Aroma kopi pekat langsung menyambut Chloe saat ia melangkah masuk ke kafe. Wanita itu menata rambut sebahunya yang bergelombang ringan, meski beberapa helai jatuh bebas menutupi pipinya yang pucat.
Wajahnya sederhana, tapi cantik alami dengan mata besar dan bening itu memantulkan kegugupan sekaligus tekad. Dengan celemek hitam yang baru ia kenakan, Chloe terlihat seperti potret barista pemula yang berusaha keras tampil percaya diri.
“Chloe, kan?” Suara ramah menyapa.
Seorang pemuda berpostur tinggi dengan rambut agak gondrong rapi melangkah keluar dari balik meja kasir. Namanya Arga, senior di kafe itu. Usianya mungkin 25-30 tahun, sorot matanya hangat dan penuh selidik.
“Iya.” Chloe tersenyum kikuk, menyembunyikan kegugupannya.
Arga mengangguk sambil tersenyum miring. “Aku Arga. Mulai hari ini kita partner kerja. Kamu shift sore sampai malam, kan?”
Chloe hanya mengangguk singkat, lalu berjalan mengikuti langkah Arga ke belakang meja. Mesin espresso mendesis, aroma cokelat panas bercampur dengan suara denting cangkir.
Suasana kafe sudah ramai, kebanyakan mahasiswa dan pekerja yang singgah setelah jam kerja.
“Rambutmu bagus kalau diikat ke samping, supaya tidak kena busa susu,” celetuk Arga ringan sambil memperhatikan gerakan Chloe yang canggung.
Wajah Chloe kontan memanas. “O-oh… baik. Terima kasih.” Ia buru-buru meraih karet rambut, lalu mengikat asal-asalan.
Jam bergulir cepat. Chloe sibuk mencatat pesanan, menghidangkan kopi, dan membersihkan meja. Sesekali ia salah langkah, tapi Arga selalu sigap menutupinya dengan nada santai seakan tidak ingin orang lain memperhatikan.
Menjelang malam, suasana kafe mulai tenang. Arga bersandar di meja bar, memperhatikan Chloe yang tengah membersihkan mesin espresso.
“Kamu cepat belajar. Jujur saja, tidak semua orang bisa seperti kamu di hari pertama.”
Chloe tersenyum kecil, tidak menoleh. “Syurkulah, aku hanya ... bekerja keras.”
Ada jeda sejenak. Tatapan Arga terasa menempel lebih lama daripada yang semestinya. Tapi ketika Chloe menoleh, ia mendapati pemuda itu hanya tersenyum singkat, lalu pura-pura sibuk mencatat sesuatu di bukunya.
Chloe mengerjap, merasa aneh. Ada sesuatu dalam tatapan itu. Samar. Tidak jelas. Namun cukup untuk membuatnya sedikit salah tingkah.
Menjelang malam, cafe mulai sepi. Hanya ada denting sendok di gelas dan dengung mesin kopi yang perlahan didinginkan. Arga melirik Chloe yang masih sibuk mengelap meja, meski semua kursi sudah tertata rapi.
“Chloe. Aku boleh tanya sesuatu?” panggil Arga pelan.
Wanita itu menoleh singkat. “Iya?”
“Kenapa kamu pilih kerja di sini? Maksudku ... jadi barista itu melelahkan. Bayarannya juga tidak seberapa.”
Chloe terdiam. Lap di tangannya berhenti bergerak. Tatapannya kosong seolah menembus permukaan meja kayu di depannya. Lalu perlahan ia berbisik, tapi terdengar.
“Karena di sini ... ada suara-suara yang bisa menutupi suaraku sendiri.”
“Maksudmu?” Arga mengerutkan kening.
Chloe tersenyum tipis, getir. “Suara mesin kopi, aroma biji yang digiling … semuanya cukup keras. Aku cuma ... butuh tempat di mana aku bisa berhenti mendengar itu.”
Arga tidak bertanya lagi. Ada sesuatu di balik jawaban itu yang terasa terlalu dalam untuk disentuh. Ia hanya menatap Chloe lama tanpa kata, sebelum kembali pada pekerjaannya.
