“Ya Allah Lita, kok wajah kamu kusam gini, sih?” Celetukan Fatimah membuatku cemberut, gadis cantik itu menangkup gemas wajah kecilku.
“Seharusnya kamu banyak dandan loh,” ujarnya. “Biar Mas Harraz terpesona dan merujukmu lagi.”
Mendengar sarannya aku bergidik tidak suka. Jika aku benar-benar melakukannya, rasanya tidak benar. Kenapa aku harus sengaja menggoda pria, yang sudah bulat memutuskan untuk menceraikanku? Entah kenapa Fatimah berkata seperti itu.
“Kalau aku gitu, malah kedengarannya nggak tahu diri ‘kan?”
Mendengar pertanyaanku Fatimah terbahak, “Nggak gitu, dong. Malah sunnahnya seorang istri yang tengah menjalani masa iddah karena ditalak suaminya untuk banyak bersolek, agar suaminya mengurungkan niatnya untuk bercerai dan merujuk istrinya lagi. Kamu tahu sendiri ‘kan Allah membenci perceraian.”
Aku ber-ah setelah Fatimah menjelaskan. Wanita itu kini sibuk menyiapkan alat rias dan baju-baju yang bagus untukku.
“Itu ‘kan, bagi istri yang masih berharap dibersamai suaminya, sedangkan aku … ingin cepat bebas dari lelaki itu.” Jawabanku membuat Fatimah menatapku lagi. Wanita itu terlihat kecewa.
“Hatimu belum berubah ya, Lit," Fatimah tersenyum sendu. Sepasang matanya menatap manik ku lekat, seakan ingin membagi hujaman rasa kecewanya untukku juga.
"Lima tahun yang lalu kamu dinikahi Mas Harraz dengan wajah sesal seakan mau dipenjara, sekarang menjelang perceraian kalian, kamu bersikap seperti burung yang akan bebas dari sangkar. Masa’ tidak ada cinta samasekali di hati kalian berdua?” Dengan tangan lemas, Fatimah membuka sebuah kotak berisi alat make up. Wanita itu memilikinya satu-persatu sesuai kebutuhan wajahku.
Antara haru dan merasa bersalah, aku menundukkan kepala. Selama ini, selain Ummu Hilza Fatimah selalu menjadi wanita yang tersedih saat tahu bersama kakak sepupunya aku tidak bahagia.
“Aku pernah mencintainya,” jawabku setelah sekian detik terdian membuat Fatimah yang tadi tidak berkata apa-apa menoleh dengan mata terkejut. “Di awal pernikahan aku memang sangat terpaksa menerima pinangannya. Tapi perasaan itu tumbuh sedikit demi sedikit. Tiga tahun yang lalu, aku menjadi sangat mencintai lelaki itu.”
“Tapi melihatnya yang begitu dingin, selalu menatapku kosong, seakan tidak ada perasaan yang sama di hatinya untukku, seakan lelaki itu tidak mencintaiku lagi atau bahkan memang tidak pernah mencintaiku," napasku tertahan saat menjelaskannya. Menjelaskan semuanya pada Fatimah sama saja mengulang luka hati.
"Perasaan itu perlahan terkikis, Fatimah. Menjadi rasa muak dan luka, yang ingin segera terbebaskan darinya yang sejak awal memang kubenci dan pergi dari rumah ini sebagai sosok baru yang bukan miliknya lagi.”
“Aku bahkan tidak tahu kenapa lelaki itu dulu menikahiku, Fatimah,” air mataku berjatuhan karena semakin banyak aku bicara, luka hatiku semakin dalam. Dadaku terasa sakit saat menjelaskannya.
“Dan sekarang aku juga tidak tahu kenapa dia menalakku," isakku membuat Fatimah prihatin, wanita itu dengan perlahan mendekati. "Selalu tidak ada penjelasan saat dia menarikku ke dalam kehidupannya dan mencampakkanku begitu saja, Fatimah."
"Saat kalimat cerai tercelus dari bibirnya, aku sedih dan bahagia secara bersamaan. Sedih karena terbukti, dia memang tidak mencintaiku. Dan bahagia, akhirnya aku akan terbebaskan dari penjara luka lelaki itu.”
Melihatku yang rapuh, tubuh Fatimah langsung memelukku. Gadis itu berhasil membuatku tenang, tangisku terhenti karena pelukannya yang hangat. Sedikit mengingatkanku dengan pelukan Tuan Harraz, meski dadanya lebih bidang dan lelaki itu bertubuh kekar. Tapi dekapan Tuan Harraz tidak pernah sehangat ini.
