Share

3. Menuntut Jawaban

“Da-dari siapa? Maksud kamu apa sih, Nai? Kamu nuduh Mas macam-macam?!” Suara Mas Andra sedikit meninggi.

Aku menghembuskan dan menghirup napas panjang berkali-kali. Tenang Naira, tenang.

“Apa Mas pernah memakai jarum suntik sembarangan?” tanyaku, menatapnya lekat.

Ia menggeleng cepat. “Ngapain mainan jarum suntik! Pertanyaan aneh!” Mas Andra melipat tangan ke dadanya.

“Selama empat bulan di sana, Mas pernah terima transfusi darah tanpa sepengetahuanku?” Mataku menyelidik.

“Nggak, lah! Untuk apa juga? Mas kan, gak pernah sakit!” serunya dengan wajah keheranan.

Aku mengangguk takzim. “Berarti … kamu tidur dengan siapa, Mas? Kamu selingkuh?” Kali ini mataku tak berkedip. Setiap perubahan raut di wajahnya tampak jelas.

Mulai dari mata yang sedikit melebar, mulut yang terbuka, sampai tangan yang terus-terusan mengusap rambut. Suamiku sedang gugup. Aku yakin detak jantungnya tak karuan sekarang.

“Ka-kamu jangan asal tuduh, Nai! Bisa-bisanya kamu bicara gitu! Mas cari nafkah mati-matian di sana, tapi ini balasannya? Mas gak terima!” amuk Mas Andra.

“Aku bertanya, bukan menuduh, Mas!” timpalku sengit.

“Sama saja! Pertanyaan bodoh macam apa itu? Kamu pikir Mas lelaki seperti apa? Selingkuh? Tidur dengan wanita lain? Keterlaluan kamu, Nai!” Napas Mas Andra terengah-engah. Ia tampak kepayahan mengontrol emosi.

“Lantas aku harus bagaimana, Mas? Tak mungkin penyakit itu hinggap begitu saja di badanmu! Harus ada sebab yang pasti! Dari mana asalnya, dari mana?!” Aku mulai merasa frustrasi menghadapi Mas Andra.

“Mas … Mas betul-betul gak tau, Nai,” bisiknya, lalu menangkupnya kedua telapak tangan ke wajah.

“Bullsh*t,” sahutku datar.

“Percayalah, Nai! Mas gak mungkin seperti itu. Bukankah sudah terbukti enam tahun ini? Mas selalu setia!” Mas Andra mengangkat wajah. Matanya sudah basah, sementara bibirnya bergetar.

Aku sungguh ingin percaya dengan kata-katanya itu. Enam tahun yang sudah kami lalui bersama memanglah terasa manis dan damai. Terlepas dari perlakuan Mama yang kadang membuatku sakit hati, Mas Andra tak pernah mengecewakan. Ia adalah sumber ketenangan dan kekuatan terbesarku dalam menjalani mahligai pernikahan.

Ia tak pernah lupa dengan hal-hal kecil tapi penting dalam hubungan kami. Tanggal anniversary, tanggal ulang tahunku, tanggal ulang tahun Fadil, makanan kesukaan, dan hal-hal manis lainnya.

Bagiku, Mas Andra adalah sosok seorang suami dan ayah yang nyaris sempurna. Riak-riak kecil tentu ada dalam rumah tangga kami, tapi semuanya dapat teratasi dengan baik. Kepercayaanku padanya begitu besar, hingga aku rela berpisah jarak demi pekerjaan.

Empat bulan ia ditugaskan ke luar pulau, demi menyelesaikan proyek perusahaan. Selama empat bulan pula kami tak bersua. Hanya suara lewat telepon dan panggilan video saja yang menjadi penawar rindu sehari-hari. Aku terus bersabar dan bersabar. Nama Mas Andra tak pernah lalai terucap dalam do’a-do’a panjangku.

Namun, kini rasa percaya yang sudah tertanam seakan perlahan dicabut paksa. Aku tak tahu lagi harus berpijak dan berpegangan di mana. Mas Andra tak pernah menggunakan jarum suntik sembarangan. Tak pula pernah menerima transfusi darah. Menyangkal saat aku mengatakan ia telah berselingkuh. Duhai … lantas di mana ia dapatkan penyakit itu? Tak mungkin hinggap begitu saja di badannya karena terbawa oleh angin.

