‘Mas, sabar apa lagi aku? Kali ini calon istri keduamu mengujiku,’
Safina turun dengan melewati anak tangga satu per satu. Ia ke dapur mengambil sisa makanan untuk disantapnya. Istri Angga tersebut mengisi tenaganya dulu sebelum menghadapi problematika rumah tangganya yang akan datang. “Oh, kamu baru mengisi perutmu dengan makanan enak, yah?” Angga tidak pernah berhenti mengusiknya. “Aku sudah selesai makan, tuan! Apa yang bisa saya bantu?” Safina bertanya dengan tidak seperti biasanya ia memanggil sapaan tersebut. “Buatkan minuman dingin buat Sandra!” Angga sangat memanjakan calon istri keduanya. Bahkan, dia tidak segan menyuruh Safina membuatkan minuman dingin untuk kekasihnya itu. Angga sungguh keterlaluan tidak memperhatikan perasaan Safina. Namun, kenapa ia perlu marah ketika pria lain menghubungi Safina? “Mas, aku lagi ribet memasak. Mestinya ia harus menunjukkan keuletannya di dapur juga, bukan menunjukkan kecantikan saja” Safina menolaknya dengan wajah yang judes. Angga heran dengan perubahan sikap Safina semenjak kehadiran Sandra. Safina mulai melawan kepada Angga. Ia tidak takut lagi dengan ancaman Angga, sebab sudah terbiasa dengan kekerasan dan ancaman darinya. “Kamu memang tidak kapok untuk dihukum. Buatkan sekarang!” Angga menarik hijab Safina hingga hampir terlepas. "Mas, sakit. Lepaskan!" sekali lagi Safina merasakan kesakitan dari sikap suami kepadanya. Ia menangis bukan karena kesakitan atas arogan tangan suaminya, melainkan ia harus rela melayani calon istri kedua suaminya tersebut. Safina menangis membuat minuman yang diinginkan suaminya. Tangannya gemetaran memegang nampan, sehingga minuman dalam gelas bergoyang mengikuti gerakan nampan tersebut. “Ini minuman dinginnya,” Safina dengan gugup meletakkan gelas tersebut. Ketika Safina berdiri, tangannya tidak sengaja menyentuh gelas tersebut, sehingga minuman tumpah membasahi baju Sandra. “Oh, Tuhan! Baju ini baru aku beli, Mas dan harganya sangat mahal!” teriak Sandra dan sangat marah kepada Safina. “Safina! Kamu sengaja menjatuhkan minuman itu, yah?!” gertak Angga dengan mendorong Safina hingga terjatuh dan dahinya terbentur di sudut kursi. Entah, berapa kali Safina menangis dalam sehari. Rumah itu bagaikan neraka buatnya. Bukannya Angga meminta maaf kepada Safina dan membantunya mengobati luka di dahinya, ia justru merangkul Sandra dan mengajaknya ke Toko untuk beli baju buatnya. "Mas, tolong aku!” Safina menghubungi Randy. Randy dengan sigap menancapkan gas dan melajukan mobilnya dengan kencang menuju rumah Angga. Setibanya di parkiran, pintu rumah terbuka lebar dan kelihatan Safina tergeletak di lantai. Randy segera menggendongnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat. “Safina, aku nggak paham dengan perasaanmu yang sebenarnya, sampai kesehatanmu dinomor duakan,” ketus Randy dengan menggelengkan kepalanya. Tidak sadar Randy mengeluarkan pernyataan tersebut, sebab panik melihat Safina kesakitan tanpa suami ataupun penghuni di dalam rumah mega itu. Setelah Safina sadar, Randy menyuruhnya untuk istirahat. Namun, Safina menolak. Ia harus segera pulang, karena masih banyak persiapan yang harus dikerjakan Safina, sedangkan pernikahan kedua suaminya tinggal menghitung hari. “Mas, aku mau pulang,” pinta Safina dalam keadaan masih lemas. “Kamu istirahat saja dulu! Tubuhmu juga butuh perhatian darimu, loh,” Randy sangat prihatin melihat kondisi Safina. “Jangan, Ran! Angga nanti marah besar denganku. Persiapan pernikahannya pun masih banyak yang belum selesai,” Safina berusaha bangun dan menguatkan dirinya. Hati Safina terbuat dari mana? Dengan kondisi yang masih lemas masih memikirkan suaminya yang acuh itu. *** Pagi yang cerah menumbuhkan semangat yang cerah pula untuk Angga. Angga turun ke ruang tengah dan siap-siap berangkat ke rumah Sandra. Di sudut ruangan, tampak Safina duduk dengan lusuh. Walaupun sakit, ia tetap ingin