Share

Hadiah Pahit dari Suamiku
Hadiah Pahit dari Suamiku
Penulis: Puspa Pebrianti

1. Vonis Dokter

Aku merasa sedikit mual mencium bau obat-obatan yang bercampur dengan aroma pembersih lantai. Benar-benar aroma yang khas memenuhi udara di tiap ruangan rumah sakit. Sementara Mas Andra terlihat gelisah duduk di sampingku. Wajahnya sedikit pucat dan penuh dengan keringat. Ia baru saja menjalani pemeriksaan kesehatan. Saat ini kamu sedang menunggu hasil tes darahnya keluar.

Seminggu yang lalu Mas Andra pulang setelah selama empat bulan mengerjakan proyek di pulau tetangga. Aku tak bisa ikut karena harus merawat ibu mertua dan putra kami satu-satunya. Sejak pulang, Mas Andra mengeluh tak enak badan yang tak kunjung membaik.

Badannya terasa lemas, disertai sakit kepala yang sangat mengganggu. Belum lagi ia mengeluhkan rasa nyeri saat buang air kecil. Bukan itu saja, di beberapa bagian tubuhnya timbul ruam-ruam merah.

Aku yang tadinya amat senang dengan kepulangan Mas Andra, malah menjadi khawatir. Setelah kondisinya semakin memburuk walaupun sudah meminum obat dari apotik, hari ini aku putuskan untuk mengantarnya ke rumah sakit. Tadinya Mas Andra tak mau, tapi aku memaksa dengan sedikit mengancam.

“Nai, kepala Mas pusing sekali,” keluh Mas Andra dengan suara lemas. Ia menyandarkan kepala ke dinding rumah sakit yang putih dan dingin. Tangannya memijit pelipis yang tampak sedikit berkeringat.

Aku menghela napas panjang. “Mas mau aku carikan ranjang untuk istirahat? Aku bisa tanya petugas di depan,” tawarku, tak tega juga melihat keadaannya seperti itu.

Mata Mas Andra terpejam, napasnya sedikit terengah. “Nggak usah, Nai. Kita tunggu di sini aja. Moga hasil lab cepat keluar,” jawabnya.

“Ya udah, aku beli minum di depan dulu. Mas tunggu di sini, ya,” ucapku sembari mengusap pelan punggung tangannya yang terasa sedikit hangat.

Mas Andra tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan. Aku segera bangkit menuju ke mini market yang masih berada di area rumah sakit. Rasa cemas mendera di dalam dada. Sebenarnya sakit apa Mas Andra? Aku masih ingat dengan tatapan dokter yang berulang kali seperti mengasihaniku.

Dengan cepat aku raih dua botol air mineral dan sebungkus biskuit. Khawatir kalau ada apa-apa dengan Mas Andra selama aku tinggalkan. Langkahku terasa gontai, melalui lorong-lorong kamar yang berisi pasien dan tenaga medis yang lalu lalang.

Dahiku berkerut saat sosok Mas Andra sudah tak ada di bangku panjang tempat kami menunggu tadi. Aku edarkan pandangan, tapi tetap tak menemukan ia di mana-mana.

“Maaf, Pak. Apa tadi Bapak lihat suami saya yang pakai baju kaus biru duduk di sini?” tanyaku pada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sana.

“Oh, suami Ibu pakai baju biru celana hitam?” Ia balik bertanya. Aku balas dengan anggukan.

“Tadi dipanggil ke ruangan dokter sana!” Bapak tersebut menunjuk ruangan Dokter Budi.

“Terima kasih, Pak! Saya permisi!”

Dengan langkah cepat aku menyusul Mas Andra. Rupanya saat aku membeli minuman tadi ia dipanggil menuju ke ruangan. Sedikit ragu aku melonggokkan kepala ke dalam. Mas Andra sudah duduk di hadapan Dokter Budi.

“Masuk, Bu Naira!” titah Dokter Budi.

Aku mengangguk dan segera duduk di kursi kosong di samping Mas Andra. Wajah suamiku semakin pucat saja. Apa Dokter Budi sudah menyampaikan penjelasan mengenai penyakitnya?

