Share

|3| Sinyal Bahaya

“Ya Allah Lita, kok wajah kamu kusam gini, sih?” Celetukan Fatimah membuatku cemberut, gadis cantik itu menangkup gemas wajah kecilku. 

“Seharusnya kamu banyak dandan loh,” ujarnya. “Biar Mas Harraz terpesona dan merujukmu lagi.” 

Mendengar sarannya aku bergidik tidak suka. Jika aku benar-benar melakukannya, rasanya tidak benar. Kenapa aku harus sengaja menggoda pria, yang sudah bulat memutuskan untuk menceraikanku? Entah kenapa Fatimah berkata seperti itu. 

“Kalau aku gitu, malah kedengarannya nggak tahu diri ‘kan?” 

Mendengar pertanyaanku Fatimah terbahak, “Nggak gitu, dong. Malah sunnahnya seorang istri yang tengah menjalani masa iddah karena ditalak suaminya untuk banyak bersolek, agar suaminya mengurungkan niatnya untuk bercerai dan merujuk istrinya lagi. Kamu tahu sendiri ‘kan Allah membenci perceraian.” 

Aku ber-ah setelah Fatimah menjelaskan. Wanita itu kini sibuk menyiapkan alat rias dan baju-baju yang bagus untukku. 

“Itu ‘kan, bagi istri yang masih berharap dibersamai suaminya, sedangkan aku … ingin cepat bebas dari lelaki itu.” Jawabanku membuat Fatimah menatapku lagi. Wanita itu terlihat kecewa.

“Hatimu belum berubah ya, Lit," Fatimah tersenyum sendu. Sepasang matanya menatap manik ku lekat, seakan ingin membagi hujaman rasa kecewanya untukku juga.

"Lima tahun yang lalu kamu dinikahi Mas Harraz dengan wajah sesal seakan mau dipenjara, sekarang menjelang perceraian kalian, kamu bersikap seperti burung yang akan bebas dari sangkar. Masa’ tidak ada cinta samasekali di hati kalian berdua?” Dengan tangan lemas, Fatimah membuka sebuah kotak berisi alat make up. Wanita itu memilikinya satu-persatu sesuai kebutuhan wajahku.

Antara haru dan merasa bersalah, aku menundukkan kepala. Selama ini, selain Ummu Hilza Fatimah selalu menjadi wanita yang tersedih saat tahu bersama kakak sepupunya aku tidak bahagia. 

“Aku pernah mencintainya,” jawabku setelah sekian detik terdian membuat Fatimah yang tadi tidak berkata apa-apa menoleh dengan mata terkejut. “Di awal pernikahan aku memang sangat terpaksa menerima pinangannya. Tapi perasaan itu tumbuh sedikit demi sedikit. Tiga tahun yang lalu, aku menjadi sangat mencintai lelaki itu.”

“Tapi melihatnya yang begitu dingin, selalu menatapku kosong, seakan tidak ada perasaan yang sama di hatinya untukku, seakan lelaki itu tidak mencintaiku lagi atau bahkan memang tidak pernah mencintaiku," napasku tertahan saat menjelaskannya. Menjelaskan semuanya pada Fatimah sama saja mengulang luka hati.

"Perasaan itu perlahan terkikis, Fatimah. Menjadi rasa muak dan luka, yang ingin segera terbebaskan darinya yang sejak awal memang kubenci dan pergi dari rumah ini sebagai sosok baru yang bukan miliknya lagi.” 

“Aku bahkan tidak tahu kenapa lelaki itu dulu menikahiku, Fatimah,” air mataku berjatuhan karena semakin banyak aku bicara, luka hatiku semakin dalam. Dadaku terasa sakit saat menjelaskannya. 

“Dan sekarang aku juga tidak tahu kenapa dia menalakku," isakku membuat Fatimah prihatin, wanita itu dengan perlahan mendekati. "Selalu tidak ada penjelasan saat dia menarikku ke dalam kehidupannya dan mencampakkanku begitu saja, Fatimah."

"Saat kalimat cerai tercelus dari bibirnya, aku sedih dan bahagia secara bersamaan. Sedih karena terbukti, dia memang tidak mencintaiku. Dan bahagia, akhirnya aku akan terbebaskan dari penjara luka lelaki itu.” 

Melihatku yang rapuh, tubuh Fatimah langsung memelukku. Gadis itu berhasil membuatku tenang, tangisku terhenti karena pelukannya yang hangat. Sedikit mengingatkanku dengan pelukan Tuan Harraz, meski dadanya lebih bidang dan lelaki itu bertubuh kekar. Tapi dekapan Tuan Harraz tidak pernah sehangat ini. 

“Rasanya aku ingin cepat lari dari sini jika teringat lelaki itu yang tidak menganggapku sebagai sosok yang dicintainya Fatimah,” bisikku lagi dengan suara parau. Padahal menceritakannya adalah luka, aku malah kecanduan menghujam hatiku sendiri. 

“Tapi aku malah mengandung dan waktu iddahnya diperpanjang," keluh ku terus tanpa henti. "Awalnya aku takut dirujuk hanya karena anak ini, wanita manapun tidak mau jika seorang suami kembali padanya anya karena dipaksa keadaan. Nyatanya sekalipun aku hamil dia tidak berniat membersamaiku lagi. Sakit, rasanya sakit.”

“Udah,” Fatimah berusaha menenangkan dengan mata sembab. “Talita jangan nangis lagi. Nah kamu tambah jelek ‘kan jadinya.”

Saat Fatimah berkata seperti itu, aku refleks menabok lengannya kesal. Tawa riang Fatimah terdengar gemas, wanita itu memberikanku tisu untuk menghapus jejak air mataku.