Bahu Mas Andra terlihat naik turun. Ia masih menutupi wajahnya dengan telapak tangan. Sekali-kali suara isakannya lolos, memenuhi rongga telingaku. Baru kali ini aku melihatnya menangis tersedu. Harusnya aku yang menangis, aku! Penantianku selama empat bulan ini, harus dirusak dengan kabar pahit. Suamiku malah pulang dengan membawa oleh-oleh penyakit yang menjijikkan. Hadiah yang tak pernah aku duga, pun harapkan pada tahun ke enam pernikahan kami.

“Bukankah aku yang harusnya menangis, Mas?” tanyaku sembari mendongak, agar air mata tak jatuh. “Maaf … sepertinya aku gak bisa tidur di sini malam ini. Selama belum ada jawaban pasti atas teka-teki asal penyakit itu, aku tak bisa dekat-dekat denganmu, Mas! Ku harap kamu mengerti!” Aku segera bangkit dari pinggir ranjang.

Tanpa menunggu jawaban darinya, ku ambil bantal dan selimut untuk dibawa ke kamar Fadil.

“Na-Nai … ka-kamu mau ke mana?” Wajah Mas Andra pias.

“Aku akan tidur dengan Fadil!” tukasku tanpa menoleh.

“Nai, tunggu Nai! Tidurlah di sini, biar Mas tidur di lantai, Nai!” cegahnya.

“Tak perlu, Mas. Istirahatlah. Selamat malam!” ujarku, terus berjalan menuju pintu kamar.

“Nai ….”

*

Sesampainya di ruang tengah, badanku merosot bersandar pada dinding. Air mata yang sedari tadi memaksa untuk jatuh, akhirnya lolos juga. Aku terisak, menyembunyikan wajah pada permukaan bantal yang lembut. Gumpalan-gumpalan tak kasat mata yang tadi bagaikan menekan dada, perlahan mencair seiring luruhnya tetes-tetes bening.

Foto pernikahan yang menjadi hiasan dinding, terpajang di sana bagaikan mengejekku yang tengah gundah gulana. Akankah rumahtangga ini baik-baik saja? Ya Tuhan, ampuni jika aku telah berdosa meninggalkan Mas Andra sendirian di bilik kami. Sungguh, aku tak sanggup harus terus berprasangka mengenai kondisinya.

Suara detik jam memenuhi seluruh ruangan. Benda bulat itu menunjukkan pukul sepuluh malam. Putra kesayanganku pasti sudah terlelap sekarang. Aku tak ingin membangunkannya dengan kondisi berurai air mata. Ia tak boleh tahu penderitaan dan permasalahan yang sedang menimpa ayah dan bundanya. Fadil masih terlalu kecil untuk mengerti.

Aku putuskan untuk menumpahkan segala emosi yang meluap sendirian di ruangan sepi ini. Namun, suara pintu yang dibuka berasal dari kamar Mama membuatku tersentak. Secepat kilat aku berdiri, lantas berlalu ke kamar Fadil. Rasanya tak siap jika harus berhadapan dengannya sekarang. Pasti akan banyak pertanyaan yang muncul jika ia melihatku tengah menangis seorang diri.

“Bu-bunda?” bisik Fadil dengan mata mengerjap saat aku naik ke ranjang dan memeluknya erat.

“Iya, Sayang. Malam ini Bunda bobok sama Fadil, ya,” balasku.

“Ayah?” tanyanya.

“Ayah lagi capek, lagi pengen sendiri katanya. Bunda ke sini biar ga ganggu Ayah,” ujarku beralasan.

Kepalanya mengangguk. Tak lama kemudian, matanya terpejam lagi. Kembali aku eratkan pelukan pada tubuh Fadil sembari menghirup dalam-dalam aroma menenangkan dari ubun-ubunnya. Semenit dua menit berlalu, mataku pun terasa berat. Sampai akhirnya, aku menyerah pada rasa lelah yang mendera.

