“Untuk apa?” Kali ini Salman mengangkat setengah badannya dengan bertopang tangan. “Biasanya Umi sering memberi masukan atau apa?”“Biasanya Abi bertanya, sekarang hanya menyampaikan keputusan. Jadi suara Umi buat apa?"Ia menghempaskan kepalanya ke bantal. "Setidaknya bertanya mengapa?""Andai pun Umi tahu alasannya apa, untuk apa? Dan seandainya ada ketidakcocokan cara berpikir kita, hanya akan menambah runyam kan?"“Tidak salahnya kan Abi tahu pendapat Umi?”Salwa menghempaskan napasnya. “Sebenarnya apa yang ingin Abi katakan?”“Aneh aja, tanpa komentar Umi,” lirih Salman dengan memasang wajah merajuk dan memejamkan mata.“Baiklah, sebenarnya Umi penasaran, mengapa Abi menolaknya, padahal harga sewa lumayan tinggi? Dan Abi tahu sendiri mencari penyewa itu susah, apalagi zaman sekarang ini. Kalaupun ada belum tentu berjalan mulus, dan Abi sering ngalamin itu. Sedang Aditya, aku tahu betul sifatnya. Dia akan selalu bertindak jujur dan bertanggung jawab, apapun itu.” “Ini yang aku t
“Sayang, lihat deh, ini baguskan?” Jamilah memperlihatkan gambar gamis syar’i di sebuah toko daring. Haikal yang nyemil di dapur ikut menyimak. Tangannya menatap layar ponsel, tetapi telinganya memindai percakapan di ruang tengah. Ia ingin tahu bagaimana respon ayah tirinya terhadap kebiasaan ibunya. “Bagus,” ucap Salman setelah mencermati gambar itu. “Tapi ini terlalu heboh.”Jamilah berdecak. “Ketinggalan zaman banget sih kamu."“Bukan ketinggalan zaman enggaknya. Dari segi warna juga desain, ini terlalu mencolok. Hal ini seperti akan mengundang perhatian. Fungsi pakaian adalah menutupi aurat, apa artinya tertutup kalau pada akhirnya jadi perhatian dan kalau di tempat umum kita tidak bisa menghindarkan dari pandangan laki-laki yang bukan mahram.”Haikal mengernyit. Tanpa sadar ia mengambil kacang goreng di toples dan menyuap, padahal mulutnya masih penuh.“Sayang, sederhanakanlah gaya hidup kita. In sya Allah, hidup kita akan nyaman. Tanpa harus dituntut oleh hawa nafsu juga zaman.
“Assalamu ‘alaikum.” Sontak ia memutar badan ke arah suara. Begitu juga dengan Salwa. Telah berdiri seorang perempuan berkerudung dan berpakaian formal berhadapan dengan mereka. “Istri Pak Bayu?” tanya Salman. Perempuan itu mengangguk. “Nama saya Anita, Pak.” Salman berpaling ke arah istrinya. “Dia pemilik toko kue ini.” Anita tersenyum lebar. Ia mengulurkan tangannya kepada Salwa. “Anita.”“Sepertinya saya pernah melihat Anda. Di mana ya?” tanya Salwa setelah memperkenalkan dirinya.Anita mengangguk. “Saya kakaknya Cahya. Iya saya pernah melihat Anda di pernikahan Cahya.”“Ooh iya. Benar kakaknya Cahya. Ma sya Allah. Senang bertemu dengan Anda.”“Saya lebih senang lagi karena bertemu dengan seorang ustadzah dimana adik saya menghafal dan menimba ilmu. Mmm ... jika berkenan, saya ingin menjamu Anda sekeluarga. Bagaimana?”Salwa tersenyum. “Kita jangan berbahasa formal begini dong, nggak nyaman.”Anita tertawa. “Saya tidak masalah, tapi walau bagaimanapun Anda ustadzah adik saya.