Lampu café satu per satu dipadamkan. Chloe dan Arga keluar setelah memastikan pintu terkunci rapat.
Angin malam berhembus pelan, menyapu percakapan ringan di antara mereka. Namun langkah Chloe seketika terhenti begitu pandangannya jatuh pada sosok yang berjalan dari arah berlawanan.
Dante.
Wajah pria itu babak belur. Pipi lebam, bibir pecah, dengan sisa darah kering di pelipis. Tapi luka itu sama sekali tak mengurangi ketajaman sorot matanya. Tatapan keras dan mengintimidasi itu menusuk Arga terlebih dulu, lalu kembali ke Chloe.
Hening sejenak, sebelum Dante melangkah lebih dekat.
“Kau siapa?” tanyanya dingin, nyaris seperti interogasi.
Arga menelan ludah, berusaha ramah meski canggung.
“Aku Arga. Rekan kerja Chloe. Senang berkenal—”
Ia belum sempat menyelesaikan kalimatnya ketika Dante tiba-tiba meraih lengan Chloe, menariknya hingga berdiri di sisinya. Gerakan itu cepat, penuh penekanan. Chloe sampai terperangah, tubuhnya menegang.
Dengan senyum tipis menjengkelkan, Dante menatap Arga lurus-lurus.
“Aku Dante. Aku dan Chloe pernah menjadi sepasang kekasih, tapi tiba-tiba dia pergi meninggalkanku.” Senyumnya melebar sedikit, sinis, seolah menikmati kegugupan yang timbul. “Dia wanita yang jahat. Jadi, jangan jatuh cinta padanya. Dia mungkin akan meninggalkanmu juga.”
Arga terdiam. Senyumnya memudar, tubuhnya kaku. Tangannya ia masukkan ke saku, jelas tak tahu bagaimana harus merespons.
Namun sebelum keheningan semakin berat, Chloe memaksakan senyum canggung.
“Maaf, Arga. Dia adikku. Bicaranya memang kasar.”
Arga sontak terbelalak kecil, lalu mengangguk dengan lega. Senyum gugup kembali muncul di wajahnya, seolah beban besar di pundaknya langsung luruh.
“Oh, begitu ya. Syukurlah.”
Sementara itu, Dante membeku di tempat. Senyum sinisnya memudar perlahan, berganti dengan tatapan tajam yang menohok Chloe.
Matanya menyipit, rahangnya mengeras. Kata-kata “adikku” yang keluar dari bibir Chloe terdengar seperti penghinaan yang menampar harga dirinya.
Tanpa sepatah kata pun, ia mencengkeram pergelangan tangan Chloe lebih erat, lalu menyeretnya menjauh dari Arga.
“D-Dante…!” Chloe berusaha melepaskan diri, tapi genggamannya terlalu kuat. Sebelum benar-benar ditarik, Chloe menoleh pada Arga dengan senyum kaku. “Terima kasih banyak, Arga. Sampai bertemu besok.”
Arga sempat melangkah setapak maju, hendak menghentikan Dante. Namun seketika terhenti. Tatapan Dante yang gelap dan menusuk membuat langkahnya beku.
Akhirnya, ia hanya melambaikan tangan, meski wajahnya penuh kebingungan. Ada rasa lega karena tensi mereda, tapi juga segaris cemas melihat Chloe dibawa begitu saja oleh pria yang jelas penuh amarah.
Langkah Dante cepat dan panjang. Chloe hampir setengah berlari untuk mengimbangi, tubuh mungilnya tertarik paksa. Tak ada kata keluar dari mulut Dante hingga akhirnya mereka tiba di depan rumah.
Begitu sampai, Dante menghentikan langkah mendadak. Dengan kasar, ia memojokkan Chloe ke pintu. Bayangan tubuhnya jatuh menekan, napasnya dekat, dingin dan penuh ancaman.
Chloe bisa merasakan detak jantungnya berpacu tak karuan.