“Rasanya aku ingin cepat lari dari sini jika teringat lelaki itu yang tidak menganggapku sebagai sosok yang dicintainya Fatimah,” bisikku lagi dengan suara parau. Padahal menceritakannya adalah luka, aku malah kecanduan menghujam hatiku sendiri.
“Tapi aku malah mengandung dan waktu iddahnya diperpanjang," keluh ku terus tanpa henti. "Awalnya aku takut dirujuk hanya karena anak ini, wanita manapun tidak mau jika seorang suami kembali padanya anya karena dipaksa keadaan. Nyatanya sekalipun aku hamil dia tidak berniat membersamaiku lagi. Sakit, rasanya sakit.”
“Udah,” Fatimah berusaha menenangkan dengan mata sembab. “Talita jangan nangis lagi. Nah kamu tambah jelek ‘kan jadinya.”
Saat Fatimah berkata seperti itu, aku refleks menabok lengannya kesal. Tawa riang Fatimah terdengar gemas, wanita itu memberikanku tisu untuk menghapus jejak air mataku.
Ternyata niatnya untuk mendandaniku masih sama. Setelah aku berhasil menenangkan diri aku dipaksa duduk di kursi rias dan didandani oleh tangannya yang maha lihai. Setengah jam, gadis itu mengotak-atik alat make up, aku mengerjap kagum setelahnya saat menatap pantulan wajahku sendiri yang di cermin.
“Cantik banget ‘kan,” Fatimah nyeletuk. “Imah aja kalah ya Allah,” dengan gemas wanita itu mencubit pipiku.
Setelah itu Fatimah menata ulang hijabku, apa yang kuceritakan tadi tidak dibahasnya samasekali, seakan sadar aku terluka jika diingatkan.
Setelah hijab ku rapi diseretnya aku keluar dari kamar untuk mencari-cari Tuan Harraz, Fatimah semakin bersemangat saat diberitahu aku pernah mencintai kakak sepupunya meski sekarang hatiku hanya dipenuhi goresan luka batin dan kekecewaan.
Aku menunduk malu karena tidak percaya diri. Setelah sebulan lamanya tidak berias aku takut, di mata orang tidak akan seindah di mataku dan Fatimah.
“Itu Mas Harraz—”
PLAK! Kalimat Fatimah terhenti saat Tuan Harraz yang tadinya dia tunjuk dari jauh menampar telak seorang wanita berambut panjang di tengah keramaian. Aku ikut terlonjak karena suara tepisannya benar-benar memekakkan.
Seakan tidak merasa bersalah dan kerasa benar, Tuan Harraz melengos pergi meninggalkan ruangan yang ricuh mendadak.
“Harraz!” Teriak seorang lelaki yang murka besar, wajahnya yang tua membuatku mengira mungkin dia ayah dari wanita yang Tuan Harraz tampar.
“Tunggu! Apa-apaan Anda?” Seakan tidak sempat melihatku, Tuan Harraz melewatiku begitu saja meninggalkan pria tersebut. Aku gemetar saat sekilas berdekatan dengannya, hawa kehadiran dan aroma tubuh lelaki itu membuat dadaku berdegup kencang.
Setelah lelaki itu lumayan jauh, tiba-tiba langkahnya terhenti, menghadiahkan aku dan Fatimah punggung. Tuan Harraz melirik padaku, seakan baru sadar aku kini di luar kamar. Ditelitinya wajahku lekat membuatku gugup, tapi beberapa detik kemudian langsung membuang muka.
Aku gemetar saat melihat jakun di kerongkongannya bergerak naik-turin, seakan apa yang tadi dia lihat—wajahku—membuatnya tergoda. Sebelah tangannya yang tadi mengepal mengurai, lalu benar-benar pergi.
“Lita, kamu nggak pernah ditampar Mas Harraz seperti itu juga ‘kan—”
Aku tidak menjawabi pertanyaan Fatimah dan langsung pergi ke kamar mandi yang terdekat. Kuguyur wajahku dengan air untuk menghapus semua riasan yang terlukis di wajahku, mengembalikannya ke wajah natural.
Benakku masih membayangkan jakun di kerongkongan Tuan Harraz yang bergerak, termasuk tatapannya yang amat dalam dan penuh arti.
Selama kami menikah, dia selalu menatapku seperti itu. Lekat, tajam, dingin seakan tidak aku tidak pernah mendebarkn hatinya, tapi kerongkongannya berbunyi seakan ada yang mati-matian lelaki itu tahan.
Biasanya setelah lelaki itu menatapku seperti itu, Tuan Harraz akan 'menyerangku'. Membiarkanku merasakan keganasannya yang biasanya kualami setiap malam saat masih menjadi istrinya.
“Talita,” Fatimah menyusulku ke kamar mandi tak lama kemudian, sepasang matanya redup kecewa melihatku menghapus maha karya yang sebelumnya dia lukiskan di wajahku.
