Share

Perkara Panggilan

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-11-07 16:24:33

Aku benar-benar tidak menyangka kalau Om Kais memutuskan ikut turun gunung dengan berjalan kaki. Soalnya, seingatku, dia belum pernah sekalipun mendaki—apalagi menuruni jalur seterjal ini. Jujur saja, aku sempat khawatir sesuatu bakal terjadi padanya.

Bagaimanapun juga, Om Kais bukan orang sembarangan. Dia itu pemimpin besar—punya perusahaan, sekaligus direktur utama rumah sakit ternama. Bayangkan kalau sampai kakinya keseleo sedikit saja, bisa heboh satu kantor, bahkan satu kota!

Aku memilih jalan di dekatnya, siap siaga setiap kali dia melangkah di medan berbatu.

“Pelan-pelan, Om,” ucapku khawatir.

Dia hanya menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Tenang aja, aku masih kuat.”

“Iya, tapi kan Om mahal,” kataku cepat, membuatnya terkekeh pelan.

“Mahalan kamu,” balasnya santai, menatapku sekilas dengan tatapan geli.

Aku mencibir. “Ih, serius ini. Kalau Om kenapa-kenapa, aku bisa dimarahi seluruh tim medis rumah sakit.”

“Tenang, Binar. Aku turun gunung bukan buat jatuh… tapi buat jaga kamu
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (7)
goodnovel comment avatar
Mbak Nana
yey akhirnya oom kais mengakui juga hubungan nya dengan binar
goodnovel comment avatar
~•°Putri Nurril°•~
cemburu nya om kais membawa berkah
goodnovel comment avatar
Dhiyah
Udh resmi ni yeee… Uhuiii…. Yg pipinya merona merah Cie cie….
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Status Baru

    “Binar—”Baru saja aku hendak naik ke dalam bus, suara Om Kais terdengar dari belakang. Nada suaranya yang cukup tinggi membuat langkahku langsung terhenti di anak tangga pertama.Aku menoleh, dan di sana dia berdiri—dengan kedua tangan terlipat di dada, sorot matanya tajam.Aku turun lagi dan menghampirinya. “Ada apa, Om?”“Masuk mobil,” ujarnya singkat.“Lho, kenapa?”“Safa mana?” bukannya menjawab, Om Kais malah balik bertanya.“Tu, udah duduk manis di dalam bus,” jawabku sambil menunjuk ke arah sahabatku yang sedang mengintip dari jendela.Begitu sadar kami sedang membicarakannya, Safa langsung melambaikan tangan penuh semangat.“Suruh Safa turun. Kalian pulang bareng aku,” titah Om Kais.Selesai bicara, dia berbalik dan masuk ke dalam mobil lebih dulu. Bodyguard-nya segera bergerak, memasukkan carrier-ku ke bagasi mobil dengan sigap.Aku menatap punggungnya sejenak—sebelum akhirnya berlari kecil ke arah bus.“Safaaa!” panggilku sambil menepuk jendela bus. “Turun, cepat. Kita pula

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Perkara Panggilan

    Aku benar-benar tidak menyangka kalau Om Kais memutuskan ikut turun gunung dengan berjalan kaki. Soalnya, seingatku, dia belum pernah sekalipun mendaki—apalagi menuruni jalur seterjal ini. Jujur saja, aku sempat khawatir sesuatu bakal terjadi padanya.Bagaimanapun juga, Om Kais bukan orang sembarangan. Dia itu pemimpin besar—punya perusahaan, sekaligus direktur utama rumah sakit ternama. Bayangkan kalau sampai kakinya keseleo sedikit saja, bisa heboh satu kantor, bahkan satu kota!Aku memilih jalan di dekatnya, siap siaga setiap kali dia melangkah di medan berbatu.“Pelan-pelan, Om,” ucapku khawatir.Dia hanya menoleh sekilas dan tersenyum tipis. “Tenang aja, aku masih kuat.”“Iya, tapi kan Om mahal,” kataku cepat, membuatnya terkekeh pelan.“Mahalan kamu,” balasnya santai, menatapku sekilas dengan tatapan geli.Aku mencibir. “Ih, serius ini. Kalau Om kenapa-kenapa, aku bisa dimarahi seluruh tim medis rumah sakit.”“Tenang, Binar. Aku turun gunung bukan buat jatuh… tapi buat jaga kamu