“Jadi … gimana dengan kondisi suami saya, Dok? Apa hasil tes darahnya sudah keluar?” tanyaku ragu-ragu.

Dokter Budi mengangguk meskipun tatapannya terfokus pada selembar kertas di meja.

“Baik, hasilnya sudah keluar. Saya sengaja menunggu Bu Naira untuk menyampaikan hasilnya. Karena ini berkaitan dengan status Ibu dan Bapak sebagai suami istri,” ucapnya Dokter Budi tenang.

Ia kembali memandangi aku dan Mas Andra bergantian. Perasaanku mulai tak karuan karena gelagat dokter yang sedikit aneh.

“Tadi saya sudah banyak bertanya di awal pada Pak Andra mengenai apa saja yang beliau rasakan selama sakit. Juga sudah dilakukan pengecekan fisik, lalu tes darah. Menurut hasil diagnosa dan juga tes darah, Pak Andra … positif menderita sifilis,” jelas Dokter Budi tenang.

Waktu bagaikan berhenti sejenak. Napasku tertahan, seirama dengan mata yang tak mampu berkedip. Mulutku ingin berkata tapi lidah bagaikan kelu. Apa aku salah dengar? Sifilis? S-I-F-I-L-I-S? Bukankah itu salah satu penyakit kelamin? Ah, tidak mungkin.

“Ma-maaf, Dokter. Apa saya tidak salah dengar?” Mas Andra tak kalah terkejutnya, sampai bertanya seperti itu.

Aku hanya bisa menatap Dokter Budi dengan rasa tak percaya. Dokter itu menggeleng lemah.

“Maaf, tapi Pak Andra betul-betul didiagnosa menderita penyakit sifilis,” ulangnya dengan nada datar dan tenang.

Aku terhenyak. Tanganku menggenggam erat ujung baju. Rasanya seperti mimpi mendengar penjelasan Dokter Andra.

“Ciri utamanya adalah nyeri saat buang air kecil, ruam di area mulut dan sekitar alat k*lamin. Dan yang terpenting, tes darah menunjukkan ciri-ciri penyakit yang dimaksud.”

Aku masih berusaha mencerna penjelasan Dokter Budi saat suara Mas Andra terdengar lagi.

“Ta-tapi, bagaimana mungkin, Dok? Bu-bukankah sifilis itu penyakit k*lamin? Bagaimana mungkin saya menderita penyakit seperti itu? Pasti hasil pemeriksaannya salah!” tegas Mas Andra dengan suara bergetar.

Dokter Budi menghela napas. “Justru itu yang ingin saya tanyakan. Bagaimana Bapak bisa mendapatkan penyakit ini? Maaf, Bapak hanya bisa tertular penyakit ini jika melakukan hubungan s*ksual dengan orang yang juga menderita infeksi sifilis. Bergonta-ganti pasangan, menggunakan jarum suntik yang tidak steril, dan transfusi darah dari orang yang terinfeksi. Satu lagi, sifilis juga bisa ditularkan dari ibu hamil yang terinfeksi ke anak yang dilahirkannya.”

Kali ini jantungku yang rasanya berhenti berdetak. Tidak, tidak mungkin! Apa benar yang dikatakan Dokter Budi? Aku menoleh dan menatap tajam ke arah Mas Andra. Kali ini, ia benar-benar berhutang penjelasan padaku. Dari mana ia mendapatkan penyakit menjijikkan ini? Mas Andra membalas tatapanku dengan mata melebar. Ia menelan ludah berkali-kali. Wajahnya tampak panik dan kalut.

“Sa-saya tidak terima dengan hasil diagnosa ini! Dokter pasti mengada-ada, benar-benar tidak kompeten!” protes Mas Andra, sembari menunjuk Dokter Budi.

Dokter Budi mendesah, alisnya terangkat. Kali ini tatapannya tertuju ke arahku, seperti ingin berkata sesuatu.

“Ayo, Nai! Kita berobat dan periksa ke rumah sakit lain! Mas tidak terima dituduh macam-macam!” Mas Andra menarik tanganku agar berdiri.