mengantarkan suaminya untuk menikah dengan wanita pilihannya. “Nak, sungguh kamu mau lihat suamimu menikah?” salah seorang tamu berusia langsia memegang tangan Safina. “Iya, Nek!” Emangnya kenapa?” Safina berusaha tegar menemani nenek langsia tersebut. “Matamu tidak bisa berbohong,” sangka nenek kemudian berjalan memakai tongkatnya. Safina merenungi perkataan nenek itu. Memang benar ia ikhlas suaminya menikah, tetapi bola matanya yang tidak indah lagi tidak bisa menyembunyikan perasaan yang sebenarnya. "Mas, nenek tau perasaanku hanya dengan melihat mataku saja. Sedangkan kamu ...." Rombongan pengantin sudah siap naik ke mobil, tetapi tidak ada satupun orang mengajak Safina ikut bersama rombongan. Ketika Safina keluar, Merliam menghalanginya. Safina dengan penampilan yang sederhana dengan ikhlas melihat suaminya tersenyum semringah memasuki mobil pengantin. “Kamu mau ke mana?” sindiran sinis Merliam dan tertawa tipis melihat penampilan Safina. “Pastinya aku akan mengantar suamiku, Bu,” dengan heran Safina menjawab sindiran mertuanya. “Tidak! Kamu tidak perlu hadir di acara istimewa anakku. Sebaiknya kamu ke rumah baru Angga. Bersihkan rumahnya dan menunggu kedatangan Angga dan istri barunya!” Merliam tidak peduli lagi dengan tamu apakah mereka akan melihat sifat aslinya terhadap Safina. “Tapi, Bu! Aku istrinya, bukan pembantu!” suara Safina meninggi melawan Merliam. Safina memang menikah dengan Angga, karena ia harus balas budi kepada mertuanya. Sehingga, baktinya kepada suami, bagaikan asisten rumah tangga yang tidak lepas dari pekerjaan rumah. Merliam mendorong Safina masuk dalam rumah, agar para tamu tidak mendengar teriakan Safina tersebut. “Akan ada mobil menjemput dan membawamu ke rumah baru Angga. Kamu harus bersihkan rumah itu, kalau tidak ....” perintah Merliam.“Kenapa? Cepat sana ganti baju!” Randy mengira Safina tidak ingin ikut ke kafe. Randy merasa ada yang salah dengan tingkahnya. Ia berpikir Safina sudah bisa untuk diajak makan bersama di kafe, setelah beberapa lama Safina disibukkan dengan karirnya. Randy berdiri dan segera pergi, “Yah, udah kalo kamu belum ingin keluar makan bersamaku. Aku pamit dulu!” “Tunggu, Ran! Aku ikut,” cegah Safina. Bukannya Safina tidak ingin ikut, tetapi ada sesuatu yang ia ragukan. Akhirnya, ia ikut ke kafe dan berharap Randy tidak marah ketika Safina mengatakan ingin bertemu dengan Angga esok hari. Ia masuk ke kamar mengganti bajunya. Ia memasukkan tangannya ke dalam lemari, satu per satu pakaian dikeluarkannya untuk memilih yang paling nyaman digunakan. Safina keluar dengan penampilannya yang sederhana, namun sangat memukau. Kemudian, Randy berbalik ketika mendengar suara Safina. “Aku sudah siap, Ran!” ‘Waw! Safina memang sudah perlahan mengubah penampilannya. Aku yakin suatu saat kamu akan meneri
“Aku capek, Ran!”Safina merasa kelelahan dan kembali memikirkan orang yang ada di masa lalunya. Di saat ingin menikmati kesuksesan bersama Randy, Angga kembali hadir di kehidupannya. Angga terkenal dengan keinginannya harus segera tercapai. Randy tahu apa yang harus ia lakukan. Ia sigap menemukan solusi untuk keamanan dan kenyamanan Safina. “Untuk sementara kamu di sini aja dulu tinggal. Ntar aku ke satpam untuk minta tolong penjagaan ketat,” kata Randy.Randy mengambil ponsel di saku celananya.“Aku sempat merekam video kejadian tadi dan mengambil foto mobil Angga dan Sandra. Aku akan tunjukkan ke satpam nanti.”Dengan cara Randy melapor ke satpam tempat tinggal Safina, ia harap satpam tersebut melarang Angga dan Sandra masuk ke dalam kompleks. Sewaktu-waktu Randy akan mengajak Safina untuk pindah rumah dekat dari tempat tinggalnya.Safina berniat ingin istirahat sejenak dan meminta Randy untuk kembali ke kantornya. Namun, ketika Randy sudah melajukan mobilnya, beberapa warga mene