*

Kami berempat sudah duduk di mengelilingi meja makan. Sengaja aku memasak opor ayam kesukaan Fadil juga Mas Andra. Mama yang agak rewel masalah makanan, aku buatkan sop ayam. Mereka bertiga tampak lahap menyantap hidangan. Sementara aku, sedikit tak berselera. Sedari tadi, belum setengah dari isi piring masuk ke dalam perut.

Tak ada suara obrolan seperti biasa. Mas Andra beberapa kali mencuri pandang ke arahku. Aku pura-pura tak tahu saja. Meskipun dalam hati terasa enggan, tapi aku masih melayaninya seperti biasa di hadapan Mama. Aku tak ingin mertuaku curiga kalau ada masalah di antara kami berdua.

“Jadi, kemarin gimana? Kata dokter kamu sakit apa, Ndra?” tanya Mama tiba-tiba. Rupanya ia sudah menyelesaikan sarapan.

Mas Andra sedikit terbatuk, sudah pasti terkejut dengan pertanyaan Mama.

“Ehm, ehm! I-itu, Ma … kata dokter cuma kecapekan aja, kok!” jawab Mas Andra cepat.

“Ohhh gitu … terus, itu merah-merah di dekat mulut kamu kenapa katanya?” tanya Mama lagi sambil memandangi wajah Mas Andra dengan teliti.

“I-ini, Ma? Kata dokter alergi aja, Ma.” Mas Andra meneguk minumnya dengan tangan sedikit bergetar.

“Hmm, ya udah kalau gitu. Obatnya diminum, biar cepat sembuh.”

Bohong, dasar pembohong. Kenapa kamu menyembunyikan penyakit itu dari Mama? Apakah kamu malu, Mas? Aku hanya diam saja, tak menanggapi mereka berdua.

“Ayah cepat sembuh, ya. Biar Bunda ga tidur sama Fadil lagi!” seru Fadil.

Mataku membulat mendengar seruannya. Gerakan mulutku yang sedang mengunyah terhenti. Sesuatu yang ingin aku sembunyikan dari Mama, akhirnya terbongkar juga. Aku tak bisa menyalahkan Fadil.

“Hah, kamu tidur sama Fadil, Nai? Ya ampun, suami lagi sakit bukannya dilayani, ditemani, malahan tidur di kamar anaknya! Dasar aneh!” cetus Mama sinis.

Aku baru saja hendak menjawab perkataan Mama saat suara Mas Andra terdengar.

“Itu, emang Andra yang sengaja nyuruh kok, Ma. Soalnya semalam Andra gak nyaman tidurnya, agak gelisah. Jadinya Naira, Andra suruh tidur di kamar Fadil,” jelas Mas Andra sembari memaksakan senyuman.

“Lah, kamu tuh juga lebih aneh! Lagi sakit itu, justru istri harus melayani biar cepat sehat! Bukannya malah susah sendiri!” sewot Mama sambil terus melirik ke arahku.

“Ya gak apa-apa, Ma. Udah, gak usah dipermasalahkan.”

Aku terus diam sembari mengaduk-aduk nasi di piring. Selera makanku hilang sudah, lenyap tak bersisa. Rasa lapar yang tadi melanda entah sekarang ada di mana. Fadil dengan cepat menghabiskan makanan, lantas berlalu ke kamarnya.

“Oh ya, Fadil ‘kan umurnya udah empat tahun. Nah … kalian kapan mau tambah momongan lagi? Mumpung masih sama-sama muda. Masa anak cuma satu aja? Minimal dua, biar sepasang gitu! Sukur-sukur kalau dapat bayi perempuan,” celoteh Mama tanpa beban.

Dadaku berdenyut nyeri mendengar pertanyaan Mama barusan. Kalimat-kalimat balasan terasa sudah di ujung lidah, ingin terucap. Tak tahan lagi, kuhempaskan kasar sendok di piring. Tanpa berkata-kata, aku berlalu meninggalkan Mas Andra dan Mama di meja makan.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Yulli Darihati
... kerennn
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status