“Da-dari siapa? Maksud kamu apa sih, Nai? Kamu nuduh Mas macam-macam?!” Suara Mas Andra sedikit meninggi.
Aku menghembuskan dan menghirup napas panjang berkali-kali. Tenang Naira, tenang.
“Apa Mas pernah memakai jarum suntik sembarangan?” tanyaku, menatapnya lekat.
Ia menggeleng cepat. “Ngapain mainan jarum suntik! Pertanyaan aneh!” Mas Andra melipat tangan ke dadanya.
“Selama empat bulan di sana, Mas pernah terima transfusi darah tanpa sepengetahuanku?” Mataku menyelidik.
“Nggak, lah! Untuk apa juga? Mas kan, gak pernah sakit!” serunya dengan wajah keheranan.
Aku mengangguk takzim. “Berarti … kamu tidur dengan siapa, Mas? Kamu selingkuh?” Kali ini mataku tak berkedip. Setiap perubahan raut di wajahnya tampak jelas.
Mulai dari mata yang sedikit melebar, mulut yang terbuka, sampai tangan yang terus-terusan mengusap rambut. Suamiku sedang gugup. Aku yakin detak jantungnya tak karuan sekarang.
“Ka-kamu jangan asal tuduh, Nai! Bisa-bisanya kamu bicara gitu! Mas cari nafkah mati-matian di sana, tapi ini balasannya? Mas gak terima!” amuk Mas Andra.
“Aku bertanya, bukan menuduh, Mas!” timpalku sengit.
“Sama saja! Pertanyaan bodoh macam apa itu? Kamu pikir Mas lelaki seperti apa? Selingkuh? Tidur dengan wanita lain? Keterlaluan kamu, Nai!” Napas Mas Andra terengah-engah. Ia tampak kepayahan mengontrol emosi.
“Lantas aku harus bagaimana, Mas? Tak mungkin penyakit itu hinggap begitu saja di badanmu! Harus ada sebab yang pasti! Dari mana asalnya, dari mana?!” Aku mulai merasa frustrasi menghadapi Mas Andra.
“Mas … Mas betul-betul gak tau, Nai,” bisiknya, lalu menangkupnya kedua telapak tangan ke wajah.
“Bullsh*t,” sahutku datar.
“Percayalah, Nai! Mas gak mungkin seperti itu. Bukankah sudah terbukti enam tahun ini? Mas selalu setia!” Mas Andra mengangkat wajah. Matanya sudah basah, sementara bibirnya bergetar.
Aku sungguh ingin percaya dengan kata-katanya itu. Enam tahun yang sudah kami lalui bersama memanglah terasa manis dan damai. Terlepas dari perlakuan Mama yang kadang membuatku sakit hati, Mas Andra tak pernah mengecewakan. Ia adalah sumber ketenangan dan kekuatan terbesarku dalam menjalani mahligai pernikahan.
Ia tak pernah lupa dengan hal-hal kecil tapi penting dalam hubungan kami. Tanggal anniversary, tanggal ulang tahunku, tanggal ulang tahun Fadil, makanan kesukaan, dan hal-hal manis lainnya.
Bagiku, Mas Andra adalah sosok seorang suami dan ayah yang nyaris sempurna. Riak-riak kecil tentu ada dalam rumah tangga kami, tapi semuanya dapat teratasi dengan baik. Kepercayaanku padanya begitu besar, hingga aku rela berpisah jarak demi pekerjaan.
Empat bulan ia ditugaskan ke luar pulau, demi menyelesaikan proyek perusahaan. Selama empat bulan pula kami tak bersua. Hanya suara lewat telepon dan panggilan video saja yang menjadi penawar rindu sehari-hari. Aku terus bersabar dan bersabar. Nama Mas Andra tak pernah lalai terucap dalam do’a-do’a panjangku.
Namun, kini rasa percaya yang sudah tertanam seakan perlahan dicabut paksa. Aku tak tahu lagi harus berpijak dan berpegangan di mana. Mas Andra tak pernah menggunakan jarum suntik sembarangan. Tak pula pernah menerima transfusi darah. Menyangkal saat aku mengatakan ia telah berselingkuh. Duhai … lantas di mana ia dapatkan penyakit itu? Tak mungkin hinggap begitu saja di badannya karena terbawa oleh angin.