“Apa aku tidak salah dengar?”Safina melihat gerak-gerik Angga, tidak percaya dengan perkataan mantan suaminya itu. Semudah itu Angga meminta maaf kepada Safina, setelah bertahun memilikinya hanya untuk disiksa.Safina dan Randy saling bertatap. Randy sepertinya ingin mengusir Angga. Omong kosong yang mungkin akan menjebak Safina.“Kamu pergi dari sini! Aku sudah bilang, jangan ganggu Safina!” gertak Randy, mendorong pundak Angga.“Eh! Aku tidak ada urusan sama kamu. Ini adalah urusan aku dan Safina. Bagaimana pun Safina masih terikat janji dengan keluarga Dwicahyo,” bantah Angga.Safina semakin tidak ingin melihat dan mendengar suara Angga berlama-lama. Akhirnya, ia pun berani mengancam Angga. Safina meminta kepada Angga untuk segera pergi.Angga belum mendapatkan jawaban dari Safina. Ia tidak akan pulang, jika Safina tidak memaafkan Angga.“Kalau Safina sudah memaafkanku baru aku pergi dari sini.”Angga membujuk dengan gaya bicaranya yang menunjukkan kelembutan kepada Safina, “Oh iy
“Momen ini adalah hadiah terindah untukku.” Kesuksesan yang tengah dirasakan Safina adalah kesuksesan yang tertunda. Safina tidak mungkin bisa merasakan kebahagiaan tersebut apabila Randy tidak setia mendampingi dirinya. Dengan memikirkan semua pengorbanan Randy, Safina tidak bisa menyembunyikan perasaannya lagi. Namun, ia menjaga kehormatannya dengan tidak mengatakan langsung perasaannya. Akan ada waktu Safina menerima pernyataan sahabatnya tersebut. ‘Ran. Apa iya kamu bisa mendampingiku? Apa nantinya kamu tidak malu denganku yang sudah berstatus janda?’ tanya Safina dalam hati, netranya menatap Randy. Pada saat perjalanan pulang ke rumah, karena perasaannya menguasai dirinya, Safina tidak menyadari ia terus menatap Randy. “Hey! Napa kamu, Fin?” tegur Randy. Randy melambaikan tangan kirinya di depan paras Safina. Barulah, Safina sadar. Bukannya merespon pertanyaan Randy, ia hanya tersenyum dan seketika menutup bola matanya. “Ran. Aku turun di sini. Kamu ke kantor aja, biar aku
‘Jangan berpikir aneh, Safina! Sedikit lagi kamu melangkah, cita-citamu akan tercapai.’Semestinya Safina memikirkan apa yang akan dikatakan nantinya pada saat konferensi pers. Namun, pikirannya mengenai sikap Randy kepadanya selalu mengganggu konsentrasinya. Ketika Randy mengajak Safina berbincang, Safina kelihatan gugup merespon Randy.Safina yang hendak membuka pintu mobil, Randy tiba-tiba membuka pintu tersebut. Safina menatap wajah Randy.‘Kenapa kamu sangat meratukanku, Ran? Aku takut tidak bisa membalasnya,’ katanya dalam hati.Safina turun dari mobil kemudian berjalan dengan anggun memasuki kantor tempat berlangsungnya konferensi pers. Sementara, Randy berjalan di belakang Safina. Ia mengamati dan mengawasi Safina dari belakang.Safina berjalan menuju kursi yang sudah disiapkan dan para kameramen tertuju kepadanya. Safina terlihat percaya diri dengan berusaha menyembunyikan perasaan gugupnya.“Ibu Safina sudah hadir di tengah-tengah kita. Mari kita sambut dengan meriah Ibu Saf
Kujemput rezekiku dengan semangatku.”Rintik gerimis di pagi hari menemani Safina menanti kedatangan Randy. Duduk manis di ruang tamu dengan penampilan seadanya. Bagaimana dengan pendapat tetangga tersebut ketika melihat lagi Randy menjemputnya dan pergi bersama?“Hmm. Ntar kalau si Randy datang, trus ibu-ibu liat aku lagi bersama Randy. Mereka mau komentar apalagi, yah?” Safina mengkhayalkan sesuatu yang akan terjadi di luar rumah.Setelah tiba di depan rumah, Randy turun dari mobil membawa sekantong plastik dan payung untuk Safina. Rupanya, Randy telah menyiapkan baju baru untuk Safina. Tok! Tok! Randy mengetok pintu rumah Safina. Sementara, Safina sudah lama menunggu di kamarnya, sehingga ia memanfaatkan waktu menunggunya sembari melanjutkan cerita yang akan dibukukan nantinya.“Mana Safina? Gak mungkin dia pergi mana gerimis begini lagi,” Randy panik—ponsel Safina tidak bisa dihubungi.Randy kembali mengetok pintu dengan sedikit keras, barulah Safina mendengar ada seseorang yang