Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Mas Andra hanya diam tanpa bicara. Pikiranku berkecamuk. Mulut memang tak bersuara tapi di kepalaku penuh dengan pertanyaan dan perdebatan. Ada badai yang menghantam dan meluluhlantakkan kepercayaan yang selama ini aku bangun untuk Mas Andra.
Aku ingin cepat sampai ke rumah, agar bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada. Kepala terasa berdenyut seakan ingin pecah.
“Pelan-pelan, Naira. Jangan ngebut! Di depan sana lampu merah!” tegur Mas Andra. Ia terlihat sedikit gemetar saat memegang sabuk pengaman dengan erat.
Aku terkesiap saat tahu kalau tanpa sadar sudah memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untunglah aku masih sempat menurunkan kecepatan begitu mendekati lampu merah. Badan Mas Andra terhuyung ke depan saat kakiku menginjak rem sedikit mendadak.
Terlintas lagi apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Setelah melakukan pengecekan dan tes darah, tentu saja hasilnya keluar dan aku dinyatakan sehat. Mungkinkah ini salah satu cara Tuhan menjagaku dari bahaya? Mas Andra belum sempat menyentuhku sama sekali karena ia sedang sakit dan juga aku sedang berhalangan. Seandainya kemarin kami bercampur sebagai suami istri, mungkin ceritanya akan beda lagi.
Rasa tak sabaran memuncak karena detik-detik yang berlalu di lampu merah terasa begitu lama. Aku berulang kali menoleh ke luar jendela, mencoba untuk mengalihkan pikiran. Kalau saja tak memikirkan sedang berada di rumah sakit, mungkin tadi Mas Andra sudah habis aku kuliti dengan pertanyaan. Dua buah map hasil tes lab dan setumpuk obat-obatan untuk Mas Andra, aku taruh begitu saja di bangku belakang.
Lampu hijau menyala, aku segera memacu mobil dengan kecepatan sedang-tinggi. Jika tadi pagi kami lalui jalan ini dengan rasa damai, maka saat ini sebaliknya. Tunggulah saat kita sampai di rumah nanti, Mas!
*
“Lama sekali, sih! Mama capek ngurusin Fadil. Banyak maunya!” protes Mama mertua saat kami turun dari mobil.
Fadil yang melihatku, langsung berlari dan memeluk. Bocah berumur empat tahun itu sengaja tak aku bawa serta ke rumah sakit, karena rasanya kurang aman.
“Maaf, Ma. Tadi antri di sana,” jawab Mas Andra, sambil melirikku sekilas.
“Halah, alasan aja kalian! Jangan-jangan kalian habis jalan-jalan, ya? Sengaja ninggalin Mama buat jagain Fadil!”
Sungguh muak sekali aku mendengar tuduhan Mama. Andai ia tahu apa yang sudah terjadi di rumah sakit. Apakah mulutnya yang cerewet dan suka asal bicara itu masih akan terus merepet?
“Nggak, Ma. Tadi emang beneran rame di rumah sakit! Gak mungkin lagi sakit gini jalan-jalan,” balas Mas Andra yang segera mengambil amplop dan obatnya dari dalam mobil.
“Ahh, pokoknya Mama capek! Kalian beli makanan, gak?” tanya Mama lagi, lehernya menjulur-julur dan matanya jelalatan melihat ke dalam mobil.
“Nanti Andra pesan Gofood, Ma. Tadi gak sempat mampir ke mana-mana.”
Mama menghentakkan kaki dan melirikku sinis. Aku hanya diam, lantas mengajak Fadil masuk ke kamar. Mama masih terus mengoceh ini dan itu, seperti biasa. Padahal di dapur sudah aku siapkan makanan yang cukup. Kulkas pun penuh berisi. Tak pernah aku menyia-nyiakan Mama mertua meskipun ia tak pernah menghargaiku sampai detik ini.
“Fadil tadi gak nakal kan, sama Oma?” tanyaku pada Fadil sambil mengusap rambutnya yang hitam legam.
