Jeremy Logan baru saja mendapat kabar jika saudara laki-lakinya sedang sekarat dan mengharap kepulanganya. Sudah lewat sepuluh tahun sejak Jeremy berjanji untuk tidak lagi menginjakkan kaki di rumah keluarga Loghan yang pernah membuatnya sangat sakit hati. Bahkan beberapa tahu yang lalu ketika Jeremy mendengar kakak laki-lakinya James Loghan mengalami kecelakaan dan istrinya meninggal, Jeremy tetap tidak sudi untuk pulang sejenak. Sekarang Jeremy sudah sangat sukses dengan kehidupannya sendiri dan tidak butuh sepeserpun harta dari keluarga Loghan. Tidak akan ada yang berani menyepelekannya lagi, bahkan sekarang dia sudah jauh melampaui James Loghan dengan segala kesuksesannya.
Jeremy Loghan adalah pemuda 31 tahu yang sangat tampan dengan sepasang netra biru pekat seperti laut dalam. Meskipun tatapannya selalu dingin penuh kekejian tapi ia tetap sosok yang karismatik layaknhya seorang Loghan. Bahkan ketika dia hanya sekedar duduk, siapapaun akan gentar menghadapinya. Termasuk Mr. Harlot yang kali ini sedang diutus oleh James Loghan untuk membujuk adik laki-lakinya agar mau pulang.
"Saya tidak berhak ikut campur dengan masalah pribadi Anda, tapi jika James Loghan meninggal otomatis semuanya jatuh ke tangan Anda, dan itu semua bukan jumlah yang sedikit."
"Apa kau pikir aku masih membutuhkannya?"
Sekarang Jeremy Loghan adalah pemuda super kayan yang sudah cukup pantas jika ingin menyombongkan diri setelah lepas dari nama besar keluarga Loghan. Perlakuan tidak adil yang pernah dia terima sudah sama sekali tidak membuatnya gentar.
Mr. Harlot kembali mengehela napas agar lebih bersabar karena tahu memang tidak akan mudah untuk membujuk seorang Jeremy Loghan agar bersedia pulang.
"Hidup saudara Anda sudah tidak lama lagi, tolong abaikan sejenak masalah apapun untuk sebentar saja," mohon Mr. Harlot yang sudah jauh-jauh datang dari Washington.
Sebenarnya Jeremy mau menemui Mr. Harlot juga karena ingat pria tua itu sudah sangat setia pada kakeknya. Jika saja yang diutus James kali ini hanya seorang notaris pasti dia sudah mengusirnya dari tadi. Selain kaya raya dan tampan, Jeremy juga dikenal sebai pria yang keji pada musuh-musuhnya.
"Aku masih ingat ketika kalian bermain pedang dan berlarian mengelilingi kolam air mancur di halaman belakang," tambah Mr. Harlot ketika menatap kembali anak laki-laki di depanya yang sekarang sudah sangat berubah.
"Kalian sering bertengkar kadang juga saling memukul layaknya saudara laki-laki, tapi ingat bagaimana kakek Anda tidak pernah membedakan kedua cucunya. Paling tidak lakukan untuk beliau." Mr. Harlot tahu jika bukan harta yang akan membuat seorang Jeremy Loghan luluh.
Sejak ayah dan ibu kedua anak laki-laki itu meninggal dalam kecelakaan, Sir Wiliam Loghan langsung membawa cucunya pulang ke Inggris, karena dia yakin tidak ada yang wajar dengan apapun yang menimpa keluarga Loghan, apa lagi saat itu putranya mulai terjun ke dunia politik.
"Sekarang kakak laki-laki Anda juga kembali ke Yorkshire," tambah Mr. Harlot.
Baru kali ini Jeremy terkejut meskipun tetap tidak akan mau menunjukkan hal itu pada siapapun, termasuk Mr. Harlot yang masih memohon dan menunggu untuk sedikit saja rasa simpatinya.
Keluarga Loghan memiliki komplek properti dan tanah yang sangat luas di kawasan Yorkshire. Di sana juga dulu James dan Jeremy pernah dibesarlan oleh sang kakek, menghabiskan masa anak-anak dan libur musim panas bersama. Sir Wiliam Loghan juga memilih tanah kelahiranya itu untuk menghabiskan masa tuanya dalam damai. Karena itu Mr. Harlot yakin jika rumah bersejarah tersebut juga sangat berarti bagai anak-anak Loghan.
"Terima kasih atas kedatangan Anda Mr.Harlot, sampaikan salamku untuk keluargamu, tapi maaf karena ada pertemuan lebih penting yang harus segera kuhadiri."
Mr. Harlot tidak boleh tersinggung dengan pengusiran halus yang dilakukan Jeremy Loghan. Dia tetap mengucapkan terimakasih atas waktu yang diberikan pemuda itu dan berpamitan dengan menjaga sikap hormat.
