Share

Bab 10

Penulis: Prettyies
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-24 18:39:48
Pagi-pagi, rumah Ayu terasa ramai. Deva menginap, begitu juga Reza dan Renita. Setelah sarapan, Renita bersiap-siap berangkat ke klinik.

Saat ia hendak memakai sepatu, pintu kamar Deva terbuka.

“Mas ada kerjaan pagi ini,” katanya santai sambil merapikan kemejanya. “ Kamu bareng aja sama Mas Deva ya ke kliniknya kan sekalian.”

Renita menoleh cepat. “Lho… mas… nggak enak sama Mas Deva,” katanya pelan, padahal yang sebenarnya ia takut.

Reza justru mendorongnya. “Udah, nggak apa-apa. Kamu sama Mas Deva aja. Dari pada naik ojek, buang-buang uang.”

Deva tersenyum tipis, tatapannya menusuk Renita. “Santai aja, Ren. Aku nunggu di mobil ya.” Ia langsung keluar rumah menuju mobilnya.

Renita baru hendak menyusul ketika suara Ayu terdengar.

“Renita! Kamu cuci piring dulu sebelum berangkat.”

Renita memicing. “Tapi Mah, aku udah telat…”

“Sebentar aja.”

Reza ikut keluar sambil mengancingkan kemeja. “Udah, sana cuci piring dulu.”

Renita menahan napas, menepuk tangannya gugup, lalu masuk dap
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 45

    “Ren, habiskan es krimnya,” ujar Deva sambil fokus ke jalan. “Kamu jangan pikirkan yang tadi bair Mas yang urus sendiri.”“I-iya, Mas,” jawab Renita gugup, jemarinya sedikit gemetar memegang stik es krim.Mobil melaju pelan menuju apartemen. Keheningan menyelimuti mereka.Apa Mas Deva mau main solo? … Renita menelan ludah. Tapi dia punya tunangan bisa jadi mereka….. Kenapa aku malah mikirin yang aneh-aneh sih?Deva melirik sekilas ke arah Renita. “Kenapa bengong?”“Nggak, Mas,” Renita cepat menggeleng.Deva tersenyum tipis, nada suaranya setengah bercanda.“Atau kamu mau… sedang berfikir mau bantuin nidurin pusaka milik Mas,Ren?”Renita tersedak kecil. “Astaag Mas…”Deva terkekeh pelan. “Bercanda. Fokus habisin es krim kamu.”Tak lama, mobil berhenti di lobi apartemen.“Ren,” Deva memecah keheningan, “besok berangkat ke kantor bareng mas aja.”Renita menoleh. “Aku… sama Mas Reza aja.”“Nggak,” Deva menggeleng. “Nanti mas telepon Reza. Kamu bareng mas.”Tangan Deva meraih tangan Renita

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 44

    Deva membukakan pintu mobil lebih dulu, memberi isyarat agar Renita masuk. Setelah Renita duduk, Deva ikut membungkuk ke dalam, meraih sabuk pengaman.“Mas mau ngapain?” Renita terkejut, suaranya tertahan. Jantungnya berdegup tak karuan saat jarak mereka tinggal beberapa inci aroma parfume maskulin Deva memenuhi setiap sudut mobil. Deva tersenyum tipis. Ia mengecup bibir Renita singkat, nyaris tak terasa.“Cup.”Renita membeku.Deva lalu memasangkan sabuk pengaman dengan tenang. Klik.“Sudah,” katanya ringan, seolah tak terjadi apa-apa.Ia menutup pintu, berjalan memutar, lalu masuk ke kursi pengemudi. Mesin mobil menyala pelan. Tangannya meraih tangan Renita, menggenggamnya hangat.“Kenapa tegang begitu?” Deva melirik sekilas.“Mas nggak akan gigit kamu kalau kamu nggak minta duluan.”Renita menarik tangannya perlahan, lalu menoleh ke arah jendela dengan pikirannya sendiri. “Mas jangan ngomong sembarangan…” ucap Renita.“Kenapa?” Deva tetap menatap jalan.“Gimana menstruasi kamu? L

