“Nai, Naira! Heh, apa-apaan sih dia? Ndra, istri kamu kenapa sih? Ya ampun, gak sopan banget!” rutuk Mama terdengar samar di telingaku.
Aku hiraukan saja ocehannya yang tak lagi terdengar setelah pintu kamar kututup. Momongan lagi katanya? Ya Tuhan, andai keadaan sekarang baik-baik saja seperti dulu, sudah pasti aku akan dengan senang hati menjawab permintaan Mama. Hanya saja, dengan kondisi Mas Andra yang mencurigakan seperti itu … aku menjadi mawas diri. Bahkan, rasa rindu padanya yang tadinya begitu besar di dalam dada, harus aku bunuh dengan tega.
Nyatanya aku masihlah seorang wanita dewasa yang normal. Selama empat bulan sudah tak merasakan sentuhan cinta dari Mas Andra, rasanya seperti ada yang hilang. Aku haus, aku rindu, aku ingin, memuaskan hasrat yang lama terpendam.
Meskipun dokter Budi mengatakan kalau penyakitnya takkan menular lewat keringat, sentuhan kulit, ataupun air liur, aku tetap saja enggan dan takut menyentuh Mas Andra. Bagaimana mungkin aku bisa memikirkan tentang memberikan adik untuk Fadil?
Degup jantungku yang tadi sempat liar dipacu adrenalin, sekarang sedikit mereda dan lambat laun kembali normal. Aku merasa buntu, tak tahu apa yang harus dilakukan. Aku belum pernah menyiapkan diri untuk berada di situasi seperti ini. Kehidupan pernikahan yang selama ini baik-baik saja, tampaknya membuat seorang Naira terlena. Lama aku pandangi halaman samping melalui jendela dengan tatapan kosong, sampai kehadiran Mas Andra mengejutkanku.
“Nai …,” panggilnya pelan, mengalihkan perhatianku.
Aku menoleh sesaat, lalu melemparkan pandangan ke luar lagi. “Apa, Mas?”
“Maaf, kalau ucapan Mama udah membuat kamu tersinggung … Mama gak ada maksud jelek,” ucapnya. Mas Andra duduk di tepi ranjang.
“Bukan pertanyaan Mama yang membuatku begini, Mas. Tapi rasa tak berdayaku untuk memenuhi keinginannya yang membuatku frustrasi! Dan kamu tahu apa penyebabnya!” desisku tajam.
“Maaf, Nai, maaf … Doakan Mas cepat sembuh. Bukankah kita bisa bercampur lagi kalau Mas sudah dinyatakan benar-benar sehat? Dokter Budi mengatakan begitu, kan? Kita akan berikan adik untuk Fadil,” katanya enteng. Mas Andra bangkit lalu menjulurkan tangan, mencoba untuk menyentuh lenganku.
Aku refleks menepis tangan itu. Sorot mata Mas Andra memancarkan rasa kecewa yang mendalam. Selama ini aku tak pernah memperlakukannya demikian. Ia adalah imam dan pasangan yang sangat aku hormati. Setiap sentuhan dan perbuatan Mas Andra, selalu aku sambut dan balas dengan suka cita. Ia sungguh aku puja dan cintai sedalam-dalamnya.
“Tak usah sentuh aku dulu Mas, maaf! Selama aku belum menemukan jawaban atas penyebab sakitmu, aku tak bisa … aku tak bisa melayanimu sebagaimana mestinya. Aku harap kamu maklum!” tolakku tegas.
“Nai … apa yang harus Mas lakukan, Nai? Apa Mas harus bersumpah agar kamu yakin kalau Mas benar-benar tidak tau soal penyakit ini? Apa harus begitu, Nai? Tolonglah Nai, Mas benar-benar rindu sama kamu!” Ia mengiba, matanya mulai berkabut.
