Share

4. Rapuh

Author: El Nurien
last update Last Updated: 2022-09-19 19:30:54

Seketika cairan bening dari matanya menetes. 

[Saat ini hak istri barumu. Bersikaplah adill. Janganlah menghubungiku. Percayakan diriku dan Salsa pada Allah]

***

Mata Salwa membesar menyaksikan pemandangan indah di depan matanya. Haira gadis yang ia kenal pertama kali mengenakan hoodie dengan celana jeans pendek di atas paha telah berubah menjadi manis dan anggun. 

“Tante, jangan memandangku begitu! Aku kan jadi malu,” ucap Haira tersipu. Ia menunduk, menatap tubuhnya yang sekarang berbalut gamis milik Salwa dengan sedikit kepanjangan. 

“Kamu cantik sekali, Haira. Tante benar-benar kaget v dibuatmu.”

Haira merengut.  “Benar, Tante?! Menurut Tante, Haira cantikan mana dengan pakaian Haira biasanya?" 

Sesaat Salwa terdiam. Ia perlu waktu untuk memilah ucapan supaya tidak memaksakan kehendak, tetapi bisa menyentuh Haira 

“Selera orang berbeda, Haira. Kalau menurut Tante sih yang ini lebih cantik, anggun dan dewasa. Namun, satu hal yang ingin Tante sampaikan pada Haira. Allah yang memberikan kita kecantikan, alangkah baiknya jika bersyukur kepada Allah dengan taat kepada-nya. Salah satunya dengan menutup aurat. Menutup aurat itu wajib buat kita sebagai muslimah.”

“Wajib? Mengapa, Tante? Bukankah ini akan membatasi gerak perempuan?” tanya Haira. 

Salwa menggeleng. “Mengapa Allah wajibkan, hanya Allah yang tahu hikmahnya. Pastinya Allah lebih tahu tentang diri kita, lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Beberapa hikmah yang kita ketahui di antaranya untuk melindungi fitnah dari laki-laki dan diri kita sendiri.”

“Fitnah?” ulang Haira.

Salwa mengangguk. “Yang menyukai kecantikan perempuan itu laki-laki. Itu fitrah dia, seberapapun saleh laki-laki itu, dia tetap memiliki rasa suka kepada perempuan. Hanya saja, jika laki-laki saleh, dia akan berusaha melindungi diri dengan menjaga pandangan atau menjauh. Tapi bagaimana jika yang melihat kecantikan kita laki-laki yang tidak bertanggung jawab? Itulah di antaranya ada kasus pemerkosaan, pelecehan bahkan perselingkuhan.  Kejahatan akan terbuka jika ada kesempatan.”

Haira tercenung. Ibunya juga termasuk perempuan yang mengumbar aurat, lalu apakah suaminya sekarang termasuk laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tanpa sadar, ia mengangguk. Ibunya tahu pernah bilang, kalau laki-laki itu sudah beristri. 

“Mengerti, Tante. Tapi, apakah pantas Haira memakai seperti ini? Bagaimana kalau tidak bisa istikamah?”

“Semua orang pantas untuk mentaati Allah. Jika ketaatan dinilai karena mulianya seseorang, maka orang yang mengaku pantas itulah justru tidak layak. Kita mentaati Allah sambil terus berbenah, belajar dan berdoa semoga istikamah melakukannya.”

Haira mengangguk. “Aku ngerti, Tante. Aku akan pikirkan lagi.”

Salwa mengangguk, tak lupa terus memberikan senyum tulus dan penuh penghargaan. “Sekarang kita berangkat, ya.”

“Ayo!” 

Haira mengulurkan tangannya ke arah Salsabila dan langsung disambut anak kecil itu. Salwa terkekeh melihatnya. Baginya, kemunculan Haira sebuah keberkahan. Tanpa Haira entah bagaimana ia akan melewati malam tadi. 

Mereka menyusuri gang-gang kecil, jalan tembus menuju pondok Tahfiz Darul Qolam tempat Salwa mengajar. Di sana dia menyetorkan hafalan dan diberi kesempatan untuk mengabdi. Hanya saja, hanya sebagai pengajar tahsin bukan tahfiz karena ia belum mendapatkan ijazah tahfiz. Ia berencana ikut di tahun ini. Sayangnya batal karena konsentrasinya pecah disebabkan keinginan Salman yang ingin menikah lagi. 

