Home / Romansa / Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia) / 3. Hidayah Di Tangan Allah

Share

3. Hidayah Di Tangan Allah

Author: El Nurien
last update Last Updated: 2022-09-19 19:29:43

Jamilah tersentak, dikejutkan oleh ketukan nyaring dan beruntun. Salman yang tidur di sampingnya ikut terkejut. 

“Ma! Haira hilang!”

Mata Jamilah membelalak. Sesaat ia saling bersitatap dengan suaminya, lalu meloncat dari ranjang. 

“Jamilah, kenakan pakaianmu!” seru laki-laki yang baru saja menikahinya. 

Jamilah tersadar badannya tanpa mengenakan sehelai kain pun. Secepat kilat ia menyambar handuk piyama yang tergantung di dinding lalu mengenakannya sambil berjalan. Anak pertamanya mondar-mandir dengan telepon di ruang tengah dengan ponsel di telinga. 

“Bagaimana bisa hilang? Kapan kamu terakhir melihatnya?” tanya Jamilah sambil mengikat tali handuk piyamanya. 

“Seharusnya aku yang tanya sama Mama!” Haikal keburu menutup mulutnya begitu melihat ayah sambungnya berdiri di belakang ibunya. 

Ia mendekati ibunya. “Ma, aku tidak akan memaafkan Mama, kalau Haira kenapa-napa!” ancam Haikal dengan wajah berapi-api.

Jamilah termundur. Hampir saja tubuhnya limbung andai tidak segera disangga suaminya.

“Hallo!” 

Haikal segera mengangkat telepon. “Haira, kamu di mana?” 

Mendadak Jamilah mempunyai kekuatan lagi. Ia menyambar ponsel di tangan Haikal. “Haira, kamu di mana, Nak?!” 

“Kak Haikal!” Jamilah kembali merasakan tubuhnya melemah.

Haikal langsung menyambar ponselnya. Haikal menjauh. “Haira, kamu di mana? Hah? …. Baiklah!” Tertatih Jamilah mengikuti anaknya yang masuk ke kamar. 

“Dia di mana? Dia baik-baik saja kan?” 

Haikal abai. Ia mengambil ransel, membuka lemari Haira lalu mengeluarkan beberapa lembar pakaian dan memasukkannya ke dalam tas. 

“Iya ... iya ….” Haikal beralih ke pintu lemari sebelah, mengeluarkan beberapa peralatan, juga memasukkannya ke dalam tas.

Tanpa menoleh ibunya, Haikal keluar rumah. Tak lama terdengar mesin motor gedenya menyala dan sesaat kemudian lenyap.

Jamilah menenggelamkan wajahnya ke dada suaminya. Tangisnya pecah. “Aku gagal jadi ibu."

Laki-laki itu mendekapnya. “Yang penting Haira sekarang baik-baik saja. Nanti kita lakukan pendekatan pelan-pelan. Sabar, ya!”

Jamilah melepaskan pelukannya. Dengan wajah sembabnya ia mengangguk. “Kau akan sabar membantuku 'kan?”

“In sya Allah," jawab suaminya sambil mengusap wajahnya dengan lembut. "Sekarang mandilah!” 

Laki-laki itu seketika memekik ketika  menoleh ke arah jam di dinding. “Astaghfirullaaah.” 

“Kenapa?” Jamilah ikut terkejut. 

“Kita belum shalat Subuh. Astaghfirullah .…” 

Jamilah mengernyit melihat tingkah suaminya yang memasuki kamar dengan terus mengucapkan istighfar. Ia menoleh ke arah jam di dinding. “Baru jam enam.” 

*** 

Laki-laki itu terisak dalam doa salat Subuhnya. Mulai baligh sampai dewasa baru kali ini, ia salat Subuh kesiangan. Jamilah mendekatinya dengan masih mengenakan mukena.

“Apa yang kautangiskan?” 

“Pagi ini aku kena musibah."

Jamilah tersentak. “Musibah apa?"

Salman menoleh ke arah istrinya. “Laki-laki wajib salat fardhu berjamaah. Hari ini aku salat fardu kesiangan dan tidak berjamaah."

Jamilah memasang wajah tidak mengerti. Mengapa dibilang musibah? Salat bukanlah barang. Lagi pula, bukankah itu di luar kesengajaan? 

Salman hanya menatap pasrah wajah awam istri barunya. Seketika ia teringat Salwa. Rindu kini menyergap relung hatinya. Selama di sisi Salwa, jangankan salat Subuh, bahkan salat Tahajud pun tidak ketinggalan.

Ia beristighfar dalam hati. Betapa ia telah melakukan kesombongan. Menikahi Jamilah untuk membimbingnya mengamalkan agama, ternyata dirinya sendiri pun selama ini ditopang Salwa. 

*** 

Dengan bermodalkan share lokasi, Haikal kini berada di depan pagar rumah minimalis bercat abu-abu kombinasi putih Terlihat Haira keluar dengan wajah semringah. Tidak terlihat tanda-tanda kesedihan di wajah adiknya. 

“Masuklah!” ucap Haira setelah membuka pagar. Haikal kembali menjalankan mesinnya, lalu memasuki halaman rumah. 

“Ini rumah siapa?” tanya Haikal sambil menyerahkan tas ransel yang sejak tadi ia bawa. 

“Bentar, aku kenalkan,” jawab Haira, lalu masuk ke dalam rumah. Haikal hanya bisa menggelengkan kepala melihat adiknya keluar masuk seperti rumah sendiri. Tak lama adiknya menyeret tangan seorang wanita berkerudung lebar dan anak kecil yang memegang kain gamis ibunya. 

