Synda hanya dapat mengerjap-ngerjapkan mata sembari melakukan penarikan serta juga pembuangan napas beberapa kali. Tak ada hal lain yang bisa dilakukan. Misalkan saja menggerakkan tubuhnya, terasa sangat mustahil. Walau, sudah pernah dicobanya.
Dekapan Alexander terlalu kuat. Tidak ada celah baginya menunjukkan perlawanan. Berbaring di atas kasur bersama yang tentu membuat Syinda sangat merasa tak nyaman. Mereka berdua tidak memiliki jarak sama sekali memisahkan. Ia pun dapat merasakan napas halus dan teratur Alexander Dominiq yang sedang tertidur dengan nyenyaknya.
Sudah hampir selama dua jam, tidak mampu Synda untuk melakukan perubahan posisi mereka. Pelukan pria itu belum berkurang. Masih kencang lengan-lengan kokok sang manta kekasih memerangkapkan tubuhnya.
Synda lelah. Beragam cara telah berupaya ia lakukan. Namun, tak ada yang berhasil. Dan tidak ada pilihan lain lagi. Synda memilih menyerah. Membiarkan Alexander untuk memeluknya terus. Ia juga sudah mulai lelah dan mengantuk. Tetapi, tidak mudah memejamkan mata dengan keadaan yang baginya buruk. Synda yakin akan insomnia.
"Hei, Miss Sydney. Aku merindukanmu."
Seketika Synda disergap oleh perasaan aneh. Yang mampu menimbulkan sensasi tidak wajar untuk dirinya. Merinding sekaligus tergelitik oleh bisikan lembut diberi sang mantan kekasih di bagian telinga kiri. Nada mesra yang pernah didengarkan. Bahkan, bisa tergolong sangatlah sering diperoleh. Ya, saat mereka masih sebagai kekasih.
Dan, ketegangan pada tubuh semakin kuat Synda rasakan, saat dekapan dilakukan oleh Alexander mengencang. Bersamaan dengan wajah yang juga kian didekatkan padanya.
"Aku sangat merindukanmu. Hampir setiap hari aku memikirkanmu. Ya, setiap saat."
Synda memilih menolehkan kepala ke sosok sang mantan kekasih. Ia ingin memastikan bagaimana sesungguhnya ekspresi dari pria itu, ketika mengucapkan kata-kata memiliki makna yang dalam tersebut dengan alunan nada suara mengesankan juga kesungguhan.
Diluar ekspektasi, Synda tak menemukan pria itu tengah memandangnya. Kedua mata Alexander tertutup dengan rapat. Embusan napas sang mantan kekasih masih teratur. Synda pun langsung menarik kesimpulan jika pria itu hanya sebatas mengigau.
Tidak ada harapan lebih yang seharusnya terpikirkan tadi. Hanya akan jauh dari bukti dan kenyataan yang sebenarnya. Synda pun harus mengakui kebodohannya sendiri serta ekspektasi juga terlalu tinggi dibayangkan.
"Aku merindukanmu. Hanya kau yang aku masih inginkan. Bukanlah, wanita lain."
"Apa kau sungguh menginginkanku? Alasan apa yang masuk akal untuk membuktikan jika kau tidak tertarik dengan wanita lain, seperti yang kau katakan?" Synda spontan bertanya dan juga sarat ingin tahu besar.
Pertanyaan dilontarkannya memang konyol, disaat Alexander dalam keadaan mabuk. Ia justru berharap pria itu menjawab dengan benar. Keinginan yang semakin tidak masuk akal. Synda menyadari kebodohannya lagi.
Menggeruti kekonyolan pikiran dan harapan secara tak langsung ingin dipercayai. Synda merasa ia sudah sangat salah menerapkan keyakinan akan ucapan mantan kekasihnya.
"Aku belum bisa melupakanmu, sejak kita resmi berpisah. Aku tidak ingin mendekati wanita lain. Rasanya, aku tidak akan bisa."
Synda mendengar dengan begitu jelas kata demi kata dilontarkan Alexander. Ia pun telah memikirkan balasan yang tepat, tetapi tak langsung dikeluarkan begitu saja. Lebih dahulu, Synda melakukan penarikan dan pembuangan napas beberapa kali guna menetralkan kegugupan yang kian nyata.