Jeremy memang sudah bersumpah utuk tidak akan pernah lagi menginjakkan kaki ke tanah keluarganya jika masih ada James di sana. Penghianatan yang dilakukan orang lain akan lebih mudah untuk dilupakan dari pada penghianatan yang dilakukan oleh saudara sendiri.
YORKSHIRE Jeremy sudah tidak ingat kapa terakhir dirinya melihat halam rumput keluarga Loghan. Rumah utama masih terlihat sama tidak banyak yang berubah sejak dirinya datang untuk menghadiri pemakaman sang kakek sepuluh tahun lalu. Bahkan pagar kudanya juga masih sama. Sejak Jeremy dan James berumur belasan tahun mereka sudah tinggal di sekolah asrama elit di Washington dan hanya sesekali mengujungi sang kakek saat musim libur. Mereka akan menghabiskan masa libur dengan berkuda di tanah keluarga mereka yang luas dengan perbukitan hijau. Tanah yang sampai sekarang masih alami tak terjamah oleh moderenisasi. Seluruh tanah dan properti keluarga Loghan memang masih utuh terjaga. Semua itu adalah warisan turun temurun dari leluhur nenek moyang mereka yang pernah menjadi penguasa di perbatasan Utara Inggris. "Oh, Tuanku sejak kapan Anda datang?" kaget salah seorang pengurus rumah begitu melihat Jeremy Loghan berdiri di ambang pintu. Jeremy juga sudah mengenal Mr. Papkins, pria yang sekar
Jeremy langsung menatap dingin pada saudaranya yang baru didorong keluar dengan kursi roda oleh seorang wanita. Di mana James Loghan yang dulu terkenal paling gagah ketika berdiri di atas singgasana keluarga Loghan. Karena yang Jeremy lihat sekarang hanyalah pria cacat menyedihkan, hanya bisa duduk di atas kursi roda dan sedang sekarat. Sebenarnya Jeremy bukannya tanpa hati untuk bersimpati pada nasib malang saudara laki-lakinya, tapi jika kembali melihat wanita muda yang sedang berdiri di samping James, seketika kemurahan hatinya yang cuma tinggal seujung jari itu pun ikut lenyap. "Terimakasih kau sudah mau pulang," sambut James lebih dulu. "Apa tidak bisa kita hanya bicara berdua?" sarkas Jeremy ketika melihat pada Gabriela Harlot yang menurutnya tak lebih dari produk konspirasi dari seorang Harlot yang cerdas. Jeremy tahu semua anak-anak Harlot adalah orang-orang yang sangat berpendidikan. Tidak ada seorang Harlot yang bodoh hingga mau menghabiskan waktu dengan pria cacat h
Geby baru akan mengambil kudanya dari istal ketika mendengar suara ringkihan kuda yang tidak biasa dari istal khusus. Buru-buru Geby memastikan dan tidak menyangkan bakal menemukan Jeremy Loghan berada di istal kuda. Pria kaya itu memang sama sekali tidak cocok untuk berada di istal kuda. Gaya dan pakaiannya terlalu mahal untuk dibawa berkeliaran di dekat tumpukan jerami.Sebenarnya tadi Jeremy ingin mencari kuda kakeknya, karena dulu istal khusus tersebut memang cuma di tempati oleh King kuda hitam kesayangan sang kakek. Tapi sepertinya kuda itu memang sudah tidak ada dan sekarang ditempati kuda lain yang hampir mirip."Sebaiknya Anda hati-hati karena Prince agak sensitif dengan orang asing." Geby memperingatkan ketika melihat Jeremy hendak menyentuh kepala kuda tersebut."Sepertinya Anda ada di mana saja, Nona Harlot?" sarkas Jeremy yang masih sama sekali tidak menghargai keramahannya.Kali ini pria tersebut sudah berpaling dan menghadap pada Geby yang sudah siap dengan pakaian berku
Mr. Papkins melihat Geby kembali dari istal tapi tidak membawa kuda. Geby langsung masuk ke kamarnya dan tidak keluar lagi sampai beberapa lama. Sebenarnya Mr. Papkins juga khawatir tapi rasanya tidak etis untuk ikut campur. Geby berdiri di depan cermin melihat dirinya sendiri yang masih sangat marah tapi tidak bisa asal memaki pada pria seperti Jeremy Loghan walaupun pria itu sudah sangat berani menciumnya. Kenyataanya mereka berdua sama-sama orang dewasa yang berpendidikan dan tidak selayaknya bertengkar seperti tadi. Sangat memalukan untuk sekedar dipikirkan apalagi dibahas. Geby cuma kembali berkumur-kumur kemudian mengambil tisu untuk membersihkan bibirnya entah untuk apa karena sebenarnya juga tidak berguna kecuali hanya untuk sedikit menghibur kekesalannya sendiri sebelum berani keluar dari kamar untuk mencari James. "Di mana James?" tanya Gaby pada Mr. Papkins. "Tuan muda James masih berada di ruang kerjanya bersama Mr. Rich. Mr.Rich adalah notaris kepercayaan James yang k