“Kenalkan, ini Tante Salwa dan ini Salsabila yang sekarang jadi adikku. Tante, ini kakakku, Haikal," ucap Haira riang.

Haikal mengulurkan tangannya, “Haikal.” 

Salwa hanya mengatupkan kedua tangannya di dada. “Salwa.” Lalu ia beralih ke putrinya. “Salim sama Kakak.”

Salsabila mengulurkan tangannya. “Salsabila.”

Haikal berjongkok mengimbangi ketinggian Salsabila. Ia menyambut uluran tangan Salsabila. “Panggil saja aku Kak Haikal.”

Salsabila mengangguk.

“Malam tadi Kak Haira mengganggu enggak?” tanya Haikal dengan nada lembut. 

Salsabila menggeleng. Dengan wajah malu ia bersembunyi di balik kain gamis ibunya. Wajah imut Salsabila membuatnya tersenyum. Ia berdiri menghadap Salwa. 

“Maaf, Tante. Saya tidak mengerti mengapa adikku bisa sampai ke sini. Aku sebagai kakaknya minta maaf jika mengganggu Tante.”

Salwa menggeleng. “Tidak apa. Salsabila malah senang ada teman di rumah. Mmm … Maaf, ya. Saya tidak mengajakmu masuk  karena di rumah tidak ada laki-laki.”

“Tidak apa, Tante. Saya ke sini untuk memastikan keadaannya.” Ia berpaling ke Haira, lalu menyeret  tangan adiknya, menjauh dari Salwa dan Salsabila. 

“Dia siapa? Bagaimana kamu bisa sampai ke sini?” bisik Haikal, tetapi terdengar oleh Salwa. 

“Baru saja kenal, tapi aku sangat mempercayainya,” sahut Haira tanpa merasa harus memelankan suaranya. 

“Iya, tapi kamu merepotkan orang lain.”

Seketika Haira merengut. “Aku tidak ingin melihat laki-laki itu. Aku akan balik ke rumah, kalau laki-laki itu keluar dari rumah. Bilang saja sama Mama. Biar Mama mengerti mauku.” 

Haira langsung berpaling tanpa menunggu persetujuan kakaknya. “Ayo Salsa, kita masuk rumah.”

Kembali Haikal menggelengkan kepalanya. Ia mendekati Salwa. “Maaf, Tante. Haira pasti sangat merepotkan Tante.”

Salwa menggeleng. “Tidak kok.”

“Apa Haira boleh tinggal di sini beberapa hari, sampai saya bisa membujuknya atau meminta Mama membawanya pulang.”

Salwa mengangguk. “Aku tidak tahu apakah ada masalah di keluarga kalian. Haira juga tidak cerita. Saran saya, biarkan dia tenang dulu. Untuk beberapa hari … selama ayah Salsabila di luar, saya tidak masalah. Tapi, jika ayah Salsabila datang, saya tidak tahu harus bagaimana. Laki-laki dan perempuan bukan mahram tidak baik tinggal serumah.”

“Iya. Saya mengerti, Tante. Saya akan segera mencari solusi ini. Terima kasih banyak, Tante. Telah menerima Haira di sini.”

“Sama-sama.”

“Kalau begitu saya pulang dulu!” 

Salwa mengangguk. “Hati-hati di jalan.”

*** 

Jamilah mempersiapkan sarapan pagi di dapur, sedang Salman memandangi chatnya yang tak kunjung terjawab. 

[Assalamu ‘alaikum. Bagaimana keadaanmu, Sayang?]

Kini ia mengirimkan stiker berbentuk amor merah berhiaskan mawar. 

Napas lega langsung mengembus begitu ia melihat Salwa terlihat sedang mengetik. 

[Alhamdulillah. Selama ada Allah di hati, semuanya akan baik-baik saja]

Perasaannya terasa teriris membaca jawaban Salwa. Terlihat istrinya lebih tegar darinya. Betapa ingin sekali memeluk wanita yang hampir delapan tahun telah menemaninya.

[Aku merindukanmu]

“Sayang, sarapan sudah siap,” teriak Jamilah dari dapur. 

“Iya, sebentar,” jawab Salman tanpa beranjak. 

Matanya memerah menatap chatnya yang masih belum ada balasan. Mengapa terasa sakit sekali diabaikan begini? Di saat ia sangat membutuhkan Salwa? Seketika ia teringat bagaimana perasaan wanita itu malam tadi?

Di saat ia menikah dengan wanita lain? Ia tahu, itu menyakitkan bagi Salwa. Dirinya pun ikutan sakit dengan perasaan Salwa. Ia melakukan semua ini demi membimbing Jamilah dan anak-anak, teman kecilnya. Ia menuntut pengorbanan Salwa, tetapi mengapa dirinya sekarang yang terlihat rapuh. Seketika cairan bening dari matanya menetes. 

[Saat ini hak istri barumu. Bersikaplah adil. Janganlah menghubungiku. Percayakan aku dan Salsa pada Allah]

🌸🌸🌸

Terima kasih telah menemukan cerita ini.

Jangan lupa follow, subscribe, like, share dan berikan komentar terbaikmu supaya author semakin bersemangat menulis.

Terima kasih ♥️

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Prapti
salwa istri yg sholehah
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   111. Ektra Part (2)

    “Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   110. Ekstra Part

    Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   109. Ending (3)

    Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   108. Ending (2)

    Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   107. Ending

    “Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   106. Pengorbananmu Takkan Sia-sia (2)

    Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat  kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   105. Pengorbananmu Takkan Sia-sia

    "Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   104. Caraku Melindungimu (2)

    Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   103. Caraku Melindungimu

    Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status