Aku menggeleng. “Aku tak perlu sumpahmu, Mas. Nyatanya banyak orang yang bersumpah palsu demi kepentingannya. Aku hanya ingin jawaban jujur! Selain dari itu, aku tak butuh!” desakku, berharap jawaban itu keluar dari mulutnya.
“Argh! Mas sudah jujur, Nai! Harus jujur bagaimana lagi?” geram Mas Andra sembari mencengkeram rambutnya.
Entahlah, jawaban seperti apa yang aku cari? Apakah aku sudah berburuk sangka padanya? Tapi rasanya tidak mungkin penyakit itu hadir tanpa sebab yang jelas. Bisikan dalam kepalaku mengatakan kalau Mas Andra sudah melakukan kesalahan yang besar. Kesalahan yang coba ia tutupi, tapi malah meninggalkan petunjuk yang sungguh nyata.
“Kalau Mas memang tidak tahu dan tidak menyembunyikan apa-apa, lantas kenapa berbohong ke Mama tadi? Kenapa, Mas? Apa kamu menganggap penyakit itu aib? Kenapa?!” jeritku tertahan.
“I-itu … itu—“
“Itu, itu, apa? Bicara yang jelas!” semburku, tak tahan lagi dengan tingkahnya yang semakin tak jelas.
“Itu … Mas cuma gak mau bikin Mama khawatir, Nai,” jawab Mas Andra lesu.
Aku menggeleng lemah. Apa hanya perasaan Mama saja yang harus dijaga? Bagaimana denganku? Tidakkah Mas Andra memikirkan apa yang aku rasakan? Kenapa ia bisa tega membiarkan aku terpuruk dengan pikiran jelek ini? Ya Tuhan, tolong, beri aku petunjuk!
“Omong kosong. Ternyata memang, jujur itu mahal,” ucapku, sebelum akhirnya meninggalkan kamar, menyisakan Mas Andra yang mematung. Aku harap ia tak menyusul.
*
Pikiranku melayang entah ke mana, menjelajah setiap potongan kenangan dan peristiwa selama empat bulan ke belakang. Masih teringat jelas saat Mas Andra memelukku erat di bandara. Mataku basah oleh air mata, berat dengan perpisahan itu. Selama enam tahun bersama, kami belum pernah berpisah jauh untuk waktu yang lama sebelumnya. Separuh jiwaku terasa tercabut, hilang bersama kepergian Mas Andra.
Ada rasa tak rela dan takut yang bercampur menjadi satu. Rasa tak rela berpisah dan takut kalau terjadi apa-apa padanya di sana. Namun, janji setia dari Mas Andra selalu berhasil menenangkan dan meyakinkan aku. Ia tak pernah lupa menghubungi setiap hari. Meluangkan waktu untukku, Fadil, dan Mama melalui sambungan telepon meski kadang hanya beberapa menit saja saat ia benar-benar sibuk.
Otakku terus berputar, menebak-nebak kemungkinan yang telah terjadi hingga menyebabkan Mas Andra terkena sifilis. Apa yang harus aku lakukan agar tahu penyebabnya yang pasti? Pengakuan jujur dari mulut Mas Andra, rasanya mustahil untuk didapat. Ia menyangkal semua kemungkinan penyebab penyakitnya. Aku mengusap wajah berkali-kali, sungguh kalut dengan pikiran sendiri.
“Bunda … Bunda lagi sedih?” Suara Fadil menyadarkan aku.
Matanya yang bulat dan bening memancarkan kekhawatiran. Tangan kecilnya memegangi pipiku. Hatiku sungguh terenyuh dengan tingkah Fadil yang begini. Senyumku merekah, menatap dalam-dalam matanya yang mengerjap pelan.
“Bunda gak apa-apa, Sayang. Tadi lagi mikirin sesuatu aja,” jawabku, mencolek hidung kecilnya yang mancung.
“Bunda mikirin apa? Bunda bosan? Bunda mau main ke luar?” Ia memberondongku dengan pertanyaan.
