"Aku bisa berjalan sendiri. Kepalaku tidak terlalu pusing. Jadi, kau tidak perlu jug--"
Synda segera menangkap tubuh Alexander yang baru beberapa detik lalu dilepaskan dari pegangannya. Ia tidak ingin sampai pria itu terjatuh ke lantai. Walau, bukan masalah yang mudah juga menghadapi penolakan pria itu untuk diantarkan ke dalam kamar.
Dirinya pun cukup keberatan. Namun, tidak mungkin mengingkari janji yang sudah ia buat pada Aldora Adams. Synda menepati apa yang sudah dikatakan. Dan, diabaikan status di antara dirinya dan Alexander.
"Lepaskan aku. Tadi, sudah aku bilang jika aku bisa ke dalam sendiri. Kau bisa pe--"
"Bisakah kau jangan terus bersikap seolah kau tetap kuat? Kau mabuk. Kau tidak akan bisa berjalan sendiri ke kamar dengan baik. Kau hanya perlu diam," potong Synda cepat.
"Jika kau terus menolak bantuanku. Paling kau akan sering terjatuh ke bawah dan kau pasti mencium lantai," imbuh wanita itu.
Kemudian, dihelanya napas. Ia berupaya tak semakin emosi dan kesal akan sikap yang ditunjukkan oleh Alexander. Synda merasa sudah cukup menunjukkan lewat ucapan dengan kata-kata pedasnya. Dan, percuma juga jika berujar panjang lebar. Alexander sedang mabuk. Tidak akan mampu pria itu dengan baik meresapi sindirannya.
"Aku mau menciummu saja bagaimana? Kau rasanya jauh lebih hangat daripada lantai."
Tubuh Synda seketika menegang. Namun, tak dilepaskan pegangan pada lengan kanan Alexander. Bahkan, saat pria mendekatkan wajah dan melingkarkan tangan dengan erat di pinggang, Synda hanya bisa diam saja. Ia tak melakukan perlawanan apa-apa.
Ucapan sang mantan kekasih masih tergiang di kepalanya hingga detik ini. Synda tentu berupaya mengabaikan juga, tetapi pikiran tak bisa diajaknya untuk bekerja sama.
"Kenapa kau diam? Apa kau setuju jika aku menciummu? Sudah lama kita berdua tidak berciumanan, semenjak kita bukan menjadi pasangan kekasih lagi. Hampir saja e--"
"Berhentilah bicara yang tidak masuk akal. Kau mabuk. Kau akan kehilangan kendalimu dalam berbagai hal, termasuk bicara." Synda memotong dengan nada yang pedas.
"Lebih baik kau berhenti bicara. Mulutmu itu dibungkam saja. Tidak protes apa pun tentang pertolongan yang akan aku berikan. Kau jangan menolak kebaikan orang. Tidak melihat dari status ataupun gender."
Setelah menyelesaikan ucapannya, Synda segera menarik lengan Alexander. Laju dua kakinya berjalan dipercepat supaya dapat segera sampai di kamar yang pria itu akan tempati hingga besok. Jaraknya tinggal tiga meter di depan. Dalam hitungan satu menit mereka akan bisa mencapai pintu kamar.
Dugaan Synda tidak meleset. Justru hanya dibutuhkan kurang dari 30 detik saja. Secara cepat Synda memutar knop pintu. Masih ia pegang erat tangan Alexander. Tak ada lagi perlawanan yang ditunjukkan oleh pria itu. Bagus untuknya karena akan mempercepat penyelesaian bantuan kepada pria itu.
Bukan hal mudah membawa Alexander ke tempat tidur yang masih sekitar satu meter lagi. Menyeret seorang pria dengan postur tubuh melebihinya, baik dari segi berat dan juga tinggi. Energi Synda cukup terkuras.
"Beristirahatlah di sini baik-baik. Kau akan nyaman tidur di bekas kamarku. Kau tidak akan kesulitan tidur," ujarnya dalam nada ketus, diberi penekanan di setiap kata.
