Home / Romansa / Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia) / 5. Mencari Surga Yang Lain

Share

5. Mencari Surga Yang Lain

Author: El Nurien
last update Last Updated: 2022-09-19 19:31:51

Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”

“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang  dan mencari surga yang lain?” 

“Astagfirullah …. Salwa, jangan coba berpikir tentang perceraian! Ana tidak akan bilang cerai itu perkara halal yang dibenci karena anti tau soal itu. Tapi pikirkan anak anti, Salsabila. Dia masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah.”

Salwa menghempaskan napas. “Ana pun memikirkan itu. Tapi apa ana terus bisa bersikap baik pada Salman dengan kondisi hati yang sudah hancur?  Ketidakharmonisan orang tua juga akan mempengaruhi perkembangan anak-anak.” 

Giliran Silmi yang menghempaskan napas. “Anti benar.” 

Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. 

“Bagaimana kalau anti fokuskan untuk mengobati hati anti? Siapa tahu itu membuat langkah anti sedikit lebih ringan.”

“Mengobati hati? Silmi, luka yang diduakan itu berdarah-darah, membusuk bahkan bernanah. Setiap saat luka itu menguarkan aroma tidak nyaman sehingga berefek pada hubungan kami. Ana tidak yakin lagi, luka separah itu apa bisa diobati.”

“Astaghfirullah … Salwa. Jangan mendahului takdir. Ana akui, ana tidak begitu memahami kedalaman luka anti. Tapi sebagai sahabat, ana hanya bisa berharap agar anti berupaya untuk mengobati luka. Bagaimana hasilnya nanti, kita serahkan kepada Allah."

Salwa terdiam. Lahar dalam dirinya masih meletup-letup. Namun di sisi lain, ia mengakui kebenaran ucapan Silmi.

"Dibanding meratapi nasib, lebih baik waktu anti digunakan untuk mengobati hati dan jangan mengungkit kesalahan suami, karena itu akan membuat hatimu semakin hancur. Banyak bersyukur akan membuat hati sedikit lebih lega dan ikhlas."

Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Ah iya, Cahya punya makala pembahasan tentang hati,” seru Silmi tiba-tiba. 

“Cahya? Murid anti yang sekarang ikutan tes 30 juzz?” 

Silmi mengangguk. “Dia pernah ditawarin beasiswa dari sebuah univ karena karya tulisnya.”

“Kok berbeda yang ana dengar. Ana dengar dia kuliah karena beasiswa adiknya Kyai. Ibunya … siapa itu? Dokter juga, kan?”

“Lidya, ibunya Setya. Anti tidak salah dengar. Awalnya dia memang dapat beasiswa dari kampus, tapi persyaratan kampus mahasiswa harus meng-asrama di sana. Ibunya tidak mengizinkan. Entah kenapa, singkat cerita dia tetap kuliah tapi di bawah tanggungan Dr. Lidya, tantenya Ustadzah Aisyah.” 

“Ooh begitu. Ana jadi penasaran dengan makalahnya. Dari dulu dia memang terlihat pintar dan menguasai ayat yang dihafalnya, ya.”

“Itu dulu karena sangat kesulitan menghafal. Jadi dia memakai teknik memahaminya dulu, baru menghafal. Alhamdulillah, teknik itu cocok untuk dia, dan siapa sangka dengan jalan itu ia juga mendapatkan beasiswa.”

“Alhamdulillah. Tapi ana tidak jarang melihatnya."

“Dia terbiasa menghabiskan waktu di gedung sebelah. Sekarang dia memang pulang, ayahnya sakit. Kalau anti mau, nanti saya chat dia."

"Mau. Jazakillah jhair." 

Salwa mendesah. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke dinding. "Tak lama lagi tes 30 juz dimulai."

Salwa memejamkan matanya yang mulai menghangat. Lukanya akan bertambah parah jika mengingat tes. Bisa-bisanya suaminya menikah di saat ia tengah berjuang. 

"Ingat tes?" tanya Silmi lirih. 

Ia hanya menjawab dengan anggukan. Namun, air matanya mengalir deras, seakan mewakili banyaknya kata yang ingin ia curahkan. 

Silmi menyentuh tangannya. Ia membuka mata. Wajah teduh Silmi membuatnya menghambur diri. 

Silmi menepuk punggungnya. "Sabar, ya. Allah tidak pernah zalim pada hamba-Nya. Hanya saja kita perlu beradaptasi."

"Ana tidak bisa memaafkan, Silmi. Mengapa dia melupakan perjuanganku sekian tahun?" ucapnya di sela isakan.

