Aku merasa sedikit mual mencium bau obat-obatan yang bercampur dengan aroma pembersih lantai. Benar-benar aroma yang khas memenuhi udara di tiap ruangan rumah sakit. Sementara Mas Andra terlihat gelisah duduk di sampingku. Wajahnya sedikit pucat dan penuh dengan keringat. Ia baru saja menjalani pemeriksaan kesehatan. Saat ini kamu sedang menunggu hasil tes darahnya keluar.
Seminggu yang lalu Mas Andra pulang setelah selama empat bulan mengerjakan proyek di pulau tetangga. Aku tak bisa ikut karena harus merawat ibu mertua dan putra kami satu-satunya. Sejak pulang, Mas Andra mengeluh tak enak badan yang tak kunjung membaik.
Badannya terasa lemas, disertai sakit kepala yang sangat mengganggu. Belum lagi ia mengeluhkan rasa nyeri saat buang air kecil. Bukan itu saja, di beberapa bagian tubuhnya timbul ruam-ruam merah.
Aku yang tadinya amat senang dengan kepulangan Mas Andra, malah menjadi khawatir. Setelah kondisinya semakin memburuk walaupun sudah meminum obat dari apotik, hari ini aku putuskan untuk mengantarnya ke rumah sakit. Tadinya Mas Andra tak mau, tapi aku memaksa dengan sedikit mengancam.
“Nai, kepala Mas pusing sekali,” keluh Mas Andra dengan suara lemas. Ia menyandarkan kepala ke dinding rumah sakit yang putih dan dingin. Tangannya memijit pelipis yang tampak sedikit berkeringat.
Aku menghela napas panjang. “Mas mau aku carikan ranjang untuk istirahat? Aku bisa tanya petugas di depan,” tawarku, tak tega juga melihat keadaannya seperti itu.
Mata Mas Andra terpejam, napasnya sedikit terengah. “Nggak usah, Nai. Kita tunggu di sini aja. Moga hasil lab cepat keluar,” jawabnya.
“Ya udah, aku beli minum di depan dulu. Mas tunggu di sini, ya,” ucapku sembari mengusap pelan punggung tangannya yang terasa sedikit hangat.
Mas Andra tidak menjawab, ia hanya mengangguk pelan. Aku segera bangkit menuju ke mini market yang masih berada di area rumah sakit. Rasa cemas mendera di dalam dada. Sebenarnya sakit apa Mas Andra? Aku masih ingat dengan tatapan dokter yang berulang kali seperti mengasihaniku.
Dengan cepat aku raih dua botol air mineral dan sebungkus biskuit. Khawatir kalau ada apa-apa dengan Mas Andra selama aku tinggalkan. Langkahku terasa gontai, melalui lorong-lorong kamar yang berisi pasien dan tenaga medis yang lalu lalang.
Dahiku berkerut saat sosok Mas Andra sudah tak ada di bangku panjang tempat kami menunggu tadi. Aku edarkan pandangan, tapi tetap tak menemukan ia di mana-mana.
“Maaf, Pak. Apa tadi Bapak lihat suami saya yang pakai baju kaus biru duduk di sini?” tanyaku pada seorang pria paruh baya yang sedang duduk di sana.
“Oh, suami Ibu pakai baju biru celana hitam?” Ia balik bertanya. Aku balas dengan anggukan.
“Tadi dipanggil ke ruangan dokter sana!” Bapak tersebut menunjuk ruangan Dokter Budi.
“Terima kasih, Pak! Saya permisi!”
Dengan langkah cepat aku menyusul Mas Andra. Rupanya saat aku membeli minuman tadi ia dipanggil menuju ke ruangan. Sedikit ragu aku melonggokkan kepala ke dalam. Mas Andra sudah duduk di hadapan Dokter Budi.
“Masuk, Bu Naira!” titah Dokter Budi.
Aku mengangguk dan segera duduk di kursi kosong di samping Mas Andra. Wajah suamiku semakin pucat saja. Apa Dokter Budi sudah menyampaikan penjelasan mengenai penyakitnya?
“Jadi … gimana dengan kondisi suami saya, Dok? Apa hasil tes darahnya sudah keluar?” tanyaku ragu-ragu.
Dokter Budi mengangguk meskipun tatapannya terfokus pada selembar kertas di meja.
