Share

4. Rapuh

Seketika cairan bening dari matanya menetes. 

[Saat ini hak istri barumu. Bersikaplah adill. Janganlah menghubungiku. Percayakan diriku dan Salsa pada Allah]

***

Mata Salwa membesar menyaksikan pemandangan indah di depan matanya. Haira gadis yang ia kenal pertama kali mengenakan hoodie dengan celana jeans pendek di atas paha telah berubah menjadi manis dan anggun. 

“Tante, jangan memandangku begitu! Aku kan jadi malu,” ucap Haira tersipu. Ia menunduk, menatap tubuhnya yang sekarang berbalut gamis milik Salwa dengan sedikit kepanjangan. 

“Kamu cantik sekali, Haira. Tante benar-benar kaget v dibuatmu.”

Haira merengut.  “Benar, Tante?! Menurut Tante, Haira cantikan mana dengan pakaian Haira biasanya?" 

Sesaat Salwa terdiam. Ia perlu waktu untuk memilah ucapan supaya tidak memaksakan kehendak, tetapi bisa menyentuh Haira 

“Selera orang berbeda, Haira. Kalau menurut Tante sih yang ini lebih cantik, anggun dan dewasa. Namun, satu hal yang ingin Tante sampaikan pada Haira. Allah yang memberikan kita kecantikan, alangkah baiknya jika bersyukur kepada Allah dengan taat kepada-nya. Salah satunya dengan menutup aurat. Menutup aurat itu wajib buat kita sebagai muslimah.”

“Wajib? Mengapa, Tante? Bukankah ini akan membatasi gerak perempuan?” tanya Haira. 

Salwa menggeleng. “Mengapa Allah wajibkan, hanya Allah yang tahu hikmahnya. Pastinya Allah lebih tahu tentang diri kita, lebih tahu apa yang terbaik buat kita. Beberapa hikmah yang kita ketahui di antaranya untuk melindungi fitnah dari laki-laki dan diri kita sendiri.”

“Fitnah?” ulang Haira.

Salwa mengangguk. “Yang menyukai kecantikan perempuan itu laki-laki. Itu fitrah dia, seberapapun saleh laki-laki itu, dia tetap memiliki rasa suka kepada perempuan. Hanya saja, jika laki-laki saleh, dia akan berusaha melindungi diri dengan menjaga pandangan atau menjauh. Tapi bagaimana jika yang melihat kecantikan kita laki-laki yang tidak bertanggung jawab? Itulah di antaranya ada kasus pemerkosaan, pelecehan bahkan perselingkuhan.  Kejahatan akan terbuka jika ada kesempatan.”

Haira tercenung. Ibunya juga termasuk perempuan yang mengumbar aurat, lalu apakah suaminya sekarang termasuk laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tanpa sadar, ia mengangguk. Ibunya tahu pernah bilang, kalau laki-laki itu sudah beristri. 

“Mengerti, Tante. Tapi, apakah pantas Haira memakai seperti ini? Bagaimana kalau tidak bisa istikamah?”

“Semua orang pantas untuk mentaati Allah. Jika ketaatan dinilai karena mulianya seseorang, maka orang yang mengaku pantas itulah justru tidak layak. Kita mentaati Allah sambil terus berbenah, belajar dan berdoa semoga istikamah melakukannya.”

Haira mengangguk. “Aku ngerti, Tante. Aku akan pikirkan lagi.”

Salwa mengangguk, tak lupa terus memberikan senyum tulus dan penuh penghargaan. “Sekarang kita berangkat, ya.”

“Ayo!” 

Haira mengulurkan tangannya ke arah Salsabila dan langsung disambut anak kecil itu. Salwa terkekeh melihatnya. Baginya, kemunculan Haira sebuah keberkahan. Tanpa Haira entah bagaimana ia akan melewati malam tadi. 

Mereka menyusuri gang-gang kecil, jalan tembus menuju pondok Tahfiz Darul Qolam tempat Salwa mengajar. Di sana dia menyetorkan hafalan dan diberi kesempatan untuk mengabdi. Hanya saja, hanya sebagai pengajar tahsin bukan tahfiz karena ia belum mendapatkan ijazah tahfiz. Ia berencana ikut di tahun ini. Sayangnya batal karena konsentrasinya pecah disebabkan keinginan Salman yang ingin menikah lagi. 

Sepanjang jalan Haira bibirnya terus tersungging senyum. Setelah ayahnya meninggal, barulah kali ini ia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Biasanya ia mencari kebahagiaan dengan shopping, nongkrong, jalan-jalan atau pesta sesama teman. Kenyataannya, yang ia dapatkan hanyalah kebahagiaan semu. Kesenangan sementara. Ia akan kembali kesepian jika sendirian dalam kamarnya. Rindu pada kehangatan ayahnya membuat kesedihannya semakin menguasai. 

