LOGINUdara malam menyergap dingin ketika Vreya melangkah cepat keluar dari rumah itu. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer hingga menembus halaman yang luas. Ia tak menoleh lagi, hanya ingin segera meninggalkan segala kepalsuan yang menyelimuti meja makan tadi.
Namun begitu sampai di area parkir, langkahnya terhenti. Dari belakang, suara sepatu berat terdengar menyusul. Vreya menoleh, dan mendapati Zayn berdiri tak jauh di belakangnya. “Kenapa menyusulku?” suaranya tajam. Zayn menatapnya singkat, wajahnya tetap datar. “Nona Dona memerintah saya untuk mengajak Nona Vreya juga.” Vreya terkekeh hambar, tawanya tipis namun menyayat. “Tidak perlu!” Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menatap Zayn dengan sorot penuh amarah. “Kamu tidak perlu balik ke rumahku!” Zayn menahan napas, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Vreya yang bergetar menahan emosinya. Pandangan itu seolah ingin mengatakan sesuatu—namun mulutnya terkunci. Tak lama mobil itu melaju dengan kecepatan tinggi, meninggalkan halaman megah yang penuh bayangan masa lalu. Zayn berdiri kaku di sana, hanya bisa menatap lampu belakang mobil yang kian menjauh. Ada desakan di dadanya—keinginan untuk berlari menyusul, untuk menjelaskan. Namun pada akhirnya ia hanya mengatupkan rahang, menelan rasa bersalah yang tak pernah ia akui. ** Kini Zayn menunggu di ruang tamu dengan wajah datar. Jam di dinding berdetak lambat, sementara suara langkah di lantai atas tak kunjung terdengar. Ia melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir satu jam. Dengan kesabaran yang mulai menipis, Zayn akhirnya berdiri dan menaiki tangga. Ia mengetuk pintu kamar Dona dengan irama singkat. “Sudah jam sembilan, Nona. Apa panti asuhan masih buka jam segini?” Pintu terbuka perlahan. Dona muncul dengan gaun mini berkilau, rambut panjangnya tergerai sempurna, riasannya pun terlalu berlebihan untuk sekadar kunjungan amal. Ia tersenyum simpul, menatap Zayn dengan sorot penuh teka-teki. “Tenang saja, Zayn. Mereka akan menerima kedatangan kita kapan saja.” jawabnya ringan. Zayn mengerutkan kening, tapi tetap menahan diri. Ada sesuatu yang janggal, tapi tugasnya jelas: mengawal. Tak lama kemudian, mobil melaju keluar dari gerbang kediaman Yuan Aditama. Namun arah yang ditunjukkan Dona sama sekali bukan ke panti asuhan. Lampu neon kota yang gemerlap, musik berdentum samar dari kejauhan, hingga akhirnya mereka berhenti di depan sebuah klub malam terkenal. Zayn berdiri di samping mobil, tatapannya menusuk. “Ini… bukan panti asuhan.” Dona hanya terkekeh, menyampirkan tas kecil di bahunya. “Kau terlalu serius. Kadang, melindungi berarti juga menemani, bukan?” Ia melangkah masuk tanpa peduli lagi. Zayn menatap pintu masuk klub dengan rahang mengeras. Ia hampir berbalik, tapi sesuatu menahannya. Akhirnya, dengan langkah berat, ia masuk mengikuti Dona. Cahaya temaram, dentuman musik, aroma alkohol bercampur parfum memenuhi ruangan. Pandangan Zayn menyapu sekeliling, mencari sosok Dona yang sudah lebih dulu menyelinap ke keramaian. Namun justru sepasang mata lain yang menarik perhatiannya. Di sudut lounge VIP, duduk seorang