Silmi melepaskan pelukannya, menatap wajah Salwa yang basah. "Jangan begitu. Soal tes, anti bisa coba lagi di tahun berikutnya." 

Salwa menggeleng. "Ana tidak yakin lagi. Malam tadi, ana ingin murojaah surat Al-Baqarah saja tidak bisa lagi tanpa mushaf. Selain itu, setiap kali membuka mushaf, ana selalu terluka. Ana seperti trauma. Ana …." 

Silmi kembali memeluknya. "Ana ngerti. Tak apa, jangan pikirkan itu. Sekarang yang terpenting, bagaimana anti bisa mengobati hatimu. Setiap penyakit, pasti Allah sediakan obatnya. Mintalah petunjuk pada Allah. Ana akan selalu mendoakan kebaikan untuk anti." 

*** 

“Tante, ayah Salsabila kemana? Selama di sini kenapa aku tidak pernah melihat dia?” tanya Haira sambil memiringkan badan, menghadap Salwa. 

Mereka memutuskan tidur bersama di ruang tengah dengan menghampar kasur tipis. 

Gerakan mulut Salwa yang tadinya membaca tasbih Fatimah seketika terhenti “Dia ada urusan di luar. Jadi selama dua hari ke depan, dia tidak akan pulang. In sya Allah.”

“Jadi selama tiga hari, aku bisa nginap di sini?” seru Haira girang. Tiba-tiba ia menutup mulutnya, ketika menyadari Salsabila yang sudah tertidur pulas di tengah mereka.

Salwa tersenyum. Ia kembali melanjutkan zikirnya. 

“Tante, kenapa tidak memasang foto-foto di dinding?” tanya Haira sambil duduk. Ia mengedarkan pandangannya, menyapu dinding rumah Salwa yang hanya ada beberapa miniatur tersusun di rak gantung. 

“Mengenai hal itu, beberapa pendapat ulama yang berbeda. Ada yang tidak membolehkan memajang benda yang menyerupai ciptaan Allah seperti gambar, lukisan atau patung makhluk bernyawa.” 

Haira membetulkan duduknya. Terlihat ia serius menyimak. 

“Sebagian ulama lagi membolehkan foto karena itu hanyalah hasil tangkapan proyeksi. Namun, kami memilih untuk menghindarinya. Jadi foto-foto kami simpan di album atau di ponsel.”

Haira mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. 

“Haira.”

Nada panggilan Salwa membuatnya menatap serius. 

“Sebelumnya Tante minta maaf. Boleh Tante bertanya sesuatu padamu?”

Haira tercenung. Ia mengerti arah pembicaraan Salwa. Namun, bisakah ia mengelak? Entah kenapa, ia merasa tidak berani berbohong pada wanita yang telah menyelamatkannya. Akhirnya ia mengangguk ragu. 

“Kamu mempunyai orang tua?” 

Haira mengangguk sambil menelan ludahnya. “Aku masih mempunyai ibu, Tante. Sedang ayah telah meninggal sekitar lima tahun yang lalu.”

“Ibumu pasti mencemaskanmu.”

“Aku tidak boleh tinggal di sini ya, Tante?”

“Bukan! Begini, Tante sangat senang kamu tinggal di sini, terutama di saat ayahnya Salsa tidak ada. Tapi ibumu pasti sangat khawatir.”

Haira menggeleng cepat. “Mama—“ Haira cepat-cepat mengulum mulutnya. Menikah dengan laki-laki yang telah beristri rasanya memalukan. Tidak mungkin ia menceritakan hal itu.

“Tidak, Tante. Mama sibuk dengan suami barunya, mana sempat ia memikirkan aku. Andai Mama khawatir, seharusnya dia sudah datang ke sini. Bukankah Kak Haikal sudah tahu keberadaanku. Tidak sulit buat Mama jika ingin mencariku.”

Mulut Salwa bungkam. Menatap iba. Ia yakin, ibunya Haira pasti mencemaskan putrinya, hanya saja mungkin tuntutan kesibukan lain. Membuat ibunya Haira menyampingkan  putrinya. Apalagi jika Haikal tahu adiknya baik-baik saja.

Salwa menatap wajah putrinya yang terlelap. Perpisahan merupakan mimpi buruk bagi anak-anak. Salsabila terlalu kecil untuk menerima kenyataan ini. Jauhnya dari perhatian seorang ayah sudah pasti, ditambah lagi dengan sang ibu sibuk mencari nafkah. Lalu mungkin suatu saat harus beradaptasi dengan orang asing. Haira salah satu bukti nyata, sulitnya seorang anak menerima sosok baru dalam keluarga.

