LOGINKoridor lantai tiga Fakultas Kedokteran tampak ramai oleh lalu lalang mahasiswa. Ada yang membawa tumpukan buku tebal, ada yang mengobrol sambil menyesap kopi, dan ada pula yang duduk di lantai, belajar kilat menjelang bimbingan.Aku dan Safa duduk di bangku tunggu panjang di depan ruang dosen pembimbing. Aku membuka laptop, memeriksa revisi skripsi yang sudah aku kerjakan semalam. Safa di sebelahku sibuk dengan ponselnya, sesekali tersenyum-senyum sendiri—pasti chat-an sama Mas Rayyan."Sa, kamu udah siap belum buat bimbingan?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop."Udah. Kemarin aku revisi BAB 5 sesuai kata dosen. Tinggal nunjukin aja." Safa meletakkan ponselnya. "Kamu gimana? Udah selesai revisi yang kemarin?""Udah. Tapi aku nervous banget. Pak Edwin kan killer. Pasti ada aja yang salah." Aku menghela napas."Santai aja. Kamu kan pinter." Safa menepuk bahuku.Tiba-tiba, aku melihat sosok familiar berjalan dari ujung koridor. Mama Maya melangkah mendekat sambil mem
Lampu kamar telah diredupkan. Hanya satu lampu yang menyala, menciptakan cahaya temaram. AC berhembus pada suhu 24 derajat—dingin, tapi tetap nyaman.Kami sudah berbaring di ranjang. Aku dipeluk erat dari belakang oleh Om Kais—posisi favorit kami. Tubuhku pas di lengkungan tubuhnya. Tangannya melingkar di perutku, dagunya bertengger di puncak kepalaku. "Bunny—" aku memanggil pelan."Hmm?" Om Kais bergumam, matanya sudah setengah tertutup. Dia pasti lelah setelah mengurus segunung pekerjaannya."Bunny masih melek kan?""Iya. Kenapa, Sayang?" Dia mengecup puncak kepalaku."Aku mau cerita! Tadi aku ke mall sama Mama kan? Nah, di sana kita ketemu temen Mama!" Aku langsung bersemangat, memutar tubuh menghadapnya.Om Kais membuka mata, menatapku dengan senyum geli. "Iya, terus?""Namanya Tante Ratih. Tante-tante yang... ya gitu deh pokoknya!" Aku mulai duduk, excited. "Jadi gini, Bunny. Aku lagi mau coba dress kan, terus tiba-tiba dia datang. Terus dia lihat aku, dia tanya, 'Ini siapa? Adi
Setelah membeli peralatan dapur, Mama Maya mengajakku ke butik langganannya yang berada di lantai tiga mall ini. Begitu masuk, suasananya langsung terasa mewah—lampu kristal besar menggantung di plafon, dress-dress bermerek terpajang rapi di rak, dan sebuah sofa velvet disediakan sebagai tempat duduk, lengkap dengan meja kaca berisi air mineral premium.Aku berdiri di depan cermin besar, memegang sebuah dress biru navy dengan detail sederhana di bagian pinggang. Mama Maya duduk di sofa, menatapku dengan senyum hangat."Mama, yang ini bagus nggak?" Aku berputar, memamerkan dress yang kutempelkan di depan tubuh."Bagus, Nak. Tapi coba yang warna emerald di sebelah kiri. Warnanya lebih cocok sama kulit kamu." Mama Maya menunjuk dress lain."Oh iya!" Aku berlari kecil—lebih tepatnya melompat-lompat—mengambil dress emerald itu. "Wah! Ini cantik banget, Ma! Tapi kayaknya mahal deh.""Nggak apa-apa. Mama yang bayar kok. Ini kan buat acara ulang tahun rumah sakit. Kamu harus tampil cantik. Na
Sinar matahari pagi menembus celah tirai, menciptakan garis-garis cahaya keemasan di lantai kamar. Jam di meja nakas menunjukkan pukul 09.15.Aku masih meringkuk di bawah selimut tebal, rambut berantakan menutupi sebagian wajah. Laptop masih terbuka di meja belajar—menjadi saksi bisu perjuanganku menyelesaikan revisi skripsi hingga pukul tiga dini hari.Om Kais baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah, kaos dan celana training hitam melekat di tubuhnya. Dia keluar dari kamar, mengambil pakaian yang baru diantar ibu laundry kemarin.Pakaian-pakaian itu dibawanya ke ruang walk-in closet, lalu disusunnya rapi di dalam lemari berdasarkan kategori—mulai dari kaos, celana, handuk, hingga pakaian dalamku.Setelah selesai, dia mengambil vacuum cleaner. Mulai menyedot debu di ruang tamu, ruang kerja, kamar tidur.Jam sepuluh tepat, aku mendengar langkah kaki Om Kais menuju dapur. Suara pintu kulkas terbuka, disusul bunyi peralatan masak yang saling beradu. Aku tidak perlu melihat untuk t
Mobil berhenti di basement apartemen mewah di kawasan Solobaru. Om Kais turun terlebih dahulu, membukakan pintu untukku."Ah, akhirnya sampai juga." Aku turun dari mobil, menatap gedung apartemen yang menjulang tinggi."Welcome home, Sayang." Om Kais merangkul pinggangku, mengecup keningku sekilas."Home—" Aku mengulang kata itu. Terasa aneh tapi juga hangat. Ini rumahku sekarang. Rumah kami.Kami naik lift ke lantai 25. Unit kami berada di sudut dengan pemandangan kota Solo yang luas. Begitu pintu terbuka, aku disambut ruang tamu yang luas dengan jendela besar dari lantai hingga plafon."Wow, desain Mas Rayyan bagus banget." Aku melangkah masuk, menatap sekeliling. Desain minimalis modern dengan dominasi warna putih, abu-abu, dan aksen kayu. Bersih, rapi dan dingin banget."Aku yang mengawasi sendiri saat renovasi. Biar sesuai kenginanmu, Sayang." Om Kais meletakkan koper-koper di samping sofa."Maacih, Bunny." Aku tersenyum. "Bakal betah aku tinggal di sini.”Om Kais memelukku dari
Restoran vila sudah dipenuhi keluarga besar kami yang bersiap sarapan sebelum kembali ke Solo. Para orang tua duduk bersama di satu meja panjang di bagian tengah, bercakap santai sambil menikmati pagi. Sementara meja anak muda sedikit terpisah, suasananya lebih ringan dan penuh tawa.Semua meja dipenuhi hidangan sarapan western—scrambled egg, sosis ayam panggang, mushroom saute, baked beans, pancake dengan sirup maple, aneka pastry, serta roti gandum hangat dengan mentega dan selai. Di tengah meja berjajar jus jeruk, kopi hitam, dan teh hangat yang masih mengepul.Pintu restoran terbuka. Om Kais masuk terlebih dahulu, lalu menoleh ke belakang."Sayang, pelan-pelan—"Aku melangkah masuk. Tapi langkahku aneh. Seperti robot yang kakinya kaku. Setiap melangkah, aku sedikit meringis."Aduh..."Mama langsung menoleh. "Dek? Kamu kenapa jalannya kayak gitu?""Nggak apa-apa kok, Ma. Cuma pegal aja kakiku." Aku berusaha tersenyum, melangkah pelan menuju meja.Tapi Safa—yang duduk di samping Mba