“Maaf,” ujarku merasa bersalah. Aku refleks mencuci wajah, bukan tidak menghargai maha karyanya.
Sudah kebiasaanku sebelumnya, jika Tuan Harraz menatapku seperti itu yang bagiku sudah seperti sinyal bahaya, aku yang mendadak takut langsung menghapus riasan, mengganti pakaian yang biasa saja, berusaha terlihat tidak menarik, namun ujung-ujungnya tetap harus menjalani kewajiban seorang istri. Tapi kuharap ujung cerita yang kali ini berbeda.
“Rasa pekat lipstick membuatku sedikit mual,” terpaksa aku berbohong. Senyuman palsuku tentu saja tidak dipercayai oleh Fatimah. Jawabanku terlalu mengada-ngada.
“Aku mau istirahat,” ujarku pada Fatimah sebelum wanita itu sempat pergi, lalu pergi meninggalkannya ke kamar.
Aku bergegas mengunci pintu dari dalam Setelah sampai. Setelah itu berkeliling kamar untuk memastikan Tuan Harraz tidak menyelinap ke dalam sini lebih dulu sebelum aku sampai. Saat menjadi istrinya, aku selalu kaget dengan kehadiran lelaki itu yang tiba-tiba sudah menyergapku dari belakang.
Ya Tuhan, kenapa aku harus setakut ini?
Sebenarnya tidak aneh, karena sejak mengenal Harraz Ilham Ghazalah aku selalu takut padanya. Dari segala sisi lelaki itu memiliki hawa tersendiri untuk disegani. Aku jadi heran sendiri kenapa dulu sempat mencintai lelaki itu.
“Tenangkan dirimu Talita,” aku menarik napas dan menghembuskannya berkali-kali. Hanya ini yang bisa kulakukan untuk sekarang. “Puji nama Tuhan-mu dan minta ketenangan darinya.”
Perlahan, beban di bahuku luruh. Rasa aman yang entah datang darimana membuatku sedikit tenang.
Gedoran pintu membangunkanku yang sudah setengah jam terlelap. Awalnya kukira akhirnya Tuan Harraz sudah kembali, rautku langsung berubah saat suara Abimanyu yang terdengar.Dari luar lelaki itu mengucap salam, aku langsung memperbaiki hijab berantakanku yang tidak kulepas selama tertidur dan menyahut salamnya yang sangat sopan. Ketika pintu yang menjadi batas kami terbuka, kudapati Abimanyu berdiri santun dengan kepala menunduk menatap lantai yang kami pijak.“Ada apa, Manyu?”“Tuan Harraz menunggu ada di depan Nyonya. Beliau ingin mengajak Anda untuk langsung pulang.”Senyum ramahku seketika surut. Entah kenapa sepertinya ada yang terjadi. Aku mengangguk dan mengiakan perintah Tuan Harraz yang disampaikan Abimanyu. Kuambil barang-barang kami yang masih ada di kamar dan pergi menyusul Abimanyu yang tidak berhenti menunduk sejak tadi.Di tangga lantai dua, kupandangi resah keramaian lantai bawah. Rasanya malas berdesak-desakan dengan mereka yang begitu padat. Dari tangga terakhir yan
“Siapa nama ibumu, Mas?”Aku bertanya pada Tuan Harraz yang membelakangiku dengan punggung telanjangnya. Lelaki itu baru saja membersihkan diri dan hendak berpakaian.Tuan Harraz menatap balik pantulan wajahku di cermin. Raut wajah lelaki itu tidak memiliki rona samasekali, meniruku yang menjadi tidak bersemangat semenjak bertemu dengan ibunya semalam. Wajah indahnya, tangis terluka wanita itu, tatapan mata beliau yang sayu yang terus terbayang-bayang di benakku membuat hatiku teriris-iris. Entah bagaimana ekspresi wajah perempuan itu di balik cadarnya, mungkin jika aku melihatnya secara langsung. Perasaan bersalah ini pasti semakin dalam.“Kamu sangat ingin tahu?” Tuan Harraz membalik tubuhnya dan bertanya.Aku menganggukkan kepala. Jika aku sudah memberanikan diri untuk bertanya padanya, tentu saja aku sangat ingin tahu.“Aku akan menjawabnya jika kamu membelai pipiku,” Tuan Harraz berujar dengan tatapan dalam. Permintaannya membuatku grogi. Tanganku benar-benar terangkat. Kubelai