Awalnya ia pun tidak ingin ikut ke pondok. Di matanya pondok itu penjara. Pembatas seseorang dengan kesenangan. Lalu harus mematuhi peraturan yang memikirkannya saja membuat kepalanya pening. Ditambah seharian penuh akan mengenakan pakaian yang membuatnya gerah. Ia ikut ke pondok karena tidak ingin sendirian di rumah Salwa. Siapa sangka, ia merasa nyaman dengan pakaian yang diberikan Salwa. 

*** 

Jamilah langsung meloncat dari tempat duduknya begitu mendengar deru motor putranya memasuki halaman rumahnya. Menyaksikan pakaian istrinya, Salman langsung menarik dan menyeretnya ke kamar.

“Ada apa sih, Mas?” seru Jamilah kesal. 

“Kamu mau keluar dengan pakaian seperti itu?!” tanya Salman.

Jamilah mengerutkan kening. Ia menatap badannya dengan kerutan kening. 

“Mas, aku bukan mau jalan-jalan. Palingan ke muka pintu untuk menyambut Haikal. Aku ingin tahu bagaimana keadaan Haira.” 

“Dengar! Aurat wanita itu tidak tergantung tempat, melainkan situasi. Tidak masalah pakaianmu terbuka kalau kamu sedang berada di tempat yang tidak ada laki-laki bukan mahram. Sebaiknya, meski dalam rumah, kamu wajib tutup aurat kalau itu ada laki-laki yang bukan mahram.” 

Jamilah mengerang kesal. “Masa cuma mau menyambut putraku harus pakai kerudung? Ribet banget!!” protes Jamilah.

“Kalau tidak ingin berkerudung, tunggulah dia masuk.”

“Mas, aku mengkhawatirkan putriku, bagaimana aku sempat berpikiran seperti itu?!” 

Salman menarik napasnya sambil menggelengkan kepala. Ia memang perlu memupuk kesabaran dan kebijakan untuk membimbing Jamilah. “Sudahlah. Yang pasti, sudah aku sampaikan. Lagian sekarang di sudah di dalam, kamu temuilah dia.”

*** 

Di pondok Haira menemani Salsabila di teras selama jam pelajaran. Dari tempatnya duduk terdengar baca-bacaan santriwati. Ada yang terdengar sangat lancar, juga sangat terbata-bata. Bahkan dengan suara timbul tenggelam, ia juga mendengar ada santri yang sedang membaca Iqro. 

Waktu tidak terasa, telah berhamburan para santriwati, keluar dari pintu masing-masing. Setiap santri memperlihatkan wajah ceria dan di tangan masing-masing memegang mushaf. Haira merasa seperti tersesat, tetapi ia menyukainya. 

Tak lama Salwa mendekati Haira. “Haira, kamu mau nemenin Salsabila dulu? Aku mau bicara sama teman Tante di sini.”

 “Iya, Tante. Tidak apa. Salsabila juga pintar sekali.”

“Alhamdulillah. Kalau begitu, Tante tinggal ya.”

Salwa meninggalkan mereka setelah Haira mengangguk. Ia langsung bergegas mendekati seorang ustadzah yang baru saja keluar dari salah satu pintu kelas. 

“Assalamu ‘alaikum.”

“Wa alaikum salam.”

“Ustadzah, bisa kita bicara?” tanya Salwa. 

Sahabatnya mengangguk. “Bagaimana kalau kita ke kelasku saja?!” 

Salwa menyetujui. Mereka memasuki kelas Silmi yang isinya hanya karpet hijau serta sebuah meja dengan lebar tak lebih dari setengah meter dan ketinggian tiga puluh centi. 

“Anti pasti sudah mendengar berita itu,” ucap Salwa setelah ia menyandarkan punggungnya. 

Silmi mendesah. “Iya. Sabar, ya. Hanya ini yang bisa ana sampaikan.” 

Salwa tersenyum kecut. “Kalimat yang terkesan terlalu sederhana, tetapi sangat sulit dilakukan.”

“Kenyataannya kita hanya berusaha sabar dan tabah, karena kita tidak dapat mengelak dari takdir Allah.”

Salwa memejamkan matanya. hatinya kembali berdenyut-denyut. Perih sekali. “Ana hanya tidak apakah bisa bertahan. Andai luka itu berdarah, sampai hari ini, mungkin aku sudah menghabiskan ratusan kantong darah.”

“Orang bilang yang menahan perempuan itu suami dan kubur. Jika cintamu pada Salman telah sirna, setidaknya pikirkan bagaimana keadaanmu di kubur nanti.” 

Salwa meluruskan duduknya, menghadap Silmi. “Semua orang ingin selamat dari siksa kubur dan masuk surga. Namun, hanya inikah jalanku untuk masuk surga?”

Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”

“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang  dan mencari surga yang lain?”

🌸🌸🌸

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status