Setelah tertunda tadi, acara dilanjutkan kembali.Jonathan duduk dengan santai di kursinya, dengan sorot matanya tetap tajam, menusuk ke arah Michael yang duduk di seberangnya. Di belakangnya, beberapa pengawal berseragam hitam berdiri tegap, menunjukkan bahwa pria itu tidak datang sendirian. Kehadirannya jelas bukan sekadar kunjungan biasa.Michael berusaha mempertahankan ketenangannya, meskipun dia tau, Jonathan tidak akan membiarkan rapat ini berjalan dengan mudah.Pembicaraan mulai berlanjut. Seorang pengusaha senior dari sektor perhotelan berdiri dan mulai berbicara dengan penuh wibawa, membahas potensi kerja sama dan strategi bisnis di masa depan. Ruangan kembali dipenuhi suara perbincangan serius, hingga akhirnya sesi tanya jawab dimulai.“Baiklah, apakah ada yang ingin mengemukakan pendapat atau menambahkan sesuatu?” tanya moderator yang memimpin rapat.Michael, yang sudah mempersiapkan jawabannya, dengan sigap mengangkat tangan. Namun sbelum sempat bicara, tiba-tiba ...“Saya
Di dalam kamar.Sahira duduk di tepi ranjang, tatapannya kosong menatap lantai. Pikirannya masih teringat dengan kejadian barusan.Kenapa Sergio bertanya seperti itu?“Hati-hati, Hira. Aku bukan orang yang mudah dibohongi.”Sahira menggigit bibirnya, mencoba mengusir perasaan gelisah yang terus mengusik pikirannya. Semakin dia mengabaikannya, semakin kuat rasa takut itu menghantui.Tanpa sadar, ia menghela napas berat.Lalu, tak berselang lama ...Kriek!Suara pintu terbuka membuatnya tersentak.Sahira menoleh cepat.Di sana sosok Michael berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan alis sedikit berkerut.“Kamu kenapa?” tanyanya, berjalan masuk dan menutup pintu di belakangnya.Sahira menggeleng cepat, menundukkan kepala. “Aku tidak apa-apa, Pak."”Michael menatapnya lekat, seolah tidak percaya dengan jawaban itu.“Kamu terlihat gelisah, ada masalah?” gumamnya, lalu duduk di tepi ranjang, tak jauh dari Sahira. “Apa ada sesuatu yang terjadi tanpa ku ketahui?”Sahira menggigit bibirnya. T
Sahira merasa jantungnya hampir meledak.Sergio masih berdiri terlalu dekat, tatapannya tajam, seolah menikmati setiap detik kepanikan yang terlukis jelas di wajahnya.Sahira menggigit bibirnya, mencoba menenangkan diri. Ia harus segera mengusir pria ini sebelum semuanya semakin kacau.“Sergio, tolong pergi,” ucapnya, suaranya hampir seperti bisikan.Pria itu tidak bergerak.Alih-alih menuruti permintaan Sahira, ia justru menyandarkan satu tangannya di pagar balkon, mengunci tubuh Sahira dalam ruang sempit.“Kenapa?” tanyanya pelan. Senyuman miring masih menghiasi wajahnya. “Kau takut?”Sahira menatapnya dengan waspada. “Aku tidak takut.”Sergio terkekeh kecil. “Benarkah?”“Tapi kau harus pergi.”“Apa alasannya?”Sahira mengerjapkan mata.Sergio semakin mencondongkan tubuhnya, mengurangi jarak mereka hingga hanya beberapa inci.“Kenapa aku harus pergi, hm? Kau takut seseorang melihat kita? Atau ... kau takut dirimu sendiri?”“Aku—”Sebelum Sahira bisa mengatakan sesuatu, tiba-tiba ...