Melihat keharuan di antara mereka, langkahku begitu berat. Kuhirup banyak-banyak udara lalu memberanikan diri untuk menghampiri. Aku bertekuk seperti Tuan Harraz di kaki wanita itu, membuat wanita yang bisa kupastikan ibu mertuaku tersebut terkejut.Kuraih tangannya yang berkeriput, sempat mengecohku sebelumnya yang mengira dia wanita muda karena jernih matanya yang terlihat di antara yang tertutup terlalu indah untuk seorang wanita berumur.Kami menjadi sorot perhatian. Setelah ini, aku tidak tahu harus bicara apa lagi dan melakukan apa. Aku hanya melirik gerak-gerik Tuan Harraz, untuk meniru apapun yang kelak lelaki itu lakukan.Mengingat pernyataan Tuan Harraz sebelumnya yang membuatku takut keluar kamar, aku khawatir perempuan ini tidak akan menerimaku dengan baik. Tanganku ditepis, aku didorong dan dijauhi, menjadi terka-terkaan di kepalaku yang aku harap tidak akan pernah terjadi.Tanpa diduga, wanita itu memperlakukanku sama dengan Tuan Harraz. Dielusnya kepalaku yang dibalut h
"Maksudmu?" Sahutku sambil menelan saliva yang malah terasa kering di tenggorokan."Seharusnya kamu langsung mengerti Talita.""Aku sedikit mengerti, tapi aku hanya memintamu memperjelasnya." Saat aku berkata, Tuan Harraz yang berdiri di depanku memerhatikan lekat-lekat tubuhku yang gemetar takut."Kamu akan mengerti jika kelak bertemu dengan ayah dan ibuku secara langsung. Caranya menatapmu atau keengganannya menatap balik wajahmu akan memperjelas apa yang kumaksud." Tangan besar Tuan Harraz meraih ganggang pintu lalu membukanya lebar-lebar. Aku menjadi sungkan mengikuti langkahnya, Tuan Harraz yang menyadari aku belum beranjak, kembali menghentikan langkah dan menatapku yang diselimuti rasa takut."Jadi keluar?""Jadi maksudmu, sejak awal mereka tidak merestui pernikahan kita?" Helaan napas Tuan Harraz terdengar tertahan mendengar pertanyaanku. Dengan ragu lelaki itu mengangguk. "Jika kamu tahu mereka tidak menyukaiku dan tidak pernah merestui kita, kenapa tetap bersikeras menika
“Seharusnya acaranya kita laksanakan di rumah saja, tidak usah susah-susah ke pondok pesantren Kyai Ris.” Di sebelahku di dalam mobil, Tuan Harraz mengeluh sejak tadi. Lelaki itu terlihat malas untuk pergi, tapi Abimanyu sudah terlanjur melajukan mobil.“Sudah terlambat untuk bilang begitu Mas,” ujarku pada lelaki itu yang mengurut pangkal hidung.“Kenapa tidak bilang sedari beberapa hari yang lalu, sebelum mereka menyiapkan semuanya?” Tuan Harraz hanya mendengus. Lelaki itu tidak menjawabiku sama sekali, ditatapnya dingin pemandangan gunung-gunung asri yang kami lewati.Tanganku mengusap-ngusap perut Tuan Harraz. Yang paling malang dari dirinya hanyalah perut yang seakan berisi bayi ini. Tuan Harraz juga terlihat nyaman, jika aku memberikan perhatian-perhatian kecil seperti ini. Wajahnya yang tadi penuh emosi, berubah lembut seakan ingin tertidur.Diletakkannya kepalanya ke bahuku. Aku mengincar tengkuknya dan mengurutnya. Abimanyu yang menyetir di depan melirik aktivitas kami dari
“Imah senang banget loh saat Mas Fauzan ngasih tahu, kamu dan Mas Harraz sama-sama lagi!” Imah yang cantik dengan kerudung putihnya menangkup wajahku. Aku tersenyum, balik menangkup wajahnya yang berisi. Pipi kenyalnya membuatku balik gemas.“Mas Harraz sekarang dimana? Seharusnya kalian bersama-sama terus, biar ikatan yang tadi renggang kembali terikat,” Fatimah menyikut lenganku. Gadis itu senyum-senyum sendiri.“Lagi di kantor,” jawabku. “Sebenarnya dia sedang tidak enak badan sih tapi maksain diri buat pergi. Pasti manja-manja di pangkuan setelah balik.”“Mas Harraz udah suka manja-manjaan?”Sahutan Fatimah membuat kedua pipiku memerah. “Ini yang namanya perpisahan sementara mengajarkan betapa pentingnya pasangan yang tadi hendak kamu tinggalkan!” Sambil mengampit lenganku, gadis itu berseru heboh.“Eh Dr. Leo mana, ya? Udah nggak diperiksa sama dia lagi? Malah Mbak Lia yang datang,” gumam Fatimah membuat tatapanku ikut teralih ke halaman rumah. Di sana, terdapat mobil familier y