Ternyata niatnya untuk mendandaniku masih sama. Setelah aku berhasil menenangkan diri aku dipaksa duduk di kursi rias dan didandani oleh tangannya yang maha lihai. Setengah jam, gadis itu mengotak-atik alat make up, aku mengerjap kagum setelahnya saat menatap pantulan wajahku sendiri yang di cermin. 

“Cantik banget ‘kan,” Fatimah nyeletuk. “Imah aja kalah ya Allah,” dengan gemas wanita itu mencubit pipiku. 

Setelah itu Fatimah menata ulang hijabku, apa yang kuceritakan tadi tidak dibahasnya samasekali, seakan sadar aku terluka jika diingatkan.

Setelah hijab ku rapi diseretnya aku keluar dari kamar untuk mencari-cari Tuan Harraz, Fatimah semakin bersemangat saat diberitahu aku pernah mencintai kakak sepupunya meski sekarang hatiku hanya dipenuhi goresan luka batin dan kekecewaan.

Aku menunduk malu karena tidak percaya diri. Setelah sebulan lamanya tidak berias aku takut, di mata orang tidak akan seindah di mataku dan Fatimah. 

“Itu Mas Harraz—” 

PLAK! Kalimat Fatimah terhenti saat Tuan Harraz yang tadinya dia tunjuk dari jauh menampar telak seorang wanita berambut panjang di tengah keramaian. Aku ikut terlonjak karena suara tepisannya benar-benar memekakkan.

Seakan tidak merasa bersalah dan kerasa benar, Tuan Harraz melengos pergi meninggalkan ruangan yang ricuh mendadak. 

“Harraz!” Teriak seorang lelaki yang murka besar, wajahnya yang tua membuatku mengira mungkin dia ayah dari wanita yang Tuan Harraz tampar.

“Tunggu! Apa-apaan Anda?” Seakan tidak sempat melihatku, Tuan Harraz melewatiku begitu saja meninggalkan pria tersebut. Aku gemetar saat sekilas berdekatan dengannya, hawa kehadiran dan aroma tubuh lelaki itu membuat dadaku berdegup kencang. 

Setelah lelaki itu lumayan jauh, tiba-tiba langkahnya terhenti, menghadiahkan aku dan Fatimah punggung. Tuan Harraz melirik padaku, seakan baru sadar aku kini di luar kamar. Ditelitinya wajahku lekat membuatku gugup, tapi beberapa detik kemudian langsung membuang muka. 

Aku gemetar saat melihat jakun di kerongkongannya bergerak naik-turin, seakan apa yang tadi dia lihat—wajahku—membuatnya tergoda. Sebelah tangannya yang tadi mengepal mengurai, lalu benar-benar pergi. 

“Lita, kamu nggak pernah ditampar Mas Harraz seperti itu juga ‘kan—”

Aku tidak menjawabi pertanyaan Fatimah dan langsung pergi ke kamar mandi yang terdekat. Kuguyur wajahku dengan air untuk menghapus semua riasan yang terlukis di wajahku, mengembalikannya ke wajah natural. 

Benakku masih membayangkan jakun di kerongkongan Tuan Harraz yang bergerak, termasuk tatapannya yang amat dalam dan penuh arti.

Selama kami menikah, dia selalu menatapku seperti itu. Lekat, tajam, dingin seakan tidak aku tidak pernah mendebarkn hatinya, tapi kerongkongannya berbunyi seakan ada yang mati-matian lelaki itu tahan.

Biasanya setelah lelaki itu menatapku seperti itu, Tuan Harraz akan 'menyerangku'. Membiarkanku merasakan keganasannya yang biasanya kualami setiap malam saat masih menjadi istrinya. 

“Talita,” Fatimah menyusulku ke kamar mandi tak lama kemudian, sepasang matanya redup kecewa melihatku menghapus maha karya yang sebelumnya dia lukiskan di wajahku. 

“Maaf,” ujarku merasa bersalah. Aku refleks mencuci wajah, bukan tidak menghargai maha karyanya.

Sudah kebiasaanku sebelumnya, jika Tuan Harraz menatapku seperti itu yang bagiku sudah seperti sinyal bahaya, aku yang mendadak takut langsung menghapus riasan, mengganti pakaian yang biasa saja, berusaha terlihat tidak menarik, namun ujung-ujungnya tetap harus menjalani kewajiban seorang istri. Tapi kuharap ujung cerita yang kali ini berbeda. 

“Rasa pekat lipstick membuatku sedikit mual,” terpaksa aku berbohong. Senyuman palsuku tentu saja tidak dipercayai oleh Fatimah. Jawabanku terlalu mengada-ngada. 

“Aku mau istirahat,” ujarku pada Fatimah sebelum wanita itu sempat pergi, lalu pergi meninggalkannya ke kamar. 

Aku bergegas mengunci pintu dari dalam Setelah sampai. Setelah itu berkeliling kamar untuk memastikan Tuan Harraz tidak menyelinap ke dalam sini lebih dulu sebelum aku sampai. Saat menjadi istrinya, aku selalu kaget dengan kehadiran lelaki itu yang tiba-tiba sudah menyergapku dari belakang. 

Ya Tuhan, kenapa aku harus setakut ini?

Sebenarnya tidak aneh, karena sejak mengenal Harraz Ilham Ghazalah aku selalu takut padanya. Dari segala sisi lelaki itu memiliki hawa tersendiri untuk disegani. Aku jadi heran sendiri kenapa dulu sempat mencintai lelaki itu. 

“Tenangkan dirimu Talita,” aku menarik napas dan menghembuskannya berkali-kali. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk sekarang. “Puji nama Tuhan-mu dan minta ketenangan darinya.” 

Perlahan, beban di bahuku luruh. Rasa aman yang entah datang darimana membuatku sedikit tenang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status