Bocah berwajah mirip Mas Andra itu menggeleng pelan. Matanya sendu dan sedikit berkaca-kaca. Entah apa yang terjadi di rumah selama aku tinggalkan ia bersama Mama. Biasanya aku tak pernah meninggalkan Fadil ke manapun pergi. Hanya saja, tadi aku benar-benar terpaksa.
“Ta-tadi, Fadil minta masakan mie sama Oma … tapi ….” Bibir mungilnya bergetar, Anak lelakiku yang tampan itu tertunduk dalam.
Aku segera berjongkok sambil memegang bahunya. “Hey, lihat Bunda, Sayang. Terus gimana tadi? Dibikinin gak, sama Oma?” Aku mengusap pundaknya lembut.
Kepalanya menggeleng pelan. Tangannya menyeka mata yang sedikit basah. Ya Tuhan, anakku menangis?
“Oma malah marah-marah …. Ka-kata Oma, Oma capek ngasuh Fadil. Fadil banyak maunya. Fadil disuruh tunggu Bunda, gak boleh keluar kamar ….”
Usai mengucapkan kalimat itu, isakannya terdengar. Aku segera memeluknya dengan lembut. Tega, sungguh tega Mama memperlakukan cucunya sendiri seperti ini. Padahal, Fadil adalah anak yang sangat penurut. Ia tak pernah membuat masalah besar walaupun masih berumur empat tahun. Ia hanya minta dibuatkan mie saja tapi Mama tega berbuat dan berkata begitu? Dadaku bergemuruh.
“Gitu ya, Sayang? Ya udah, maafin Oma ya. Mungkin tadi Oma lagi bener-bener capek. Bunda juga minta maaf, tadi lama temenin Ayah berobat.” Aku terus mengusap lembut punggung Fadil. Isakannya mereda.
“Iya, Bunda … gak apa-apa. Fadil seneng Bunda sama Ayah udah pulang,” ucapnya dengan senyum terkembang.
Ah, anakku yang tampan. Betapa Bunda sayang padamu, Nak. Semoga kamu tumbuh menjadi sosok lelaki yang pengasih dan jujur.
“Sekarang, Fadil masih mau mie, gak? Kalau mau, Bunda bikinin! Tapi Bunda mandi, trus ganti baju dulu, ya?” Tanganku mencolek-colek pinggangnya, membuat Fadil terkikik geli.
Wajah lelaki kecilku seketika sumringah. Matanya berbinar-binar menunjukkan rasa gembira.
“Oke, Bunda! Fadil mau!” teriaknya riang.
*
“Obatmu sudah diminum, Mas?” tanyaku acuh tak acuh pada Mas Andra yang meringkuk di atas ranjang.
Ia membuka mata, menatap wajahku. Entah seperti apa perbincangan ini harus aku mulai. Mas Andra tampaknya sama sekali tak berniat memberikan penjelasan mengenai kondisinya.
“Su-sudah, Dek,” jawabnya gugup. Gelagat Mas Andra seperti orang yang sedang gelisah.
Aku menatapnya tajam. Menelisik sosok itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia terlihat baik-baik saja, terlepas dari ruam-ruam dan gejala lain yang dialaminya.
“Menurutmu, apa kita tidak perlu bicara, Mas?” desisku, beranjak untuk duduk di depan meja rias.
“Bi-bicara apa, Nai?”
“Masih berlagak bodoh kamu, Mas? S-I-F-I-L-I-S. Bagaimana penyakit itu bisa hinggap di tubuhmu? Bisa jelaskan?”
Tatapan kami bersiborok. Ada rasa takut dan sedih di mata Mas Andra. Entah apa yang ia lihat di dalam mataku? Mungkin bara api. Bibirnya terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, kemudian mengatup lagi. Sungguh membuatku tak sabaran.
“Gak ada penjelasan dari kamu, Mas? Ayolah, kenapa bisa begini?!” desakku.
“Mas be-benar-benar gak tau, Nai! Bisa jadi diagnosa dokter Budi salah! Atau hasil tes Lab-nya yang salah! Entahlah!” jawabnya sembari mengusap wajah dengan kasar.
Aku tersenyum kecut dan menggelengkan kepala. Mas Andra masih saja bersikeras kalau dokter Budi salah. Bahkan tadi di rumah sakit, ia sungguh marah tak terima.
