Share

5. Mencari Surga Yang Lain

Silmi menggeleng. “Hanya saja Salman surga dan nerakamu sekarang.”

“Bagaimana jika aku melepaskan surga yang sekarang  dan mencari surga yang lain?” 

“Astagfirullah …. Salwa, jangan coba berpikir tentang perceraian! Ana tidak akan bilang cerai itu perkara halal yang dibenci karena anti tau soal itu. Tapi pikirkan anak anti, Salsabila. Dia masih membutuhkan kasih sayang seorang ayah.”

Salwa menghempaskan napas. “Ana pun memikirkan itu. Tapi apa ana terus bisa bersikap baik pada Salman dengan kondisi hati yang sudah hancur?  Ketidakharmonisan orang tua juga akan mempengaruhi perkembangan anak-anak.” 

Giliran Silmi yang menghempaskan napas. “Anti benar.” 

Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing. 

“Bagaimana kalau anti fokuskan untuk mengobati hati anti? Siapa tahu itu membuat langkah anti sedikit lebih ringan.”

“Mengobati hati? Silmi, luka yang diduakan itu berdarah-darah, membusuk bahkan bernanah. Setiap saat luka itu menguarkan aroma tidak nyaman sehingga berefek pada hubungan kami. Ana tidak yakin lagi, luka separah itu apa bisa diobati.”

“Astaghfirullah … Salwa. Jangan mendahului takdir. Ana akui, ana tidak begitu memahami kedalaman luka anti. Tapi sebagai sahabat, ana hanya bisa berharap agar anti berupaya untuk mengobati luka. Bagaimana hasilnya nanti, kita serahkan kepada Allah."

Salwa terdiam. Lahar dalam dirinya masih meletup-letup. Namun di sisi lain, ia mengakui kebenaran ucapan Silmi.

"Dibanding meratapi nasib, lebih baik waktu anti digunakan untuk mengobati hati dan jangan mengungkit kesalahan suami, karena itu akan membuat hatimu semakin hancur. Banyak bersyukur akan membuat hati sedikit lebih lega dan ikhlas."

Sesaat keduanya sama-sama terdiam. Tenggelam dalam pikiran masing-masing.

“Ah iya, Cahya punya makala pembahasan tentang hati,” seru Silmi tiba-tiba. 

“Cahya? Murid anti yang sekarang ikutan tes 30 juzz?” 

Silmi mengangguk. “Dia pernah ditawarin beasiswa dari sebuah univ karena karya tulisnya.”

“Kok berbeda yang ana dengar. Ana dengar dia kuliah karena beasiswa adiknya Kyai. Ibunya … siapa itu? Dokter juga, kan?”

“Lidya, ibunya Setya. Anti tidak salah dengar. Awalnya dia memang dapat beasiswa dari kampus, tapi persyaratan kampus mahasiswa harus meng-asrama di sana. Ibunya tidak mengizinkan. Entah kenapa, singkat cerita dia tetap kuliah tapi di bawah tanggungan Dr. Lidya, tantenya Ustadzah Aisyah.” 

“Ooh begitu. Ana jadi penasaran dengan makalahnya. Dari dulu dia memang terlihat pintar dan menguasai ayat yang dihafalnya, ya.”

“Itu dulu karena sangat kesulitan menghafal. Jadi dia memakai teknik memahaminya dulu, baru menghafal. Alhamdulillah, teknik itu cocok untuk dia, dan siapa sangka dengan jalan itu ia juga mendapatkan beasiswa.”

“Alhamdulillah. Tapi ana tidak jarang melihatnya."

“Dia terbiasa menghabiskan waktu di gedung sebelah. Sekarang dia memang pulang, ayahnya sakit. Kalau anti mau, nanti saya chat dia."

"Mau. Jazakillah jhair." 

Salwa mendesah. Ia kembali menyandarkan punggungnya ke dinding. "Tak lama lagi tes 30 juz dimulai."

Salwa memejamkan matanya yang mulai menghangat. Lukanya akan bertambah parah jika mengingat tes. Bisa-bisanya suaminya menikah di saat ia tengah berjuang. 

"Ingat tes?" tanya Silmi lirih. 

Ia hanya menjawab dengan anggukan. Namun, air matanya mengalir deras, seakan mewakili banyaknya kata yang ingin ia curahkan. 

Silmi menyentuh tangannya. Ia membuka mata. Wajah teduh Silmi membuatnya menghambur diri. 

Silmi menepuk punggungnya. "Sabar, ya. Allah tidak pernah zalim pada hamba-Nya. Hanya saja kita perlu beradaptasi."

"Ana tidak bisa memaafkan, Silmi. Mengapa dia melupakan perjuanganku sekian tahun?" ucapnya di sela isakan.

Silmi melepaskan pelukannya, menatap wajah Salwa yang basah. "Jangan begitu. Soal tes, anti bisa coba lagi di tahun berikutnya." 

Salwa menggeleng. "Ana tidak yakin lagi. Malam tadi, ana ingin murojaah surat Al-Baqarah saja tidak bisa lagi tanpa mushaf. Selain itu, setiap kali membuka mushaf, ana selalu terluka. Ana seperti trauma. Ana …." 

Silmi kembali memeluknya. "Ana ngerti. Tak apa, jangan pikirkan itu. Sekarang yang terpenting, bagaimana anti bisa mengobati hatimu. Setiap penyakit, pasti Allah sediakan obatnya. Mintalah petunjuk pada Allah. Ana akan selalu mendoakan kebaikan untuk anti." 

*** 

“Tante, ayah Salsabila kemana? Selama di sini kenapa aku tidak pernah melihat dia?” tanya Haira sambil memiringkan badan, menghadap Salwa. 