Bahu Mas Andra terlihat naik turun. Ia masih menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sekali-kali suara isakannya lolos, memenuhi rongga telingaku. Baru kali ini aku melihatnya menangis tersedu. Harusnya aku yang menangis, aku! Penantianku selama empat bulan ini, harus dirusak dengan kabar pahit. Suamiku malah pulang dengan membawa oleh-oleh penyakit yang menjijikkan. Hadiah yang tak pernah aku duga, pun harapkan pada tahun ke enam pernikahan kami.
“Bukankah aku yang harusnya menangis, Mas?” tanyaku sembari mendongak, agar air mata tak jatuh. “Maaf … sepertinya aku gak bisa tidur di sini malam ini. Selama belum ada jawaban pasti atas teka-teki asal penyakit itu, aku tak bisa dekat-dekat denganmu, Mas! Ku harap kamu mengerti!” Aku segera bangkit dari pinggir ranjang.
Tanpa menunggu jawaban darinya, ku ambil bantal dan selimut untuk dibawa ke kamar Fadil.
“Na-Nai … ka-kamu mau ke mana?” Wajah Mas Andra pias.
“Aku akan tidur dengan Fadil!” tukasku tanpa menoleh.
“Nai, tunggu Nai! Tidurlah di sini, biar Mas tidur di lantai, Nai!” cegahnya.
“Tak perlu, Mas. Istirahatlah. Selamat malam!” ujarku, terus berjalan menuju pintu kamar.
“Nai ….”
*
Sesampainya di ruang tengah, badanku merosot bersandar pada dinding. Air mata yang sedari tadi memaksa untuk jatuh, akhirnya lolos juga. Aku terisak, menyembunyikan wajah pada permukaan bantal yang lembut. Gumpalan-gumpalan tak kasat mata yang tadi bagaikan menekan dada, perlahan mencair seiring luruhnya tetes-tetes bening.
Foto pernikahan yang menjadi hiasan dinding, terpajang di sana bagaikan mengejekku yang tengah gundah gulana. Akankah rumahtangga ini baik-baik saja? Ya Tuhan, ampuni jika aku telah berdosa meninggalkan Mas Andra sendirian di bilik kami. Sungguh, aku tak sanggup harus terus berprasangka mengenai kondisinya.
Suara detik jam memenuhi seluruh ruangan. Benda bulat itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Putra kesayanganku pasti sudah terlelap sekarang. Aku tak ingin membangunkannya dengan kondisi berurai air mata. Ia tak boleh tahu penderitaan dan permasalahan yang sedang menimpa ayah dan bundanya. Fadil masih terlalu kecil untuk mengerti.
Aku putuskan untuk menumpahkan segala emosi yang meluap sendirian di ruangan sepi ini. Namun, suara pintu yang dibuka berasal dari kamar Mama membuatku tersentak. Secepat kilat aku berdiri, lantas berlalu ke kamar Fadil. Rasanya tak siap jika harus berhadapan dengannya sekarang. Pasti akan banyak pertanyaan yang muncul jika ia melihatku tengah menangis seorang diri.
“Bu-bunda?” bisik Fadil dengan mata mengerjap saat aku naik ke ranjang dan memeluknya erat.
“Iya, Sayang. Malam ini Bunda bobok sama Fadil, ya,” balasku.
“Ayah?” tanyanya.
“Ayah lagi capek, lagi pengen sendiri katanya. Bunda ke sini biar ga ganggu Ayah,” ujarku beralasan.
Kepalanya mengangguk. Tak lama kemudian, matanya terpejam lagi. Kembali aku eratkan pelukan pada tubuh Fadil sembari menghirup dalam-dalam aroma menenangkan dari ubun-ubunnya. Semenit dua menit berlalu, mataku pun terasa berat. Sampai akhirnya, aku menyerah pada rasa lelah yang mendera.
*
Kami berempat sudah duduk di mengelilingi meja makan. Sengaja aku memasak opor ayam kesukaan Fadil juga Mas Andra. Mama yang agak rewel masalah makanan, aku buatkan sop ayam. Mereka bertiga tampak lahap menyantap hidangan. Sementara aku, sedikit tak berselera. Sedari tadi, belum setengah dari isi piring masuk ke dalam perut.
Tak ada suara obrolan seperti biasa. Mas Andra beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Aku pura-pura tak tahu saja. Meskipun dalam hati terasa enggan, tapi aku masih melayaninya seperti biasa di hadapan Mama. Aku tak ingin mertuaku curiga kalau ada masalah di antara kami berdua.