“Baik, hasilnya sudah keluar. Saya sengaja menunggu Bu Naira untuk menyampaikan hasilnya. Karena ini berkaitan dengan status Ibu dan Bapak sebagai suami istri,” ucapnya Dokter Budi tenang.
Ia kembali memandangi aku dan Mas Andra bergantian. Perasaanku mulai tak karuan karena gelagat dokter yang sedikit aneh.
“Tadi saya sudah banyak bertanya di awal pada Pak Andra mengenai apa saja yang beliau rasakan selama sakit. Juga sudah dilakukan pengecekan fisik, lalu tes darah. Menurut hasil diagnosa dan juga tes darah, Pak Andra … positif menderita sifilis,” jelas Dokter Budi tenang.
Waktu bagaikan berhenti sejenak. Napasku tertahan, seirama dengan mata yang tak mampu berkedip. Mulutku ingin berkata tapi lidah bagaikan kelu. Apa aku salah dengar? Sifilis? S-I-F-I-L-I-S? Bukankah itu salah satu penyakit kelamin? Ah, tidak mungkin.
“Ma-maaf, Dokter. Apa saya tidak salah dengar?” Mas Andra tak kalah terkejutnya, sampai bertanya seperti itu.
Aku hanya bisa menatap Dokter Budi dengan rasa tak percaya. Dokter itu menggeleng lemah.
“Maaf, tapi Pak Andra betul-betul didiagnosa menderita penyakit sifilis,” ulangnya dengan nada datar dan tenang.
Aku terhenyak. Tanganku menggenggam erat ujung baju. Rasanya seperti mimpi mendengar penjelasan Dokter Andra.
“Ciri utamanya adalah nyeri saat buang air kecil, ruam di area mulut dan sekitar alat k*lamin. Dan yang terpenting, tes darah menunjukkan ciri-ciri penyakit yang dimaksud.”
Aku masih berusaha mencerna penjelasan Dokter Budi saat suara Mas Andra terdengar lagi.
“Ta-tapi, bagaimana mungkin, Dok? Bu-bukankah sifilis itu penyakit k*lamin? Bagaimana mungkin saya menderita penyakit seperti itu? Pasti hasil pemeriksaannya salah!” tegas Mas Andra dengan suara bergetar.
Dokter Budi menghela napas. “Justru itu yang ingin saya tanyakan. Bagaimana Bapak bisa mendapatkan penyakit ini? Maaf, Bapak hanya bisa tertular penyakit ini jika melakukan hubungan s*ksual dengan orang yang juga menderita infeksi sifilis. Bergonta-ganti pasangan, menggunakan jarum suntik yang tidak steril, dan transfusi darah dari orang yang terinfeksi. Satu lagi, sifilis juga bisa ditularkan dari ibu hamil yang terinfeksi ke anak yang dilahirkannya.”
Kali ini jantungku yang rasanya berhenti berdetak. Tidak, tidak mungkin! Apa benar yang dikatakan Dokter Budi? Aku menoleh dan menatap tajam ke arah Mas Andra. Kali ini, ia benar-benar berhutang penjelasan padaku. Dari mana ia mendapatkan penyakit menjijikkan ini? Mas Andra membalas tatapanku dengan mata melebar. Ia menelan ludah berkali-kali. Wajahnya tampak panik dan kalut.
“Sa-saya tidak terima dengan hasil diagnosa ini! Dokter pasti mengada-ada, benar-benar tidak kompeten!” protes Mas Andra, sembari menunjuk Dokter Budi.
Dokter Budi mendesah, alisnya terangkat. Kali ini tatapannya tertuju ke arahku, seperti ingin berkata sesuatu.
“Ayo, Nai! Kita berobat dan periksa ke rumah sakit lain! Mas tidak terima dituduh macam-macam!” Mas Andra menarik tanganku agar berdiri.
Aku bergeming, tak beranjak sedikit pun dari tempat duduk. “Mas … duduk!” titahku.
Mas Andra terdiam. Ia mematung di tempat. Wajahnya sudah pucat, hampir memutih seperti kapas. Keringat sebesar biji jagung membanjiri dahi dan pelipisnya.
“Duduk, Mas. Sekarang!” pintaku dengan wajah datar.