Kondisi James terus menurun dengan cepat, Geby mulai khawatir jika James tidak akan sanggup melalui akhir tahun ini. James sudah tidak bisa lagi duduk di kursi roda, dia hanya bisa berbaring di atas ranjang dan sudah sama sekali tidak bisa bergerak. Kadang dia ingat untuk memanggil Geby kadang juga sudah lupa dengan namanya. Terakhir James hanya menyebutnya 'kau cantik' kemudian Geby mengangguk dan menciumnya.Geby tidak pernah menyangkan jika dirinya akan dilupakan oleh James dengan cara seperti ini, cara yang tidak bisa dia benci dan rasanya ternyata jauh lebih berat dari dilupakan kekasih karena pengkhianatan. Hal itu membuat Geby semakin sadar jika cinta, kebencian, kebahagiaan, dan kesedihan batasnya sangat tipis. Karena begitu ingatan memudar semua itu sudah tidak akan ada artinya lagi.Lantas untuk apa manusia masih suka mempertahankan kebencian jika sebenarnya tiap tarikan napas mereka jauh lebih berharga untuk sama-sama bahagia. Berapapun sisa waktu yang dimilik James, tiap det
Geby baru kembali melihat Jeremy Loghan ketika makan malam. Geby yang baru bergabung memilih duduk di samping sang paman dan berhadapan dengan sepupunya Tobias yang duduk bersebelahan dengan Mr. Rich. Jeremy Loghan duduk di ujung meja sebagai tuan rumah. Meja persegi panjang dengan sepuluh pasang kursi itu malam ini diisi oleh lima orang dengan suasana yang masih hening dan sunyi dalam suasana duka. Geby hanya melihat sebentar pada Jeremy Loghan, cuma untuk sekedar memastikan jika pria itu masih utuh setelah menunggangi Prince seperti siang tadi. Meski hanya sepersekian detik Geby yakin Jeremy sempat menangkap sepasang manik matanya sebelum kemudian melanjutkan obrolanya dengan Mr. Rich."Kami akan kembali besok." Mr. Harlot bicara pada keponakannya dan Geby hanya mengangguk."Terimakasih Paman sudah bersedia datang.""Kami juga mencintai James," jawab sang paman.Kali ini Tobias Harlot yang meraih tangan Geby dari seberang meja. "Jaga dirimu baik-baik, Geby."Walaupun sudah tidak ada
Pagi-pagi Geby sudah bangun karena paman dan sepupunya akan pulang pagi ini."Jaga kesehatanmu, Geby," pesan sang paman ketika Geby memeluknya.Geby juga memeluk sepupunya dan membiarkan Tobias balas memeluknya dengan mantap seperti biasanya."Aku akan pulang saat nanti kau menikah." Gaby mendongak pada sepupunya yang tiga bulan lalu sudah bertunangan tapi Geby tidak bisa pulang karena kondisi James yang terus menurun."Kau juga harus mulai memikirkan masa depanmu sendiri!"Geby cuma mengangguk lesu tapi tetap tersenyum pada sepupunya. Di antara ketiga sepupunya Geby memang paling dekat dengan Tobias."Ayo,Gaby ku, kau wanita yang hebat!" Tobias Harlot menepuk punggung Geby agar kembali bersemangat seperti Geby yang mereka kenal dulu.Setelah mereka berdua pergi Geby segera mencari Lily ke kamarnya."Geby!" gadis kecil itu langsung berlari dan melompat ke pelukannya. "Aku kira mereka juga akan membawamu.""Oh, tidak sayang. Aku tidak akan ke mana-mana, aku akan selalu bersamamu.""Aku
Stelah James meninggal, bencana yang lain kembali datang. Jeremy Loghan akan membawa Lily bersamanya. Rasanya Geby benar-benar tidak sanggup untuk sekedar membayangkan hal itu. Lily masih sangat kecil dan Geby yakin Jeremy hanya akan menelantarkan Lily tanpa kasih sayang.Kesedihan mereka semua atas kepergian James masih belum usai dan sekarang semua orang di rumah keluarga Loghan juga ikut kembali bersedih dengan rencana Jeremy yang akan membawa Lily karena Jeremy juga tidak akan pernah mau tinggal di Yorkshire hanya untuk mengawasi keponakannya. Tidak ada yang berani menentang seorang Jeremy Loghan yang telah membuat sebuah keputusan apapun itu."Mr. Papkins mengatakan jika Anda mencari saya?" kata Geby setelah mengetuk daun pintu yang sudah setengah terbuka."Masuk dan tutup pintunya."Geby melihat Jeremy Loghan sedang duduk di kursi milik James, kursi bersandaran tinggi dengan lapisan kulit yang disamak lembut itu terlihat sangat hidup ketika Jeremy Loghan yang duduk di sana. Tempa