“Jadi, kemarin gimana? Kata dokter kamu sakit apa, Ndra?” tanya Mama tiba-tiba. Rupanya ia sudah menyelesaikan sarapan.
Mas Andra sedikit terbatuk, sudah pasti terkejut dengan pertanyaan Mama.
“Ehm, ehm! I-itu, Ma … kata dokter cuma kecapekan aja, kok!” jawab Mas Andra cepat.
“Ohhh gitu … terus, itu merah-merah di dekat mulut kamu kenapa katanya?” tanya Mama lagi sambil memandangi wajah Mas Andra dengan teliti.
“I-ini, Ma? Kata dokter alergi aja, Ma.” Mas Andra meneguk minumnya dengan tangan sedikit bergetar.
“Hmm, ya udah kalau gitu. Obatnya diminum, biar cepat sembuh.”
Bohong, dasar pembohong. Kenapa kamu menyembunyikan penyakit itu dari Mama? Apakah kamu malu, Mas? Aku hanya diam saja, tak menanggapi mereka berdua.
“Ayah cepat sembuh, ya. Biar Bunda ga tidur sama Fadil lagi!” seru Fadil.
Mataku membulat mendengar seruannya. Gerakan mulutku yang sedang mengunyah terhenti. Sesuatu yang ingin aku sembunyikan dari Mama, akhirnya terbongkar juga. Aku tak bisa menyalahkan Fadil.
“Hah, kamu tidur sama Fadil, Nai? Ya ampun, suami lagi sakit bukannya dilayani, ditemani, malahan tidur di kamar anaknya! Dasar aneh!” cetus Mama sinis.
Aku baru saja hendak menjawab perkataan Mama saat suara Mas Andra terdengar.
“Itu, emang Andra yang sengaja nyuruh kok, Ma. Soalnya semalam Andra gak nyaman tidurnya, agak gelisah. Jadinya Naira, Andra suruh tidur di kamar Fadil,” jelas Mas Andra sembari memaksakan senyuman.
“Lah, kamu tuh juga lebih aneh! Lagi sakit itu, justru istri harus melayani biar cepat sehat! Bukannya malah susah sendiri!” sewot Mama sambil terus melirik ke arahku.
“Ya gak apa-apa, Ma. Udah, gak usah dipermasalahkan.”
Aku terus diam sembari mengaduk-aduk nasi di piring. Selera makanku hilang sudah, lenyap tak bersisa. Rasa lapar yang tadi melanda entah sekarang ada di mana. Fadil dengan cepat menghabiskan makanan, lantas berlalu ke kamarnya.
“Oh ya, Fadil ‘kan umurnya udah empat tahun. Nah … kalian kapan mau tambah momongan lagi? Mumpung masih sama-sama muda. Masa anak cuma satu aja? Minimal dua, biar sepasang gitu! Sukur-sukur kalau dapat bayi perempuan,” celoteh Mama tanpa beban.
Dadaku berdenyut nyeri mendengar pertanyaan Mama barusan. Kalimat-kalimat balasan terasa sudah di ujung lidah, ingin terucap. Tak tahan lagi, kuhempaskan kasar sendok di piring. Tanpa berkata-kata, aku berlalu meninggalkan Mas Andra dan Mama di meja makan.