Bersamaan akan ucapan telah diselesaikan, maka Synda merasakan tangan kanannya ditarik oleh Alexander yang berbaring di atas kasur. Otomatis, Synda terjatuh tepat di samping pria itu. Ia berupaya bangun, tetapi tak bisa akibat dekapan erat didapatkannya. Lantas, ia dilanda keterkejutan lebih besar karena pergerakan begitu cepat dilakukan oleh Alexander. Ya, pria itu ada di atasnya. Meski, tak benar-benar menindih. Namun, tetap mengingatkan akan percintaan panas yang mereka sering lakukan dulu.
"Aku sangat merindukanmu, Sayang. Hanya kau wanita terbaik pernah menjadi kekasih hatiku. Apa pun ada pada dirimu, aku suka."
Tepat setelah Alexander selesai akan semua kalimatnya, pria itu menempelkan bibir mereka dengan mata masih terpejam. Jelas mau alkohol menyengat. Namun, ia justru kehilangan kemampuan untuk melawan. Dibiarkan sang mantan menciumnya. Tubuh kaku karena sudah lama tidak merasakan sentuhan Alexander yang dulu selalu dapat mudah dalam memabukkan dirinya.
"Aku akan mendapatkanmu kembali, Synda. Aku tidak bisa tanpa kau di hidupku."
"Hmm, harus aku perjelas lagi.""Kau ingin memperjelas tentang apa?" tanya Synda dengan nada canggung. Kian tidak nyaman. Namun, tetap tersenyum lebar.Sikap yang dirasanya harus ditunjukkan di hadapan Maxel agar tak menimbulkan rasa curiga. Bagaimana pun, hubungan di antara mereka sebagai teman menjadi prioritas.Ya, terlepas dengan apa yang hendak pria itu sampaikan. Synda yakin akan menyangkut hal-hal lebih pribadi. Namun, belum mampu untuk diterka-terka. Lebih baik menunggu.Pergantian detik demi detik terasa lama juga bagi Synda dengan belumnya diungkap oleh Maxel keinginan pria itu. Ia semakin gugup. Kurang percaya diri bisa menjawab dengan tepat atau sesuai yang dikehendaki Maxel."Ada apa, Synda? Kau kenapa?"Digelengkan kepala secara cepat. "Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya se--""Aku suka kau, Synda. Aku mencintaimu."Maxel merasakan debaran jantungnya yang meningkat. Reaksi sangat wajar karena ia baru
Alexander langsung keluar dari kamarnya karena mendengar bel apartemen berbunyi. Menandakan tamu-tamu yang ditunggunya sudah datang. Hampir satu jam menanti.Dilangkahkan kaki dengan santai, tak perlu membukakan pintu. Baik, Synda maupun Barret sudah mengetahui sandi apartemen. Ia hanya perlu menyambut mereka berdua di ruang tamu. Beberapa meter lagi dicapai.Alexander pun memasang senyuman lebar pada wajah. Memang terlihat seperti sebuah seringai. Akan dipamerkan nanti ke Synda. Ia sudah terbayang bagaimana reaksi wanita itu, ekspresi kesal dan delikan mata."Hai, Kawan. Aku datang sendiri."Alexander spontan lebih membelalak akibat tak melihat sosok mantan kekasihnya. "Kau sendiri? Di mana Synda? Apa yang terjadi?""Hahaha. Kau kaget sekali, Kawan."Alexander tidak menjawab. Memilih duduk di sofa. Namun, tak dipindahkan pandangan dari Barret yang mendekatinya. Ia akan menunggu jawaban tanpa harus bertanya lagi. Barret pasti akan buka
