Seketika cairan bening dari matanya menetes. [Saat ini hak istri barumu. Bersikaplah adill. Janganlah menghubungiku. Percayakan diriku dan Salsa pada Allah]***Mata Salwa membesar menyaksikan pemandangan indah di depan matanya. Haira gadis yang ia kenal pertama kali mengenakan hoodie dengan celana jeans pendek di atas paha telah berubah menjadi manis dan anggun. “Tante, jangan memandangku begitu! Aku kan jadi malu,” ucap Haira tersipu. Ia menunduk, menatap tubuhnya yang sekarang berbalut gamis milik Salwa dengan sedikit kepanjangan. “Kamu cantik sekali, Haira. Tante benar-benar kaget v dibuatmu.”Haira merengut. “Benar, Tante?! Menurut Tante, Haira cantikan mana dengan pakaian Haira biasanya?" Sesaat Salwa terdiam. Ia perlu waktu untuk memilah ucapan supaya tidak memaksakan kehendak, tetapi bisa menyentuh Haira “Selera orang berbeda, Haira. Kalau menurut Tante sih yang ini lebih cantik, anggun dan dewasa. Namun, satu hal yang ingin Tante sampaikan pada Haira. Allah yang memberi
Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang dan mencari surga yang lain?” “Astagfirullah …. Salwa, jangan coba berpikir tentang perceraian! Ana tidak akan bilang cerai itu perkara halal yang dibenci karena anti tau soal itu. Tapi pikirkan anak anti, Salsabila. Dia masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah.”Salwa menghempaskan napas. “Ana pun memikirkan itu. Tapi apa ana terus bisa bersikap baik pada Salman dengan kondisi hati yang sudah hancur? Ketidakharmonisan orang tua juga akan mempengaruhi perkembangan anak-anak.” Giliran Silmi yang menghempaskan napas. “Anti benar.” Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. “Bagaimana kalau anti fokuskan untuk mengobati hati anti? Siapa tahu itu membuat langkah anti sedikit lebih ringan.”“Mengobati hati? Silmi, luka yang diduakan itu berdarah-darah, membusuk bahkan bernanah. Setiap saat luka itu menguarkan aroma tidak nyaman sehing
Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke dada Salman. “Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” *** Setelah Salman pulang, Jamilah segera menelpon Haikal agar menjemput adiknya. Ia langsung memukul bokong Haira begitu sampai di rumah. “Gadis nakal!" “Aaa ... sakit, Ma!” teriak Haira sambil berusaha menghindar dari ibunya. "Ke mana saja kamu berapa hari ini, ha? Tidak tahu malu!”Haikal langsung berlari menjauhkan adiknya dari ibu mereka. “Ma!”“Haikal, kamu jangan membela dia. Ini gara-gara kamu, dia jadi manja!” seru Jamilah, sambil berusaha menarik badan Haira, tetapi Haikal terus menghalanginya. “Tidak tahu malu?!” teriak Haira. “Bukannya Mama yang tidak malu, merebut suami orang?”“Haira, diam!” tegur Haikal.“Benar 'kan, Kak?! Mama menikah dengan laki-laki yang sudah berkeluarga 'kan? Apa itu tidak termasuk tidak malu?!” “Haira, umurmu sudah 16 tahun, seharusnya kamu bisa membedakan mana yang
Salwa tersentak. Matanya membulat, menangkap sepasang manik yang menatapnya dengan cemas. Jemarinya Salman terangkat hendak mengusap wajahnya, tetapi refleks tangannya menampiknya. Sontak Salman terkejut, begitu juga dengan dirinya. “Maafkan aku,” ucapnya sambil berpaling. Lukanya kini kian bertambah. Seumur hidupnya berusaha menjadi wanita yang taat pada suaminya. Lalu tiba-tiba berani melawan merupakan musibah baginya. Yang membuatnya semakin terluka, kini ia mempunyai anggota tubuh yang kadang sulit dikendalikannya. Semua bermula karena cintanya telah hancur. Cinta pengendali segalanya. Perbedaan menjadi dapat dimaklumi. Cinta dapat meredam emosi. Cinta dapat menghilang kabut dalam rumah tangga. Cinta membuat semuanya membuat berat menjadi ringan. Kini, cinta itu telah berkeping. Ini hanya perkara bubur. Masih banyak perbedaan yang mereka miliki. Hanya seputar makanan. Ia tidak suka makanan beraroma, tetapi kesukaan Salman dan Salsa. Ke depannya, masih bisakah ia menyediakan me