Dengan gerakan kikuk, Mas Andra akhirnya duduk kembali. Badannya sedikit gemetar. Entah apa yang ia takutkan. Jika tidak bersalah, lantas mengapa bertingkah gelisah?
“Apa penyakit ini bisa ditularkan lewat makanan atau pernafasan, Dok? Atau mungkin lewat keringat dan air liur?” tanyaku harap-harap cemas.
Dokter Budi menggeleng. “Umumnya hanya melalui aktivitas yang sudah saya sebutkan tadi,” jawabnya lugas.
Aku mengusap wajah. Belum siap dengan kenyataan kalau Mas Andra benar-benar menderita sifilis. Kutatap lagi wajahnya. Ruam-ruam merah itu tampak nyata di sekitar mulut suamiku. Belum lagi ruam-ruam yang timbul di area privatnya, yang aku lihat saat membantunya membersihkan badan saat demam sore kemarin.
“Apa Bu Naira memiliki keluhan yang sama?” tanya Dokter Budi hati-hati.
Aku segera menggeleng. “Tidak, Dok. Saya merasa sehat, tidak ada keluhan sedikit pun,” jawabku cepat. Nyatanya aku memang sehat-sehat saja. Tak merasakan keluhan sedikit pun, apalagi gejala seperti yang dimiliki Mas Andra.
“Dan satu lagi, maaf, saya harus bertanya. Kapan terakhir kali Bapak dan Ibu melakukan hubungan suami istri?” Kali ini Dokter Budi bertanya dengan sangat hati-hati.
“Benar-benar tidak sopan!” Mas Andra menggebrak meja.
Aku tersentak, terkejut dengan tindakan Mas Andra. Begitu juga dengan Dokter Budi. Biasanya Mas Andra tak pernah emosional seperti ini.
“Mas! Cukup! Tenanglah sedikit! Dokter Budi bukan asal bicara. Dia sudah bertahun-tahun menjadi tenaga medis! Kalau Mas tidak bisa tenang, tunggu di luar saja!” Aku sedikit meninggikan suara.
Mas Andra yang tadinya terlihat lemas, sekarang tampak garang. Ia bangkit dari kursi dan segera keluar ruangan.
“Maaf, Dok. Maafkan sikap suami saya,” ucapku sambil mengatur napas.
“Tidak masalah, saya mengerti. Jadi, apa Ibu bisa menjawab pertanyaan saya tadi?” ulangnya.
“I-iya, Dok. Terakhir kali kami berhubungan … sudah empat bulan yang lalu. Suami saya baru kembali ke rumah seminggu yang lalu setelah menyelesaikan proyek di luar pulau. Kami belum sempat melakukan itu lagi karena saya juga sedang haid,” jawabku dengan kepala tertunduk.
Sungguh, ada rasa malu dan nyeri di hati. Aku benar-benar tak siap dengan kenyataan yang menunggu untuk terkuak. Apakah mungkin kalau Mas Andra …? Ah, entahlah.
“Baik. Kalau begitu, apa Bu Naira bersedia untuk dites darah? Untuk berjaga-jaga. Atau kalau tidak, Bu Naira harap menjaga jarak dulu agar tidak bercampur dengan Pak Andra. Jika ada keluhan, segera konlustasi ke Puskesmas atau rumah sakit.”
Setelah menimbang dan berpikir sejenak, aku akhirnya setuju untuk melakukan tes darah. Ya, aku harus memastikan apakah aku juga sakit atau tidak.