Sebelah tangannya mengelus rambut keriting putrinya. Silmi benar, dibanding memikirkan luka dan kecewa, lebih baik ia berbenah diri, mengobati hati agar kehidupannya terasa lebih ringan dan ikhlas. 

*** 

“Haikal! Mau ke mana lagi kamu?” Jamilah dari dapur bergegas ke ruang tengah begitu melihat putranya keluar dengan memakai jaket dan kunci di tangan. 

Haikal menghentikan langkahnya. “Aku anak cowok, Ma. Bisa menjaga diri. Seharusnya yang Mama khawatirkan tu Haira. Ini sudah 24 jam lo, Ma.”

“Bukannya kamu bilang dia baik-baik saja?!”

“Astaga, Mama. Hanya begitu! Seharusnya Mama memastikan langsung bagaimana keadaannya.”

“Kamu –" Jamilah bungkam. “Kamu tahu hari ini Mama sibuk banget. Lagi pula kamu melihatnya langsung. Mama percaya saja kamu,” dalih Jamilah. 

Haikal menatap sinis. Ia beralih menatap ke arah Salman. “Sibuk melayani dia? Teruskan saja, Ma. Aku keluar dulu. Kunci saja pintunya, aku tidak pulang malam ini.” 

“HAIKAL!” Haikal menghidupkan mesin motor, tanpa peduli dengan teriakan ibunya. 

“Haikal!!” 

Salman menyentuh pundak istrinya. “Sudahlah! Jangan paksa dia. Kehadiranku saja sudah membuat mereka tidak nyaman, jadi jangan tambah lagi dengan sikapmu.” 

Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke bahu Salman. 

“Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” 

*** 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   111. Ektra Part (2)

    “Memang Sanad nggak punya cinta? Dia sudah punya istri,” bantah Salwa.“Kalau orang memerhatikan, Sanad itu pria dingin banget," ucap Anita.“Di perusahaan, semua orang tahu, kalau hubungan suami istri mereka hanya seperti ikatan profesionalisme saja,” imbuh Bayu.“Malah aku melihat tatapan Sanad lebih berwarna ke Tera dan putranya dibanding Hayati.” Anita menimpali. “Aku tidak memerhatikan itu. Tapi kalau dilihat kondisi Evan, wajarlah jika Sanad menaruh perhatian pada Tera," sambung Salwa.“Di perusahaan Sanad itu seperti apa, Bayu?” tanya Aditya ke Bayu. “Secara persen saham punyaku lebih tinggi, tapi dia cukup berpengaruh. Tidak ada yang bisa mengabaikan atau membantah pendapatnya kecuali aku. Itu pun karena sahamku lebih tinggi. Coba saja kalau tinggi dia sedikit saja, habislah aku.”Seketika di ruangan itu tertawa. “Tapi jangan khawatir, aku sa

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   110. Ekstra Part

    Kalau memang jodoh, langkah sejauh apapun akan bertemu kembali.***“Ops.” Bayu datang bersama Anita. Aditya menarik diri. Salwa tak kuasa mencegah wajahnya untuk tidak merona. “Kalau masuk ketuk dulu, atau salam kek,” gerutu Aditya, sambil duduk ke sofa.Bayu hanya memasang wajah nyengir. Ia meletakkan kantong kertas, lalu duduk di samping Aditya. Anita menyerahkan buket bunga kepada Salwa. “Selamat ya.”"Terima kasih, Nit."“Sama-sama. Bagaimana keadaanmu sekarang?” tanya Anita sambil menduduki kursi di samping ranjang Salwa. “Alhamdulillah. Terima kasih, Nit,” ucap Salwa sambil menciumi aroma bunga. “Kenapa terlihat kaku sekali?” protes Anita. Salwa tertawa. “Bukan begitu. Kalau diberi, harus berterima kasih, meski kepada orang terdekat.”Anita tersenyum tipis. “Kalian sudah mengalami hari-hari berat. Refreshinglah. Apa perlu kita liburan bareng?” Anita memutar badannya ke arah Bayu dan Aditya. “Kalian ada usul. Ke mana?

