Share

BAB 5

Anjani memakan dimsumnya dengan tenang, lalu memandang William yang sedang menunggu jawabannya. Ia tahu kenapa arah pembicaraan mereka mengarah ke friend with benerfit. Akhir-akhir ini FWB menjadi pembicaraan hangat,

“Setahu saya, FWB itu hubungan pertemanan yang sangat dekat antara satu sama lain tanpa melibatkan perasaan. Biasa orang yang melakukan itu, orang-orang yang jenuh dengan hubungan konvensional yang biasanya dianggap terlalu mengikat dan membelenggu.”

“Menurut saya FBW ini lebih membebaskan satu sama lain walau sebatas teman. Tapi pada akhirnya tetep saja hubungan itu berujung pada suatu hubungan seksual. Yah, FWB itu dianggap lebih ideal dibanding affair atau one night stand.”

“Akan lebih baik jika ingin memulai FWB, dari awal udah ada kesepakatan antara kalian berdua jika hubungan ini hanya sebatas FWB, jadi kedepannya tidak ada yang harus  terbawa perasaan. Make it as simple as possible, karena memang ini semestinya adalah hubungan yang simple, no drama, no tears.”

“Tapi saya pikir, semua manusia dapat jatuh waktu hidup di bumi. Kembali ke manusinya itu sendiri, mau dimanfaatkan seperti apa kehidupan ini. Become a quality person by time or chasing illusion?”

William tertawa, ia setuju dengan pendapat Anjani, “Jadi menurut kamu tujuan FWB itu apa?”

“Menurut saya FWB itu sangat mustahil, karena menjalankan sebuah hubungan lawan jenis tanpa dipengaruhi oleh perasaan suka? Jika memang itu alasannya, sungguh malang orang yang menjalani hubungan itu, semacam tidak lebih dari sekedar alat main birahi dan gairah dengan mempermainkan perasaan masing-masing,” ucap Anjani.

 Wiliam menatap Anjani cukup serius,  “I think, itu kembali lagi yang menjalani hubungan tersebut. Apakah itu melibatkan asmara? Atau hanya mengisi hari-hari yang sepi.”

“Saya pikir yang kamu sebutkan itu sangat manusiawi Anjani. Misalnya ortu sama anak, investor dan pelaku usaha. Proses ini akan selalu menguntungkan sampai ada salah satu pihak mengkhianati proses tersebut.”

“Suatu hubungan itu tidak melulu soal asmara atau romansa. Kedua hal tersebut merupakan bagian dari klasifikasi hubungan itu sendiri,” ucap William.

Anjani menatap William, “Kita membahas ini seperti bernegosiasi untuk melakukan FWB,” ucap Anjani to the point.

William lalu tertawa geli, “Exactly.”

“Tapi saya lebih senang menjadi lajang  seperti ini, tanpa FWB.”

Why? Kamu saja belum mencobanya.”

“Percaya atau tidak, saat single seperti ini, banyak memiliki waktu untuk mengerjakan sesuatu, lebih fokus untuk diri sendiri, bisa me time,  bisa menjalani hidup atas dasar prinsip yang dibangun. Bisa eksplore ke sana dan ke mari tanpa perlu ribet izin dengan pasangan. Tapi FWB bukan pilihan yang buruk, untuk yang tidak ingin memiliki ikatan dengan siapapun.”

“Why?”

“Why what?” Tanya William.

“Kamu tertarik dengan FWB?”

“Bisa dikatakan seperti itu.”

“Jadi, kamu ingin FWB untuk mendapatkan hubungan seks kasual tanpa komitmen?” Tanya Anja.

“Saya tidak munafik, dan saya ingin melakukan seperti itu.”

“Really? Siapa wanitanya?”

“Maybe, kamu.”

“No, saya tidak tertarik dengan FWB, apalagi dengan klien saya.”

“Ok, no problem,” gumam William, ia tidak memaksanakan wanita yang tidak mau dengannya.

William menyelesaikan makannya, ia terakhir mengambil air mineral, ia menyungging senyum menatap Anjani.  Mereka membahas panjang lebar tentang  FWB, sepertinya wanita seperti Anjani sangat enak diajak diskusi dan membahas tentang apa saja.

“Kamu tenang saja, saya deal dengan penawaran kamu.”

“Terima kasih,” ucap Anjani.

William menatap ada beberapa orang masuk mengisi table kosong, mungkin sudah masuk jam makan siang. Ia melirik jam melingkar di tangannya, menunjukan pukul 12.20 menit. Saat ini ia juga tidak berniat untuk pulang ke kantor.

“Kamu sekarang akan mengajak saya ke mana lagi? Karena saya sudah sepakat kalau material saya ambil dengan kamu dalam jumlah besar.”

“Sebenarnya jika pak Willi deal dengan penawaran saya. Saya akan memberi bapak vocer menginap di hotel bintang lima di Jakarta selama 3 hari.”

Alis William terangkat, ia menyudahi makannya, ia memandang Anjani cukup serius, “Tapi nginapnya sama kamu?”

“Maaf, saya tidak bisa menginap dengan klien saya dengan alasan apapun.”

“Buat apa kan nginap di hotel sendiri, tanpa pasangan?”

Itu urusan bapak. Me time, mungkin.”

William tertawa, “Come on …”

“Saya harus professional dalam bekerja.”

“Tapi saya perlu teman untuk di kamar. Saya perlu teman ngobrol.”

“Nanti saya akan carikan wanita untuk bapak, jika pak Willi mau,” ucap Anja memberi solusi.

“Saya bukan tipe pria yang bisa nyambung dalam obrolan. Tapi saya suka ngobrol sama kamu,” ucap Willi to the point.

Anjani menarik nafas beberapa detik, ia menatap iris mata itu, bagaimanapun ia harus memperlakukan kliennya dengan special.

Ia terdiam, memperhatikan pak William, “Oke, saya akan temani bapak ngobrol.”

Bibir Willi terangkat, “Di hotel mana?”

“Di hotel ini.”

Anjani mengeluarkan surat perjanjian kerja sama dari map nya, ia menyerahkan kepada William.

“Tolong bapak tanda tangani surat ini, sebagai bentuk kerja sama kita.”

William membaca surat perjanjian kerja sama, “Apa nanti ada MOU lagi?” Tanya William.

“Pasti ada pak, ini tanda tangan kesepakatan saja.”

“Pulpen kamu mana?” Tanya William.

Anjani mengambil pulpen di dalam tasnya, ia menyerahkan kepada William. Ia menatap William menandatangani surat itu, di atas matrai. William mengembalikan lagi kepada Anjani.

“Terima kasih pak, atas kerja samanya.”

“Sama-sama.”

Suasana seketika hening, mereka saling menatap satu sama lain, mereka tidak tahu akan berbuat apa karena sibuk dengan pikiran masing-masing.

“Mau chek in sekarang?” Tanya William to the point.

“Bapak mau sekarang?”

“Kapan lagi? Mumpung kita ada di sini kan?”

Anja menelan ludah, ia tidak yakin dengan dirinya sendiri.

Apakah ia bisa tenang berduaan dengan William??

'Gila! Aku tidak menyangka percakapanku dengan Julliet benar-benar terjadi!'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status