***
Sepanjang perjalanan pulang, aku dan Mas Andra hanya diam tanpa bicara. Pikiranku berkecamuk. Mulut memang tak bersuara tapi di kepalaku penuh dengan pertanyaan dan perdebatan. Ada badai yang menghantam dan meluluhlantakkan kepercayaan yang selama ini aku bangun untuk Mas Andra.Aku ingin cepat sampai ke rumah, agar bisa mengeluarkan semua uneg-uneg yang ada. Kepala terasa berdenyut seakan ingin pecah.“Pelan-pelan, Naira. Jangan ngebut! Di depan sana lampu merah!” tegur Mas Andra. Ia terlihat sedikit gemetar saat memegang sabuk pengaman dengan erat.Aku terkesiap saat tahu kalau tanpa sadar sudah memacu mobil dengan kecepatan di atas rata-rata. Untunglah aku masih sempat menurunkan kecepatan begitu mendekati lampu merah. Badan Mas Andra terhuyung ke depan saat kakiku menginjak rem sedikit mendadak.Terlintas lagi apa yang terjadi di rumah sakit tadi. Setelah melakukan pengecekan dan tes darah, tentu saja hasilnya keluar dan aku dinyatakan sehat. Mungkinkah ini salah satu cara Tuhan m
“Da-dari siapa? Maksud kamu apa sih, Nai? Kamu nuduh Mas macam-macam?!” Suara Mas Andra sedikit meninggi.Aku menghembuskan dan menghirup napas panjang berkali-kali. Tenang Naira, tenang.“Apa Mas pernah memakai jarum suntik sembarangan?” tanyaku, menatapnya lekat.Ia menggeleng cepat. “Ngapain mainan jarum suntik! Pertanyaan aneh!” Mas Andra melipat tangan ke dadanya.“Selama empat bulan di sana, Mas pernah terima transfusi darah tanpa sepengetahuanku?” Mataku menyelidik.“Nggak, lah! Untuk apa juga? Mas kan, gak pernah sakit!” serunya dengan wajah keheranan.Aku mengangguk takzim. “Berarti … kamu tidur dengan siapa, Mas? Kamu selingkuh?” Kali ini mataku tak berkedip. Setiap perubahan raut di wajahnya tampak jelas.Mulai dari mata yang sedikit melebar, mulut yang terbuka, sampai tangan yang terus-terusan mengusap rambut. Suamiku sedang gugup. Aku yakin detak jantungnya tak karuan sekarang.“Ka-kamu jangan asal tuduh, Nai! Bisa-bisanya kamu bicara gitu! Mas cari nafkah mati-matian di
“Nai, Naira! Heh, apa-apaan sih dia? Ndra, istri kamu kenapa sih? Ya ampun, gak sopan banget!” rutuk Mama terdengar samar di telingaku.Aku hiraukan saja ocehannya yang tak lagi terdengar setelah pintu kamar kututup. Momongan lagi katanya? Ya Tuhan, andai keadaan sekarang baik-baik saja seperti dulu, sudah pasti aku akan dengan senang hati menjawab permintaan Mama. Hanya saja, dengan kondisi Mas Andra yang mencurigakan seperti itu … aku menjadi mawas diri. Bahkan, rasa rindu padanya yang tadinya begitu besar di dalam dada, harus aku bunuh dengan tega.Nyatanya aku masihlah seorang wanita dewasa yang normal. Selama empat bulan sudah tak merasakan sentuhan cinta dari Mas Andra, rasanya seperti ada yang hilang. Aku haus, aku rindu, aku ingin, memuaskan hasrat yang lama terpendam.Meskipun dokter Budi mengatakan kalau penyakitnya takkan menular lewat keringat, sentuhan kulit, ataupun air liur, aku tetap saja enggan dan takut menyentuh Mas Andra. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tenta
Widya menyambut kedatanganku dan Fadil dengan senang. Ia tampak bahagia setelah melewati tiga tahun menanti kehadiran sang buah hati. Tak lupa aku serahkan cake dan juga hampers bayi yang tadi aku beli di mall. Fadil terlihat senang melihat adik bayi yang imut dan juga montok. Putri kecil yang sehat dan cantik itu, diberi nama Sahara. “Maaf ya Wid, baru sempat jenguk sekarang. Soalnya kemarin-kemarin gak enak tinggalin Mama di rumah sendirian. Kalau sekarang Mas Andra udah pulang,” ucapku seraya memandangi wajah bayi mungil yang sangat mirip dengan Widya. “Santai aja, Beb. Gue juga paham kok. Alhamdulillah ni baby dah keluar dari perut gue. Kemarin mulesnya ya ampun, ampe sehari semalam!” ujar Widya sambil tertawa-tawa. Aku ikutan tertawa mendengar candaannya. Widya adalah teman dekatku semasa di SMA. Saat lulus kami terpisah karena Widya diterima sebagai mahasiswa kedokteran sedangkan aku mengambil jurusan akuntansi. Selama itu kami masih menjalin komunikasi walaupun jarang bertemu
“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan
Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb
Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T
(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke