Darmawan tertawa, jauh lebih keras, bahkan sampai terbatuk. Ucapan Amira dia anggap lucu.
"Polos sekali kamu, Amira." Sambil berdiri dan kembali masuk ruangan dalam, lalu kembali dengan membawa beberapa map di tangan, dan diletakkan di atas map proposal yang Amira bawa.
"Semua proposal ini, sama seperti yang kau bawa, Amira. Menawarkan kerjasama dengan perusahaan tempatku bekerja," ujarnya, lalu mengambil salah satu map, seperti ingin menjelaskan sesuatu kepada Amira.
"Map yang ini, baru sampai sore tadi. Perempuan juga sepertimu, lebih profesional sepertinya, karena jelas-jelasan lebih berani menggoda, bahkan sampai membuka bajunya. Gilaa!" sambil membanting map tersebut ke meja,
"Kuusir dia mentah-mentah tanpa banyak bicara!" Sedikit keras nada bicaranya.
"Tapi entah kenapa, hal yang sama tidak bisa kulakukan terhadapmu," ucapnya pelan, sangat pelan, bahkan hampir saja tidak terdengar.
Terdiam mendengar ucapannya, tetapi Amira yakin, walaupun diucapkan pelan, dia juga menginginkan Amira ikut mendengarkan ucapannya.
"Apa yang harus aku lakukan terhadapmu, Amira?" tanya Darmawan. Bingung rasanya Amira harus menjawab seperti apa.
Sesungguhnya, tidak pernah Amira berbicara dengan lawan jenis selama dan sebanyak ini. Dengan Tante Banci pun dulu hanya sering mendengarkannya bercerita tanpa banyak bertanya. Takut-takut, Amira kembali meminta sebuah permohonan terhadapnya.
"Tolong saya, Om. Saya tidak ingin melakukan pekerjaan seperti ini," lirih Amira, meminta pengharapan terhadapnya. Terdiam Darmawan sejenak. Matanya tetap menatap tajam, lalu mengambil bungkus rokok dan pemantik yang tergeletak di atas meja. Mengambil satu, mengisapnya, dan mengembuskan asapnya perlahan.
Pria paruh baya itu masih tetap terdiam, seperti sedang berpikir. Menimbang-nimbang segala hal yang bisa terjadi jika dia ingin menolong, atau mungkin sedang mencari jalan keluar tentang permasalahan Amira.
Ahh ... mungkin hanya perkiraan aku saja, bisa saja dia memikirkan hal lain yang tidak ada sangkut pautnya denganku. Ucap hati Amira.
"Apa yang kudapatkan jika aku menolongmu, Amira?" tanya Darmawan pelan, tetapi membuat Amira kaget dan tergagap. Entah harus menjawab apa pertanyaannya, karena tidak ada apa pun yang bisa Amira berikan untuknya.
Apa uang dua ratus ribu rupiah yang Asmah berikan untuknya cukup untuk membayar Om kaya raya tersebut?
"Saya hanya punya uang dua ratus ribu, Om," jawab Amira atas pertanyaan Darmawan. Terkaget sebentar dia mendengar jawaban Amira, sesaat kemudian tertawa terbahak-bahak, keras sekali suaranya. Hingga membuat wajahnya terlihat memerah, lampu ruangan tamu yang terang ini cukup bisa menampilkan tampakan parasnya.
"Kamu terlalu lugu dan polos, Amira," ujarnya, entah itu pujian atau ingin menjelaskan tentang kebodohan Amira.
"Tolong saya, Om Darmawan. Saat ini hanya om yang bisa membantu saya." genangan air mulai membasahi kedua matanya. Amira benar-benar berharap, semoga hati Darmawan terbuka.
Darmawan kembali menatap Amira dalam, mematikan rokoknya pada asbak di atas meja. Air mata Amira mulai menetes perlahan membasahi kedua pipi. Darmawan memalingkan wajahnya dari Amira, menarik napas dalam.
"Jangan menangis, Amira. Aku tidak tega melihat anak kecil menangis," sindirnya, atau memang itu tulus dari hatinya, entahlah.
'Tuhan, jika kata Tante Banci, Engkau memang benar-benar ada. Bantu aku untuk melembutkan hati Om Darmawan,' lirihnya dalam hati.
Amira benar-benar berharap, Darmawan bisa menolongnya keluar dari jeratan perangkap Mami Merry.
Dia tidak bisa membayangkan harus hidup seperti yang dijalani Asmah dan kawan-kawannya yang lain, benar-benar tidak ingin seperti mereka.Dibalik kesenangan berupa kemudahan dalam mendapatkan atau membeli sesuatu berupa materi, ada ketidakbahagian, kesedihan, dan penderitaan yang terpendam di dalam hati Asmah dan yang lainnya.
Asmah memang kadang bercerita, sekaligus menunjukkan barang-barang dan perhiasan mewah yang diberikan oleh pemakai jasanya, tetapi terkadang dia pun pulang dalam keadaan tubuh penuh luka lebam. Penyiksaan dan perlakuan kasar yang didapatkan setelah melayani pelanggannya yang menderita gangguan seksual.
Bukan hanya Asmah saja yang pernah mengalami kejadian buruk seperti itu, hampir semua pernah mengalaminya. Ketakutan, trauma, rasa sakit, harus mereka alami akibat dari kekerasan dan perlakuan yang tidak manusiawi yang mereka dapatkan. Mungkin hidup mereka bergerak lebih cepat. Kesenangan, kesedihan, berputar dan berganti dalam sekejap mata bahkan mungkin dalam waktu yang bersamaan.
Apakah hal itu mengganggu buat Mami Merry? Tidak sama sekali. Semua anak asuhnya dianggap barang dagangan baginya, bebas diperlakukan apa saja oleh pembelinya, asalkan ada keuntungan di dalam transaksi tersebut.
Monster Raksasa itu sudah tidak lagi punya hati nurani. Bisnis kotor yang dijalaninya, uang hasil transaksi haram yang dimakannya, membuat hatinya menghitam legam, tidak mampu lagi tertembus cahaya, baik berupa rasa iba, kasihan ataupun khawatir atas nasib anak buahnya, semua sudah tidak mempan baginya.
"Amira?" Sebuah teguran dari Darmawan menyadarkan dia dari keterlamunan.
"Saya, Om," jawabnya, sembari jemari tangan merapikan helaian rambut yang berjuntai di kening, berlanjut dengan mengusap air yang mengalir dari mata, sehingga membuat pipi ranumnya menjadi basah.
"Mari ikut aku."
Amira mengikuti di belakang Darmawan, berjalan ke arah samping villa tersebut. Melewati kolam renang, lalu berjalan ke arah taman yang berbentuk seperti bukit kecil agak sedikit naik menanjak. Dengan jalan setapak selebar setengah meter, berkerikil-krikil kecil dan lampu-lampu taman berbentuk bulat di kiri dan kanan jalan tersebut. Terdapat juga enam buah lampu dengan cahaya redup yang terlihat berjejer rapi saling berhadapan.Sesampainya di atas bukit kecil, terdapat sebuah bangku setinggi setinggi lutut dengan panjang sekitar dua langkah, terbuat dari kayu berpelitur. Membuat gundukan tanah seluas hampir lapangan bulu tangkis yang di selimuti rumput-rumput hijau terlihat indah menawan. Sebuah pohon berukuran sedang namun berdaun rindang bertahan berada di samping bangku kayu tersebut."Duduk Amira." lebih terdengar seperti pesanan daripada sebuah ajakan. Amira pun duduk di samping Darmawan dan mulai memperhatikan pandangan ke arah depan. Terpana dan terlihat menakjubkan melihat
Lembabnya suhu udara dingin pegunungan, mungkin salah satu yang membuat butiran embun datang lebih cepat dibandingkan ditempat lain. Sweater tebal yang dipakai Amira, sedikit banyak mampu meredam cengkraman dingin yang menusuk tubuh, tetapi tidak pada telapak tangannya yang terbuka.Rasa dingin seperti akar yang merambat. Semakin lama akan semakin kuat, begitu pula yang dirasakan gadis muda itu.Dingin yang berasal dari jemari tangan yang terbuka, mulai terasa menusuk, sehingga membuatnya terbangun perlahan. Mengerjap sebentar, lalu tersentak saat tersadar, jika sedang berada di dalam pelukan Darmawan.Menarik tubuh dan tangannya perlahan dari tubuh pria dewasa tersebut, lalu memberanikan diri menengadahkan kepalanya,Memandang wajah Darmawan yang sedang tertidur bersandar dari jarak sedekat ini.Terasa ada desiran halus melintas di hati Amira, paras wajahnya mulai terasa hangat.Darmawan, pria pertama yang bisa sedekat ini dengannya, satu-satunya lelaki yang pernah memeluk dan dipelu
"Dia, Amila. Memang owe yang kilim buat Bapak," jawab Bos Gendut, menjelaskan. "Pak Malkus puas dengan pelayanannya?" tanya si Bos."Sudah kuduga, mereka semua mengira bahwa aku adalah Markus," batin Darmawan."Berarti dugaan adanya permainan dalam proyek perusahaan yang dicurigai oleh kantor pusat benar adanya," ucap Darmawan, dalam hati."Pelayanan apa maksudnya, Bos?" Darmawan mencoba meminta penjelasan, walaupun dia tahu maksud dan arah dari pertanyaan tersebut."Ah, masa Pak Malkus tidak paham," ucap Bos Gendut, sembari tertawa cengengesan bersama teman di sebelahnya."Loh, saya memang benar-benar tidak paham," ujar Darmawan, mencoba meyakinkan.Mereka saling menoleh satu sama lain, seperti kebingungan."Lalu, si Amila semalaman sama Pak Malkus?" tanya si Bos, sambil menatap ke arah Amira, yang duduk di samping Darmawan, berhadapan dengan mereka berdua."Anda tahu, berapa usia gadis ini?" Darmawan mulai berbicara tegas, jemarinya menunjuk ke arah Amira. Sekali lagi Bos Gendut dan
"Jika begitu tidak apa-apa, sekalang ... owe mau pamit," ucap si Bos, lalu tatapan matanya di arahkan kepada Amira."Amila, ikut owe pulang sekalang!" perintahnya, sambil bersiap-siap untuk berdiri. Sepertinya dia sadar jika dalam posisi yang tidak menguntungkan dan ada di bawah tekanan.Darmawan berdiri bergerak cepat, menahan mereka untuk pergi, dengan menyongsongkan sebelah tangannya, seperti memberi kode agar mereka berdua duduk kembali."Duduk dulu sebentar, masalah kita belum sepenuhnya selesai!" tegasnya.Bos Gendut dan koleganya perlahan duduk kembali, lalu diikuti oleh Darmawan.Dimas mengangguk, setelah melihat Darmawan memberikan kode, memintanya untuk mulai bicara."Boleh saya tahu, nama Bapak-bapak ini siapa?" tanya Dimas kepada kedua orang yang ada di depannya. Sebelum memulai pembicaraan ke arah yang lebih serius."Owe, Ayung. Temen owe, Beng-Liem," jawab Bos Gendut, memperkenalkan nama mereka berdua."Bapak-bapak ini tahu, kan, usia gadis ini berapa?" tanya Dimas, mere
Pertanyaan Darmawan benar-benar membuat Amira bingung dan sulit untuk menemukan jawabannya."Saya tidak tahu, Om," jawab Amira, masih dilanda kebingungan. Darmawan pun tidak melanjutkan pertanyaan, karena gadis itu pernah bercerita jika sudah dirawat Mami Merry sejak dari balita."Kamu tidak ingin tahu keberadaan orang tuamu, Ra?" Dimas sekarang yang bertanya."Bagaimana caranya, Mas," jawabnya, rasa kekhawatiran kembali menyesap ke dalam diri Amira. Dimas terdiam, sedikit banyak dia cukup tahu tentang Amira dari cerita Darmawan."Om?" panggil Amira kepada Darmawan. Pria mapan yang baru saja menolongnya ini langsung menatap Amira tanpa bersuara. Dan Amira kembali bertanya."Saya harus bagaimana, Om?" tanya Amira bingung, dia benar-benar tidak tahu harus berbuat apa lagi."Kamu sudah bebas, Amira. Sekarang kamu bisa pergi kemana saja yang kamu mau," jelas Darmawan, matanya dalam menatap Amira."Tapi kemana, Om?" Amira benar-benar dilanda kebingungan. Seumur hidupnya, hanya baru dua har