gadis dengan dress sederhana, wajahnya tanpa riasan berlebihan. Ia tampak berbicara dengan seorang wanita lain—tatapannya jauh lebih tenang, meski jelas tidak nyaman dengan suasana klub. Itu Vreya. Ia duduk bersama seorang wanita yang tak lain adalah Acel, sahabatnya sekaligus pemilik club ini. Zayn tercekat. Ia sama sekali tak menyangka akan melihatnya di sini. Tak ada gelas alkohol di mejanya, hanya jus dingin yang mungkin tak tersentuh. Meski sederhana, kehadirannya tetap memancarkan pesona—membuat beberapa pasang mata diam-diam melirik. Zayn sempat ingin berbalik, tapi tubuhnya seolah menolak. Justru saat itu, seorang pria lain mendekat ke arah Vreya. Tinggi, berwajah tegas, dengan senyum penuh percaya diri. “Vrey,” sapa pria itu ramah, “aku sudah mencarimu. Kenapa tidak bilang kalau mau ke sini?” Itu Gino. Vreya menoleh, tersenyum tipis. “Gino… aku hanya menemani Acel sebentar. Bukan untuk pesta.” “Tapi tetap saja,” Gino duduk di sampingnya tanpa ragu. “Aku senang bisa bertemu di sini. Kamu terlihat… luar biasa malam ini.” Zayn yang berdiri tak jauh menegang. Rahangnya mengeras, matanya tak lepas dari cara Gino menatap Vreya dengan penuh minat. Sesuatu di dadanya mengusik, meski ia tak mau mengakuinya. Dona yang menyadari arah tatapan Zayn, mendekat sambil tersenyum miring. “Ah ternyata kau mematung disini melihat ke arah dia? Kau juga terpesona, kan? Kak Vrey memang pandai menarik perhatian pria.” Zayn menoleh sekilas, tatapannya dingin. “Tugas saya hanya memastikan dia baik-baik saja.” “Tugas, hm?” Dona terkekeh, meneguk minumannya. “Kalau begitu, apa kau juga akan mengusir pria itu dari sampingnya?” Zayn terdiam. Pandangannya kembali ke arah Vreya yang tertawa kecil mendengar candaan Acel, lalu menepis pujian Gino dengan sikap dingin. Namun justru sikap itulah yang membuat Gino semakin terpesona. Dan tanpa sadar, jari-jari Zayn mengepal. Dentuman musik semakin menggema, lampu berkelap-kelip menyapu ruangan. Vreya yang tadinya tenang bersama Acel dan Gino, langsung kehilangan semangat begitu melihat Dona… dengan Zayn di sisinya. Dona menarik lengan Zayn, menyeretnya ke arah Vreya. “Kak Vree di sini juga? Kirain tadi langsung pulang ke rumah karena ngambek,” ucap Dona terkekeh, jemarinya masih melingkar manja di lengan lelaki itu. Vreya melirik sekilas, lalu membuang pandangan. Senyumnya sinis, menusuk. “Jadi ini panti yang kamu maksud? Aku rasa tidak ada anak-anak panti di sini.” Tatapannya menajam ke arah Dona. “Ah! Aku lupa. Anak panti itu kamu kan?” Wajah Dona langsung memerah. Dengan kesal ia melepas lengan Zayn, lalu memilih menjauh, ia menari bersama beberapa pria yang langsung menyambutnya. Vreya hanya menghela napas, jijik melihatnya. batinnya tertawa miris. "Ayah tidak pernah tahu kalau anak manis kesayangannya ini busuk di luar." Ia berdiri, berniat menjauh dari Acel dan Gino. “Aku butuh udara,” katanya singkat. Namun langkahnya terhenti saat seorang pria mabuk menghadang. Bau alkohol menusuk, dan matanya liar. "Hei, temani aku sebentar." kata pria itu, tangannya langsung berusaha meraih pergelangan Vreya. “Lepas!” bentaknya, menepis kasar. Pria itu malah mendorongnya