Aku tergelak. Tampaknya Fadil benar-benar meniru kebiasaanku selama ini. Saat ia terlihat sedih atau murung, aku akan menghujaninya dengan pertanyaan seperti itu. Setelah dipikir-pikir, pertanyaan Fadil ada benarnya juga. Mungkin aku memang bosan dan perlu main ke luar, tapi ke mana?
Tiba-tiba saja sebuah ide tercetus di kepalaku. Seolah-olah ada lampu pijar yang menyala di dalam sana. Aku tahu harus ke mana dan menemui siapa.
“Fadil … mau jalan-jalan gak? Ikut Bunda, yuk!” ajakku.
Ia yang baru memegangi mobil-mobilan, langsung melepaskan benda itu begitu saja.
“Bunda mau jalan-jalan? Fadil mau, Fadil mau!” serunya girang sembari berjingkrak-jingkrak.
“Kalau gitu, Fadil ganti baju dulu, ya! Bisa sendiri, kan? Terserah Fadil mau pakai baju yang mana, asalkan rapi dan bersih!”
“Oke, Bunda!”
*
Aku masuki kamar dengan perasaan gamang. Mas Andra berbaring di ranjang dengan mata terpejam. Pelan kubuka pintu lemari untuk mengambil pakaian. Hari ini, aku akan keluar berdua dengan Fadil saja.
Dengan cepat aku berganti pakaian, lalu berdandan ala kadarnya agar tak terlihat terlalu kusam. Baru saja tanganku mengoleskan lipbalm ke bibir, saat suara Mas Andra terdengar.
“Kamu mau ke mana, Nai?” tanyanya ragu-ragu.
Aku menoleh, lalu lanjut mengoleskan lipbalm dengan cepat. “Aku mau ajak Fadil keluar. Mau jalan-jalan,” jawabku.
Mas Andra bangkit lalu duduk di tepi ranjang. “Mau ke mana? Mau Mas antar? Sekalian jalan-jalan bertiga,” tawarnya.
“Gak usah, Mas. Aku mau sama Fadil aja. Lagian gak lama, kok. Aku mau jenguk Widya, bayinya lahir tiga minggu yang lalu,” tolakku cepat.
Mas Andra mendesah, seperti tak rela. Aku tahu ia pasti sudah rindu berjalan-jalan denganku dan Fadil. Hanya saja, kalau Mas Andra ikut, rencanaku bisa gagal.
“Ya sudah, kamu hati-hati di jalan. ATM masih ada isinya, kan?” sambung Mas Andra lagi.
Aku mengangguk. “Masih ada uangnya. Aku pergi dulu, Mas.” Tanpa membuang waktu, aku segera keluar dari kamar.
Mama yang melihatku dan Fadil sudah berpenampilan rapi, seketika memicingkan mata. Raut wajahnya berubah. Ia yang tadinya sedang asyik menonton TV, sekarang malah memelototi aku dan Fadil.
“Mau ke mana kalian?” Pandangannya menelisik.
“Fadil sama Bunda mau jalan-jalan, Oma!” seru putraku riang.
“Andra gak kamu ajak, Nai?” tanya Mama lagi.
“Enggak, Ma. Biar Mas Andra istirahat. Lagian, aku sama Fadil gak lama, kok!” jelasku, lalu menyambar kontak mobil dari atas meja.
“Kamu tuh, ya! Suami baru pulang, bukannya betah di rumah! Apalagi suami lagi kurang sehat begitu. Ya ampun, Naira! Keterlaluan banget, kamu! Istri macam apa kamu itu? Mama bener-bener gak habis pikir!” omelnya, lalu berdecak beberapa kali.
Aku menghembuskan napas berat. Wajah Fadil berubah menjadi murung. Sepertinya ia khawatir kalau rencana jalan-jalan kami akan gagal.
“Naira janji gak lama, Ma. Ya sudah, kami berangkat dulu. Assalamu’alaikum!”
