Share

2. Menolak Fakta

Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Mas Andra hanya diam tanpa bicara. Pikiranku berkecamuk. Mulut memang tak bersuara tapi di kepalaku penuh dengan pertanyaan dan perdebatan. Ada badai yang menghantam dan meluluhlantakkan kepercayaan yang selama ini aku bangun untuk Mas Andra.

Aku ingin cepat sampai ke rumah, agar bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada. Kepala terasa berdenyut seakan ingin pecah.

“Pelan-pelan, Naira. Jangan ngebut! Di depan sana lampu merah!” tegur Mas Andra. Ia terlihat sedikit gemetar saat memegang sabuk pengaman dengan erat.

Aku terkesiap saat tahu kalau tanpa sadar sudah memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untunglah aku masih sempat menurunkan kecepatan begitu mendekati lampu merah. Badan Mas Andra terhuyung ke depan saat kakiku menginjak rem sedikit mendadak.

Terlintas lagi apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Setelah melakukan pengecekan dan tes darah, tentu saja hasilnya keluar dan aku dinyatakan sehat. Mungkinkah ini salah satu cara Tuhan menjagaku dari bahaya? Mas Andra belum sempat menyentuhku sama sekali karena ia sedang sakit dan juga aku sedang berhalangan. Seandainya kemarin kami bercampur sebagai suami istri, mungkin ceritanya akan beda lagi.

Rasa tak sabaran memuncak karena detik-detik yang berlalu di lampu merah terasa begitu lama. Aku berulang kali menoleh ke luar jendela, mencoba untuk mengalihkan pikiran. Kalau saja tak memikirkan sedang berada di rumah sakit, mungkin tadi Mas Andra sudah habis aku kuliti dengan pertanyaan. Dua buah map hasil tes lab dan setumpuk obat-obatan untuk Mas Andra, aku taruh begitu saja di bangku belakang.

Lampu hijau menyala, aku segera memacu mobil dengan kecepatan sedang-tinggi. Jika tadi pagi kami lalui jalan ini dengan rasa damai, maka saat ini sebaliknya. Tunggulah saat kita sampai di rumah nanti, Mas!

*

“Lama sekali, sih! Mama capek ngurusin Fadil. Banyak maunya!” protes Mama mertua saat kami turun dari mobil.

Fadil yang melihatku, langsung berlari dan memeluk. Bocah berumur empat tahun itu sengaja tak aku bawa serta ke rumah sakit, karena rasanya kurang aman.

“Maaf, Ma. Tadi antri di sana,” jawab Mas Andra, sambil melirikku sekilas.

“Halah, alasan aja kalian! Jangan-jangan kalian habis jalan-jalan, ya? Sengaja ninggalin Mama buat jagain Fadil!”

Sungguh muak sekali aku mendengar tuduhan Mama. Andai ia tahu apa yang sudah terjadi di rumah sakit. Apakah mulutnya yang cerewet dan suka asal bicara itu masih akan terus merepet?

“Nggak, Ma. Tadi emang beneran rame di rumah sakit! Gak mungkin lagi sakit gini jalan-jalan,” balas Mas Andra yang segera mengambil amplop dan obatnya dari dalam mobil.

“Ahh, pokoknya Mama capek! Kalian beli makanan, gak?” tanya Mama lagi, lehernya menjulur-julur dan matanya jelalatan melihat ke dalam mobil.

“Nanti Andra pesan Gofood, Ma. Tadi gak sempat mampir ke mana-mana.”

Mama menghentakkan kaki dan melirikku sinis. Aku hanya diam, lantas mengajak Fadil masuk ke kamar. Mama masih terus mengoceh ini dan itu, seperti biasa. Padahal di dapur sudah aku siapkan makanan yang cukup. Kulkas pun penuh berisi. Tak pernah aku menyia-nyiakan Mama mertua meskipun ia tak pernah menghargaiku sampai detik ini.

“Fadil tadi gak nakal kan, sama Oma?” tanyaku pada Fadil sambil mengusap rambutnya yang hitam legam.

