Share

|2| Tanggung Jawab Seorang Ayah

“Bagaimana, Ta? Apa kamu keberatan jika hak asuh anak kalian nanti diambil Tuan Harraz?” Ummu Hilza yang tengah melipati pakaianku bertanya. 

Tadinya aku ingin merapikan barang-barangku sendiri, tapi Ummu Hilza memaksa untuk melakukannya lalu menyuruhku untuk istirahat. Hanya karena Tuan Harraz sudah beramanah padanya agar menjagaku dan kandunganku dengan baik, wanita itu tidak membiarkanku melakukan apapun samasekali. Bahkan makanpun tidak hanya diambilkan aku juga disuapi.

“Semua keputusan tentang anak ini kuserahkan padanya, asal jika aku ingin bertemu dengan buah hatiku sesekali, lelaki itu mengizinkan,” jawabku lirih sambil mengusap perut. 

“Kamu tidak ada niat untuk berusaha mendapatkan hak asuh?” Ummu Hilza bertanya lagi. Pertanyaannya terdengar sendu.

Aku menggelengkan kepala ragu, “Aku takut, jika anak ini ikut bersamaku, dia akan melarat dalam kemiskinan. Aku ingin dia hidup sejahtera, bisa sekolah tinggi dan menjadi orang hebat seperti ayah dan keluarga ayahnya.” 

Mendengar jawabanku yang penuh akan rasa takut, Ummu Hilza tersenyum tipis. Diraihnya tanganku dan oleh wanita itu digenggamnya seerat mungkin. “Seorang anak, sekalipun orangtuanya sudah berpisah dan dia ikut ibu, sang ayah tetap diwajibkan untuk menafkahinya. Apalagi anak perempuan.”

“Meskipun nanti anak tersebut Tuan Harraz izinkan ikut kamu, tenang saja Talita, Tuan Harraz dan keluarga Ghazalah yang sangat paham dengan syari’atnya tidak akan membiarkanmu banting-tulang membesarkannya sendirian.” Lagi-lagi, aku banyak belajar dari wanita berparas campuran Indonesia-Turki ini. Dari mulutnya ‘lah aku tahu banyak hal, mulai dari arti pentingnya seorang saudari meski tidak sedarah dan ajaran-ajaran agama yang juga diterapkan di keluarga Ghazalah. 

“Jadi menurutku jika kamu ingin merundingkannya dengan Tuan Harraz agar bisa mendapatkan hak asuh anak kalian, tak perlu khawatir. Lakukan ‘lah. Tuan Harraz tidak akan menelantarkan tanggungjawabnya.” Tanganku masih ditangkup, membuatku semakin merasa haru. Kupeluk erat wanita yang lebih tua puluhan tahun dariku itu. 

Kalimatnya membuatku bertekad, agar kelak jika berpisah dari Tuan Harraz, sebagai anak yatim-piatu aku tidak kesepian. Ada anak yang bisa kubawa ikut-serta, meski kami berdua masih harus terikat kuat oleh ayahnya.

***

“Aku bisa sendiri Ummu,” protesku saat piring makanku diambil dan Ummu Hilza memaksa untuk menyuapiku. Ummu Hilza menggeleng, aku pasrah menerima suapan demi suapan darinya. Daripada diperlakukan seperti ibu hamil, aku lebih diperlakukan seperti balita. 

“Kamu harus makan banyak,” suruh Ummu Hilza setelah sekali aku mengaku kenyang. “Kamu sudah berbadan dua, ada mulut lain yang juga harus kamu isi.” Padahal aku tidak terlalu berselera, tapi paksaan Ummu Hilza terpaksa kuturuti. 

“Di depan kayaknya ramai banget ya,” gumamku sambil berdiri di depan jendela kamar. Dari kejauhan, aku bisa melihat gerbang utama rumah didesaki oleh mobil-mobil mewah. Entah acara dan pertemuan apa yang Tuan Harraz selenggarakan sejak beberapa hari yang lalu. 

Sebenarnya aku boleh ke depan asal tidak ke luar rumah, tapi jika terlalu ramai aku takut sendiri. 

“Memangnya ada acara apa, Ummu?” Aku menoleh dan bertanya pada Ummu Hilza yang raut wajahnya sudah berubah. 

“Bukan acara apa-apa,” wanita itu menjawab dengan seulas senyum mencurigakan. “Orang-orang hanya ingin bertemu Tuan Harraz saja, setelah tersebar kabar … kalian akan bercerai. Mereka ingin Tuan Harraz meminang salahsatu dari anak perempuan mereka.” 

Rautku ikut berubah mendengar jawaban Ummu Hilza. Sambil menutupi rasa sedih ini aku manggut-manggut santai. “Jadi apa Tuan Harraz sudah mendapatkan calon baru?” Aku bertanya, seakan tidak memengaruhi hatiku samasekali. 