keras hingga tubuh Vreya menghantam meja. Pecahan kaca beterbangan, salah satunya menggores pipinya. Dan darah menetes, perih menjalari wajahnya. Zayn yang berdiri tak jauh menoleh cepat. Matanya jelas menangkap Vreya yang terhuyung dengan darah di pipinya. Sesaat langkahnya hampir maju… tapi pandangan itu terhenti pada Dona. Dona hampir terhuyung di lantai dansa, seorang pria meraih pinggangnya dengan cara yang tak pantas. Wajah Dona memang tak ada ketakutan, karena dirinya sudah terbiasa. Berbeda dengan Vreya. Berbeda juga dengan Zayn, pilihannya hanya sepersekian detik. Zayn mendesis pelan, lalu berbalik. Bukannya menolong Vreya, ia justru berlari ke arah Dona. Tangannya cepat menyingkirkan pria itu, lalu menopang tubuh Dona agar tak jatuh. “Tidak apa-apa?!” suaranya panik, penuh perhatian. Dona tersenyum tenang, "It's okay Zayn." Vreya melihat semuanya. Melihat bagaimana Zayn tahu dirinya berdarah, tapi tetap memilih orang lain. Dadanya seakan diremas. Luka di pipinya bukan apa-apa dibanding perih yang menyesakkan hati. Ia menegakkan tubuh dengan sisa tenaga, menepis tangan pria mabuk yang masih mencoba mendekat, lalu melangkah menjauh. Tanpa menoleh lagi, tanpa ingin siapa pun melihat air matanya yang hampir pecah. Udara malam langsung menyambut begitu Vreya berhasil keluar dari kerumunan bising klub itu. Dentuman musik masih terdengar samar dari dalam, tapi di luar hanya ada dingin yang menusuk dan lampu jalanan yang temaram. Ia berjalan gontai menuju mobilnya sambil menahan perih di pipinya yang masih mengalirkan darah tipis. Jemarinya bergetar saat menyentuh goresan itu. Namun yang lebih menyakitkan bukanlah luka fisik—melainkan kenyataan yang baru saja ia lihat dengan matanya sendiri. Zayn. Pria itu menatapnya. Ia tahu Vreya terluka. Tapi pada akhirnya… ia memilih Dona. Napas Vreya tercekat. Air mata yang sejak tadi ditahannya akhirnya jatuh, mengalir bercampur dengan darah di pipinya. Ia melangkah semakin jauh dari klub, dari hiruk pikuk, dari semua mata yang mungkin melihat kelemahannya. Isakannya pelan, hampir tak terdengar, tapi tubuhnya bergetar hebat. “Bodoh… kenapa aku harus peduli…” suaranya parau. Tapi hatinya sendiri tahu, ia peduli. Dan itulah yang membuatnya hancur malam ini. Ia menutup wajah dengan telapak tangan, bahunya terguncang. "Seharusnya sejak awal aku yakini diriku sendiri lagi. bahwa tidak ada yang aku percaya, selain diriku sendiri." ** Di dalam, Zayn masih berdiri kaku. wajah Dona memerah karena alkohol. Ia tertawa renyah, matanya berkilat penuh keberanian. “Aku sudah sewa ruangan private, bawa aku ke sana.” Zayn mengangguk tanpa suara. Langkahnya mengikuti Dona, seolah kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Begitu pintu ruangan tertutup, Dona tiba-tiba menarik wajahnya. Bibir mereka bertemu dalam ciuman singkat—cukup untuk membuat dunia Zayn berputar. Zayn terdiam. Tidak menolak. Tidak pula membalas. Hanya terjebak dalam gamang yang tak ia pahami. "Kamu menyukainya?" tanya Dona dengan wajahnya yang memerah, bau alkohol menyeruak dari bibirnya. Suara musik dari luar menggelegar, menelan detik yang seharusnya tak pernah terjadi. Di luar, Vreya