Mereka memutuskan tidur bersama di ruang tengah dengan menghampar kasur tipis. 

Gerakan mulut Salwa yang tadinya membaca tasbih Fatimah seketika terhenti “Dia ada urusan di luar. Jadi selama dua hari ke depan, dia tidak akan pulang. In sya Allah.”

“Jadi selama tiga hari, aku bisa nginap di sini?” seru Haira girang. Tiba-tiba ia menutup mulutnya, ketika menyadari Salsabila yang sudah tertidur pulas di tengah mereka.

Salwa tersenyum. Ia kembali melanjutkan zikirnya. 

“Tante, kenapa tidak memasang foto-foto di dinding?” tanya Haira sambil duduk. Ia mengedarkan pandangannya, menyapu dinding rumah Salwa yang hanya ada beberapa miniatur tersusun di rak gantung. 

“Mengenai hal itu, beberapa pendapat ulama yang berbeda. Ada yang tidak membolehkan memajang benda yang menyerupai ciptaan Allah seperti gambar, lukisan atau patung makhluk bernyawa.” 

Haira membetulkan duduknya. Terlihat ia serius menyimak. 

“Sebagian ulama lagi membolehkan foto karena itu hanyalah hasil tangkapan proyeksi. Namun, kami memilih untuk menghindarinya. Jadi foto-foto kami simpan di album atau di ponsel.”

Haira mengangguk sambil mengerucutkan bibirnya. 

“Haira.”

Nada panggilan Salwa membuatnya menatap serius. 

“Sebelumnya Tante minta maaf. Boleh Tante bertanya sesuatu padamu?”

Haira tercenung. Ia mengerti arah pembicaraan Salwa. Namun, bisakah ia mengelak? Entah kenapa, ia merasa tidak berani berbohong pada wanita yang telah menyelamatkannya. Akhirnya ia mengangguk ragu. 

“Kamu mempunyai orang tua?” 

Haira mengangguk sambil menelan ludahnya. “Aku masih mempunyai ibu, Tante. Sedang ayah telah meninggal sekitar lima tahun yang lalu.”

“Ibumu pasti mencemaskanmu.”

“Aku tidak boleh tinggal di sini ya, Tante?”

“Bukan! Begini, Tante sangat senang kamu tinggal di sini, terutama di saat ayahnya Salsa tidak ada. Tapi ibumu pasti sangat khawatir.”

Haira menggeleng cepat. “Mama—“ Haira cepat-cepat mengulum mulutnya. Menikah dengan laki-laki yang telah beristri rasanya memalukan. Tidak mungkin ia menceritakan hal itu.

“Tidak, Tante. Mama sibuk dengan suami barunya, mana sempat ia memikirkan aku. Andai Mama khawatir, seharusnya dia sudah datang ke sini. Bukankah Kak Haikal sudah tahu keberadaanku. Tidak sulit buat Mama jika ingin mencariku.”

Mulut Salwa bungkam. Menatap iba. Ia yakin, ibunya Haira pasti mencemaskan putrinya, hanya saja mungkin tuntutan kesibukan lain. Membuat ibunya Haira menyampingkan  putrinya. Apalagi jika Haikal tahu adiknya baik-baik saja.

Salwa menatap wajah putrinya yang terlelap. Perpisahan merupakan mimpi buruk bagi anak-anak. Salsabila terlalu kecil untuk menerima kenyataan ini. Jauhnya dari perhatian seorang ayah sudah pasti, ditambah lagi dengan sang ibu sibuk mencari nafkah. Lalu mungkin suatu saat harus beradaptasi dengan orang asing. Haira salah satu bukti nyata, sulitnya seorang anak menerima sosok baru dalam keluarga.

Sebelah tangannya mengelus rambut keriting putrinya. Silmi benar, dibanding memikirkan luka dan kecewa, lebih baik ia berbenah diri, mengobati hati agar kehidupannya terasa lebih ringan dan ikhlas. 

*** 

“Haikal! Mau ke mana lagi kamu?” Jamilah dari dapur bergegas ke ruang tengah begitu melihat putranya keluar dengan memakai jaket dan kunci di tangan. 

Haikal menghentikan langkahnya. “Aku anak cowok, Ma. Bisa menjaga diri. Seharusnya yang Mama khawatirkan tu Haira. Ini sudah 24 jam lo, Ma.”

“Bukannya kamu bilang dia baik-baik saja?!”

“Astaga, Mama. Hanya begitu! Seharusnya Mama memastikan langsung bagaimana keadaannya.”

“Kamu –" Jamilah bungkam. “Kamu tahu hari ini Mama sibuk banget. Lagi pula kamu melihatnya langsung. Mama percaya saja kamu,” dalih Jamilah. 

Haikal menatap sinis. Ia beralih menatap ke arah Salman. “Sibuk melayani dia? Teruskan saja, Ma. Aku keluar dulu. Kunci saja pintunya, aku tidak pulang malam ini.” 

“HAIKAL!” Haikal menghidupkan mesin motor, tanpa peduli dengan teriakan ibunya. 

“Haikal!!” 

Salman menyentuh pundak istrinya. “Sudahlah! Jangan paksa dia. Kehadiranku saja sudah membuat mereka tidak nyaman, jadi jangan tambah lagi dengan sikapmu.” 

Jamilah terisak. “Aku cuma khawatir, Mas. Kalau mereka kenapa-napa, bagaimana?’ ia menenggelamkan kepalanya ke bahu Salman. 

“Kita doakan saja, semoga Allah melindungi mereka.” 

*** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status