Sahira berdiri di depan pintu kamar Michael dengan sedikit gelisah. Panggilan pria itu datang secara mendadak, membuatnya tak sempat mempersiapkan diri. Jantungnya berdebar saat ia mengetuk pintu.Tok! Tok! Tok!“Permisi, Pak, Anda memanggilku?Tak butuh waktu lama, suara Michael terdengar dari dalam.“Masuk.”Sahira membuka pintu perlahan, lalu masuk dengan langkah hati-hati. Matanya langsung menangkap sosok pria itu yang berdiri di dekat jendela, membelakanginya. Michael tampak sedang mengamati pemandangan di luar dengan ekspresi yang sulit ditebak.“Pak, ada apa memanggilku?” Sahira mencoba terdengar biasa saja.Michael berbalik perlahan. Matanya bertemu dengan mata Sahira, dan saat itu juga wanita itu menyadari ada sesuatu yang berbeda.Pria itu terlihat lebih dingin.Biasanya, Michael selalu menyambutnya dengan senyum tipis atau tatapan penuh arti. Tapi kali ini? Tidak ada senyum, tidak ada sorot lembut di matanya.Hanya datar.Dingin.Sahira langsung merasa tidak nyaman.Michael
Suasana pesta terus berlanjut dengan gemerlap cahaya dan alunan musik klasik yang lembut. Namun, di sudut ruangan, Jonathan masih belum mengalihkan pandangannya dari sosok Sahira yang kini tengah berdiri di dekat salah satu meja hidangan, tampak gelisah di antara para tamu yang asing baginya.Karin melirik Jonathan dari ekor matanya, lalu meletakkan gelas anggurnya di meja terdekat. “Jangan katakan kau tertarik padanya.”Jonathan menyeringai kecil, sudut bibirnya terangkat tipis. “Tertarik?” gumamnya, lalu mengangkat bahu santai. “Mungkin.”Karin mendesah. “Kau tahu dia milik Michael.”Jonathan menoleh ke arah wanita itu, matanya menyala penuh intrik. “Dan sejak kapan aku peduli tentang apa yang menjadi milik Michael?”Karin mendecak pelan, tapi tidak berkata apa-apa lagi. Saat Jonathan tertarik pada sesuatu, maka pria itu tidak akan mudah menyerah. Dan itu menguntungkannya juga, Sahira akan tersingkir tanpa harus mengotori tangannya.“Kalau ku tahu begini, sudah kuberitahu dia dari k
Jonathan menyaksikan pertengkaran kecil antara Michael dan Sergio dengan ekspresi senang. Ia mengangkat gelas sampanyenya dan tertawa kecil, menarik perhatian wanita di sebelahnya.“Kakak beradik menyukai wanita yang sama? Ah, aku jadi sangat penasaran padanya, seberapa indah tubuhnya saat kutelanjangi?” gumamnya sambil mengamati reaksi Michael yang begitu posesif terhadap Sahira.Sementara, pesta kembali berjalan dengan normal setelah ketegangan yang sempat terjadi di lantai dansa. Musik kembali mengalun, orang-orang melanjutkan obrolan dan tarian mereka, seolah tidak ada insiden yang terjadi.Michael, seperti biasa, segera tenggelam dalam percakapan dengan para rekan bisnisnya. Pria itu terlalu sibuk berdiskusi tentang peluang investasi dan proyek baru, sampai tidak menyadari bahwa Sahira mulai melangkah menjauh.Sahira merasa dadanya masih berdebar kencang. Insiden dengan Sergio barusan membuat emosinya kacau. Ia perlu sesuatu untuk menenangkan diri.Maka, dia berjalan ke arah meja
Michael berdiri di sana dengan rahang mengeras, tangan kanannya masih mengepal setelah melayangkan pukulan tadi.“Mau kau bawa ke mana dia, bajingan!” suara Michael rendah, penuh amarah.Jonathan menyeringai kecil, meskipun pundaknya masih terasa sakit. “Oh? Akhirnya kau sadar juga?”Michael tak menjawab. Dengan sigap, ia menarik Sahira dari pelukan Jonathan, menggendongnya tanpa ragu. Wanita itu tampak lemah, wajahnya pucat dengan napas yang tersengal.Tatapan Michael tajam menusuk. “Jangan pernah sentuh dia lagi.”Lalu, tanpa membuang waktu, ia berbalik dan berjalan cepat menuju kamarnya. Sementara, Jonathan hanya menatap kepergiannya dengan ekspresi penuh arti.“Ini belum selesai, Michael Nathaniel. Aku akan berikan kejutan untukmu. Hahaha.”Setibanya di dalam kamar, Michael segera membaringkan Sahira di tempat tidur. Ia menepuk pipi wanita itu pelan.“Sahira, bangun,” panggilnya cemas.Namun, wanita itu tetap terpejam. Napasnya berat, dahinya mulai berkeringat.Michael semakin pan