“Dia bilang belum ingin menikahi siapapun sampai kamu menyudahi masa iddah,” setelah berkata seperti itu Ummu Hilza membawa piring bekas makanku keluar dari kamar. Aku diam di tempat karena tidak menyangka dengan jawabannya. 

Jika Tuan Harraz ingin segera menikah lagi, silahkan saja. Toh, aku ini calon mantan istrinya. Entah kenapa, dia malah menungguku untuk pergi dari rumah ini terlebih dahulu. 

Selama menjadi menantu wanita keluarga Ghazalah, aku diberitahu Ummu Hilza keluarga terhormat yang religius ini memegang teguh prinsip monogami, mereka bilang monogami lebih dekat pada ruh syari’at daripada poligami, sehingga itulah mereka semua hanya beristri satu sampai akhir hayat.

 Mungkin itu salahsatu alasan mengapa Tuan Harraz tidak langsung mencari wanita lain setelah menalakku, bisa saja dia ingin memastikan aku benar-benar lepas darinya terlebih dahulu sebelum menikahi wanita lain demi prinsip yang keluarga mereka pegang teguh. Tapi masalahnya, sembilan bulan lebih tidak menyentuh wanita, apa Tuan Harraz Ilham Ghazalah tahan? 

Aku bukan berburuk sangka dia tidak kuat iman, aku hanya kepikiran bagaimana dulu lelaki itu menjaga kesetiaannya pada satu istri dengan selalu membawaku kemana-mana jika dia pergi, stres jika seminggu lebih jauh dariku sebagai pemilik ranjang yang menjauhkannya dari zina, dan bagaimana aku yang setiap malam harus menurut saat melayaninya layaknya seorang istri. 

Aku harap, Tuan Harraz bisa menahannya sampai suatu hari nanti lelaki itu bertemu dengan wanita yang tepat untuk dinikahinya. Jika aku menanyakannya pada Ummu Hilza, tentu saja beliau akan menertawakanku. Karena hanya aku yang tahu, bagaimana ganasnya lelaki itu.

“Boleh aku ke depan, Ummu?” Tanyaku pada Ummu Hilza saat wanita itu kembali. Beliau menatapku bingung, karena meski aku diperbolehkan berkeliaran di rumah ini dengan syarat tidak boleh keluar, aku jarang melewati pintu kamar dan lebih suka mengurung diri. 

“Tumben?” 

“Aku hanya ingin bertemu Fatimah, adiknya Tuan Fauzan. Ummu tahu sendiri ‘kan, kami berteman baik bahkan sebelum aku dan Tuan Harraz menjadi sepasang suami-istri,” bujukku dengan senyum manis.

“Baiklah kalau begitu,” Ummu Hilza mengizinkan. “Tapi sebaiknya kamu kutemani. Tuan Harraz melarangku meninggalkanmu sendiri.” 

Meski tidak suka diuntiti aku mengangguk saja. Setelah mencuci muka tanpa memakai riasan sama sekali, aku memakai hijab dan keluar dari kamar untuk pertamakalinya setelah satu bulan ini. Ummu Hilza mengikutiku, gerak tubuh dan mata wanita itu nampak mewaspadai. Entah apa yang harus wanita itu takutkan? Toh, aku hanya berkeliaran di rumah ini. 

“Fatimah!” Jingkrakku saat bertemu Fatimah di ruang tengah. Aku langsung memeluk wanita itu di depannya kakaknya. 

“Ih Lita, aku baru aja mau nemuin kamu, loh. Udah nyamperin duluan aja,” Fatimah balas memelukku. Sebelum ikut bersama Fatimah ke tempat yang lebih sepi, aku diam-diam melirik Tuan Harraz yang duduk tegap di sebuah sofa. Lelaki itu terlihat datar, dan nampak tidak perduli. Tatapan matanya begitu kosong dan dingin, membuatku gugup sendiri meski dia saja tidak menyadari kehadiranku. 

Tuan Harraz mengabaikan semua wanita di sekitarnya, mereka yang mengajak mengobrol tak diacuhkan lelaki itu. Tapi jika orangtua sang wanita yang mengajaknya bicara, lelaki itu menanggapi sekedarnya, masih dengan kalimat singkat dan senyum yang nyaris tak ramah. 

“Yuk,” Fatimah menarik lenganku, gadis itu terlihat bersemangat. Awalnya langkahku berat, melihat Tuan Harraz mendadak pergi dan meninggalkan tempat duduknya aku langsung bergegas pergi sebelum ketahuan. Entah apa yang harus kutakuti, yang penting lari.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status