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 43

    Renita mengangkat wajahnya perlahan. Suaranya pelan, tapi tegas.“Mas bikin aku nggak nyaman,” kataku jujur.Deva terdiam. Tangannya yang tadi hampir menyentuhku segera ditarik kembali. Ia menghela napas panjang. “Maaf… aku kebablasan.”Aku mengangguk kecil, berusaha menormalkan napas. “Kita fokus bahas kerjaan aja. Itu tujuan kita ketemu.”Deva menatapku beberapa detik, seolah menimbang sikapku, lalu akhirnya mengangguk. “Iya. Kita profesional.”Aku membuka map di depanku, kembali ke mode manajer.“Jadi begini,” kataku mulai tenang, “pemeriksaan kesehatan karyawan besok dibagi jadi tiga sesi.”“Tiga sesi?” tanya Deva, nadanya sudah formal.“Iya,” jelasku sambil menunjuk jadwal. “Sesi pertama jam delapan sampai sepuluh pagi. Itu untuk staf operasional, sekitar dua puluh orang.”Deva mengangguk sambil mencatat. “Oke.”“Sesi kedua jam sepuluh sampai dua belas,” lanjutku, “untuk staf administrasi dan HR. Biar nggak ganggu jam kerja inti.”“Masuk akal,” jawabnya singkat.Aku melanjutkan,

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 42

    Mobil Deva melambat dan berhenti di area parkir sebuah restoran yang cukup ramai. Ia turun lebih dulu, berjalan memutari mobil, lalu membukakan pintu untuk Renita.“Terima kasih,” ucap Renita singkat sambil turun.Deva tersenyum tipis. “Sama-sama.”Mereka masuk ke dalam restoran. Suasananya hangat, lampu temaram, beberapa meja terisi pengunjung. Deva memilih meja agak pojok. Setelah duduk, ia memanggil pelayan.“Mbak, dua menu andalan di sini ya. Minumnya es lemon tea,” pesan Deva.Renita menimpali cepat, “Saya air mineral saja.”Pelayan mengangguk. “Baik, Pak. Bu. Ditunggu sebentar.”Begitu pelayan pergi, Renita langsung membuka pembicaraan.“Kita bisa bahas sekarang aja, Mas. Soal jadwal pemeriksaan besok.”Deva menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Santai dulu, Ren. Tunggu makanannya datang. Kamu kelihatan buru-buru banget.”“Aku memang harus cepat pulang,” Renita menunduk sebentar. “Mas Reza pasti lapar belum makan malam.”Deva tersenyum miring. “Reza itu sudah besar, Ren. Dia bisa pes

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 41

    Deva menekan pedal gas, pikirannya masih kusut saat mobilnya masuk ke area parkir klinik. Ia mematikan mesin, menghela napas panjang, lalu turun.Begitu melangkah masuk ke dalam klinik, suara Nathalia langsung menyambutnya—tajam dan penuh emosi.“Mas! Kamu ke mana aja sih? Lama banget!” Nathalia menyilangkan tangan di dada. “Pasien ngantri banyak banget,tahu! Mereka itu sumber uang kita harus diutamakan!”Deva melepas jasnya dengan gerakan lelah. “Aku lagi kerja, Nat. Tadi ada koordinasi di kantor Pak Arka. Kamu sendiri yang nerima job pemeriksaan karyawan itu, kan?”Nathalia mendengus. “Terus? Kamu dokter utamanya. Kamu tahu jadwal praktik kamu. Harusnya kamu bisa atur waktu dan datang lebih cepat.”“Kamu nyalahin aku?” Deva menoleh, alisnya mengerut. “Aku juga punya tanggung jawab profesional. Bukan cuma di klinik ini.”“Selalu aja alasan,” potong Nathalia kesal. “Kalau pasien kabur gimana? Kalau reputasi klinik turun?”Deva menghela napas, jelas menahan emosi. “Udah, Nat. Aku nggak

  • HASRAT MEMBARA DOKTER TAMPAN   Bab 40

    Pak Arka berdiri di ujung meja, menutup map cokelat di tangannya.“Nanti Dokter Deva bisa langsung koordinasi dengan Manajer Renita,” ujarnya tegas.“Beliau yang akan meng-handle seluruh teknis pemeriksaan.”Deva mengangguk sopan.“Baik, Pak.”Renita ikut menyahut singkat, profesional.“Baik, Pak.”Pak Arka melirik jam tangannya.“Kalau begitu saya permisi dulu, Bu Renita. Tolong nanti sampaikan ke Dokter Deva daftar karyawan yang akan diperiksa besok—termasuk Bu Renita sendiri.”“Siap, Pak,” jawab Renita.Pak Arka melangkah keluar, disusul dua staf HR.“Permisi, Bu Renita.”“Iya, terima kasih,” Renita mengangguk.Pintu ruang meeting tertutup. Ruangan mendadak terasa sunyi—terlalu sunyi.Deva bersandar di kursinya, menatap Renita.“Kita bisa lanjut bahas detailnya sambil makan siang.”Renita menoleh cepat.“Makan siang?”“Iya,” Deva tersenyum tipis.“Kalau soal kerjaan, lebih enak dibahas santai.”Renita menegakkan punggungnya.“ Kita bisa bahas pekerjaan disini aja sekalian.”Deva me

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status