Share

Si Om Cemburu

Author: Syamwiek
last update Last Updated: 2025-11-23 09:15:04

Pagi yang lumayan hectic akhirnya berhasil juga aku lewati, meski penuh gebag-gedebug.

Bagaimana tidak?

Selain menyiapkan sarapan, aku juga harus memasak menu makan siang untuk Om Kais. Belum lagi urusan dandan—tentu aku ingin tampil maksimal sebelum mas pacar pergi perjalanan bisnis. Biar enak dipandang, dong.

Karena tidak mau penampilanku yang shining, shimmering, splendid ini berantakan kena angin, aku memutuskan untuk nebeng Mas Pandu yang kebetulan berangkat lebih pagi dari jadwalnya. Sepanjang perjalanan, dia sibuk memberi wejangan supaya aku tidak terlalu agresif saat ketemu Om Kais nanti.

Aku sih iya-iya saja. Daripada kena jitakan atau jeweran. Lagi pula, mood-ku harus dijaga. Auraku harus memancar sejak pagi, tidak boleh terjun bebas.

“Oh iya, Dek,” tiba-tiba Mas Pandu membuka percakapan baru. “Kemarin aku dapat pasien—katanya cucunya itu temanmu.”

“Siapa, Mas?”

“Kalau nggak salah ingat namanya Danish. Anak anggota dewan Senayan. Tapi tinggal di Solo menemani eyangnya.”

“Oh,
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (13)
goodnovel comment avatar
Almira Larasati
Wah wah Danish kayaknya bakalan jadi pemicu si om bakalan terus cemburu nih
goodnovel comment avatar
MAIMAI.
hmm bakal ambil sikap apa nih si om di rapat besok?
goodnovel comment avatar
Viva Oke
cemburunya Om Kais udh mau meledak. karena om Kais sabar dan sayang banget sama Binar . jadi GK meledak deh. binar GK usah polos deh, itu Danish suka sama Kamu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Biar Tahu Rasa

    Ckck. Netha pikir aku ini gadis lembut yang kalau disindir sedikit langsung ngumpet di pojokan sambil nangis?Duh, nggak tahu aja dia—Aku mantan preman komplek. Minimal sebelum hidupku direbut skripsi.Sepanjang makan malam, dia ngoceh terus soal Kak Luna—yang katanya wanita paling sempurna sedunia.Wajah cantik, karier bagus, tutur katanya halus, cocok banget buat mendampingi Om Kais.Dan dia mengatakannya tanpa sedikit pun peduli bahwa aku ada di situ, duduk sebagai tunangan resmi yang sudah direstui keluarga.“Kemarin aku habis meet up sama Kak Luna. Kebetulan dia ada kerjaan di Jakarta,” katanya sok anggun, tapi bibirnya manyun sepanjang paruh bebek.Cantik?Iya.Julid?Astaga, levelnya unlimited.“Sudahlah, Nak. Dari tadi kamu terus membicarakan Luna,” tegur Oma Wening, mulai jengah dengan ocehan cucunya. “Lebih baik ceritakan bagaimana kuliahmu. Skripsi kok nggak selesai-selesai.”Aku menunduk sedikit sambil menahan tawa—karena ekspresi Netha langsung berubah masam.Ah, Oma Wen

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Sapaan Sarkas

    Lampu merah masih menyala. Mas Danish masih berdiri di luar jendela mobil dengan senyum sumringah ala sales kejar target.Aku akhirnya menghembuskan napas pasrah. “Oke, sini deh satu,” ujarku sambil membuka kaca lebih lebar.Dia mengambil satu styrofoam dari kotak besar yang dibawanya, lalu menyerahkannya padaku.“Nih, Bee,” Mas Danish menyodorkan satu kotak styrofoam dengan senyum sumringah. “Kalau tahu bakal ketemu kamu, tadi aku bawain yang spesial.”Aku cepat-cepat mengangkat tangan, menolak halus. “Gak usah, Mas. Ini aja udah alhamdulillah banget—dapet nasi box gratis.”Mas Danish terkekeh. “Kamu mau ke mana? Dandan rapi banget.”“Ke rumah Oma Wening,” jawabku singkat.“Oh—”Belum sempat dia melanjutkan kalimat, krek!Kaca mobil di sisiku langsung naik otomatis dengan kecepatan yang tidak manusiawi.Aku langsung menoleh cepat ke samping.Om Kais duduk santai, satu tangan di setir dan satu lagi menekan tombol kaca. Wajahnya terlihat tenang, tapi sorot matanya jelas menunjukkan kes

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Ah, Dia Lagi!