mendongak ke langit. Hujan gerimis turun, bercampur dengan air matanya. Ia merasakan dingin yang menusuk lebih dari sekadar udara malam. Tak ada yang tahu, di saat Zayn mulai digenggam Dona, hatinya justru semakin jauh terseret ke arah yang keliru. Dan malam itu, takdir mencatat diam-diam. satu hati patah, dan satu hati tersesat.Angin malam menghantam wajah Zayn saat motornya melaju cepat menerobos jalanan kota. Cahaya lampu jalan memantul di visor helmnya, sementara pikirannya penuh oleh satu gambar yang terus berputar di kepala. Tangan Zayn menggenggam setang begitu kuat hingga terasa kaku. Ia memaksa napasnya tetap stabil, tapi amarah yang tadi hanya bara, kini menjelma badai yang mengoyak dadanya. Di tengah fokus itu, ponselnya bergetar di saku jaket. Dona. Zayn mendiamkannya. Namun panggilan itu masuk lagi—dan lagi. Akhirnya, di persimpangan lampu merah, ia menghentikan motor dan menggeser helmnya sedikit untuk menjawab. “Kenapa?” suaranya datar dan dingin. Dona terdengar manis di seberang, terlalu manis untuk jam segini. “Zayn… kamu lagi di mana? Bisa lihat video yang aku kirim barusan?” Zayn melirik layarnya. Sebuah video berdurasi tiga menit. “Aku lagi di jalan,” jawabnya pendek. “Nanti saja.” “Tapi… tolong lihat sekarang,” ucap Dona, suaranya lembut tapi mendesak. “Video itu… aku b
Mobil hitam yang membawa Zayn berhenti bukan di depan rumah, melainkan di ujung jalan besar menuju kediaman Vreya. Ia memang menjaga agar kehadirannya tidak mencolok—tak seorang pun boleh tahu siapa dirinya sebenarnya. “Turunkan di sini,” ucap Zayn datar. “Siap, Tuan,” jawab anak buahnya sebelum melajukan mobil menjauh. Zayn berdiri di pinggir jalan, merasakan malam yang lembap menyentuh kulitnya. Ia menarik napas pelan lalu merapikan kembali pakaian pengawal yang ia kenakan—menyembunyikan identitas, menyembunyikan segala hal yang tidak boleh terlihat. Ia lalu berjalan masuk ke gang besar itu. Tanpa ia sadari… sepasang mata mengikutinya dari jauh. Bimo. Ia berdiri di balik motor yang terparkir miring, helm masih menutupi sebagian wajahnya. Mata gelap itu mengikuti langkah Zayn tanpa berkedip. “Dia diantar mobil…?” gumamnya pelan. Bimo mengeluarkan ponselnya, jari-jarinya siap mengabadikan apa pun yang bisa jadi bukti, apa pun yang bisa ia laporkan pada Dona. ** Di depan
Vreya melangkah melewati Zayn tanpa bicara, lalu duduk di ujung sofa—menyisakan jarak. Zayn menatap, mencoba membaca ekspresi yang Vreya sembunyikan. “Iya, saya khawatir.” sahut Zayn akhirnya. Vreya menegakkan bahu. "Apa yang harus kamu khawatirkan? Kamu bukan pengawalku lagi. “Saya masih pengawal kamu." Vreya terkekeh, "Kamu tidak punya malu sama sekali. Masih beranggapan kamu adalah pengawalku? Maaf Zayn, tapi aku tidak mau berbagi dengannya, sekalipun itu pengawal!" Zayn menahan napas. Kalimat itu menusuk lebih dalam daripada yang ingin ia akui. “Berbagi?” ia mengulang pelan. “Saya tidak—” “Tidak apa? Jelas-jelas semalam kamu lebih memilih menjaga dia dibanding saya!" Vreya memotong cepat. Nada itu terdengar dingin. “Vreya, bukan seperti itu—” “Tidak perlu ada penjelasan apapun Zayn, saat ini saya ingin sendiri. Dan kembalilah kesana. Karena dari awal saya tidak pernah butuh pengawalan!" Zayn mengepalkan tangan. Ia ingin menyangkal, tapi kata-katanya terasa terlalu