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   109. Ending (3)

    Seketika tubuhnya limbung. *** “Bagaimana keadaan Haikal?” Aditya mencubit pipinya geram, sampai meringis. “Aku sangat mengkhawatirkanmu, tapi Haikal yang pertama kali kamu tanyakan setelah sadar!”“Bagaimana keadaan Haikal?” desak Salwa. Aditya mengembuskan napasnya. Ia memasang wajah kecewa. Namun, Salwa semakin panik dibuatnya.“Bagaimana keadaannya?”Tanpa suara ia mengambil ponselnya di atas nakas. Ia menyentuh ikon aplikasi warna hijau dan melakukan panggilan video di sebuah nama. Ia menyerahkan ponsel itu ke Salwa.Mata Salwa membelalak. Penuh tanya, tapi Aditya enggan menjawab. “Assalamu ‘alaikum. Hallo, Tante!” Wajah Haira menghiasi layar ponsel.“Wa alaikum salam warahmatullah. Haira, bagaimana keadaan Haikal?” “Alhamdulillah baik, Tante.” Haira mengalihkan ponselnya hingga muncul wajah Haik

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   108. Ending (2)

    Zaid mengangguk. “Iya, kan?! Kamu juga pasti ingin selalu bersamanya sampai di akhirat kelak?!”***Dari start setelah subuh sampai zuhur, Salwa memperoleh bacaan 16 juz, setelah salat Juhur serta makan siang, ia kembali memulai bacaannya dan berhasil mendapatkan 5 juz. Ia tidak menyangka kalau bacaannya bisa selancar itu. Karena dari dulu, ia tak kunjung berhasil mengkhatamkan setoran, kecuali secara berkala per tiga juz. Ia mulai menghafal setelah hijrah. Tadinya menghafal hanyalah sebagai bekal, setidak di juz 30. Siapa sangka, menghafal menjadi candu baginya, sampai akhirnya menikah. Semangatnya bertambah berkat dukungan Salman, tetapi pada saat yang bersamaan banyak rintangan yang dihadapinya.Hafalan bubar, sudah menjadi makanannya selama berproses menghafal sebagai ibu rumah tangga. Satu hal yang disyukuri dalam dirinya, ada rasa memiliki hafalan itu, sehingga selalu ia sempatkan mengulang. Sampai saatnya berani berkeinginan ikutan tes di pondok. Sayangnya, saat usahanya habi

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   107. Ending

    “Tapi …?”“Aku tidak tega meninggalkanmu.” Ia meletakkan kepalanya di bahu Aditya.Aditya mencebik. “Tidak tega meninggalkanku atau tak kuasa meninggalkanku?” goda Aditya. Salwa merasakan wajahnya menghangat. “Mungkin dua-duanya.”Aditya tersenyum bangga. “Kalau begitu istirahatlah lebih awal. Supaya besok kamu lebih fit.”Mendadak wajah Salwa merengut. Aditya mencubit pipinya. “Jangan mengujiku. Aku pun ingin malam ini menjadi malam panjang, karena besok aku akan tidur sendiri, tapi bagiku kesehatanmu lebih penting.”Salwa terdiam. Memainkan bibir, entah apa yang dipikirkannya. Aditya memegang bahu Salwa, hingga perempuan itu berdiri. Ia mengangkat tubuh Salwa, lalu meletakkan di atas ranjang. “Tidurlah. Aku ingin melihat wajahmu lebih lama,” ucap Aditya setelah merapikan selimut di badan Salwa. “Peluk aku!” rengek Salwa. Aditya terkekeh.

  • Hakikat Cinta (Kamu Berhak Bahagia)   106. Pengorbananmu Takkan Sia-sia (2)

    Salwa tersenyum. Ia menggaet lengan Aditya, menyandarkan kepala ke bahu, lalu memejamkan mata.*** Salwa tak kuasa menahan tangis, melihat Haikal yang tak sadarkan diri di ruang ICU yang hanya bisa ia lihat lewat  kaca. Berbagai selang yang tidak diketahui Salwa namanya, bergelayutan di badan Haikal. “Jangan dilihat kalau membuatmu tidak kuat,” ucap Aditya setelah menelungkupkan wajah Salwa ke bahunya.“Ini gara-gara aku,” isaknya.“Tidak ada yang bisa disalahkan dari kejadian ini. Aku yakin, ia melakukannya dengan suka rela, jadi kamu harus kuat sebagai bentuk terima kasih padanya.”Salwa beralih kepada Jamilah yang duduk di bangku panjang ruang tunggu. Salman yang duduk di samping, terus memberikan dukungan kepada Jamilah. “Maafkan aku,” ucap Salwa tanpa berani mengangkat wajah. “Aku tau, permohonan maaf, tidak bisa membalikkan keadaan, tapi aku tidak tahu lagi melakukan apa selain

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status