LOGINAngin malam menghantam wajah Zayn saat motornya melaju cepat menerobos jalanan kota. Cahaya lampu jalan memantul di visor helmnya, sementara pikirannya penuh oleh satu gambar yang terus berputar di kepala. Tangan Zayn menggenggam setang begitu kuat hingga terasa kaku. Ia memaksa napasnya tetap stabil, tapi amarah yang tadi hanya bara, kini menjelma badai yang mengoyak dadanya. Di tengah fokus itu, ponselnya bergetar di saku jaket. Dona. Zayn mendiamkannya. Namun panggilan itu masuk lagi—dan lagi. Akhirnya, di persimpangan lampu merah, ia menghentikan motor dan menggeser helmnya sedikit untuk menjawab. “Kenapa?” suaranya datar dan dingin. Dona terdengar manis di seberang, terlalu manis untuk jam segini. “Zayn… kamu lagi di mana? Bisa lihat video yang aku kirim barusan?” Zayn melirik layarnya. Sebuah video berdurasi tiga menit. “Aku lagi di jalan,” jawabnya pendek. “Nanti saja.” “Tapi… tolong lihat sekarang,” ucap Dona, suaranya lembut tapi mendesak. “Video itu… aku b
Mobil hitam yang membawa Zayn berhenti bukan di depan rumah, melainkan di ujung jalan besar menuju kediaman Vreya. Ia memang menjaga agar kehadirannya tidak mencolok—tak seorang pun boleh tahu siapa dirinya sebenarnya. “Turunkan di sini,” ucap Zayn datar. “Siap, Tuan,” jawab anak buahnya sebelum melajukan mobil menjauh. Zayn berdiri di pinggir jalan, merasakan malam yang lembap menyentuh kulitnya. Ia menarik napas pelan lalu merapikan kembali pakaian pengawal yang ia kenakan—menyembunyikan identitas, menyembunyikan segala hal yang tidak boleh terlihat. Ia lalu berjalan masuk ke gang besar itu. Tanpa ia sadari… sepasang mata mengikutinya dari jauh. Bimo. Ia berdiri di balik motor yang terparkir miring, helm masih menutupi sebagian wajahnya. Mata gelap itu mengikuti langkah Zayn tanpa berkedip. “Dia diantar mobil…?” gumamnya pelan. Bimo mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya siap mengabadikan apa pun yang bisa jadi bukti, apa pun yang bisa ia laporkan pada Dona. ** Di depan
Vreya melangkah melewati Zayn tanpa bicara, lalu duduk di ujung sofa—menyisakan jarak. Zayn menatap, mencoba membaca ekspresi yang Vreya sembunyikan. “Iya, saya khawatir.” sahut Zayn akhirnya. Vreya menegakkan bahu. "Apa yang harus kamu khawatirkan? Kamu bukan pengawalku lagi. “Saya masih pengawal kamu." Vreya terkekeh, "Kamu tidak punya malu sama sekali. Masih beranggapan kamu adalah pengawalku? Maaf Zayn, tapi aku tidak mau berbagi dengannya, sekalipun itu pengawal!" Zayn menahan napas. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang ingin ia akui. “Berbagi?” ia mengulang pelan. “Saya tidak—” “Tidak apa? Jelas-jelas semalam kamu lebih memilih menjaga dia dibanding saya!" Vreya memotong cepat. Nada itu terdengar dingin. “Vreya, bukan seperti itu—” “Tidak perlu ada penjelasan apapun Zayn, saat ini saya ingin sendiri. Dan kembalilah kesana. Karena dari awal saya tidak pernah butuh pengawalan!" Zayn mengepalkan tangan. Ia ingin menyangkal, tapi kata-katanya terasa terlalu
Pagi menembus jendela kamar Vreya lewat celah tirai. Cahaya tipis menyentuh pipinya yang membengkak, memperjelas garis luka merah yang tertinggal dari pecahan kaca semalam. Ia berdiri di depan cermin, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tanpa riasan, tanpa panggung yang menutupi rapuhnya. Hanya seorang Vreya yang sedang sakit di luar dan di dalam. Acel muncul di ambang pintu tanpa mengetuk. “Gimana? Lo udah enakan?” “Enggak,” jawab Vreya pelan. Acel terdiam. Ia mendekat, mengoleskan salep perlahan. “Untung gue yang anter lo semalam. Padahal Gino udah ngarep banget bisa berduaan sama lo." Vreya tertawa pendek. “Gino langsung balik?" Acel mengangguk. "Yaa, begitu lo nyuruh dia pulang, dia langsung pulang." Vreya mengangguk, tersenyum simpul. Sedangkan Di rumah Dona, Zayn baru saja turun dari kamar tamu. Kepalanya berat, bukan karena minuman, ia tidak minum sama sekali—tapi karena kejadian semalam. Ciuman itu. Ciuman singkat yang dengan tiba-tiba membuat Zayn
Udara malam menyergap dingin ketika Vreya melangkah cepat keluar dari rumah itu. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer hingga menembus halaman yang luas. Ia tak menoleh lagi, hanya ingin segera meninggalkan segala kepalsuan yang menyelimuti meja makan tadi.Namun begitu sampai di area parkir, langkahnya terhenti. Dari belakang, suara sepatu berat terdengar menyusul. Vreya menoleh, dan mendapati Zayn berdiri tak jauh di belakangnya.“Kenapa menyusulku?” suaranya tajam.Zayn menatapnya singkat, wajahnya tetap datar. “Nona Dona memerintah saya untuk mengajak Nona Vreya juga.”Vreya terkekeh hambar, tawanya tipis namun menyayat. “Tidak perlu!”Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menatap Zayn dengan sorot penuh amarah. “Kamu tidak perlu balik ke rumahku!”Zayn menahan napas, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Vreya yang bergetar menahan emosinya. Pandangan itu seolah ingin mengatakan sesuatu—namun mulutnya terkunci.Tak lama mobil itu melaju dengan kece
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang megah kediaman Yuan Aditama. Vreya menarik napas panjang, menatap rumah yang dulu pernah ia tinggali—tempat yang kini tak lagi menyimpan rasa nyaman baginya. Zayn turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya tanpa sepatah kata.Tak ada Riska kali ini. Hanya dia… dan pria asing yang entah mengapa selalu hadir di tiap langkah penting hidupnya.Langkah Vreya memasuki halaman terasa berat. Namun sebelum sempat ia mengetuk, daun pintu sudah terbuka dari dalam. Sosok seorang wanita anggun dengan senyum yang tampak dibuat-buat berdiri di ambang.“Vreya… akhirnya kau datang juga.” nada suara itu terdengar ramah, tapi dingin berbalut kepalsuan. Dialah Citra, istri kedua Yuan Aditama—wanita yang dulu merebut posisinya sebagai ibu rumah tangga sah di rumah ini.Vreya mengangguk datar, tanpa menanggapi basa-basi.“Masuklah, sayang. Ayahmu sudah menunggu di ruang makan.”Tatapan Citra sekilas bergeser pada Zayn yang berdiri tegap di belakang Vrey







