Salsabila duduk. "Tapi kenapa sekarang malah tambah sibuk? Seling hari lagi. Abi kemana sih?" "Sayang, Abi--" "Baiklah. Hari ini kita jalan-jalan." Salman tiba-tiba muncul di balik pintu. Salwa menatap cemas. Ia masih tidak bisa melupakan wajah suram Salman waktu mereka rekreasi ke pantai. Seketika nyeri kembali muncul dan merayapi tubuhnya. Mengapa semakin lama, semakin banyak situasi yang membuatnya nyeri. "Benarkah?" Salsabila terlonjak gembira. Salman mengangguk. Ia duduk di samping putrinya. "Salsa mau kemana?"Salsabila menengadahkan wajahnya, dengan meletakkan jari di dagu. Salwa tertawa melihat tingkah Salsa, tetapi bersamaan dengan itu matanya mulai mengaca.“Rupanya belum tau ya mau kemana?” celetuk Salman. Salsabila tersenyum cengengesan. “Kalau kita ke pantai, boleh?”Salwa menahan napasnya. “Kalau itu kejauhan. Perjalanan pulang pergi jadi 4 jam. takutnya kita kecapekan kaya kemarin. Besoknya Salsa harus sekolah lagi kan?"Salsabila mengangguk. "Kalau begitu sekita
Ia berusaha melepaskan, tetapi kedua tangan itu semakin mengerat. “Aku tidak akan melepaskan sebelum Umi memaafkanku.”“Untuk apa? Semua telah terjadi. Abi telah melukainya hanya karena masalah pribadi.”“Aku sangat capek, tiba-tiba saja dikuasai emosi,” bela Salman.Salwa berbalik. Ia mengusap kasar wajahnya. “Capek?” Mata merahnya semakin nanar. “Kamu capek karena terpaksa melakukannya.”“Kamu juga tahu, aku tidak suka jalan-jalan?!”Salwa tersenyum sumbang. “Bi, kami tahu kamu tidak suka keramaian. Coba Abi hitung, sekian tahun kita menikah berapa kali aku meminta jalan-jalan?”Bibir Salman bergerak-gerak tapi tidak ada suara yang keluar.“Oke, tidak usah hitung usia pernikahan kita. Usia Salsa saja. Atau setahun ini berapa kali Salsa minta jalan-jalan ke Abi? Baru kali ini kan?”Salman mengangguk.“Karena ia tahu abinya sibuk. Jika ia bisa memahami kondisi abinya, kenapa kamu tidak berusaha untuk memahami kondisinya? Dia anak-anak, wajar saja jika dia ingin main-main dengan ayahn
"... Barangsiapa bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri …." (Qs. An-Naml: 40)***Berkat kerja kerasnya, Haira dapat menyelesaikannya bacaannya satu kali khatam dengan baik dan lancar. Ia telah menaiki satu tingkat lagi, sekarang ia telah berada di kelas tahfiz. Di kelas tahfiz inilah ia mengalami kesulitan menghafal. Dalam satu bulan, hafalan tidak bisa naik dari sepuluh surah juz belakang.Atas saran Salwa, Haira dimasukkan ke kelas Silmi. Ustadzah khusus menangani santriwati yang kesulitan dalam menghafal.“Bagaimana hafalannya, Haira? Ada perkembangan?” Salwa menyempatkan diri menjenguk Haira setelah selesai kelas.“Belum ada perkembangan, Ustadzah,” sahut Haira dengan muka cemberut. “Ga nyantol. Hari ini dihafal, besok bisa hilang. Ulang lagi.”“Ustadzah Silmi ngajarin kamu teknik apa?""Menghafal dengan melibatkan indra lainnya seperti penglihatan, pendengaran dan perasa.”“Kita coba dulu ya. Seminggu berikutnya kita lihat bagaimana hasilny
Salsabila membulatkan matanya. “Apa itu, Om?”“Bentar. Tunggu, ya.” Aditya berlalu, tak lama datang dengan membawa potongan semangka yang masih terbungkus plastik. “Woah.” Mata Salsabila membesar. Ia mengangkat tangannya, tetapi turun kembali, lalu menoleh ke arah ibunya. Ia tersenyum ceria, ketika mendapat anggukan ibunya. “Terima kasih, Om,” ucapnya sambil menyambut potongan semangka itu. “Sama-sama.”"Tapi Om, Salsabila harus makan di sini." "Salsa," tegur Salwa.Salsabila lupa dengan peraturan yang dibuat ibunya."Kenapa?" "Yah, Om. Kalau sekadar semangka, di jalan juga banyak. Kita harus makan semangka ini bersama. Ingat nggak waktu kita makan semangka di kebun nenek?""Waah, Salsa masih ingat?" Aditya memasang wajah kaget. Dalam hati ia berkata, ia pun tidak melupakan itu. Karena itu kenangan pertama kali setelah sekian tahun."Iya, dong. Itu semangka yang paaaling enak yang pernah Salsa makan.""Masa?!" Aditya membelalakkan matanya. Antusiasnya semakin tinggi. Ia melihat
"Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kehormatannya. Yang demikian itu lebih suci bagi mereka. Sungguh, Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." (Qs. An-Nur: 30)🌸🌸🌸Salman berubah banyak dari yang ia kenalnya sebelumnya. Kehangatan, bahkan tatapan mata tidak seperti dulu lagi. Sungguh itu selalu menyiksa dia. Perempuan manapun pasti ingin dinomorsatukan. Meski menyadari kondisi yang dihadapi, selalu ada saja bagian dirinya yang meletup-letup. Berpotensi menjadi ledakan sewaktu-waktu. Ledakan itu kadang menimbulkan obsesi ingin memiliki seutuhnya. Salahkah jika ia ingin memiliki Salman seutuhnya? Ia tidak sepenuhnya salah. Salman sendiri yang salah, jatuh dalam pesonanya. Jika mau disalahkan, Salwa juga salah karena tidak bisa mempercantik diri. Jangan salahkan Salman jatuh cinta padanya. Dihitung usia, Salwa lebih muda darinya. Bodo amat dengan usia. Bodo amat dengan kesederhanaan. Kenyataannya, pandangan di atas sega
“Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.” (Qs. Ar-Ruum: 21)🌸🌸🌸“Kak Haikal, sayang banget lho sama Kak Haira. Salsa mau nggak jadi adik Kak Haikal?” Salsabila mengangguk tanpa berkedip. Haikal tertawa dibuatnya. "Oh iya, HARA itu nama kalian berdua?" "Iya, Tante. HA dari Haikal dan Ra Haira.""Kalau boleh tau, kapan Hara berdiri?" tanya Salwa. "Kata almarhum Papa, setelah Haira lahir. Makanya diberi nama Hara. Papa bilang kedua anaknya membawa keberkahan baginya.""Masya Allah. Kalian memang anak-anak yang beruntung. Menjadi cahaya mata bagi orang tua.""Sayangnya, Papa tidak lama menemani kami." Seketika wajah Salwa berubah. "Maaf," sesal Salwa.Haikal terkekeh. "Tidak apa, Tante. Itu sudah lam
Salwa menggeleng. “Palingan juga karena maag. Biasanya cukup minum madu dan jahe, in sya Allah,” ucapnya sambil meletakkan tangan di atas dahi. Kepalanya pun kita terasa berat. “Tapi lihat, kamu keringatan gini.”“In sya Allah, akan pulih setelah istirahat. Jangan khawatir.”“Assalamu ‘alaikum, Umi.” Salsabila muncul dengan pakaian seragam sekolah. Ia mengulurkan tangannya kepada ibunya. “Yang saleh di sekolah, ya. Ingat, Allah selalu melihat kita!” nasihat Salwa setelah menjawab salam putrinya. “In Sya Allah, Umi.”“Kalau begitu, aku mengantar Salsa dulu, ya. Nanti aku balik lagi ke sini. In Sya Allah,” ucap Salman.Salwa mengangguk. “Hati-hati di jalan.” Ia memejamkan mata. Nyeri di kepalanya benar-benar tidak tertahankan. *** “Abi ga kerja?” tanya Salwa setelah menyadari Salman berada di sisinya. Salman menggeleng. Ia memiringkan badannya, lalu menyentuh dahi Salwa yang terasa sangat dingin. “Bagaimana sekarang perasaan Umi? Sudah agak baikan? Tidur Umi nyenyak sekali.”Sal
“Kamu ingat Aditya? Yang waktu bertemu di taman Siringan.”Haira menengadah. Sesaat kemudian ia mengangguk. Salwa menyandarkan punggungnya ke dinding.“Dia sahabat aku dari kecil. Rumahnya berseberangan dengan rumahku. Jadi kami sering menghabiskan waktu bersama. Bermain, belajar, ke mana-mana sampai kami sudah seperti saudara kembar. Ketika SMP kami sering jalan-jalan meski hanya seputar kota. Taman-taman atau tempat rekreasi kota. Sudah SMA baru diizinkan menyambangi tempat rekreasi yang sedikit menantang seperti mendaki gunung atau mendatangi air terjun.”Haira menyipitkan matanya. Berusaha mencerna cerita Salwa dan mencocokkan dengan penglihatan sesaatnya tentang laki-laki yang diceritakan Salwa. “Tapi mau ke mana pun kami pergi, mau ke kota, gunung, atau pantai, oleh-oleh yang kami buru adalah aksesoris.” Salwa terkekeh. Pandangannya ke depan, tetapi ingatan melayang jauh ke belakang. Betapa ia sangat merindukan hal itu.“Jadi aksesoris atau gelang ini sejenis simbol persahabata