“Mas pikir kenapa tadi kita direkomdasikan untuk menemui dokter Budi saat konsultasi di poli umum? Beliau adalah salah satu dokter spesialis kulit dan k*lamin terbaik di kota ini, Mas!” tandasku, berusaha untuk tak berbicara terlalu kencang.
“Jadi, maksud kamu apa, Nai?” Mas Andra memandangiku lekat.
“Maksudku, kemungkinan kalau diagnosanya salah itu sangat kecil, Mas! Hasil Lab pun tak mungkin tertukar. Untuk menuduh mereka tidak profesional, menurutku terlalu mengada-ada!”
Aku mulai menyisir rambut dengan pelan. Mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang menghadapi situasi ini. Situasi yang aku pun tak tahu apa namanya. Kacau? Menyedihkan? Entahlah. Yang jelas, suamiku menderita penyakit k*lamin yang ia sendiri bahkan tak tahu dari mana asalnya. Bukan, sepertinya bukan tak tahu. Aku yakin Mas Andra punya jawabannya, ia hanya mencoba untuk mengelabuiku saat ini.
“Ya … bi-bisa saja, kan? Dari 100 persen itu, pasti ada kemungkinan salah meski hanya 0,0001 persen saja!” Mas Andra masih bersikeras.
Aku hanya bisa melengos mendengar jawaban Mas Andra. Tampak sekali kalau ia sedang membela diri. Apa yang kau tutupi, Mas?
“Oke, oke kalau begitu. Aku terima kalau Mas gak yakin. Jadi, besok bersiaplah, kita akan periksa di dua rumah sakit lainnya sebagai pembuktian dan perbandingan. Kita lihat hasilnya seperti apa!” tantangku.
Mata Mas Andra melebar sempurna. Tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Ia seperti kucing yang sedang ketakutan, berlindung di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya.
“A-apa perlu sampai begitu, Nai?” tanya Mas Andra tergagap.
Aku mengamati bayangan Mas Andra dari pantulan cermin.
“Lho, kenapa? Bukankah Mas sendiri yang gak percaya sama dokter Budi? Berarti sebaiknya kita periksa lagi ke dokter lain, kan? Biar yakin betul, penyakit apa yang sedang bersarang di tubuhmu.” Dahiku berkerut.
Hening. Tak ada jawaban dari Mas Andra. Ia hanya diam membisu. Wajahnya tertunduk dalam. Andai aku tahu apa yang sedang ia pikirkan sekarang.
“Ng-nggak usah, Nai … Mas bakal minum obat dari dokter Budi,” ucapnya kemudian, nyaris tak terdengar.
“Mas yakin?” Ia mengangguk lemah, masih tak berani membalas tatapanku.
“Oke, kalau begitu. Aku anggap Mas terima dengan hasil diagnosa dan tes lab. Berarti hanya tersisa satu pertanyaan lagi dariku, Mas. Aku harap kamu menjawab jujur!” Kali ini aku beranjak dari depan meja rias.
Perlahan aku dekati ranjang. Mas Andra menatapku nanar. Badannya terlihat sedikit gemetar. Ia benar-benar sedang dilanda kecemasan.
“A-apa, Nai?” cicitnya.
“Dari siapa dan di mana kamu dapatkan penyakit itu, Mas?”