Sepuluh menit kemudian, aku dan Fadil sudah berada di jalan raya. Dadaku sedikit berdebar kencang. Sejujurnya rencanaku bukan hanya sekadar menjenguk Widya yang baru saja melahirkan, tetapi aku juga ingin berkonsultasi padanya untuk menuntaskan rasa yang mengganjal di dada mengenai kondisi Mas Andra. Karena Widya temanku itu adalah seorang dokter.
***
Plak! Sebuah tamparan keras mendarat di wajah mulus Mbak Della. Aku sampai sedikit terperanjat, tak menyangka Mas Andra akan sekasar itu. Padahal tadi dia memanggil Mbak Della dengan panggilan ‘Sayang’.“M-mas, kamu nampar aku?” tanya perempuan itu dengan suara bergetar.“Tutup mulut busukmu itu, Della! Sejak kapan aku merayu kamu, hah? Kamu aja yang keganjenan setiap hari godain aku! Termasuk hari ini tadi!” geram Mas Andra seolah dialah yang paling benar.Aku hanya berdiri mematung menyaksikan pertengkaran di antara pasangan tak halal itu. Rupanya Mas Andra benar-benar pengecut dan ingin membuatku percaya kalau yang salah hanyalah Mbak Della.“Kamu keterlaluan, Mas! Bu Naira, saya berani sumpah kalau kami melakukan ini atas dasar suka sama suka! Saya gak bohong, Bu!” teriak Mbak Della setengah menangis.Aku manggut-manggut mendengarkan keluhannya. Kenapa sekarang menangis? Tangan Mas Andra kembali terangkat ke arah wajah Mbak Della. Saat itu juga aku bersuara.“Cukup, Mas! Kamu bole
Apakah ini hari di mana pernikahanku dan Mas Andra akan berakhir sepenuhnya? Kurasa, setelah ini nanti, dia tak akan punya kekuatan lagi untuk mengelak. Bukannya aku senang karena Mas Andra terbukti melakukan hal yang tidak senonoh, tetapi itu memang perbuatan yang dia lakukan sendiri dalam keadaan sadar dan tanpa tekanan dari siapapun. Tak ada yang memaksanya untuk bertindak tidak terpuji dengan Mbak Della. Bahkan, yang membawa perempuan itu ke rumah ini adalah Mama dan Mas Andra sendiri. Setelah aku mengirimkan rekaman yang pertama, Abah sempat mencoba menelpon, tetapi aku tolak. Meski demikian, aku segera mengirimkan pesan padanya. [Bah, Nai mau gerebek Mas Andra hari ini. Jangan telpon dulu ya, Bah. Nanti Nai kabari lagi] Aku tahu kedua orang tuaku di sana pasti khawatir. Sejujurnya aku pun tak tahu bagaimana reaksi Mas Andra nanti. Aku harus siap dengan segala kemungkinan terburuk. [Kamu hati-hati, Nai. Abah akan nyusul kamu ke sana sendirian. Biar Fadil sama umimu di rumah]
(PoV Andra)“Kamu itu jadi suami yang tegas sedikit sama Naira! Lihat dia semakin ngelunjak aja!” omel Mama setelah Naira dan Fadil berlalu dengan mobil.Aku menghembuskan napas berat. Sebenarnya malas sekali mendengarkan omelan Mama seperti ini. Namun, aku juga tak kuasa untuk menahan Naira. Mobil itu memang miliknya, aku gunakan bekerja setiap hari.Jadi, di akhir pekan jika dia mau menggunakan kendaraan roda empat itu, aku tak bisa mencegah. Apalagi kalau hanya sekedar untuk mengantar Mama arisan.“Sudahlah Ma, kan udah Andra bilang, nanti Andra bayarin uang taksi. Pokoknya Mama tenang aja!” ucapku berusaha meredakan emosi Mama.Wajahnya masih memerah dan ditekuk sedemikian rupa. Terlihat jelas kalau Mama marah dan kesal. Mau bagaimana lagi?“Bukan masalah itu, Andra! Lihatlah kamu gak punya wibawa sebagai suami! Naira itu gak kerja apa-apa di rumah! Kerjanya ongkang-ongkang kaki aja! Main sama Fadil! Makan, tidur! Tapi masih aja kamu kasih uang belanja!” Mata Mama melotot saat m