Pagi menembus jendela kamar Vreya lewat celah tirai. Cahaya tipis menyentuh pipinya yang membengkak, memperjelas garis luka merah yang tertinggal dari pecahan kaca semalam. Ia berdiri di depan cermin, wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya. Tanpa riasan, tanpa panggung yang menutupi rapuhnya. Hanya seorang Vreya yang sedang sakit di luar dan di dalam. Acel muncul di ambang pintu tanpa mengetuk. “Gimana? Lo udah enakan?” “Enggak,” jawab Vreya pelan. Acel terdiam. Ia mendekat, mengoleskan salep perlahan. “Untung gue yang anter lo semalam. Padahal Gino udah ngarep banget bisa berduaan sama lo." Vreya tertawa pendek. “Gino langsung balik?" Acel mengangguk. "Yaa, begitu lo nyuruh dia pulang, dia langsung pulang." Vreya mengangguk, tersenyum simpul. Sedangkan Di rumah Dona, Zayn baru saja turun dari kamar tamu. Kepalanya berat, bukan karena minuman, ia tidak minum sama sekali—tapi karena kejadian semalam. Ciuman itu. Ciuman singkat yang dengan tiba-tiba membuat Zayn
Udara malam menyergap dingin ketika Vreya melangkah cepat keluar dari rumah itu. Hak sepatunya beradu dengan lantai marmer hingga menembus halaman yang luas. Ia tak menoleh lagi, hanya ingin segera meninggalkan segala kepalsuan yang menyelimuti meja makan tadi.Namun begitu sampai di area parkir, langkahnya terhenti. Dari belakang, suara sepatu berat terdengar menyusul. Vreya menoleh, dan mendapati Zayn berdiri tak jauh di belakangnya.“Kenapa menyusulku?” suaranya tajam.Zayn menatapnya singkat, wajahnya tetap datar. “Nona Dona memerintah saya untuk mengajak Nona Vreya juga.”Vreya terkekeh hambar, tawanya tipis namun menyayat. “Tidak perlu!”Ia membuka pintu mobil dengan kasar, lalu menatap Zayn dengan sorot penuh amarah. “Kamu tidak perlu balik ke rumahku!”Zayn menahan napas, rahangnya mengeras. Ia tidak langsung menjawab, hanya menatap Vreya yang bergetar menahan emosinya. Pandangan itu seolah ingin mengatakan sesuatu—namun mulutnya terkunci.Tak lama mobil itu melaju dengan kece
Mobil hitam itu berhenti tepat di depan gerbang megah kediaman Yuan Aditama. Vreya menarik napas panjang, menatap rumah yang dulu pernah ia tinggali—tempat yang kini tak lagi menyimpan rasa nyaman baginya. Zayn turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuknya tanpa sepatah kata.Tak ada Riska kali ini. Hanya dia… dan pria asing yang entah mengapa selalu hadir di tiap langkah penting hidupnya.Langkah Vreya memasuki halaman terasa berat. Namun sebelum sempat ia mengetuk, daun pintu sudah terbuka dari dalam. Sosok seorang wanita anggun dengan senyum yang tampak dibuat-buat berdiri di ambang.“Vreya… akhirnya kau datang juga.” nada suara itu terdengar ramah, tapi dingin berbalut kepalsuan. Dialah Citra, istri kedua Yuan Aditama—wanita yang dulu merebut posisinya sebagai ibu rumah tangga sah di rumah ini.Vreya mengangguk datar, tanpa menanggapi basa-basi.“Masuklah, sayang. Ayahmu sudah menunggu di ruang makan.”Tatapan Citra sekilas bergeser pada Zayn yang berdiri tegap di belakang Vrey







