LOGINMobil berhenti di basement apartemen mewah di kawasan Solobaru. Om Kais turun terlebih dahulu, membukakan pintu untukku."Ah, akhirnya sampai juga." Aku turun dari mobil, menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi."Welcome home, Sayang." Om Kais merangkul pinggangku, mengecup keningku sekilas."Home—" Aku mengulang kata itu. Terasa aneh tapi juga hangat. Ini rumahku sekarang. Rumah kami.Kami naik lift ke lantai 25. Unit kami berada di sudut dengan pemandangan kota Solo yang luas. Begitu pintu terbuka, aku disambut ruang tamu yang luas dengan jendela besar dari lantai hingga plafon."Wow, desain Mas Rayyan bagus banget." Aku melangkah masuk, menatap sekeliling. Desain minimalis modern dengan dominasi warna putih, abu-abu, dan aksen kayu. Bersih, rapi dan dingin banget."Aku yang mengawasi sendiri saat renovasi. Biar sesuai kenginanmu, Sayang." Om Kais meletakkan koper-koper di samping sofa."Maacih, Bunny." Aku tersenyum. "Bakal betah aku tinggal di sini.”Om Kais memelukku dari
Restoran vila sudah dipenuhi keluarga besar kami yang bersiap sarapan sebelum kembali ke Solo. Para orang tua duduk bersama di satu meja panjang di bagian tengah, bercakap santai sambil menikmati pagi. Sementara meja anak muda sedikit terpisah, suasananya lebih ringan dan penuh tawa.Semua meja dipenuhi hidangan sarapan western—scrambled egg, sosis ayam panggang, mushroom saute, baked beans, pancake dengan sirup maple, aneka pastry, serta roti gandum hangat dengan mentega dan selai. Di tengah meja berjajar jus jeruk, kopi hitam, dan teh hangat yang masih mengepul.Pintu restoran terbuka. Om Kais masuk terlebih dahulu, lalu menoleh ke belakang."Sayang, pelan-pelan—"Aku melangkah masuk. Tapi langkahku aneh. Seperti robot yang kakinya kaku. Setiap melangkah, aku sedikit meringis."Aduh..."Mama langsung menoleh. "Dek? Kamu kenapa jalannya kayak gitu?""Nggak apa-apa kok, Ma. Cuma pegal aja kakiku." Aku berusaha tersenyum, melangkah pelan menuju meja.Tapi Safa—yang duduk di samping Mba
Azan subuh berkumandang dari masjid di kejauhan. Suaranya samar, terbawa angin pagi yang dingin. Langit di luar jendela mulai berubah warna—dari hitam pekat menjadi biru gelap, lalu perlahan menyingsing jingga tipis di ufuk timur.Aku dan Om Kais baru saja selesai sholat. Sajadah masih terbentang di sudut kamar. Tasbih masih tergenggam di tanganku."Allahumma anta as-salaam wa minka as-salaam, tabaarakta yaa dzal jalaali wal ikraam.” Om Kais mengakhiri doanya dengan lirih, lalu mengusap wajah.Aku juga selesai. Mengusap wajah, merasakan ketenangan yang selalu datang setelah sholat subuh. Ada yang berbeda pagi ini. Aku tidak sholat sendirian. Ada Om Kais di sampingku. Suamiku.Om Kais melipat sajadahnya, aku melipat punyaku. Kami berdiri hampir bersamaan."Sayang, kamu mau tidur lagi?" tanya Om Kais sambil meletakkan sajadah ke dalam lemari."Nggak tau. Rasanya masih ngantuk, tapi... juga nggak pengen tidur." Aku berjalan ke arah ranjang, duduk di tepinya. Mukena masih menyelimuti tub
Kamar pengantin telah didekorasi dengan nuansa romantis. Kelopak mawar merah tersebar di lantai hingga ke atas ranjang, sementara lilin-lilin aromaterapi menyala di sudut ruangan, menyebarkan aroma lavender yang menenangkan. Lampu-lampu kecil berbentuk bintang menghiasi dinding, menambah kesan hangat dan intim.Tapi suasana romantis itu tidak berlangsung lama."Bunny!" Aku berdiri di tengah kamar dengan wajah panik, memegang gaun yang mengembang kemana-mana. "Aku kebelet pipis!"Om Kais baru saja melepas jas putihnya, masih mengenakan kemeja dan celana formal. Dia menoleh dengan alis terangkat. "Sekarang?""Iya sekarang! Dari tadi sebenernya udah nahan, tapi tadi kan lagi foto-foto terus—" Aku melompat-lompat kecil, menahan hasrat untuk berlari ke kamar mandi. "Bunny, tolongin aku lepas gaun ini!"“Iya, Sayang.” Om Kais langsung mendekatiku. “Resletingnya ada di sebelah mana?”"Ini resletingnya di belakang! Dan ada kancing-kancingnya juga! Banyak banget!" Aku berputar-putar, berusaha
Taman villa berubah total dalam hitungan jam. Jika sore tadi nuansa rustic mendominasi, sekarang—malam ini—taman berubah menjadi istana dongeng.Lampu-lampu fairy lights digantung di setiap sudut, menciptakan langit berbintang buatan. Kain-kain organza putih dan pink pastel tergantung anggun di antara pohon-pohon pinus. Di tengah taman, sebuah dance floor kayu dipasang dengan backdrop bunga mawar putih dan pink yang membentuk lengkungan megah seperti gerbang kastil.Dan aku? Aku berdiri di depan cermin besar di ruang ganti, menatap diriku sendiri dengan mulut terbuka."Safa... ini beneran aku?"Safa berdiri di belakangku, tersenyum bangga. "Iya, ini kamu! Kamu kayak Cinderella beneran!"Aku mengenakan gaun ballgown putih dengan korset bertabur kristal Swarovski yang berkilau setiap kali terkena cahaya. Rok gaunnya mengembang lebar, berlapis-lapis tulle berwarna putih ivory dengan aksen pink pastel di bagian dalam. Lengan gaun ini off-shoulder dengan detail renda. Mahkota kristal kecil
Matahari mulai condong ke barat, menciptakan cahaya keemasan yang menyapu seluruh taman villa. Langit berwarna jingga bercampur ungu, begitu indah sampai terasa seperti lukisan.Taman belakang villa sudah berubah total. Pohon-pohon pinus dihiasi lampu-lampu gantung kecil yang akan menyala saat senja tiba. Di tengah taman, sebuah panggung kayu sederhana didirikan, dihiasi lengkungan bambu yang dipenuhi bunga segar—mawar putih, baby breath, eucalyptus, dan bunga liar berwarna pastel.Kursi-kursi kayu dengan bantalan krem berjajar di kedua sisi, membentuk lorong kecil menuju panggung. Setiap ujung barisan kursi dihiasi ikatan bunga dan pita renda. Di sana-sini, vas-vas kaca berisi bunga-bunga segar diletakkan di atas stumps kayu. Tema rustic yang hangat dan intimate.Hanya ada sekitar lima puluh undangan. Keluarga besar, saudara terdekat, dan teman-teman. Tidak banyak. Tapi cukup untuk memenuhi taman dengan kehangatan.Aku berdiri di balik pintu kaca villa, menatap keluar. Jantungku berd