Kulirik jam yang melingkar di pergelangan tangan sebelah kiri. Sekarang, Mama pasti sudah berangkat ke acara arisannya. Entah mengapa, aku yakin sekali kalau Mbak Della tak ikut kali ini.Kalau perkiraanku tepat, berarti hanya ada Mas Andra dan perempuan itu saja di rumah. Apalagi tadi Mas Andra mengatakan kalau dia akan memberikan ongkos taksi pada Mama.Bayangan lingerie-lingerie milikku yang sudah berpindah tempat di bawah ranjang Mbak Della dalam keadaan tak karuan, kembali terlintas. Seketika mual kembali menyerang dan membuat mata berair.Apakah aku marah? Ataukah lebih ke merasa jijik? Mungkin gabungan dari keduanya. Marah karena dia sudah lancang, dan jijik karena paham akan perbuatan mereka.Mbak Della tidak mungkin memasukkan laki-laki lain ke dalam rumah. Dia tak akan punya nyali untuk melakukan hal itu. Yang selama ini sudah bermain kucing-kucingan denganku, adalah Mas Andra.Kulajukan mobil dengan kecepatan sedang, tak ingin terburu-buru ataupun terlalu santai. Takutnya,
“Kamu cuma berdua sama Fadil aja, Nai?” tanya Umi begitu aku sampai.“Iya, Mi. Suntuk aja di rumah, jadi main ke sini, deh!” ucapku sembari masuk.Fadil sudah sejak sampai tadi berpindah ke gendongan kakungnya. Mereka langsung berjalan ke halaman belakang untuk melihat pohon mangga yang sedang berbuah begitu lebat.“Gimana di sana, Nai? Aman? Katanya udah ada pembantu baru, kan?”Sampai di dapur, aku langsung membuka tudung nasi Umi. Selera makan sontak timbul melihat sayur asem, gorengan tempe, dan sambal terasi. Tanpa ragu aku mengambil piring dan sendok.“Ya, gitulah, Mi. Mau dibilang aman, ya aman. Tapi, semenjak ada pembantu baru itu, suasana rumah jadi aneh,” ujarku, tangan sibuk menyendokkan nasi dan lauk pauk ke piring.Umi ikut duduk dan hanya menatapku saja. Dia sudah maklum dengan kebiasaanku yang langsung memeriksa tudung saji begitu sampai di rumah.“Aneh gimana, Nai? Perasaan kamu aja, kali. Sama Andra, udah baikan?” selidiknya.Aku yang sudah mulai mengunyah, terpaksa t
Malam itu aku tertidur pulas sampai-sampai tak bangun seperti biasanya. Padahal, aku masih ingin mengintai Mbak Della dan Mas Andra. Adzan subuh yang berkumandang memaksaku membuka mata, lalu bangkit dari pembaringan.Fadil masih tertidur lelap. Kurapikan selimut agar menutupi badannya lebih rapat. Hujan rintik-rintik di luar, membuat udara dingin serasa menusuk.Saat keluar dari kamar, aku mencium aroma sabun dan shampoo. Siapa sangka kalau Mas Andra sudah bangun. Sosoknya sedang berdiri sambil bersiul pelan, mengeringkan rambut yang basah.Mengherankan, di saat dingin seperti ini, dia tahan mencuci rambut pagi-pagi sekali. Aku ingat sekali dengan kebiasaan Mas Andra. Dulu, saat kami masih harmonis, dia selalu mencuci rambut pagi-pagi sekali jika malamnya kami selesai bertempur.Namun sekarang, apa alasannya? Otakku tak bisa untuk diajak berprasangka baik. Pastilah ada sesuatu yang dia sembunyikan.Tatapan mata kami bertemu. Mas Andra terpaku di tempatnya dengan mata sedikit melebar.
