LOGINAku memasuki gedung kantor KTech Innovation sambil membawa dua kantong besar berisi kotak-kotak makanan. Berat banget. Untung satpam di pintu masuk membantuku membawanya sampai ke lobby."Makasih ya, Pak." Aku tersenyum ke satpam yang baik hati itu."Sama-sama, Mbak Binar.”Di meja resepsionis, ada Mbak Ahza—sepertinya resepsionis baru. Dia sedang mengetik sesuatu di komputer."Mbak Ahza, ada Mbak Binar. Mau ketemu Pak Kais tapi beliau masih meeting." Pak satpam menjelaskan."Oh! Selamat sore, Mbak Binar!" Mbak Ahza langsung berdiri, menyapaku dengan ramah. "Saya Ahza. Salam kenal!""Salam kenal juga, Mbak Ahza,” jawabku. "Aku tunggu di sini aja ya. Nggak mau ganggu meeting-nya Om Kais."“Gak nunggu di ruang kerjanya Pak Kais saja, Mbak? Disana lebih nyaman,” ujar Mbak Ahza yang terlihat sungkan padaku.“Bosan kalau sendirian. Aku mau disini saja,” balasku."Kalau begitu silahkan duduk, Mbak." Mbak Ahza menarik kursi tunggu di sebelah meja resepsionis. "Mau minum apa? Kopi? Teh?""Ngg
Cabang cafe milik Mama memang baru terasa cozy—meskipun bangunannya tak sebesar cafe dekat kampus. Aroma kopi dan kue-kue segar memenuhi ruangan, sementara musik jazz instrumental mengalun pelan dari speaker.Aku dan Safa duduk di meja pojok—tempat favorit kami. Laptop terbuka, berkas-berkas revisi BAB 5 berserakan di meja, dua gelas kopi latte dan sepiring brownies di tengah."Jadi, bagian analisis data kamu udah sesuai sama masukannya Pak Edwin belum?" Safa bertanya sambil mengetik di laptopnya."Udah. Kemarin aku revisi semua. Tabel-tabelnya juga udah diperbaiki. Tinggal kesimpulan aja yang masih harus ditambahin referensi." Aku mengambil brownies, menggigitnya. "Kamu gimana? Udah selesai?""Hampir. Tinggal diskusi sama daftar pustaka." Safa menghela napas. "Dokter Edwin killer banget sih. Detailnya minta ampun.""Iya, tapi setidaknya beliau konsisten. Nggak kayak dosen lain yang maunya berubah-ubah." Aku menyeruput kopi."Bener juga sih."Kami fokus mengerjakan revisi masing-masin
Koridor lantai tiga Fakultas Kedokteran tampak ramai oleh lalu lalang mahasiswa. Ada yang membawa tumpukan buku tebal, ada yang mengobrol sambil menyesap kopi, dan ada pula yang duduk di lantai, belajar kilat menjelang bimbingan.Aku dan Safa duduk di bangku tunggu panjang di depan ruang dosen pembimbing. Aku membuka laptop, memeriksa revisi skripsi yang sudah aku kerjakan semalam. Safa di sebelahku sibuk dengan ponselnya, sesekali tersenyum-senyum sendiri—pasti chat-an sama Mas Rayyan."Sa, kamu udah siap belum buat bimbingan?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari layar laptop."Udah. Kemarin aku revisi BAB 5 sesuai kata dosen. Tinggal nunjukin aja." Safa meletakkan ponselnya. "Kamu gimana? Udah selesai revisi yang kemarin?""Udah. Tapi aku nervous banget. Pak Edwin kan killer. Pasti ada aja yang salah." Aku menghela napas."Santai aja. Kamu kan pinter." Safa menepuk bahuku.Tiba-tiba, aku melihat sosok familiar berjalan dari ujung koridor. Mama Maya melangkah mendekat sambil mem
Lampu kamar telah diredupkan. Hanya satu lampu yang menyala, menciptakan cahaya temaram. AC berhembus pada suhu 24 derajat—dingin, tapi tetap nyaman.Kami sudah berbaring di ranjang. Aku dipeluk erat dari belakang oleh Om Kais—posisi favorit kami. Tubuhku pas di lengkungan tubuhnya. Tangannya melingkar di perutku, dagunya bertengger di puncak kepalaku. "Bunny—" aku memanggil pelan."Hmm?" Om Kais bergumam, matanya sudah setengah tertutup. Dia pasti lelah setelah mengurus segunung pekerjaannya."Bunny masih melek kan?""Iya. Kenapa, Sayang?" Dia mengecup puncak kepalaku."Aku mau cerita! Tadi aku ke mall sama Mama kan? Nah, di sana kita ketemu temen Mama!" Aku langsung bersemangat, memutar tubuh menghadapnya.Om Kais membuka mata, menatapku dengan senyum geli. "Iya, terus?""Namanya Tante Ratih. Tante-tante yang... ya gitu deh pokoknya!" Aku mulai duduk, excited. "Jadi gini, Bunny. Aku lagi mau coba dress kan, terus tiba-tiba dia datang. Terus dia lihat aku, dia tanya, 'Ini siapa? Adi
Setelah membeli peralatan dapur, Mama Maya mengajakku ke butik langganannya yang berada di lantai tiga mall ini. Begitu masuk, suasananya langsung terasa mewah—lampu kristal besar menggantung di plafon, dress-dress bermerek terpajang rapi di rak, dan sebuah sofa velvet disediakan sebagai tempat duduk, lengkap dengan meja kaca berisi air mineral premium.Aku berdiri di depan cermin besar, memegang sebuah dress biru navy dengan detail sederhana di bagian pinggang. Mama Maya duduk di sofa, menatapku dengan senyum hangat."Mama, yang ini bagus nggak?" Aku berputar, memamerkan dress yang kutempelkan di depan tubuh."Bagus, Nak. Tapi coba yang warna emerald di sebelah kiri. Warnanya lebih cocok sama kulit kamu." Mama Maya menunjuk dress lain."Oh iya!" Aku berlari kecil—lebih tepatnya melompat-lompat—mengambil dress emerald itu. "Wah! Ini cantik banget, Ma! Tapi kayaknya mahal deh.""Nggak apa-apa. Mama yang bayar kok. Ini kan buat acara ulang tahun rumah sakit. Kamu harus tampil cantik. Na
Sinar matahari pagi menembus celah tirai, menciptakan garis-garis cahaya keemasan di lantai kamar. Jam di meja nakas menunjukkan pukul 09.15.Aku masih meringkuk di bawah selimut tebal, rambut berantakan menutupi sebagian wajah. Laptop masih terbuka di meja belajar—menjadi saksi bisu perjuanganku menyelesaikan revisi skripsi hingga pukul tiga dini hari.Om Kais baru saja selesai mandi. Rambutnya masih basah, kaos dan celana training hitam melekat di tubuhnya. Dia keluar dari kamar, mengambil pakaian yang baru diantar ibu laundry kemarin.Pakaian-pakaian itu dibawanya ke ruang walk-in closet, lalu disusunnya rapi di dalam lemari berdasarkan kategori—mulai dari kaos, celana, handuk, hingga pakaian dalamku.Setelah selesai, dia mengambil vacuum cleaner. Mulai menyedot debu di ruang tamu, ruang kerja, kamar tidur.Jam sepuluh tepat, aku mendengar langkah kaki Om Kais menuju dapur. Suara pintu kulkas terbuka, disusul bunyi peralatan masak yang saling beradu. Aku tidak perlu melihat untuk t