"Kau sedang mabuk. Lebih baik kau tidur saja dibandingkan harus berkata yan--"
Synda tidak dapat meneruskan kalimatnya karena mendapatkan ciuman tiba-tiba lagi dari Alexander. Pria itu memagut bibirnya pelan dan lembut.
Membuat Synda melayang. Ia sering mendapatkan cumbuan seperti ini, saat mereka masih menjalin kasih bersama.
Sensasi lain mulai dirasakannya. Sering muncul dahulu ketika Alexander sudah melakukan pemanasan, sebelum sesi percintaan membara di antara mereka berdua dimulai.
Dorongan pelan dilakukan pada tubuh sang mantan kekasih hingga ciuman di bibir dilepaskan.
Mengantisipasi secepat mungkin agar tidak semakin menciptakan hal-hal yang diluar akal sehat dan membuatnya menginginkan Alexander lebih jauh.
Tak boleh sampai tercipta gairah besar yang berakhir dengan pergulatan panas di atas kasur nantinya melibatkan mereka.
"Kau tidak merindukanku, Sayang? Apa hanya diriku saja masih menyukaimu, Synda?"
"Hmm, harus aku perjelas lagi.""Kau ingin memperjelas tentang apa?" tanya Synda dengan nada canggung. Kian tidak nyaman. Namun, tetap tersenyum lebar.Sikap yang dirasanya harus ditunjukkan di hadapan Maxel agar tak menimbulkan rasa curiga. Bagaimana pun, hubungan di antara mereka sebagai teman menjadi prioritas.Ya, terlepas dengan apa yang hendak pria itu sampaikan. Synda yakin akan menyangkut hal-hal lebih pribadi. Namun, belum mampu untuk diterka-terka. Lebih baik menunggu.Pergantian detik demi detik terasa lama juga bagi Synda dengan belumnya diungkap oleh Maxel keinginan pria itu. Ia semakin gugup. Kurang percaya diri bisa menjawab dengan tepat atau sesuai yang dikehendaki Maxel."Ada apa, Synda? Kau kenapa?"Digelengkan kepala secara cepat. "Aku tidak apa-apa. Seharusnya aku yang bertanya se--""Aku suka kau, Synda. Aku mencintaimu."Maxel merasakan debaran jantungnya yang meningkat. Reaksi sangat wajar karena ia baru
Alexander langsung keluar dari kamarnya karena mendengar bel apartemen berbunyi. Menandakan tamu-tamu yang ditunggunya sudah datang. Hampir satu jam menanti.Dilangkahkan kaki dengan santai, tak perlu membukakan pintu. Baik, Synda maupun Barret sudah mengetahui sandi apartemen. Ia hanya perlu menyambut mereka berdua di ruang tamu. Beberapa meter lagi dicapai.Alexander pun memasang senyuman lebar pada wajah. Memang terlihat seperti sebuah seringai. Akan dipamerkan nanti ke Synda. Ia sudah terbayang bagaimana reaksi wanita itu, ekspresi kesal dan delikan mata."Hai, Kawan. Aku datang sendiri."Alexander spontan lebih membelalak akibat tak melihat sosok mantan kekasihnya. "Kau sendiri? Di mana Synda? Apa yang terjadi?""Hahaha. Kau kaget sekali, Kawan."Alexander tidak menjawab. Memilih duduk di sofa. Namun, tak dipindahkan pandangan dari Barret yang mendekatinya. Ia akan menunggu jawaban tanpa harus bertanya lagi. Barret pasti akan buka
"Hei,Dad. Maaf, aku terlambat datang.Dadtidak lama menungguku bukan di sini?"Synda melemparkan tatapan sangat tajam ke sosok saudara sulungnya yang baru saja membuka pintu ruang kerja ayah mereka. Reaksi diperoleh dari Barret hanya berupa senyum tidak bersalah. Dan, hal tersebut sukses membuat Synda semakin kesal."Tidak lama.Dadtahu alasanmu terlambat karena apa kali ini. Dad akan memahami.""Dadmemang sangat memahamiku. Dan, apakah Dad sudah mengatakan pada adikku tentang proyek yang harus ditanganinya?""Benarkah,Dad? Wow, berita sangat bagus. Trims, Dad.""SudahDadberi tahu. Proyek akan berjalan sesuai rencana.Dadyakin adikmu dapat menangani dengan baik. Jika kau tidak ingin dikalahkan. Kau juga harus bekerja keras."Synda langsung membalas tatapan Barret dengan senyuman bangga yang terkesan juga sedikit angkuh. Memang sengaja untuk diperlihatkan agar saudara sulungnya it