“Umi sudah selesai ngajinya?” pertanyaan Salwa menembus lamunannya. Ia hanya menjawab dengan anggukan. “Kalau sudah sini dong,” sambung Salman. Ia berdiri, meletakkan mushaf ke atas lemari, lalu duduk di samping Salman. Tiba-tiba saja ia tergoda meletakkan kepala di atas paha Salman. Salman langsung membetulkan posisinya supaya ia berbaring dengan nyaman. Tangan Salman mengelus lembut rambutnya. Ah, ia lupa kapan terakhir melakukan itu. Ia berbalik, lalu menenggelamkan wajah di pinggang Salman. *** Saat hari pernikahan sepupu Salman tiba. Resepsi dilangsungkan di sebuah gedung di tengah kota. Salman sengaja mengantar Salwa lebih awal, karena juga mengajak Jamilah menghadiri resepsi itu. Meski poligami masih dianggap tabu, Salman tidak ingin menyembunyikan status Jamilah di antara keluarga besarnya. Inilah kesempatannya untuk mengenalkan Jamilah pada mereka. “Salwa, benar Salman telah menikah lagi?” tanya seorang perempuan, salah satu kerabat Salman, biasa dipanggil Mona. Mereka d
"Punya Salwa, juga dari Kencana kan. Salman pasti adil kan?" todong Mona.Salwa mengernyit. Mengapa saat bicara padanya, Mona tidak menambahkan Kak, berbeda jika berbicara dengan Jamilah. Salwa menggeleng. "Ini pemberian wali santri.""Jangan bilang Salman tidak adil padamu! Kamu jangan memperburuk Salman. Meski cintanya telah terpaling, kamu tetap harus jujur.""Bukan beg--""Kenapa kamu yang nyolot, Mon? Aku yakin Salman adil pada Salwa. Hanya saja mungkin tidak berbentuk pakaian. Kita semua tau kayak apa Salwa. Dia terbiasa sederhana,""Sederhana apa kere?!" Mona sengaja memonyongkan mulutnya."Sudah sudah kenapa membahas pakaian," sela Jamilah melerai. Salwa hanya diam menatap Jamilah. Ia merasa Jamilah bukan membela, melainkan untuk menonjolkan diri. "Orang mulai berdatangan, tak baik saling adu mulut."Nabila dan Mona saling mencebikkan bibir. Salwa menenangkan Nabila dengan menepuk tangan. Tiba-tiba mata Nabila menangkap kancing yang melekat pada lengan gamis yang dikenakan Sa
“Kamu memang patut diacungkan jempol, Haikal,” ucap Salwa sambil memperhatikan bagian kerah. “Tapi label harganya mana?”“Oo, mungkin sudah hilang, saya tadi juga mencari. Tidak ada. Mungkin pakaian sudah terlalu lama, sampai hilang. Kalau Tante suka, gamis ini gratis untuk Tante. Tidak apa kan kalau ini pakaian lama?”“Tidak apa, saya menyukainya. Tapi kasih saja harganya berapa?”“Tidak, Tante. Anggap saja, ini sebagai hadiah dari wali seorang murid. Seharusnya saya malu telah memberikan kepada Tante barang la--”“Tidak masalah, saya menyukainya, kok. Terima kasih, ya,” potong Salwa. Ia jengah dengan sikap rasa bersalah yang ditunjukkan Haikal.Silmi mengulum bibirnya, menahan tawa. Ia tahu, gamis yang diberikan Haikal, bukalah barang murahan. Ia menduga, yang dilakukan Haikal di balik meja ada memotong lalel gamis itu supaya tidak dilihat oleh Salwa.*** 🌸🌸🌸Salwa langsung menghempaskan tubuhnya begitu sampai di rumah, setelah lelah lahir batin menyergapnya. Memori di resepsi p
"Sekarang jam berapa?" Salsabila meraih ponsel yang tak jauh darinya. Layar ponsel memperlihatkan angka 8:30"Innalilah, kenapa tidurnya nyenyak sekali ya? Salsa sudah salat?" tanyanya sambil bergegas berdiri.***Mata Salwa membesar begitu melihat santriwati yang giliran menyetorkan bacaannya. “Masya Allah, Haira. Kok bisa sampai di sini?!”“Aku sudah bilang akan bekerja keras supaya bisa jadi murid Ustadzah. Sekarang aku sudah membuktikannya,” jawab Haira penuh semangat. “Luar biasa!” Salwa ingat, ia pernah mendatangi ustadzah kelas Haira. Menanyakan bagaimana keadaan Haira. Ustadzah itu bilang, Haira masih pemula. Secara membaca, Haira memang bisa dibilang lancar, tapi pembawaan sebelumnya, membaca makhorijul huruf tidak tepat. Ia tidak menyangka, baru sebulan Haira sudah bisa menaiki tangga, masuk ke kelasnya. “Lakukanlah karena Allah, supaya Allah terus membantumu,” imbuh Salwa. Haira mengangguk. “In sya Allah.”“Bacalah! Nanti setelah selesai kelas, tunggu Ustadzah di luar.
"Abi, kemarin Salsa telepon, kenapa tidak diangkat?" Gerakan Salwa terhenti ketika mendengar pertanyaan Salsabila kepada ayahnya. Berganti dengan dialog dari kartun negeri jiran yang sedang mereka tonton. "Kemarin Salsa ada telpon Abi? Kapan?" tanya Salman. Spontan ia keluar dari aplikasi merah itu, lalu menyentuh ikon aplikasi panggilan. "Tidak ada panggilan. Salsa lihat kan?" Salsa mengangguk. "Salsa memang telepon, Bi. Habis salat Magrib, tapi tidak diangkat-angkat," gerutu Salsa dengan wajah cemberut"Oh iya, Abi kemarin salat terburu-buru. Habis Isya baru pulang ke rumah. Lihat hp, ternyata ponselnya nggak aktif.""Nggak aktif? Salsa tau kok itu sempat tersambung, tapi dimatikan. Salsa telepon lagi, dimatikan lagi. Sampai akhirnya mati beneran.""Masa sih?" Salman mengerutkan kening. Ia bertanya-tanya mungkinkah Jamilah yang mematikan? Ia juga teringat, baterai ponselnya masih banyak. Namun, waktu itu ia tidak begitu peduli."Ih Abi, kenapa Salsa bohong?" "Iya iya, Abi pe