Sepanjang jalan Haira bibirnya terus tersungging senyum. Setelah ayahnya meninggal, barulah kali ini ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Biasanya ia mencari kebahagiaan dengan shopping, nongkrong, jalan-jalan atau pesta sesama teman. Kenyataannya, yang ia dapatkan hanyalah kebahagiaan semu. Kesenangan sementara. Ia akan kembali kesepian jika sendirian dalam kamarnya. Rindu pada kehangatan ayahnya membuat kesedihannya semakin menguasai. 

Awalnya ia pun tidak ingin ikut ke pondok. Di matanya pondok itu penjara. Pembatas seseorang dengan kesenangan. Lalu harus mematuhi peraturan yang memikirkannya saja membuat kepalanya pening. Ditambah seharian penuh akan mengenakan pakaian yang membuatnya gerah. Ia ikut ke pondok karena tidak ingin sendirian di rumah Salwa. Siapa sangka, ia merasa nyaman dengan pakaian yang diberikan Salwa. 

*** 

Jamilah langsung meloncat dari tempat duduknya begitu mendengar deru motor putranya memasuki halaman rumahnya. Menyaksikan pakaian istrinya, Salman langsung menarik dan menyeretnya ke kamar.

“Ada apa sih, Mas?” seru Jamilah kesal. 

“Kamu mau keluar dengan pakaian seperti itu?!” tanya Salman.

Jamilah mengerutkan kening. Ia menatap badannya dengan kerutan kening. 

“Mas, aku bukan mau jalan-jalan. Palingan ke muka pintu untuk menyambut Haikal. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Haira.” 

“Dengar! Aurat wanita itu tidak tergantung tempat, melainkan situasi. Tidak masalah pakaianmu terbuka kalau kamu sedang berada di tempat yang tidak ada laki-laki bukan mahram. Sebaiknya, meski dalam rumah, kamu wajib tutup aurat kalau itu ada laki-laki yang bukan mahram.” 

Jamilah mengerang kesal. “Masa cuma mau menyambut putraku harus pakai kerudung? Ribet banget!!” protes Jamilah.

“Kalau tidak ingin berkerudung, tunggulah dia masuk.”

“Mas, aku mengkhawatirkan putriku, bagaimana aku sempat berpikiran seperti itu?!” 

Salman menarik napasnya sambil menggelengkan kepala. Ia memang perlu memupuk kesabaran dan kebijakan untuk membimbing Jamilah. “Sudahlah. Yang pasti, sudah aku sampaikan. Lagian sekarang di sudah di dalam, kamu temuilah dia.”

*** 

Di pondok Haira menemani Salsabila di teras selama jam pelajaran. Dari tempatnya duduk terdengar baca-bacaan santriwati. Ada yang terdengar sangat lancar, juga sangat terbata-bata. Bahkan dengan suara timbul tenggelam, ia juga mendengar ada santri yang sedang membaca Iqro. 

Waktu tidak terasa, telah berhamburan para santriwati, keluar dari pintu masing-masing. Setiap santri memperlihatkan wajah ceria dan di tangan masing-masing memegang mushaf. Haira merasa seperti tersesat, tetapi ia menyukainya. 

Tak lama Salwa mendekati Haira. “Haira, kamu mau nemenin Salsabila dulu? Aku mau bicara sama teman Tante di sini.”

 “Iya, Tante. Tidak apa. Salsabila juga pintar sekali.”

“Alhamdulillah. Kalau begitu, Tante tinggal ya.”

Salwa meninggalkan mereka setelah Haira mengangguk. Ia langsung bergegas mendekati seorang ustadzah yang baru saja keluar dari salah satu pintu kelas. 

“Assalamu ‘alaikum.”

“Wa alaikum salam.”

“Ustadzah, bisa kita bicara?” tanya Salwa. 

Sahabatnya mengangguk. “Bagaimana kalau kita ke kelasku saja?!” 

Salwa menyetujui. Mereka memasuki kelas Silmi yang isinya hanya karpet hijau serta sebuah meja dengan lebar tak lebih dari setengah meter dan ketinggian tiga puluh centi. 

“Anti pasti sudah mendengar berita itu,” ucap Salwa setelah ia menyandarkan punggungnya. 

Silmi mendesah. “Iya. Sabar, ya. Hanya ini yang bisa ana sampaikan.” 

Salwa tersenyum kecut. “Kalimat yang terkesan terlalu sederhana, tetapi sangat sulit dilakukan.”

“Kenyataannya kita hanya berusaha sabar dan tabah, karena kita tidak dapat mengelak dari takdir Allah.”