Synda semakin kehilangan konsentrasinya dalam bekerja karena durasi keberadaan di apartemen Alexander yang bertambah. Hampir dua jam lamanya. Hanya sendirian.Entah kapan dirinya bisa pergi, belum dapat diprediksi dengan tepat, sebab harus menunggu mantan kekasihnya itu kembali ke apartemen terlebih dahulu. Belum pasti.Synda pun merutuki kejengkelan dirinya yang sudah beri izin pria itu meninggalkan apartemen karena tidak ingin dekat lama-lama dengan Alexander. Namun, menjadi bumerang baginya juga. Tidak dipikirkannya secara matang.Tak ada hal bisa dilakukan, selain menanti sampai sang mantan kekasih kembali. Harusnya, ia senang. Tentram dalam menyelesaikan tugasnya tanpa ada gangguan. Tetapi, justru konsentrasi semakin mengalami perpecahan di dalam kepala.Penyebab utama karena kembali terbangunnya memori kebersamaan dengan Alexander yang pernah dilalui, ketika mereka masih menjadi pasangan kekasih. Terutama, tentang percintaan panas yang kerap dilakuk
"Haahhh, masih ada dua lagi," gumam Synda dengan embusan napasnya yang panjang.Setelah memutuskan untuk bergabung di perusahaan, Synda selalu mengisi hari-hari kerjanya dengan kerumitan. Begitu banyak dokumen yang harus diperiksa, dikoreksi, dan bahkan dibuat ulang sesekali juga.Isi kepala sudah pasti terkuras dikarenakan memang membutuhkan cara berpikir yang keras, terlebih ketika menangani dan juga menuntaskan urusan beberapa proyek besar diberikan oleh sang ayah kepadanya.Synda hanya akan mempunyai tujuan serta konsentrasi untuk menyelesaikan dengan hasil terbaik yang bisa dilakukannya. Sudah menjadi kewajiban bagi Synda. Ia harus bisa membuktikan diri bahwa memang memiliki potensi dan kemampuan dalam berbisnis."Sayang, apa yang sedang kau kerjakan?"Synda pun langsung bangun dari kursi kerja tengah ditempati mendengar suara dan juga sosok sang ayah. Dengan langkah kaki cukup cepat, Synda berjalan ke arah sofa. Di mana, ayahnya sedang ingin
Seringaian Alexander tampak semakin puas, tentu dirinya menebak karena jawaban yang telah ia luncurkan. Synda pun mengutuk di dalam hati akan balasan dilontarkannya.Jika dipikirkan ulang kembali, terutama dari nada bicaranya, memanglah menunjukkan antusiasme tinggi akan apa yang Alexander hendak lakukan. Seakan juga menginginkan pria itu dengan hasrat tidak terbendung.Dan, pantas saja Alexander memerlihatkan reaksi begitu senang. Sepasang mata mantan kekasihnya itu juga memancarkan semakin nyata kebanggaan. Tentu, sorot tantangan turut bertambah, memandang dirinya."Kau mengatakan apa tadi, Sayang? Tidak terlalu jelas aku dengar. Bisa kau ulangi?"Synda menggeleng cepat. Ekspresinya tetap dibuat datar. Dan, dipilih melakukan upaya untuk menjauhkan badan dari kungkungan Alexander. Usahanya tak berjalan baik. Pria itu justru mengeratkan rengkuhan. Peluang untuk melepaskan bertambah kecil.Synda memutuskan menjalankan rencana kedua yang dirasa akan