Bocah berwajah mirip Mas Andra itu menggeleng pelan. Matanya sendu dan sedikit berkaca-kaca. Entah apa yang terjadi di rumah selama aku tinggalkan ia bersama Mama. Biasanya aku tak pernah meninggalkan Fadil ke manapun pergi. Hanya saja, tadi aku benar-benar terpaksa.

“Ta-tadi, Fadil minta masakan mie sama Oma … tapi ….” Bibir mungilnya bergetar, Anak lelakiku yang tampan itu tertunduk dalam.

Aku segera berjongkok sambil memegang bahunya. “Hey, lihat Bunda, Sayang. Terus gimana tadi? Dibikinin gak, sama Oma?” Aku mengusap pundaknya lembut.

Kepalanya menggeleng pelan. Tangannya menyeka mata yang sedikit basah. Ya Tuhan, anakku menangis?

“Oma malah marah-marah …. Ka-kata Oma, Oma capek ngasuh Fadil. Fadil banyak maunya. Fadil disuruh tunggu Bunda, gak boleh keluar kamar ….”

Usai mengucapkan kalimat itu, isakannya terdengar. Aku segera memeluknya dengan lembut. Tega, sungguh tega Mama memperlakukan cucunya sendiri seperti ini. Padahal, Fadil adalah anak yang sangat penurut. Ia tak pernah membuat masalah besar walaupun masih berumur empat tahun. Ia hanya minta dibuatkan mie saja tapi Mama tega berbuat dan berkata begitu? Dadaku bergemuruh.

“Gitu ya, Sayang? Ya udah, maafin Oma ya. Mungkin tadi Oma lagi bener-bener capek. Bunda juga minta maaf, tadi lama temenin Ayah berobat.” Aku terus mengusap lembut punggung Fadil. Isakannya mereda.

“Iya, Bunda … gak apa-apa. Fadil seneng Bunda sama Ayah udah pulang,” ucapnya dengan senyum terkembang.

Ah, anakku yang tampan. Betapa Bunda sayang padamu, Nak. Semoga kamu tumbuh menjadi sosok lelaki yang pengasih dan jujur.

“Sekarang, Fadil masih mau mie, gak? Kalau mau, Bunda bikinin! Tapi Bunda mandi, trus ganti baju dulu, ya?” Tanganku mencolek-colek pinggangnya, membuat Fadil terkikik geli.

Wajah lelaki kecilku seketika sumringah. Matanya berbinar-binar menunjukkan rasa gembira.

“Oke, Bunda! Fadil mau!” teriaknya riang.

*

“Obatmu sudah diminum, Mas?” tanyaku acuh tak acuh pada Mas Andra yang meringkuk di atas ranjang.

Ia membuka mata, menatap wajahku. Entah seperti apa perbincangan ini harus aku mulai. Mas Andra tampaknya sama sekali tak berniat memberikan penjelasan mengenai kondisinya.

“Su-sudah, Dek,” jawabnya gugup. Gelagat Mas Andra seperti orang yang sedang gelisah.

Aku menatapnya tajam. Menelisik sosok itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ia terlihat baik-baik saja, terlepas dari ruam-ruam dan gejala lain yang dialaminya.

“Menurutmu, apa kita tidak perlu bicara, Mas?” desisku, beranjak untuk duduk di depan meja rias.

“Bi-bicara apa, Nai?”

“Masih berlagak bodoh kamu, Mas? S-I-F-I-L-I-S. Bagaimana penyakit itu bisa hinggap di tubuhmu? Bisa jelaskan?”

Tatapan kami bersiborok. Ada rasa takut dan sedih di mata Mas Andra. Entah apa yang ia lihat di dalam mataku? Mungkin bara api. Bibirnya terbuka, seperti ingin mengatakan sesuatu, kemudian mengatup lagi. Sungguh membuatku tak sabaran.

“Gak ada penjelasan dari kamu, Mas? Ayolah, kenapa bisa begini?!” desakku.