***
“Nai, Naira! Heh, apa-apaan sih dia? Ndra, istri kamu kenapa sih? Ya ampun, gak sopan banget!” rutuk Mama terdengar samar di telingaku.Aku hiraukan saja ocehannya yang tak lagi terdengar setelah pintu kamar kututup. Momongan lagi katanya? Ya Tuhan, andai keadaan sekarang baik-baik saja seperti dulu, sudah pasti aku akan dengan senang hati menjawab permintaan Mama. Hanya saja, dengan kondisi Mas Andra yang mencurigakan seperti itu … aku menjadi mawas diri. Bahkan, rasa rindu padanya yang tadinya begitu besar di dalam dada, harus aku bunuh dengan tega.Nyatanya aku masihlah seorang wanita dewasa yang normal. Selama empat bulan sudah tak merasakan sentuhan cinta dari Mas Andra, rasanya seperti ada yang hilang. Aku haus, aku rindu, aku ingin, memuaskan hasrat yang lama terpendam.Meskipun dokter Budi mengatakan kalau penyakitnya takkan menular lewat keringat, sentuhan kulit, ataupun air liur, aku tetap saja enggan dan takut menyentuh Mas Andra. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tenta
Widya menyambut kedatanganku dan Fadil dengan senang. Ia tampak bahagia setelah melewati tiga tahun menanti kehadiran sang buah hati. Tak lupa aku serahkan cake dan juga hampers bayi yang tadi aku beli di mall. Fadil terlihat senang melihat adik bayi yang imut dan juga montok. Putri kecil yang sehat dan cantik itu, diberi nama Sahara. “Maaf ya Wid, baru sempat jenguk sekarang. Soalnya kemarin-kemarin gak enak tinggalin Mama di rumah sendirian. Kalau sekarang Mas Andra udah pulang,” ucapku seraya memandangi wajah bayi mungil yang sangat mirip dengan Widya. “Santai aja, Beb. Gue juga paham kok. Alhamdulillah ni baby dah keluar dari perut gue. Kemarin mulesnya ya ampun, ampe sehari semalam!” ujar Widya sambil tertawa-tawa. Aku ikutan tertawa mendengar candaannya. Widya adalah teman dekatku semasa di SMA. Saat lulus kami terpisah karena Widya diterima sebagai mahasiswa kedokteran sedangkan aku mengambil jurusan akuntansi. Selama itu kami masih menjalin komunikasi walaupun jarang bertemu
“Waktu itu, aku gak lihat jelas, Yang. Kayaknya dia sendirian tapi ada yang nungguin, jemput dia. Mungkin Mbak Naira, deh. Perempuan soalnya yang jemput. Aku kurang jelas lihat mukanya, dia pake kacamata hitam,” sambung Mas Alfi.Aku menggigit bibir bawah dengan kuat. Ya Tuhan, apakah benar yang dikatakan Mas Alfi? Lantas siapa perempuan yang menjemput Mas Andra di bandara? Aku sungguh tak habis pikir. Telapak tanganku makin lembab saja dengan keringat, selalu begitu saat jika sedang cemas atau gugup.“Oh, gitu. Ya udah, deh. Mungkin Naira yang jemput. Udah dulu ya, Yang. Aku mau tidur siang. Kamu hati-hati di sana!” pesan Widya pada suaminya.“Kamu juga hati-hati di rumah sama Sahara. Kalau ada apa-apa, cepet kabari. Love you.”Tak lama kemudian percakapan mereka berakhir. Widya mendesah, matanya memancarkan kekhawatiran melihatku terdiam. Sedangkan aku merasa cemas, malu, sakit, dan rapuh yang melebur menjadi satu.Selama ini aku sungguh percaya pada Mas Andra. Namun, dengan keadaan
Aku segera bangkit dari ranjang dan menuju ke arah lemari. Selagi Mas Andra sedang bertamu, aku punya waktu untuk leluasa memeriksa seisi kamar. Dengan cepat aku membuka seluruh laci dan menyingkap setiap tumpukan lipatan pakaian. Tiap sudut kamar aku periksa dengan teliti.Di bawah kasur, di bawah ranjang, di tempat-tempat tersembunyi lainnya. Feeling-ku mengatakan ada sesuatu di dalam tas kecil itu. Koper yang kemarin sudah dirapikan, aku bongkar kembali. Meraba-raba pada tiap sisi, untuk mencari kalau-kalau benda itu disembunyikan. Sayang, aku tak kunjung menemukan benda itu.Argh! Seperti orang gila aku hilir mudik di dalam kamar. Di mana Mas Andra menyembunyikan benda itu? Di mana? Kusandarkan badan ke pintu kamar untuk menenangkan diri. Mata masih mencari-cari keberadaan tas Mas Andra. Sampai akhirnya mataku tertuju pada bagian atas lemari. Lemari besar setinggi hampir dua meter yang memuat hampir semua pakaianku dan Mas Andra.Ada beberapa benda yang aku taruh di atas sana. Beb