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Romantis Ala Om Kais

    Bukannya menjawab, Om Kais malah menarik kedua pipiku dengan ekspresi gemas—seolah-olah wajahku ini bakpao isi ayam kesukaannya.“Cium—cium!” seruku sambil berusaha mendekat.“Astaga, Binar…” gumam Om Kais, lalu dia menekan kedua pipiku makin kencang sampai bibirku mengerucut seperti bebek.“Aku sayang Om Kais, loh. Suer tekewer-kewer,” kataku dengan mulut masih mengerucut.“Kamu ini perempuan, Binar,” balas Om Kais sambil menggeleng pelan. “Seharusnya aku yang menyatakan cinta, bukan kamu. Dan coba deh, hitung—udah berapa kali kamu melamarku, ha? Sampai di atas gunung pun masih kepikiran buat melamar.”Aku cuma nyengir. Jujur, aku memang gak ingat sudah berapa kali melamar Om Kais. Soalnya, setiap ada momen bagus, aku gak mau melewatkannya begitu saja. Pokoknya langsung lamar—urusan diterima atau enggak, belakangan.“Gak ingat, dan gak akan aku hitung,” jawabku santai.Lantas, Om Kais menarikku ke dalam pelukannya dan mendekapku erat. Dagunya bertengger di atas kepalaku, sementara ak

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Om Nikah, Yuk!

    Aku dan Safa duduk di atas batu besar, berselimut jaket tebal dan sarung tangan wol. Di depan kami, pemandangan langit yang mulai terang perlahan seperti lukisan hidup.“Cantik banget, ya,” gumam Safa sambil menyeruput minuman hangat dari tumbler. “Gak nyesel bangun jam empat pagi.”Aku tersenyum samar. “Iya, worth it banget.”Tapi entah kenapa, senyumku terasa menggantung. Pikiranku masih sibuk mengulang kejadian semalam—antara geli, malu, dan… deg-degan.Safa melirikku sekilas. “Kenapa? Dari tadi senyum-senyum sendiri. Jangan bilang kamu mimpi Om Kais lagi?”“Bukan mimpi. Tapi semalam aku emang ketemu hal yang lebih aneh dari mimpi.”“Apaan?” Tanya Safa sembari menaikkan alis.Aku menatapnya lekat, lalu mencondongkan tubuh sedikit, berbisik, “Aku ketemu Om Kais.”“Hah?! Di gunung?”“Iya. Aku juga gak nyangka,” jawabku.“Yang bener, Bee. Jangan bilang kamu halu gara-gara kedinginan,” ucapnya sambil mencubit lenganku.“Aduh! Beneran, Fa.” Aku menghela napas panjang. “Dia muncul waktu

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Om 'Tanda Kutip'

    “Om Kais—” gumamku pelan saat melihat sosoknya berdiri tak jauh dari tendaku.Aku bergegas mendekat, lalu tanpa pikir panjang menarik kedua pipinya.“Aduh, apa yang kamu lakukan, Bin?” suaranya berat, tapi jelas sekali—dan nyata.Aku langsung terlonjak mundur, menatapnya lebar-lebar. “Ternyata bukan hantu gunung,” ujarku lega sambil menepuk dada.Alisnya terangkat. “Kamu kira aku hantu?”“Hehe… maaf, Om,” jawabku kikuk, mencoba menahan tawa.Saat Om Kais menarik pelan lenganku, refleks aku melepaskan genggamannya dan mundur selangkah.Kedua kakiku menghentak-hentak ke tanah, wajahku meringis.Dia menatap curiga. “Kenapa, Bin?”Aku menggigit bibir, lalu berbisik cepat, “Aku tadi mau pipis.”“Astaga, Binar. Gadis macam apa kamu ini!” seru Om Kais dengan gemas.“Aku kebelet pipis, Om,” ujarku sambil menghentak-hentakkan kaki, berusaha menahan rasa tak nyaman.Dia mendengkus pelan, lalu menatap sekeliling. Suasana sudah sepi—semua orang sudah masuk ke tenda masing-masing.“Udah, sini,” ka

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Pesan Misterius

    Api unggun menyala di tengah lingkaran tenda. Udara dingin menusuk ke tulang, tapi suasananya terasa hangat—bukan karena api, melainkan karena tawa yang pecah di antara kami. Safa duduk di sampingku, memegang sendok dengan gaya seperti master chef. “Lihat nih, Bee. Ini mie instan rasa ayam bawang dengan topping cornet dan sosis iris. Kreasi spesial Chef Safa Gunung Edition!” katanya bangga sambil mengibaskan rambut yang sudah acak-acakan. Aku tertawa sampai hampir tersedak air putih. “Chef apaan, Sa? Setengah topping-nya aja jatuh ke tanah!” “Eh, belum lima detik! Itu namanya tambahan rasa earthy, biar lebih natural,” balasnya santai. Mas Danish yang duduk agak jauh sambil mengaduk kopi hanya menggeleng pelan. “Kalau kalian berdua ikut ekspedisi resmi, makan malamnya gak bakal kelar-kelar,” komentarnya tanpa menoleh. Safa langsung menatapku. “Dengar tuh, Bee. Mas Danish aja iri karena mie buatanku lebih menggoda dari kopinya.” Aku menahan tawa. “Iya, iya. Mie rasa debu emang sus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status