Sebuah pesan masuk ke gawai, Mami Merry. Dibuka dan dibacanya pesan dari koh Ayung, pemenang tender atas keperawanan Amira.Koh Ayung mengajak bertemu di sebuah rumah makan yang tidak jauh dari pabrik miliknya, siang ini juga. Karena ada hal penting yang ingin dibicarakan, dan Mami Merry bersedia menemui pelanggan setianya."Mungkin, Koh Ayung akan memperpanjang masa sewa, Amira. Karena puas dengan pelayanan yang Amira berikan." Mami Merry tersenyum dan tertawa bahagia."Si banci memang paling bisa diandalkan dalam mendidik anak-anak." Tersenyum sendiri Mami Merry."Kau memang calon primadona baru, Amira. Ladang duit dan tambang emas baru buatku," ucapnya terkekeh, lalu bergegas pergi untuk menemui Koh Ayung.÷÷÷Mami Merry tiba di restoran tempat di mana Koh Ayung ingin bertemu, dengan ditemani Tante Banci dan dua bodyguardnya. Sesampainya di tempat pertemuan, terlihat begitu banyak petugas pengamanan di situ, seperti security-security-nya pabrik Koh Ayung, ada sekitar lima orang pet
Tante Banci mulai terlihat ketakutan, lalu berdiri, menghindar menjauh. Mami Merry sadar, situasi tidaklah menguntungkannya, apalagi posisi pabrik Koh Ayung tidaklah terlalu jauh dari tempat pertemuan ini, akan mudah bagi mereka untuk meminta bantuan.Mami Merry memutuskan untuk pergi dari tempat pertemuan, sambil terus mengomel-ngomel sepanjang jalan. Rasa jengkel, kesal dan amarah benar-benar menguasainya, ladang penghasil duitnya sudah terlepas dari tangannya."Eh, Banci, coba telepon itu Koh Ayung. Tanyakan, siapa nama orang yang membawa si Amira pergi." Perintah Mami Merry kepada Tante Yusnia, saat mereka sudah di dalam kendaraan."Baik, Mi," jawab Tante Banci, lalu mulai menelpon Koh Ayung."Sudah, Mi. Sudah dapat namanya dan nama perusahaannya," jawab Tante Banci."Catat namanya, si anak yang tidak tahu di untung itu, pasti ikut bersamanya." Masih terdengar jengkel suara Mami Merry."Baik, Mi." Tante Yusnia mulai mencatat apa yang dibilang Koh Ayung melalui gawainya.Sesampainy
Bahagianya Amira, hari ini adalah hari di mana dia bisa merasakan arti dari sebuah kebebasan.Amira merasakan, jika udara pegunungan pagi ini adalah udara terbaik yang pernah dihirupnya selama ini."Ternyata beginilah rasanya udara kebebasan," ucap bathinnya. Matanya memandang lurus ke arah pegunungan yang menjulang dengan indahnya. Dikelilingi hamparan kebun-kebun teh yang menghijau.Terlihat asap dingin halimun menyelimuti tipis di lingkungan sekitar villa.Terdiam, menangis Amira dalam kebahagiaan yang tiada terhingga, ingin rasanya dia bernyanyi dan menari untuk mengungkapkan betapa bahagianya dia pagi ini."Inilah hari terbaik dalam hidupku," ungkap bathinnya lagi. Sembari mengusap pelan butiran air yang jatuh dari sudut netranya.Sebuah tepukan pelan menyentuh bahunya, Darmawan tersenyum berdiri di sampingnya, dengan Dimas yang berdiri agak sedikit di belakang, hanya diam memperhatikan."Ayu, Amira ... kita pulang," ucap Darmawan, sembari melangkah mendahului Amira menuju kenda