    Aku berdiri di depan cermin full body, memicingkan mata menilai pantulan diriku sendiri. Rasanya seperti mau sidang skripsi, bukan dijemput calon suami.“Hmm, baju oke,” gumamku sambil merapikan kerah blouse yang kupakai. “Celana juga oke. Wangi oke. Hidung gak begitu mancung tapi nggak apa-apa, aman.”Aku mendekat ke cermin, memeriksa eyeliner. “Sayap kiri sempurna. Sayap kanan—” Aku mendesah. “Yah, miring dikit, tapi biarin. Om Kais nggak akan nge-zoom sampai pori-pori juga.”Lalu aku cek rambut. Kubolak-balik ke kanan dan kiri.“Rambut rapi, volumenya lumayan. Ah! Jepit kupu-kupu!” Aku buru-buru mengambil jepit favoritku dan menyelipkannya di sisi rambut. “Perfect. Imut—tapi elegan. Calon istriable.”Aku berputar sekali, memastikan semuanya aman dari segala sudut pandang.Terakhir, aku cek parfum. Dua semprot lagi. “Biar kalau dia peluk langsung auto amnesia sama semua deadline kantornya,” bisikku nakal.Handphone-ku bergetar.Satu pesan dari Om Kais—📩Kais: “Lima menit lagi sampa

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Si Paling Manja

    “Aku nggak bisa bukanya,” ujarku sambil menyodorkan toples ke Om Kais. “Kemarin tanganku kena pisau waktu masak.”Om Kais langsung terlihat panik. Dia memegang tanganku, memeriksanya dengan seksama.Padahal lukanya cuma segores kecil—yang sengaja kubesar-besarkan.Sampai Papa yang duduk di sofa single bergidik ngeri melihat tingkahku.“Jangan masak lagi! Biar sembuh dulu lukanya,” kata Om Kais sambil mengusap lembut area yang sudah mulai kering itu.Aku mengerjap manja.“Terus aku makan apa nanti?” tanyaku dengan tatapan memelas, seolah-olah lukaku parah sekali.Papa mendengkus. “Memangnya selama ini yang masak siapa, Dek?”“Kadang Mama sama Bibi… kadang cuma Bibi,” jawabku polos.Papa mengangkat alis, tatapannya datar sekali.Astaga. Lempeng banget hidupnya Papa. Padahal jelas-jelas aku lagi bermanja-manja sama calon menantunya.Om Kais menahan tawa melihat ekspresi Papa yang clueless.“Gapapa, Pa,” ujar Om Kais lembut sambil menepuk punggung tanganku.Aku langsung mengangguk, semaki

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Melepas Rindu

    Tempat nongkrong terasik selain gazebo depan rumah itu ya gazebo taman komplek. Apalagi kalau waktunya pas—ada ibu-ibu komplek lagi senam sore.Sengaja aku bawa bantal leher biar bisa rebahan, plus cemilan dan es kopi. Paket healing ekonomis.Dari posisiku yang selonjoran, aku melihat Mama sedang menggerakkan badannya mengikuti instruktur senam, bersama para tetangga lain. Musiknya kenceng, penuh semangat, tapi tetap anggun ala Mama.“Binar, kamu kenapa? Tumben kalem. Pantesan matahari sejak pagi redup,” suara seseorang terdengar dari belakang.Aku menoleh.Mas Zaka—tetanggaku, teman kecilnya Mas Pandu, seorang notaris yang wajahnya mirip aktor China. Di tangan kirinya ada dua tali leash untuk kedua anak anjingnya.“Aku lagi galau tapi nggak merana, Mas,” jawabku sambil mengibaskan bantal leher.“Kenapa?” tanyanya sambil duduk di pinggir gazebo.“Kangen tunanganku. Hah! Katanya mau cepat pulang, tapi dua minggu nggak balik-balik dari Jepang.”Mas Zaka cekikikan. “Sekarang LDR nggak be

  • Hai Om, Aku Calon Istrimu!   Beda Keyakinan

    Kami masih duduk menikmati pemandangan sungai ketika adzan Dzuhur berkumandang dari mushola kecil sebelah resto. Aku langsung merapikan rambut dan berdiri.“Mas, Mbak, aku ke mushola dulu ya,” ujarku sambil mengambil tas kecilku.Mbak Nindi tersenyum. “Iya, Dek. Silakan.”Aku mengangguk. “Mbak Nindi ikut?”Mbak Nindi menggeleng pelan. “Aku nggak sholat, Dek.”Refleks aku bertanya, polos, tanpa berpikir jauh, “Oh, lagi halangan ya, Mbak?”Begitu ucapan itu keluar, seketika otakku menampar diriku sendiri.BODOH BINAR.Karena…Barusan kami main tubing.Loncat-loncat.Kejedot batu.Kebawa arus.Mana ada orang menstruasi mau ikut beginian.Jantungku langsung terasa mencelos. Ada hawa dingin naik dari tulang belakang.Aku mencoba menepis pikiran yang—aku berharap banget—SALAH.Mbak Nindi menatapku sebentar, tidak tersinggung, hanya tampak hati-hati.“Aku nggak sholat karena—” Dia berhenti, menarik napas pelan. “Nggak apa-apa, kan, kalau aku jujur?”Aku mengangguk cepat. “I-iya, Mbak. Tentu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status