Salwa memejamkan matanya. hatinya kembali berdenyut-denyut. Perih sekali. “Ana hanya tidak apakah bisa bertahan. Andai luka itu berdarah, sampai hari ini, mungkin aku sudah menghabiskan ratusan kantong darah.”

“Orang bilang yang menahan perempuan itu suami dan kubur. Jika cintamu pada Salman telah sirna, setidaknya pikirkan bagaimana keadaanmu di kubur nanti.” 

Salwa meluruskan duduknya, menghadap Silmi. “Semua orang ingin selamat dari siksa kubur dan masuk surga. Namun, hanya inikah jalanku untuk masuk surga?”

Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”

“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang  dan mencari surga yang lain?”

🌸🌸🌸

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   111. Ektra Part (2)

    “Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   110. Ekstra Part

    Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   109. Ending (3)

    Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   108. Ending (2)

    Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   107. Ending

    “Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   106. Pengorbananmu Takkan Sia-sia (2)

    Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat  kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   105. Pengorbananmu Takkan Sia-sia

    "Jagalah diri baik-baik. Jika kanu terluka, aku pun ikut terluka."~Aditya~***“Ya, Hallo!” Aditya menjauh dari jalanan. Namun, ketika sudah terlanjur jauh, barulah ia menyadari. Ia menatap panggilan di layar ponselnya tanpa nama. Ini jebakan.Decit mobil terdengar jelas. “WA, AWAS!” Teriaknya sambil berlari mendekati Salwa.***Dari kejauhan Danum menatap nanar. Inilah kesempatannya, setelah sekian lama ia menunggu. Selama mengintai, hatinya terus tergerus luka. Ia melihat jelas perhatian Aditya semakin membesar terhadap perempuan yang hanya tinggal beberapa meter dengannya. Kini ia tidak peduli lagi hari esok. Baginya sekarang menuntaskan rasa sakit hati yang terlanjur berdarah-darah.“Meski aku tidak bisa lagi memilikinya, setidaknya kamu juga tidak boleh memilikinya. Meski kita harus mati bersama.”Ia mengambil ponselnya, lalu melakukan panggilan dengan nomor yang baru saja dibelinya. “Hallo!” Ia hanya menjawab dengan gumaman tidak jelas. Matanya terus menatap nanar mangsa di

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   104. Caraku Melindungimu (2)

    Di balik pintu kamar Salman memegang dadanya yang terasa nyeri. Waktu telah berlalu, tetapi ia masih belum bisa membuang perasaannya pada ibu dari anaknya. *** Salwa sedikit tersentak, ketika bangun tidak mendapati Aditya di sampingnya. Ia memasang telinga, barangkali ada bunyi dari dalam kamar kecil, kenyataannya nihil. Ia keluar kamarnya, terlihat lampu sudah menyala di mushola kecil mereka. Ia melangkah pelan hingga sampai ke tempat yang dituju. Terlihat Aditya sedang bersujud. “Masya Allah,” batinnya. Seumur pernikahan, baru kali ini Aditya bangun sendiri untuk salat Tahajud. Ia berbalik ke kamar, bergegas ke kamar kecil, berwudu, mengenakan mukena, lalu duduk di belakang Aditya. Sesaat Aditya terkesiap melihatnya setelah salam. “Sudah bangun?” tanya Aditya.Salwa mengangguk. “Masih ingin salat kan? Kita berjamaah ya!” “Sayang sekali, aku ingin berdoa.”

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   103. Caraku Melindungimu

    Setelah selesai salat Isya orang-orang berpencar. Aditya bergegas turun setelah melihat orang yang diperhatikannya sejak tadi telah keluar masjid. “Assalamu ‘alaikum,” ucap Aditya. Laki-laki itu berpaling. “Wa ‘alaikum salam.” Sesaat Aditya terpana dengan penampilan laki-laki itu. Wajah putih bersih, sedikit cambang di dagu membuatnya terlihat lebih berwibawa. Pembawaan sifat tawadhu membuat laki-laki itu terlihat semakin sempurna di matanya. “Anda …?” Aditya mengulurkan tangannya. “Saya Aditya, suami Salwa. Kita pernah bertemu di acara pernikahan kami kemarin di Nagara.”“Oh iya ya. Saya baru ingat.” Laki-laki itu menyambut tangan Aditya. “Saya Zaid. Istri kita dua sahabat, tapi baru sekarang kita bisa bertegur sapa.”“Maafkan saya. Kalian menyempatkan diri datang ke Nagara, sedang baru sekarang saya menyempatkan diri menyapa. Saya minta maaf.”Zaid tertawa

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status