Tok! Tok! Tok!Pintu kamar diketuk dengan ketukan yang cukup keras. Michael yang masih mengenakan bathrobe berjalan ke arah pintu dengan langkah malas.“Siapa yang datang sepagi ini? Hufft!”Dia baru saja menikmati momen indah bersama Sahira setelah malam yang panjang dan melelahkan, tetapi seseorang berani mengganggunya pagi-pagi begini.Kriet!Pintu terbuka, Lucas yang berdiri di depan pintu langsung terbelalak. Matanya menangkap jejak merah yang tersebar di leher dan dada Michael. Luka-luka kecil bekas gigitan dan cakaran terlihat jelas, seolah menjadi bukti malam penuh gairah dan kenikmatan baru saja dilalui bosnya.Michael mengangkat alis melihat ekspresi Lucas yang terlalu banyak berpikir. “Ada apa?” tanyanya datar.Lucas berdeham, berusaha mengabaikan pemandangan di hadapannya. “Ada yang ingin aku bicarakan, Bos.”Michael melirik ke dalam, di mana Sahira masih duduk di atas ranjang dengan rambut berantakan. Tubuhnya masih polos dengan selimut yang menutupinya, wajahnya masih
“Ka-Karin, kau—”Suara Michael tercekat. Kata-katanya seperti tertelan udara dingin yang menusuk saat matanya menatap sosok itu lebih dekat.Karin menoleh perlahan, gerakan kepalanya elegan namun penuh percaya diri. Rambut hitamnya yang panjang tergerai sempurna membingkai wajah yang kini terlihat jauh lebih memesona daripada yang Michael ingat. Wajah itu telah mengalami sentuhan waktu dan transformasi. Tidak lagi gadis muda penuh ambisi seperti dulu—tapi wanita dewasa yang auranya mencampurkan kemewahan, misteri, dan ancaman tersembunyi.“Hai, Mike,” sapanya, senyum kecil terbit di bibir merahnya. “Lama kita tidak bertemu. Bagaimana kabarmu?”Nada suaranya begitu lembut, seolah mereka hanya dua teman lama yang bertemu di pesta reuni. Tapi bagi Michael, sapaan itu bagaikan racun manis. Luka lama yang belum sepenuhnya sembuh kembali terasa terbuka lebar.“Tidak perlu basa-basi,” desis Michael tajam, menahan gejolak emosi yang mulai memuncak. “Untuk apa kau datang?”Karin tampak ingin
Langit siang mulai meredup, menandakan senja akan segera turun. Mobil mewah berwarna hitam menggelinding tenang di jalanan kota, membawa dua insan yang baru saja menyulam kenangan manis di toko perhiasan. Di dalam kabin mobil yang sunyi dan sejuk, Sahira menyandarkan kepalanya di bahu Michael. Ada ketenangan dalam setiap desah napasnya, seolah dunia akhirnya memberi ruang bagi hatinya untuk bernapas lega.Michael melirik wanita di sampingnya, senyum hangat menggantung di bibirnya. Dengan lembut, ia mengusap kepala Sahira, jari-jarinya menyibak rambut panjang itu dengan penuh kasih. Lalu ia menunduk, mengecup pucuk kepala wanita yang kini tengah mengandalkan pundaknya seolah itu satu-satunya tempat paling aman di dunia."Lelah?" tanya Michael lirih."Sedikit ... tapi aku merasa senang," balas Sahira tanpa membuka mata.Michael menarik napas lega. Momen ini terasa sempurna. Namun ketenangan itu tak berlangsung lama.Dari balik kaca mobil, Sahira yang membuka matanya perlahan, menangkap