Sudah beberapa malam ini aku selalu terbangun dari jam 1 dini hari hingga subuh. Mungkin karena belum beruntung, aku tak menemukan hal-hal aneh. Setiap kali aku memeriksa ke kamar di jam-jam acak, Mas Andra tampak sedang tertidur pulas.Namun, aku tak putus asa. Bisa jadi saat ini Mbak Della dan Mas Andra sedang menjaga jarak karena insiden baju tidur kemarin. Kurasa mereka menganggap keadaan sedang tak aman sehingga harus berhati-hati. Jika mereka berdua licik, maka aku harus selangkah lebih maju.Pagi ini, saat kami semua sedang berkumpul, Mas Andra menyerahkan amplop berwarna cokelat. Satu untukku, satu untuk Mama, dan satu lagi untuk Mbak Della.“Ini uang belanja kamu, ini untuk Mama, dan yang ini gaji Mbak Della,” ucap Mas Andra yang sudah berpenampilan rapi dan siap berangkat ke kantor.“Makasih,” jawabku singkat. Paling tidak, dia masih sadar untuk menafkahiku meskipun kami sedang perang dingin.“Makasih, Pak Andra. Makasih.” Mbak Della mendekap amplop itu dengan wajah berbinar
Merasa pusing, aku terduduk lemas di pinggir ranjang berukuran kecil tempat pembaringan Mbak Della. Membayangkan kalau benda empuk itu mungkin saja menjadi saksi bisu perbuatan terlarang, lagi-lagi aku meradang.Aku yakin kalau ini adalah salah satu petunjuk yang sengaja Tuhan berikan untukku. Jika tidak, mungkin sampai sekarang aku tak akan pernah tahu ke mana larinya pakaian-pakaian dinas malam itu.Setelah berpikir sejenak, dengan cepat aku mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto pakaian yang penuh najis dan noda. Dalam kepalaku terus terpikir kalau hal ini nanti akan berguna di masa yang akan datang. Tanganku masih gemetar saking gugupnya.Saat yakin kalau foto-foto itu sudah tersimpan dalam folder tersembunyi, aku mengembalikan ponsel ke dalam saku. Ah, sungguh gila apa yang aku saksikan saat ini.Suara Mama dan Mbak Della yang terdengar di depan, menyadarkan aku. Setelah memastikan keadaan kamar Mbak Della sudah terlihat seperti sedia kala, aku segera keluar dengan tenan
Berminggu-minggu sudah aku pulang ke rumah. Semuanya terasa hampa. Untung saja di sana ada Fadil, yang jadi tempatku mencurahkan rasa sayang. Dia jugalah yang membuat aku bertahan di tengah-tengah Mama dan Mas Andra.Mas Andra terus mendiamkan aku sejak kejadian aku menolak tidur satu kamar. Sampai saat ini pun, aku belum pernah sekali pun tidur dengannya lagi. Entah sampai kapan kami akan terus-terusan seperti ini. Aku pun enggan untuk memulai bicara dengannya.Hubungan pernikahan ini terasa sudah benar-benar tak sehat, tetapi aku masih mencari cara untuk mengakhiri semuanya. Sembari memperhatikan perkembangan Fadil yang semakin sehat dan lincah seiring waktu.Hari ini rumah terasa lengang. Mas Andra sudah berangkat ke kantor, sementara Mbak Della menemani Mama berbelanja. Mertuaku itu ngotot mengajak Mbak Della yang dia nobatkan sebagai asisten pribadi.Aku tak protes sama sekali, malah bersyukur karena bisa menikmati waktu bersantai dengan Fadil di rumah. Saat dia sedang bermain di