Senyum tipis yang tak menyenangkan kembali muncul di sudut bibir pria itu.
“Kau tahu, hari ini Ayah dan Ibu sedang tidak ada di rumah?” ucapnya pelan, suaranya berat namun jelas menekan.
Dante mencondongkan tubuhnya sedikit, mendekat hingga wajah mereka hanya berjarak sejengkal. Tatapannya tak lepas dari mata Chloe seolah ingin menelannya bulat-bulat.
“Tak ada seorang pun yang bisa menyelamatkanmu dariku malam ini.”
Chloe tercekat. Tangannya mengepal erat di sisi tubuh, berusaha menahan gemetar.
Chloe berdiri di belakang meja bar. Tangannya lincah menata gelas dan membersihkan bekas tumpahan susu. Matanya tampak fokus, tapi gerakannya terlalu mekanis seolah pikirannya tertinggal di tempat lain.Sudah hampir setengah jam ia bekerja tanpa bicara. Hanya sesekali mengangguk ke pelanggan yang memesan. Di luar jalanan sore mulai ramai, tapi dunia di dalam kafe terasa jauh lebih tenang.Sampai suara berat namun tenang memecah keheningan.“Kau baik-baik saja?”Chloe menoleh pelan. Arga bersandar di meja kerja sebelah, rambut gondrongnya dikuncir rapi, lengan seragamnya digulung sampai siku. Ia menatap Chloe dengan ekspresi cemas yang disamarkan oleh senyum tipis.Chloe sedikit mengerutkan kening, tidak mengerti maksudnya.Arga menatapnya sejenak, lalu menunduk, seperti ragu apakah ia seharusnya melanjutkan.“Maksudku… semalam. Pria itu. Dia sungguh adikmu?” Ia menatap lurus, seolah mencari kata yang tepat.Chloe mengedip pelan, lalu menurunkan pandangan ke cangkir yang sedang ia lap.
Dante melangkah mendekat lagi, menutup celah hingga napas mereka hampir bercampur. Chloe menatapnya datar dengan mata dingin yang tak mau luluh. Hanya ada bunyi langkah dan jantung mereka yang berdetak kencang.“Aku akan membunuhmu kalau berani menyentuhku tanpa izin lagi!” Chloe memerintah, suaranya tegas.Tawa Dante meledak, menggulung dan mereda jadi senyum sinis. “Kalau kau tak ingin kusentuh, jangan buat aku marah, Chloe,” jawabnya pelan. Suara itu menjadi dingin, seperti baja yang mengiris.Chloe mendesah. “Dasar gila.” Suaranya penuh rasa jijik.Dante mencondongkan badan, pandangannya menekan. “Kuperingati kau agar tidak dekat-dekat dengan pria lain, selain aku.” Kata-katanya seperti klaim, bukan nasihat.“Kau siapa berani mengaturku?” Chloe menantang, dagunya terangkat.Dante mundur sebentar, lalu tertawa pendek sebelum melangkah maju lagi. Di bawah lampu kuning, bekas luka di pipinya tampak menonjol.“Aku? Adikmu. Kau sendiri yang bilang, bukan?” Suaranya mengambang, penuh ej
Aroma kopi pekat langsung menyambut Chloe saat ia melangkah masuk ke kafe. Wanita itu menata rambut sebahunya yang bergelombang ringan, meski beberapa helai jatuh bebas menutupi pipinya yang pucat.Wajahnya sederhana, tapi cantik alami dengan mata besar dan bening itu memantulkan kegugupan sekaligus tekad. Dengan celemek hitam yang baru ia kenakan, Chloe terlihat seperti potret barista pemula yang berusaha keras tampil percaya diri.“Chloe, kan?” Suara ramah menyapa.Seorang pemuda berpostur tinggi dengan rambut agak gondrong rapi melangkah keluar dari balik meja kasir. Namanya Arga, senior di kafe itu. Usianya mungkin 25-30 tahun, sorot matanya hangat dan penuh selidik.“Iya.” Chloe tersenyum kikuk, menyembunyikan kegugupannya.Arga mengangguk sambil tersenyum miring. “Aku Arga. Mulai hari ini kita partner kerja. Kamu shift sore sampai malam, kan?”Chloe hanya mengangguk singkat, lalu berjalan mengikuti langkah Arga ke belakang meja. Mesin espresso mendesis, aroma cokelat panas berca