Setelah memilih gaun pengantin, Michael tidak langsung mengantar Sahira pulang. Ia justru menggandeng tangannya dan membawa wanita itu ke arah mobil mewah yang sudah menunggu di depan butik. Di dalam mobil, Sahira melirik ke arahnya dengan penuh tanya.“Lagi?” gumam Sahira.Michael hanya tersenyum kecil. “Tenang saja, kali ini kamu tidak perlu ganti baju. Tapi aku ingin kamu pilih sesuatu yang lebih berkilau dari gaun tadi.”Sahira tertawa pelan. “Apa maksudmu, Mike?”Mobil berhenti di depan sebuah bangunan elegan lainnya: Bellanova Jewellery & Co.—toko perhiasan eksklusif dengan pintu kaca tebal dan interior mewah berwarna emas keperakan. Di dalamnya, hanya ada sedikit pelanggan, dengan pelayan bersarung tangan putih siap melayani siapa pun yang masuk.Saat Sahira melangkah masuk dengan Michael, beberapa staf langsung menunduk hormat. “Selamat datang, Tuan Michael dan Nona Alexa,” sapa manajer toko. “Kami sudah menyiapkan ruangan khusus untuk Anda.”Michael menoleh ke Sahira. “Aku in
Usai menyelesaikan sarapan mereka, Michael memanggil pelayan dan membayar dengan senyum santai. Ia kemudian berdiri, mengulurkan tangan pada Sahira.“Ayo,” ujarnya.Sahira meraih tangan itu sambil tersenyum. “Mau ke mana lagi?”Michael hanya tersenyum misterius. “Kejutan kecil.”Mereka kembali menyusuri jalan kota yang mulai hidup. Suara kendaraan, aroma kopi dari kedai-kedai sekitar, dan sinar matahari yang hangat membuat suasana terasa ringan. Michael memanggil taksi pribadi yang sudah menunggunya di ujung jalan.Sahira duduk di sebelahnya sambil menatap keluar jendela. “Kamu nggak kasih petunjuk sedikit pun?”“Kalau aku bilang, bukan kejutan lagi,” jawab Michael dengan nada menggoda.Butuh waktu sekitar lima belas menit sebelum taksi berhenti di depan bangunan bertingkat dengan eksterior elegan penuh kaca bening. Di bagian atas terpampang nama butik mewah: Maison de Blanche—butik haute couture yang hanya melayani pelanggan khusus.Sahira menatap kagum. “Mike … ini butik terkenal ya
Pagi hari.Matahari bersinar lembut melalui celah tirai yang belum sepenuhnya terbuka. Udara di dalam apartemen terasa hangat, dipenuhi aroma mentega yang meleleh di atas teflon dan saus tomat yang sedang mendidih perlahan. Suara dentingan spatula beradu dengan panci menciptakan musik pagi yang menenangkan.Sahira berdiri di dapur, rambutnya diikat seadanya. Ia mengenakan apron putih yang sedikit terlalu besar untuk tubuh mungilnya. Tangan kanannya sibuk mengaduk saus spaghetti yang nyaris matang, sementara tangan kirinya memegang sepotong roti yang baru saja keluar dari toaster. Pipinya sedikit kemerahan karena panas kompor, tapi wajahnya terlihat damai.Tiba-tiba, sepasang lengan kokoh melingkar lembut di pinggangnya dari belakang. Kehangatan tubuh pria itu segera membungkusnya, membuat napasnya tertahan sejenak.“Sedang apa?” bisik Michael dengan suara serak pagi yang berat, membuat bulu kuduk Sahira meremang.Sahira tak menoleh. Dia tahu persis suara dan wangi tubuh itu.“Membuat
“Kau—”Namun, sebelum Sahira sempat berteriak, suara lembut namun berat itu terdengar di telinganya.“Ini aku sayang …”Seketika, tubuh Sahira menegang. Itu suara yang amat dikenalnya. Suara yang telah menghantui mimpinya selama berhari-hari terakhir ini.“Michael …?” bisiknya dengan suara nyaris tercekat.Pria itu tidak menjawab, hanya merengkuh tubuh Sahira lebih erat. Kehangatan tubuhnya, aroma khasnya, dan detak jantung yang bergema di dada bidangnya—semua itu membuat Sahira yakin. Air matanya tumpah, tak tertahan.“Ke mana saja kamu …” ucapnya lirih, setengah marah, setengah lega.Michael mengecup pelipis Sahira, pelan. “Aku datang … Dan aku janji, aku takkan pergi lagi tanpa kabar.”Sahira melepaskan pelukannya, menatap wajah pria itu dengan pandangan terkejut dan tak percaya. Di bawah remang cahaya lampu kamar, wajah Michael tampak mengenaskan. Bibirnya pecah dan menghitam, sudut matanya lebam, pelipisnya robek, dan ada darah kering yang menempel di dagunya. Ada guratan luka d