Badannya kembali tertarik. Namun, kali ini Salman bukan mengunci badannya, melainkan kedua bibirnya. Tangannya berusaha mendorong dada Salman, tetapi dengan sigap Salman memegang sebelah tangannya. Seketika air matanya mengalir deras. Mengapa semuanya terasa menyakitkan? ‘Banyak bersyukur akan membuat hatimu sedikit lega dan ikhlas,’ ucapan Silmi kembali terngiang. Ia berusaha melenturkan dirinya. Memberontak tidak ada gunanya. Kenyataannya, Salman punya hak atas dirinya. Siapa sangka, di saat ia merelakan diri, Salman melepaskan ciumannya. Matanya terbuka. Jari jemari Salman mengusap wajahnya. “Maafkan aku. Aku janji tidak akan memaksamu.” Mulutnya tak berucap, bahkan air matanya pun seakan bekerjasama. Mengungkapkan segala rasa tanpa bunyi. “Aku telah melakukan banyak kesalahan dan mungkin tidak termaafkan. Namun, beri aku kesempatan untuk mengobati hatimu. Ya.” Salwa mengangguk, tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Salman. Salman kembali memajukan wajahnya, tetapi tubuhn
“Sepertinya kamu sengaja menghindariku,” ucap Aditya setelah Salsabila dan Haira jauh dari mereka. “Maksudmu?” “Kemarin kamu tiba-tiba pulang, padahal katanya ingin bermalam di rumah ibumu. Tapi tiba-tiba sore sudah pulang.”“Kenapa aku harus menghindarimu?” tanya Salwa sambil mengambil botol minuman, lalu ingin meneguknya. Sayangnya, botol di tangannya sudah keburu direbut Aditya. “Kalau kamu tidak menghindariku, tidak seharusnya kamu pulang sore itu,” ucap Aditya sambil membuka segel botol dan penutupnya, lalu menyerahkannya pada Salwa. “Padahal jelas-jelas Salsa bilang padaku ingin bermalam.” Salwa hanya menatap botol itu, tanpa minat untuk mengambil kembali. Aditya kembali menggerakkan botol minuman itu, “Salwa, aku tahu diri kok, kalau kamu sudah menikah. Selama kamu bahagia, aku juga bahagia. Aku tidak akan mengganggumu.”Salwa tertegun. Ia bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan Aditya, seandainya tahu masalah yang dihadapinya?Ia teringat mengapa ia pulang ke rumah ibunya,
Haira tersenyum mencebik melihat wajah ibunya. “Apaan sih, Mama. Aku sudah memutuskan masuk di pondok mana." “Tapi dari mana kamu tahu informasi pondok itu?” tanya Jamilah cemas.“Ada deh,” jawab Haira cuek. Ia mengambil remote televisi dari tangan Haikal. “Tapi sebagai orang tua, kami harus tahu dan melihat langsung pondok itu, sebelum kamu mendaftar ke sana. Kami harus memastikan kamu nyaman di pondok itu.”“Ada orang yang aku kenal di sana, Ma. Dia baik. Aku juga pernah ke sana. Aku menyukainya, jadi Mama nggak usah khawatir. Selain itu, aku ga mau Mama ke sana.”Jamilah tersentak dengan ucapan Haira yang terakhir. “Berita Mama kawin dengan suami orang sudah tersebar di sekolahku, aku tidak ingin juga menyebar ke pondok. Cukup Kak Haikal yang jadi waliku.”Jamilah menatap Salman untuk meminta pendapatnya. Salman hanya membalasnya dengan anggukan. “Baiklah, jika itu maumu. Meski sedih, Mama menurut saja. Mama percayakan itu pada Haikal. Semoga kamu betah di sana. Almarhum Papa p
Aditya terlonjak. Ia meluruskan badannya ke arah Salman. Keningnya mengerut tajam. “Bukankah itu gedung warisan dari orang tuamu?"“Memang benar. Tapi aku telah memberikan padanya. Sekarang lagi proses pengalihan nama.”Wajah Aditya sedikit mulai melentur, tetapi tetap saja ia sangat malas harus bekerjasama dengan suami mantannya. “Kalau memang tidak ada yang dibicarakan lagi, aku duluan.Terima kasih, Pak Bayu. Senang bertemu dengan Bapak,” ucap Salman sambil mengulurkan tangannya ke arah Bayu. “Sama-sama,” jawab Bayu. “Semoga kita berjodoh, Pak.”Sayangnya, Bayu tidak mendengar ucapan amin dari Salman. Tak lama Salman telah hilang dari pandangan mereka. Berselisih dengan karyawan yang mengantarkan minuman untuk mereka. “Sebenarnya apa yang terjadi? Kau punya perasaan terhadap istrinya?” tanya Bayu sambil menggeser gelas minuman yang diletakkan karyawan.“Tepatnya mantan,” sahut Aditya dengan wajah masih saja suram. Bayu tidak memperlihatkan wajah terkejut. Ia meneguk kopi yang