Mata Mas Andra mengerjap cepat. Ia menjilat bibir bawahnya dengan gugup. Ayolah, Mas, jawablah cepat. Jangan biarkan aku semakin curiga. Aku sudah sekuat tenaga menahan semua pertanyaan yang ingin keluar tanpa jeda.“Li-libur? Ng-nggak pernah, Nai! Mas selalu stand-by di lokasi proyek, kok. Kan, memang gak dapat jatah libur?” jelasnya, mencoba memasang tampang meyakinkan.“Oh, gitu. Kalau misal aku tanya Pak Herman gimana, Mas? Cuma untuk memastikan aja. Masa gak pernah dapat jatah libur,” lanjutku dengan tenang.Wajah Mas Andra berubah menjadi pias. Ia langsung berdiri dari duduknya.“Maksud kamu apa sih, Nai? Kok sampai melibatkan Pak Herman segala? Mas gak suka ya, kamu ikut campur masalah pekerjaan!” omelnya dengan wajah muram, suaranya meninggi.“Aku bukan ikut campur masalah pekerjaan, Mas! Hanya ingin memastikan hal itu saja. Gak kurang, gak lebih!” Aku tak mau kalah.“Kenapa? Kenapa emangnya? Kalau libur, Mas sudah pasti pulang, Nai!” Mas Andra berkata dengan ekspresi kesal. T
(Dua Bulan yang Lalu)Aku memandangi ponsel dengan perasaan tak menentu. Setelah semalam bertukar kabar dengan Mas Andra, sekarang ponselnya tidak aktif sejak tadi pagi. Padahal biasanya, Mas Andra tak pernah lupa menyapa lewat pesan WA saat ia bangun tidur. Tak jarang pula ia mengirimkan voice note, bahkan saat istirahat makan siang ia akan mengabari lagi.Memang salahku yang tidak terpikir untuk meminta nomor salah satu teman kerjanya di sana. Ah, benar-benar cemas rasanya. Bagaimana kalau ada apa-apa dengan Mas Andra? Sehari semalam aku harus menanggung rasa gundah itu. Untunglah, saat aku terbangun subuh, beberapa pesan dari Mas Andra masuk. Katanya listrik di lokasi proyek tempat mess-nya berada sedang mengalami gangguan. Hal itulah yang menyebabkan ponselnya kehabisan daya.Perasaanku menjadi tenang lagi. amat bersukur karena keadaan Mas Andra baik-baik saja. Tak ada pikiran buruk kalau dia akan berani bermain api ataupun macam-macam. Sedikit pun tak pernah terlintas di dalam ke
Kembali aku periksa dengan teliti. Setiap folder yang berisi beragam aplikasi, aku buka satu per satu. Ternyata memang, Mas Andra memiliki nomor WA lain khusus di tabletnya.Di antara percakapan yang berkaitan dengan pekerjaan, tentu saja chat dari banyak perempuan ada di sana. Salah satunya yang paling mencuri perhatian adalah dari Chelly. Beberapa bukti transfer uang antar bank pun tertera dengan jelas. Jantungku bagaikan di remas kuat melihat setiap nominal yang dikirimkan Mas Andra untuk perempuan itu.Setiap bulan Mas Andra mengirimkan 4 sampai 5 juta ke rekeningku dan entah berapa juta ke rekening Mama. Itu pun, terkadang Mama masih merongrong dan mengaturku agar tidak boros. Berbagai macam petuah harus aku patuhi. Jika tidak, maka omelan pedas dari mulutnya akan meluncur bebas. Namun, untuk perempuan itu Mas Andra dengan entengnya mengirimkan 2 sampai 5 juta hanya untuk kenikmatan sesaat yang terlaknat. Belum lagi membayar perempuan-perempuan lainnya. Apa yang akan dikatakan Ma
Jadi itu yang membuat Mama marah? Ah, andai Mama tahu apa alasannya aku begitu. Namun, belum saatnya untuk memberitahu Mama sekarang. biarlah nanti akan aku ungkap di saat yang tepat saja. Saat ini Mama hanya termakan dengan asumsinya sendiri.Orang tua di mana pun pasti akan membela anaknya. Aku sangat paham akan hal itu. Apalagi Mas Andra adalah anak tunggal Mama. Pastilah ia akan dibela sedemikian rupa, tanpa tahu masalah yang sebenarnya. Harus bagaimana aku menjawab Mama sekarang? Aku mengusap pelan pelipis yang sedikit berkedut. Kepalaku agak pusing, mungkin karena pengaruh menangis tadi.“Maaf, Ma. Naira gak ada maksud seperti itu. Naira masih melayani dan merawat Mas Andra dengan sebaiknya, kok,” jawabku pelan, menekan emosi yang membuncah.“Merawat dan melayani sebaiknya, katamu? Cih! Kamu pikir Mama percaya? Mama lihat sendiri bagaimana kamu acuh tak acuh sama Andra. Apalagi semenjak kalian pulang dari rumah sakit! Jangan-jangan tahu suami sakit, kamu mulai mau membangkang!”