***
“Da-dari siapa? Maksud kamu apa sih, Nai? Kamu nuduh Mas macam-macam?!” Suara Mas Andra sedikit meninggi.Aku menghembuskan dan menghirup napas panjang berkali-kali. Tenang Naira, tenang.“Apa Mas pernah memakai jarum suntik sembarangan?” tanyaku, menatapnya lekat.Ia menggeleng cepat. “Ngapain mainan jarum suntik! Pertanyaan aneh!” Mas Andra melipat tangan ke dadanya.“Selama empat bulan di sana, Mas pernah terima transfusi darah tanpa sepengetahuanku?” Mataku menyelidik.“Nggak, lah! Untuk apa juga? Mas kan, gak pernah sakit!” serunya dengan wajah keheranan.Aku mengangguk takzim. “Berarti … kamu tidur dengan siapa, Mas? Kamu selingkuh?” Kali ini mataku tak berkedip. Setiap perubahan raut di wajahnya tampak jelas.Mulai dari mata yang sedikit melebar, mulut yang terbuka, sampai tangan yang terus-terusan mengusap rambut. Suamiku sedang gugup. Aku yakin detak jantungnya tak karuan sekarang.“Ka-kamu jangan asal tuduh, Nai! Bisa-bisanya kamu bicara gitu! Mas cari nafkah mati-matian di
“Nai, Naira! Heh, apa-apaan sih dia? Ndra, istri kamu kenapa sih? Ya ampun, gak sopan banget!” rutuk Mama terdengar samar di telingaku.Aku hiraukan saja ocehannya yang tak lagi terdengar setelah pintu kamar kututup. Momongan lagi katanya? Ya Tuhan, andai keadaan sekarang baik-baik saja seperti dulu, sudah pasti aku akan dengan senang hati menjawab permintaan Mama. Hanya saja, dengan kondisi Mas Andra yang mencurigakan seperti itu … aku menjadi mawas diri. Bahkan, rasa rindu padanya yang tadinya begitu besar di dalam dada, harus aku bunuh dengan tega.Nyatanya aku masihlah seorang wanita dewasa yang normal. Selama empat bulan sudah tak merasakan sentuhan cinta dari Mas Andra, rasanya seperti ada yang hilang. Aku haus, aku rindu, aku ingin, memuaskan hasrat yang lama terpendam.Meskipun dokter Budi mengatakan kalau penyakitnya takkan menular lewat keringat, sentuhan kulit, ataupun air liur, aku tetap saja enggan dan takut menyentuh Mas Andra. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tenta
Widya menyambut kedatanganku dan Fadil dengan senang. Ia tampak bahagia setelah melewati tiga tahun menanti kehadiran sang buah hati. Tak lupa aku serahkan cake dan juga hampers bayi yang tadi aku beli di mall. Fadil terlihat senang melihat adik bayi yang imut dan juga montok. Putri kecil yang sehat dan cantik itu, diberi nama Sahara. “Maaf ya Wid, baru sempat jenguk sekarang. Soalnya kemarin-kemarin gak enak tinggalin Mama di rumah sendirian. Kalau sekarang Mas Andra udah pulang,” ucapku seraya memandangi wajah bayi mungil yang sangat mirip dengan Widya. “Santai aja, Beb. Gue juga paham kok. Alhamdulillah ni baby dah keluar dari perut gue. Kemarin mulesnya ya ampun, ampe sehari semalam!” ujar Widya sambil tertawa-tawa. Aku ikutan tertawa mendengar candaannya. Widya adalah teman dekatku semasa di SMA. Saat lulus kami terpisah karena Widya diterima sebagai mahasiswa kedokteran sedangkan aku mengambil jurusan akuntansi. Selama itu kami masih menjalin komunikasi walaupun jarang bertemu
“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan
Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb
Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T
(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke
Kembali aku periksa dengan teliti. Setiap folder yang berisi beragam aplikasi, aku buka satu per satu. Ternyata memang, Mas Andra memiliki nomor WA lain khusus di tabletnya.Di antara percakapan yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja chat dari banyak perempuan ada di sana. Salah satunya yang paling mencuri perhatian adalah dari Chelly. Beberapa bukti transfer uang antar bank pun tertera dengan jelas. Jantungku bagaikan di remas kuat melihat setiap nominal yang dikirimkan Mas Andra untuk perempuan itu.Setiap bulan Mas Andra mengirimkan 4 sampai 5 juta ke rekeningku dan entah berapa juta ke rekening Mama. Itu pun, terkadang Mama masih merongrong dan mengaturku agar tidak boros. Berbagai macam petuah harus aku patuhi. Jika tidak, maka omelan pedas dari mulutnya akan meluncur bebas. Namun, untuk perempuan itu Mas Andra dengan entengnya mengirimkan 2 sampai 5 juta hanya untuk kenikmatan sesaat yang terlaknat. Belum lagi membayar perempuan-perempuan lainnya. Apa yang akan dikatakan Ma