Chloe duduk di kursi makan dengan rambut masih berantakan. Matanya sayu akibat semalam hampir tidak tidur.Meja sudah penuh dengan hidangan. Ada roti panggang, telur, dan kopi hangat yang aromanya menusuk hidung.Richard duduk rapi dengan koran di tangan. Sementara Sarah mondar-mandir menambahkan makanan ke piring masing-masing.“Chloe, semalam kau ke mana? Ibu masuk ke kamarmu, tapi kau tidak ada,” tanya Sarah sambil menaruh gelas susu di depannya.Chloe yang sedang meneguk air langsung tersedak. Batuk keras, dadanya naik-turun, membuat semua orang menoleh.“Chloe, hati-hati!” Sarah panik, menepuk-nepuk punggungnya.Wajah Chloe memanas. Bukan karena tersedak, tapi karena otaknya baru saja menampilkan kembali kilasan semalam—mereka bersembunyi di lemari, dan… bibirnya yang direnggut begitu saja.Chloe buru-buru menggeleng, mencoba menenangkan diri.“A-aku sedang keluar mencari angin, Bu,” jawabnya bohong.Dari ujung meja, Dante menatapnya. Pria itu duduk santai, kaos hitam membalut tu
Chloe menatap langit-langit kamar, tubuhnya terasa berat. Semakin lama ia menatap, semakin besar keinginannya untuk pergi dari rumah ini. Namun kenyataan menampar keras. Tabungannya tidak akan cukup.“Aku belum mulai bekerja. Aku juga tidak mau merepotkan ibu,” gumamnya getir, suara nyaris pecah.Ponselnya masih tergeletak di lantai, layar padam. Ia menunduk, lalu meraih benda itu hendak menutup semua tab kost-an yang ia buka. Tapi tiba-tiba, ponselnya berdering beberapa kali.Tring! Tring!Pesan masuk dengan cepat dan bertubi-tubi.Chloe terdiam. Angka di ikon pesan naik seperti deret hitung gila. Mulai dari 15… 27… 39… hingga lebih dari 50 pesan masuk hanya dalam hitungan menit.Ia membuka satu. Isinya sama, hanya satu kata sapaan ‘hai’. Pesan berikutnya? ‘hai’. Dan berikutnya lagi masih ‘hai’.“Orang bodoh mana yang sebar spam seperti ini?” Chloe mendengus, buru-buru memblokir nomor itu. Ia melempar ponsel ke kasur, lalu menutupi wajah dengan bantal mencoba menenangkan diri.Belum
Chloe berdiri tepat di depan cermin. Jemarinya sibuk merapikan kerah kemeja putih. Hari ini ia punya wawancara penting. Sebuah kesempatan untuk memulai kembali hidupnya, jauh dari masa lalu yang masih membayang.Namun, bayangan itu justru datang tanpa diundang. Kilatan kembang api. Sorak-sorai orang-orang yang berdesakan di alun-alun kota. Dan sosok Dante, tiga tahun lalu, yang menggenggam erat tangannya."Tunggu aku di bawah pohon besar. Setelah hitungan mundur, kita akan melihat kembang api bersama. Aku ingin malam tahun baru kita jadi awal yang baru, Chloe."Itulah janji terakhir yang Dante ucapkan. Janji yang ia hancurkan sendiri. Karena ketika malam itu datang, Chloe tidak pernah muncul. Ia memilih kabur meninggalkan Dante sendirian di tengah keramaian.Chloe mengerjap cepat, menepis kenangan itu. Ia menarik kemeja hingga menutup sebagian tubuhnya, namun belum sempat mengancingkan semua, suara pintu berderit terbuka hingga membuatnya menoleh kaget.Sosok pria paling dibenci berdi