"Hei,Dad. Maaf, aku terlambat datang.Dadtidak lama menungguku bukan di sini?"Synda melemparkan tatapan sangat tajam ke sosok saudara sulungnya yang baru saja membuka pintu ruang kerja ayah mereka. Reaksi diperoleh dari Barret hanya berupa senyum tidak bersalah. Dan, hal tersebut sukses membuat Synda semakin kesal."Tidak lama.Dadtahu alasanmu terlambat karena apa kali ini. Dad akan memahami.""Dadmemang sangat memahamiku. Dan, apakah Dad sudah mengatakan pada adikku tentang proyek yang harus ditanganinya?""Benarkah,Dad? Wow, berita sangat bagus. Trims, Dad.""SudahDadberi tahu. Proyek akan berjalan sesuai rencana.Dadyakin adikmu dapat menangani dengan baik. Jika kau tidak ingin dikalahkan. Kau juga harus bekerja keras."Synda langsung membalas tatapan Barret dengan senyuman bangga yang terkesan juga sedikit angkuh. Memang sengaja untuk diperlihatkan agar saudara sulungnya it
Synda semakin kehilangan konsentrasinya dalam bekerja karena durasi keberadaan di apartemen Alexander yang bertambah. Hampir dua jam lamanya. Hanya sendirian.Entah kapan dirinya bisa pergi, belum dapat diprediksi dengan tepat, sebab harus menunggu mantan kekasihnya itu kembali ke apartemen terlebih dahulu. Belum pasti.Synda pun merutuki kejengkelan dirinya yang sudah beri izin pria itu meninggalkan apartemen karena tidak ingin dekat lama-lama dengan Alexander. Namun, menjadi bumerang baginya juga. Tidak dipikirkannya secara matang.Tak ada hal bisa dilakukan, selain menanti sampai sang mantan kekasih kembali. Harusnya, ia senang. Tentram dalam menyelesaikan tugasnya tanpa ada gangguan. Tetapi, justru konsentrasi semakin mengalami perpecahan di dalam kepala.Penyebab utama karena kembali terbangunnya memori kebersamaan dengan Alexander yang pernah dilalui, ketika mereka masih menjadi pasangan kekasih. Terutama, tentang percintaan panas yang kerap dilakuk
"Haahhh, masih ada dua lagi," gumam Synda dengan embusan napasnya yang panjang.Setelah memutuskan untuk bergabung di perusahaan, Synda selalu mengisi hari-hari kerjanya dengan kerumitan. Begitu banyak dokumen yang harus diperiksa, dikoreksi, dan bahkan dibuat ulang sesekali juga.Isi kepala sudah pasti terkuras dikarenakan memang membutuhkan cara berpikir yang keras, terlebih ketika menangani dan juga menuntaskan urusan beberapa proyek besar diberikan oleh sang ayah kepadanya.Synda hanya akan mempunyai tujuan serta konsentrasi untuk menyelesaikan dengan hasil terbaik yang bisa dilakukannya. Sudah menjadi kewajiban bagi Synda. Ia harus bisa membuktikan diri bahwa memang memiliki potensi dan kemampuan dalam berbisnis."Sayang, apa yang sedang kau kerjakan?"Synda pun langsung bangun dari kursi kerja tengah ditempati mendengar suara dan juga sosok sang ayah. Dengan langkah kaki cukup cepat, Synda berjalan ke arah sofa. Di mana, ayahnya sedang ingin
Seringaian Alexander tampak semakin puas, tentu dirinya menebak karena jawaban yang telah ia luncurkan. Synda pun mengutuk di dalam hati akan balasan dilontarkannya.Jika dipikirkan ulang kembali, terutama dari nada bicaranya, memanglah menunjukkan antusiasme tinggi akan apa yang Alexander hendak lakukan. Seakan juga menginginkan pria itu dengan hasrat tidak terbendung.Dan, pantas saja Alexander memerlihatkan reaksi begitu senang. Sepasang mata mantan kekasihnya itu juga memancarkan semakin nyata kebanggaan. Tentu, sorot tantangan turut bertambah, memandang dirinya."Kau mengatakan apa tadi, Sayang? Tidak terlalu jelas aku dengar. Bisa kau ulangi?"Synda menggeleng cepat. Ekspresinya tetap dibuat datar. Dan, dipilih melakukan upaya untuk menjauhkan badan dari kungkungan Alexander. Usahanya tak berjalan baik. Pria itu justru mengeratkan rengkuhan. Peluang untuk melepaskan bertambah kecil.Synda memutuskan menjalankan rencana kedua yang dirasa akan