Aku bergeming, tak beranjak sedikit pun dari tempat duduk. “Mas … duduk!” titahku.

Mas Andra terdiam. Ia mematung di tempat. Wajahnya sudah pucat, hampir memutih seperti kapas. Keringat sebesar biji jagung membanjiri dahi dan pelipisnya.

“Duduk, Mas. Sekarang!” pintaku dengan wajah datar.

Dengan gerakan kikuk, Mas Andra akhirnya duduk kembali. Badannya sedikit gemetar. Entah apa yang ia takutkan. Jika tidak bersalah, lantas mengapa bertingkah gelisah?

“Apa penyakit ini bisa ditularkan lewat makanan atau pernafasan, Dok? Atau mungkin lewat keringat dan air liur?” tanyaku harap-harap cemas.

Dokter Budi menggeleng. “Umumnya hanya melalui aktivitas yang sudah saya sebutkan tadi,” jawabnya lugas.

Aku mengusap wajah. Belum siap dengan kenyataan kalau Mas Andra benar-benar menderita sifilis. Kutatap lagi wajahnya. Ruam-ruam merah itu tampak nyata di sekitar mulut suamiku. Belum lagi ruam-ruam yang timbul di area privatnya, yang aku lihat saat membantunya membersihkan badan saat demam sore kemarin.

“Apa Bu Naira memiliki keluhan yang sama?” tanya Dokter Budi hati-hati.

Aku segera menggeleng. “Tidak, Dok. Saya merasa sehat, tidak ada keluhan sedikit pun,” jawabku cepat. Nyatanya aku memang sehat-sehat saja. Tak merasakan keluhan sedikit pun, apalagi gejala seperti yang dimiliki Mas Andra.

“Dan satu lagi, maaf, saya harus bertanya. Kapan terakhir kali Bapak dan Ibu melakukan hubungan suami istri?” Kali ini Dokter Budi bertanya dengan sangat hati-hati.

“Benar-benar tidak sopan!” Mas Andra menggebrak meja.

Aku tersentak, terkejut dengan tindakan Mas Andra. Begitu juga dengan Dokter Budi. Biasanya Mas Andra tak pernah emosional seperti ini.

“Mas! Cukup! Tenanglah sedikit! Dokter Budi bukan asal bicara. Dia sudah bertahun-tahun menjadi tenaga medis! Kalau Mas tidak bisa tenang, tunggu di luar saja!” Aku sedikit meninggikan suara.

Mas Andra yang tadinya terlihat lemas, sekarang tampak garang. Ia bangkit dari kursi dan segera keluar ruangan.

“Maaf, Dok. Maafkan sikap suami saya,” ucapku sambil mengatur napas.

“Tidak masalah, saya mengerti. Jadi, apa Ibu bisa menjawab pertanyaan saya tadi?” ulangnya.

“I-iya, Dok. Terakhir kali kami berhubungan … sudah empat bulan yang lalu. Suami saya baru kembali ke rumah seminggu yang lalu setelah menyelesaikan proyek di luar pulau. Kami belum sempat melakukan itu lagi karena saya juga sedang haid,” jawabku dengan kepala tertunduk.

Sungguh, ada rasa malu dan nyeri di hati. Aku benar-benar tak siap dengan kenyataan yang menunggu untuk terkuak. Apakah mungkin kalau Mas Andra …? Ah, entahlah.

“Baik. Kalau begitu, apa Bu Naira bersedia untuk dites darah? Untuk berjaga-jaga. Atau kalau tidak, Bu Naira harap menjaga jarak dulu agar tidak bercampur dengan Pak Andra. Jika ada keluhan, segera konlustasi ke Puskesmas atau rumah sakit.”

Setelah menimbang dan berpikir sejenak, aku akhirnya setuju untuk melakukan tes darah. Ya, aku harus memastikan apakah aku juga sakit atau tidak.

***

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Nah pasti sex sama ce lain tuh di luar pulau. Tkt ketahuan makanya panik nuduh2 sembarangan
goodnovel comment avatar
Bunda Saputri
Mampir thoorr
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status