh tergolek tak sadarkan diri yang segera ditandu ke ambulans.***Di Apartemen.Alexa menjatuhkan gelas kristal yang baru saja hendak dia angkat. Air bening dan pecahan kaca berhamburan di lantai, tapi dia tak peduli. Napasnya memburu, dadanya naik turun seperti baru saja berlari maraton.“Tidak mungkin …,” bisiknya pelan, nyaris tanpa suara.Namun berita itu terpampang nyata di layar televisi 70 inci di hadapannya, dengan gambar close-up wajah Michael dari masa lalu dan laporan live dari