“Mas be-benar-benar gak tau, Nai! Bisa jadi diagnosa dokter Budi salah! Atau hasil tes Lab-nya yang salah! Entahlah!” jawabnya sembari mengusap wajah dengan kasar.

Aku tersenyum kecut dan menggelengkan kepala. Mas Andra masih saja bersikeras kalau dokter Budi salah. Bahkan tadi di rumah sakit, ia sungguh marah tak terima.

“Mas pikir kenapa tadi kita direkomdasikan untuk menemui dokter Budi saat konsultasi di poli umum? Beliau adalah salah satu dokter spesialis kulit dan k*lamin terbaik di kota ini, Mas!” tandasku, berusaha untuk tak berbicara terlalu kencang.

“Jadi, maksud kamu apa, Nai?” Mas Andra memandangiku lekat.

“Maksudku, kemungkinan kalau diagnosanya salah itu sangat kecil, Mas! Hasil Lab pun tak mungkin tertukar. Untuk menuduh mereka tidak profesional, menurutku terlalu mengada-ada!”

Aku mulai menyisir rambut dengan pelan. Mencoba sekuat tenaga untuk tetap tenang menghadapi situasi ini. Situasi yang aku pun tak tahu apa namanya. Kacau? Menyedihkan? Entahlah. Yang jelas, suamiku menderita penyakit k*lamin yang ia sendiri bahkan tak tahu dari mana asalnya. Bukan, sepertinya bukan tak tahu. Aku yakin Mas Andra punya jawabannya, ia hanya mencoba untuk mengelabuiku saat ini.

“Ya … bi-bisa saja, kan? Dari 100 persen itu, pasti ada kemungkinan salah meski hanya 0,0001 persen saja!” Mas Andra masih bersikeras.

Aku hanya bisa melengos mendengar jawaban Mas Andra. Tampak sekali kalau ia sedang membela diri. Apa yang kau tutupi, Mas?

“Oke, oke kalau begitu. Aku terima kalau Mas gak yakin. Jadi, besok bersiaplah, kita akan periksa di dua rumah sakit lainnya sebagai pembuktian dan perbandingan. Kita lihat hasilnya seperti apa!” tantangku.

Mata Mas Andra melebar sempurna. Tangannya mencengkeram selimut dengan erat. Ia seperti kucing yang sedang ketakutan, berlindung di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya.

“A-apa perlu sampai begitu, Nai?” tanya Mas Andra tergagap.

Aku mengamati bayangan Mas Andra dari pantulan cermin.

“Lho, kenapa? Bukankah Mas sendiri yang gak percaya sama dokter Budi? Berarti sebaiknya kita periksa lagi ke dokter lain, kan? Biar yakin betul, penyakit apa yang sedang bersarang di tubuhmu.” Dahiku berkerut.

Hening. Tak ada jawaban dari Mas Andra. Ia hanya diam membisu. Wajahnya tertunduk dalam. Andai aku tahu apa yang sedang ia pikirkan sekarang.

“Ng-nggak usah, Nai … Mas bakal minum obat dari dokter Budi,” ucapnya kemudian, nyaris tak terdengar.

“Mas yakin?”  Ia mengangguk lemah, masih tak berani membalas tatapanku.

“Oke, kalau begitu. Aku anggap Mas terima dengan hasil diagnosa dan tes lab. Berarti hanya tersisa satu pertanyaan lagi dariku, Mas. Aku harap kamu menjawab jujur!” Kali ini aku beranjak dari depan meja rias.

Perlahan aku dekati ranjang. Mas Andra menatapku nanar. Badannya terlihat sedikit gemetar. Ia benar-benar sedang dilanda kecemasan.

“A-apa, Nai?” cicitnya.

“Dari siapa dan di mana kamu dapatkan penyakit itu, Mas?”

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ida Nurjanah
dari Pelacur lah ....mungkin andra jajan selama 4 bln .ga bisa nahan nafsu nya .
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status