Beberapa hari terakhir, Sahira merasa seperti terkurung dalam sangkar emas. Apartemen mewah milik Michael—yang dulunya mampu membuatnya merasa aman, nyaman, dan hangat—kini justru menghadirkan perasaan yang sangat asing. Dinding-dindingnya terasa sempit, lantainya terlalu dingin, dan jendela besarnya yang menghadap langsung ke gemerlap kota justru terasa seperti jeruji. Segalanya tampak sama, tapi semuanya juga terasa berbeda. Mungkin karena pria itu, Michael, menghilang begitu saja. Tanpa satu pun kabar. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan suara, apalagi video call seperti biasanya. Bahkan ponselnya kini tidak bisa dihubungi. Mati. Hilang. Senyap.Sahira mencoba mengalihkan pikirannya, mencari-cari cara untuk menepis kegelisahan yang perlahan-lahan menyesakkan dadanya. Ia membaca buku—beberapa bahkan sudah dibacanya ulang untuk kesekian kalinya. Ia menonton film, dari genre romantis yang penuh tawa, hingga thriller yang menegangkan. Ia bahkan menulis catatan kecil di buku harian di
Di lantai tertinggi kantor pusat yang menjulang, suasana di ruang rapat eksekutif terasa lebih dingin dari biasanya. Dinding-dinding kaca yang menghadap kota seolah menjadi saksi bisu kebangkitan kembali seorang raja yang nyaris terguling. Michael berdiri tegak di depan proyektor, wajahnya tanpa ekspresi, hanya sorot matanya yang tajam menyapu setiap wajah di ruangan. Di belakangnya, layar besar menampilkan rekaman-rekaman pengkhianatan: Lucas yang tertawa puas, Olivia yang berbisik dengan sensual, Rendi dan Jaya yang membicarakan strategi pengambilalihan secara rinci. Beberapa petinggi perusahaan yang duduk di meja panjang tampak tegang. Beberapa di antaranya bahkan tak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kemarahan mereka. Tangan mengepal, rahang mengeras. Salah satu dari mereka, Pak Raymond, menunduk dalam-dalam, merasa bersalah karena pernah mendukung keputusan Lucas dalam rapat-rapat penting. “Lucas menipu kita semua,” gumamnya lirih. Michael tetap diam. Dia membiarkan v
Lucas duduk di sofa dengan Olivia yang melingkarkan lengannya di pundaknya, tubuhnya masih berbalut kimono tipis. Para pengikutnya—Rendi, Jaya, dan dua anak buah lainnya—berdiri dengan senyum puas di hadapan peta digital aset Michael yang telah mereka rampok secara perlahan. “Michael bukan apa-apa tanpa loyalitas,” ucap Lucas sombong. “Dan sekarang? Dia bahkan tidak bisa percaya pada bayangannya sendiri.” “Tapi dia bisa balas dendam,” ujar Rendi, sedikit ragu. “Kau tahu Michael, dia takkan tinggal diam.” Lucas menertawakannya. “Tenang. Aku sudah rencanakan semuanya. Bahkan jika dia melawan ... semua sudah terlambat. Aku punya cukup bukti untuk membuatnya tampak seperti dalang korupsi. Jika dia bicara, justru dia yang akan jatuh.” Olivia mencium leher Lucas, berbisik, “Kau memang jenius.” Lucas menarik napas panjang penuh kemenangan. “Bersiaplah. Dalam tiga hari lagi, kita ambil alih perusahaan—dan dunia akan melihat Michael jatuh, sementara kita berdiri di atas puingnya.” *